Tuesday, August 28, 2007

"CaTaTaN uNtUk SaNg MaEsTrO"


Sekali ku hidup, sekali ku mati,
Aku dibesarkan di Bumi Pertiwi,
Akan kutinggalkan warisan abadi,
Semasa hidupku sebelum aku mati.
Lambaian tanganku panggilan abadi,
Semasa hidupku sebelum aku mati

(…kata-kata puitis dari lirik lagu "Sebelum Aku Mati", karya Sang Maestro keroncong, Gesang.)


Hari begitu indah, ketika kami memasuki kota Solo, tepatnya di Jalan Bedoyo No. 5 Kelurahan Kemlayan, Serengan. Di tempat itulah sang maestro tinggal. Sang maestro yang terkenal dengan karya abadinya “Bengawan Solo”. Yup, dialah Gesang Martohartono (89), salah seorang maestro keroncong yang masih hidup. Kecintaannya terhadap jenis musik ini tak usah ditawar lagi.

Di tempat ini Gesang tinggal bersama dua adiknya yakni Ny Kayati (75) dan Thoyib (73). Suami Kayati telah meninggal. Sedangkan Thoyib seperti Gesang selama ini hidup sendiri. Di rumah warisan orangtua mereka inilah, kini tiga kakak beradik tinggal bersama anak dan cucu Kayati.

Awalnya dia agak terkejut dengan kehadiran kami. Namun setelah dijelaskan, akhirnya sang maestro bisa mengerti. Pasalnya, kami datang bertamu dengan begitu tiba-tiba tanpa pemberitahuan lebih rinci terhadapnya. Melalui telepon beberapa hari sebelumnya, kami hanya menyampaikan rencana ini kepada salah seorang keponakannya. Untungnya si ponakan mempersilahkan kami berkunjung.

Ternyata sudah cukup lama Gesang tak dikunjungi banyak orang. Kabar terakhir, yakni beberapa bulan silam, dia sempat dikunjungi seorang artis yang peduli terhadapnya. Biasanya, jika ada artis, seniman, maupun politisi yang singgah di Solo, tak jarang mereka bertamu di rumah ini. Sekedar bersilahturahmi.

Di rumah ini, tepatnya di ruang tamu sekelilingnya penuh dengan piagam penghargaan dari pemerintah dan lembaga-lembaga swasta plus foto-foto Gesang bersama pejabat dan teman-teman lamanya. Bahkan ada foto Gesang dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Juga tak ketinggalan foto Gesang dengan pencipta lagu Koesbini, yang diakuinya sebagai mentor.

Saat ditemui siang itu, Gesang tampak senang. Menggunakan kemeja batik dengan peci hitamnya ia terlihat gagah. Di usia yang makin renta, tak banyak yang bisa ia lakukannya. Paling-paling hanya keliling ruangan dan tidur. Jika kondisi sedikit fit, tak jarang sang maestro yang dilahirkan 1 Oktober 1917 itu akan berkeliling lingkungan rumahnya, sekedar untuk berolah raga. Ketika ditanya tentang keadaannya, Gesang hanya mohon doa restu, biar cepat sehat.

Tanggal 1 Oktober nanti, penggubah lagu "Bengawan Solo" ini genap berusia 90 tahun. Di usianya yang makin senja, ia memang sering sakit-sakitan, jarang bepergian, dan lebih banyak mengahabiskan waktunya di rumah bersama dua adiknya yang juga sudah berusia lanjut.

Kendati Gesang mengaku ingatannya terganggu, namun dari percakapan dengannya sekitar dua jam, terlihat bagaimana ingatannya masih begitu kuat. Buktinya ia masih ingat saat penjajahan Jepang, ketika lagu keroncong tak hanya digandrungi masyarakat, tetapi juga oleh serdadu Matahari Terbit.

"Dulu keroncong pernah hebat. Pada waktu itu di mana-mana ada radio siaran lagu keroncong. Di jaman Jepang, cuma lagu keroncong atau lagu daerah yang boleh. Tapi setelah merdeka, kita sudah bebas dengan semua jenis lagu," ujarnya.

Ketika penyakit itu datang

Dengan langkah tertatih, Gesang Martohartono (89) menerima kami di rumahnya saat kami menjenguknya awal agustus ini. Kondisi yang sudah jauh lebih baik, masih membuatnya tak bisa bergerak banyak. Kini, Gesang dalam kondisi pemulihan setelah sembuh dari penyakit yang di deritanya.

Menurut sebuah situs berita, beberapa waktu lalu di medio April 2007, selama hampir sepekan (7-13 April 2007), Gesang dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo karena gejala penyakit tifus. Selain gangguan usus, jantung Gesang sempat melemah karena kondisinya yang drop. Menurut keluarga, sebelum dibawa ke RS Gesang sempat tiga hari berturut-turut tidak bisa makan.

Setelah dirawat seminggu, akhirnya Gesang diperbolehkan pulang oleh dokter yang mengobatinya. Pulang ke rumah yang selama enam tahun terakhir ini ditinggalinya. Rumah yang merupakan peninggalan orangtuanya.

Yang lebih mengharukan, dengan suara yang melemah dan agak bergetar, Gesang masih sanggup menyanyikan satu bait dari lagunya yang terkenal; Bengawan Solo. Selain itu, Gesang pun masih sanggup menjawab beberapa pertanyaan kami, walau untuk berkomunikasi kami harus sedikit berbisik. Pasalnya pendengarannya sudah mulai terganggu. Hal ini diperparah ketika telinga kirinya sempat rusak akibat letupan sengatan petir dari jarak dekat. Dengan suara terbata-bata, Gesang mengungkapkan kebanggaannya terhadap lagu Bengawan Solo yang melegenda. "Saya bangga. Lagu Bengawan Solo jadi dikenal orang," paparnya.

Awal berkiprah

Jika saja bocah kecil bernama Sutadi tidak menderita sakit-sakitan, bisa jadi jagat musik Indonesia tak pernah memiliki seorang maestro keroncong yang terkenal lewat karya fenomenalnya. Dialah Gesang, komponis kondang lagu ‘Bengawan Solo’ yang kesohor.

Sepertinya sudah takdir, ayahanda Sutadi yang bernama Martodihardjo, akhirnya mengganti nama anak lelaki paling bontot itu dengan ‘Gesang’. Sepotong nama yang sangat bermakna, yakni hidup dan membawa si pemiliknya sampai usia 89 tahun. Selama itu pula, Gesang mengabdikan hidup di jagat seni musik keroncong dengan karya-karya bermutu.

Kisah hidup Gesang yang masa kecilnya berada di lingkungan juragan batik Kampung Kemlayan, memang sering didera penyakit panas menggigil yang hampir merenggut nyawanya. Namun di usianya yang kian renta dan sering sakit-sakitan sekarang ini, jiwa seni masih mengalir. kondisi tubuhnya tetap tegar, menyiratkan semangat hidup yang tak pernah mati.

Darah seni yang mengalir di tubuh Gesang sudah lama mengikutinya. Bahkan, ketika anak-anak seusianya --termasuk kakak kandungnya; Mas Yazid-- menggemari olah raga sepak bola, Gesang kecil lebih senang bersenandung, yang dalam bahasa Jawa disebut rengeng-rengeng. Dari kebiasaan rengeng-rengeng sambil berimajinasi itulah, akhirnya Gesang melahirkan karya-karya lagu berirama keroncong yang liriknya sederhana namun sarat makna.

Pertama kali Gesang menggubah lagu adalah pada tahun 1934. Ketika usianya belum genap 20 tahun. Saat itu ia telah menghasilkan lagu yang berjudul "Si Piatu". Sebuah lagu yang diilhami kisah hidupnya, karena sejak usia lima tahun dia telah ditinggal ibundanya, Sumidah.

14 tahun kemudian saat Gesang muda hidup bersama ibu tirinya, Sumirah, sejak itu pula ia telah bergabung dengan grup musik keroncong "Marko", melantunkan lagu "Si Piatu" lewat Radio SRV (Solosche Radio Vereeniging). Karya lagu itu menjadi tonggak kesenimanan Gesang sebagai seorang komponis yang karyanya mendapat pengakuan dunia.

Dalam meniti perjalanan berkesenian musik keroncong, Gesang lebih banyak sebagai penyanyi. Dia sering menyatakan dirinya bukanlah seorang musisi, karena tidak terampil memainkan alat musik. Kalaupun dia mahir mencipta lagu, itu hanya sebatas dengan bantuan alat musik sederhana, seperti seruling dan gitar akustik. Itu sebabnya, nada-nada ciptaan Gesang yang puitis selalu terkesan sesederhana dan polos.

Sebagai komponis lagu-lagu keroncong yang bermutu tingi, Gesang tidak tergolong sebagai pencipta yang produktif. Selama tahun 1938, Gesang tercatat hanya menghasilkan lagu ”Si Piatu". Dalam buku biografi “Gesang Mengalir Sampai Jauh” yang diterbitkan Balai Pustaka (1999), selama tahun 1939 Gesang juga hanya berhasil menggubah dua lagu berjudul "Roda Dunia" dan "Suasana Desa". Lagu "Bengawan Solo" yang legendaris itu, juga merupakan lagu satu-satunya yang dia ciptakan pada tahun 1940, selain lagu “Sebelum Aku Mati”, yang berhasil ditulisnya pada tahun 1963.

Sepanjang 89 tahun usianya, Gesang hanya mampu menghasilkan tidak lebih dari 42 karya, terdiri dari lagu-lagu berirama keroncong asli maupun langgam, termasuk sejumlah langgam Jawa. Selain lagu "Bengawan Solo", tercatat lagu-lagu berjudul "Kr. Jembatan Merah", "Kr. Saputangan", "Kr. Tirtonadi", "Kr. Sebelum Aku Mati," maupun langgam Jawa "Caping Gunung", "Ali-ali", "Ngimpi", "Pamitan" yang juga dinyanyikan mendiang Broery Pesulima dalam versi bahasa Indonesia. Semua lagu tersebut adalah lagu-lagu karya Gesang yang monumental.

Yayasan Gesang.

Gagasan mendirikan Yayasan Gesang sebenarnya pernah digulirkan pada ulang tahunnya yang ke-81. Sejumlah dana telah terkumpul, namun akhirnya yayasan tak jadi terbentuk. Kemudian pada ulang tahunnya ke-87, komponis Gesang juga kebanjiran kado. Selain kado berupa pembukuan 44 karya lagu Sang Maestro, Gesang juga mendapat cendera mata berupa uang tabungan dari Wali Kota Solo, serta setumpuk bingkisan dari pengagumnya.

Yang tak kalah menarik adalah, keinginan besar para pengagumnya dari luar negeri. Secara berkala fans-fans ini memberikan bantuan berupa uang untuk menunjang hidup sang maestro. Akhirnya sumbangan para penggemar yang kebanyakan orang Jepang dan China inilah, menjadi tonggak awal pendirian yayasan Gesang. Salah seorang diantaranya adalah Mr. Yokoyama, seorang musikus Jepang yang sangat terinspirasi oleh karya-karya Gesang.

Rencananya yayasan ini bertujuan untuk melestarikan dan memperkenalkan keroncong sebagai sebuah aliran musik tradisional yang hanya satu-satunya di dunia. Tak ada negara lain yang memiliki jenis musik seperti ini selain Indonesia.

Atas partisipasi para pengagum inilah kemudian di tepi sungai Bengawan Solo, didirikan taman Gesang, untuk menghormati karyanya yang sangat legendaris itu. Di tepi sungai yang merupakan bagian dari kebun binatang Solo inilah di bangun sebuah monumen berupa patung, mengisyaratkan kharakter Gesang yang bersahaja. Sayang, saat itu kami tak berhasil membawa Gesang kesana, karena kondisi tubuhnya yang masih belum kuat.

Di kawasan sekitar 2 ha itu, dibangun sebuah panggung pementasan yang kondisinya kini kurang terawat. Di saat-saat tertentu, sering diadakan pementasan, khususnya musik keroncong, disana.

Selain itu, musisi dan pengusaha Jaya Suprana sebagai pimpinan Museum Rekor Indonesia (Muri), secara mengejutkan memberikan kado piagam penghargaan. Sang Maestro dinilai sebagai komponis yang lagu-lagunya paling banyak direkam dan dinyanyikan.

Ternyata diam-diam Jaya Suprana sebagai seniman musik mengungkapkan kekagumannya pada komponis Gesang, yang hanya mengecap pendidikan sampai kelas lima Sekolah Rakyat Ongko Loro. Seperti pernyataannya yang dikutip Harian Pikiran Rakyat, dia menyatakan; nada-nada khusus pada gamelan slendro itu pula, yang digunakan para musisi Cina dan Jepang. Sehingga lagu-lagu ciptaan Pak Gesang dapat dimainkan dalam versi Cina maupun Jepang.

Banyak pihak berharap, sang maestro berumur panjang. Sebagai seorang komponis yang lagu-lagu karyanya banyak dikagumi, Gesang hanya berharap musik keroncong akan terus mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia, terutama generasi muda saat ini. "Keroncong jangan sampai mati muda," ujarnya terbata-bata.

Monday, August 20, 2007

Tentang Seorang Demonstran

(Gie di titik triangulasi Gn. Pangrango. source: ist)
Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda.

Jauh sebelum karakternya mulai di lirik orang. Jauh sebelum orang ikut-ikutan latah menyebut namanya. Jauh sebelum orang mulai menonton filmnya, nama itu telah begitu lekat di telingaku sejak kuliah dulu. Sebuah nama yang menjelma jadi semacam ikon bagi anak-anak muda yang progressif dan para penggemar kegiatan alam bebas, seperti kami. Nama yang selalu mengingatkanku akan pentingnya sebuah integritas dalam memberi warna. Nama yang mengarah pada satu tokoh yang sangat peduli rakyat kecil. Ya, dialah Soe Hok Gie, eksponen 66 yang terkenal gigih dalam perjuangannya menumbangkan rezim Soekarno. Menurutnya, Presiden Soekarno tidak lebih dari lanjutan raja-raja Jawa, beristri banyak dan mendirikan keraton-keraton.

Jumat malam kemarin, tepatnya tanggal 17 Agustus 2007, saat Indonesia merayakan HUT ke 62, untuk ketiga kalinya aku berkesempatan menonton kembali film yang menurutku masih yang terbaik. Rasanya belum ada film biografi yang mendekati realitas seperti ini.

Sunday, August 19, 2007

"SePeNgGaL KiSaH MoMoYe"



Tiada yang menyangka, penderitaan lahir dan bathin harus ditanggung oleh perempuan renta ini. Cita-citanya sebagai pemain sandiwara, harus pupus oleh tipu daya seorang Jepang. Ia pun harus merelakan diri menjadi Jugun Ianfu, pemuas nafsu birahi serdadu Jepang. Serta tak ketinggalan, penolakan masyarakat kala itu turut menghancurkan hatinya. Sungguh menyakitkan!

Di suatu sore yang indah, di salah satu gang di sudut kota Yogya, tepatnya di daerah Pathuk (yang terkenal dengan bakpianya), kami berkesempatan bertamu ke rumahnya yang mungil. Di rumah mungil yang terletak di pojokan itu, ia dan seorang putranya tinggal menghabiskan masa tuanya.

Bagi penduduk setempat, tak ada yang tak mengenal perempuan tua yang sempat jadi abdi dalem ini. Mbah Mardiyem, demikan masyarakat menyebutnya. Mardiyem merupakan satu dari ribuan orang yang sempat mengalami penderitaan pahit di masa pendudukan Jepang. Saat itu, Mardiyem muda di pekerjakan sebagai pemuas nafsu tentara Jepang yang terkenal dengan sebutan jugun ianfu.

Di usianya yang kini 78 tahun, tak banyak yang bisa di kerjakan, selain membersihkan rumah mungilnya sembari merawat bunga-bunga kertas (baca: dalam bahasa Jepang disebut ‘Momoye’) yang tumbuh subur di pekarangannya. Karena identik dengan kecantikan bunga bunga itu pula, serdadu Jepang menganugerahi gelar ‘Momoye’ padanya. Akibat gelar ini pula, sesama jugun ianfu (baca: pelacur) yang dipekerjakan saat itu memanggilnya Momoye. Sampai akhirnya penulis muda bernama Eka Hindrati dan seorang Jepang, Koichi Kimura berkesempatan menulis kisahnya menjadi sebuah buku yang lagi-lagi berjudul “MoMoYe” hingga akhirnya di terbitkan oleh Erlangga.

Saat itu, dia sedang asyik membaca beberapa bagian di halaman tengah buku tersebut, ketika kami mengunjunginya. Dengan kaca mata tebal sembari mengernyitkan dahi, dia terlihat bingung dengan kehadiran kami. Maklum, kami bukanlah orang yang familiar baginya. Tetangga bukan, apalagi saudara. Kami hanyalah jurnalis muda yang ingin menguak fakta tentang keberadaan Jugun Iyanfu yang kabarnya semakin susah ditemui. Pasalnya, tak sedikit diantaranya yang sudah meninggal dunia.

Kini, hanya sedikit orang yang bersedia mengunjunginya. Paling-paling hanya kalangan yang bersimpati. Diantaranya: jurnalis, perwakilan pemerintah Jepang yang merasa bertanggungjawab (terhadap) kejahatan perang yang dilakukan serdadunya, serta LBH Jogya yang menjadi tim pengacaranya sejak tahun 2000 lalu, ketika permasalahan ini mencuat di dunia Internasional sebagai kejahatan perang terhadap perempuan.

Dengan wajah yang bersahaja, akhirnya dia bisa mengerti kedatangan kami. “Beginilah aku sekarang” ungkapnya dalam bahasa Jawa sembari memperkenalkan diri. “... tapi, mbah masih tetap terlihat cantik, kok” tutur temanku menimpali. Demikianlah akhirnya pembicaraan singkat menjadi pembuka perbincangan kami sore itu.

Jika dilihat sekilas, tak tampak kesedihan di wajah perempuan yang lahir pada tahun 1929 di Yogyakarta. Wajah dan kulit yang terlihat putih menjadi penanda sisa-sisa kecantikan masa lalunya. Pendengarannya pun masih setajam dulu. Sepertinya tak banyak yang berubah dari perempuan tua ini, selain keriput yang makin melebar dan gerakannya yang terlihat lamban. Apalagi, beberapa bulan lalu ia baru saja sembuh dari penyakit yang hampir saja merenggut jiwanya. “ibu baru saja sembuh dari penyakit, mas” ungkap anak lelakinya yang kini setia mendampingi.

Berbeda dengan kegiatan prostitusi yang saat ini lebih didasari oleh faktor ekonomi. Kala itu, kaum jugun ianfu melakukannya karena unsur paksa di bawah tekanan. Tak ada cara lain selain mengikuti apa yang diinginkan serdadu Jepang. “kondisi saat itu betul-betul sulit. Mau lari gak tahu harus kemana”, tuturnya dengan wajah nanar.

Walau kenangan itu telah lama berlalu, tak serta merta pandangan warga terhadapnya berubah. Sekembalinya dia dari kalimantan ke Yogyakarta di tahun 1950, masyarakat yang awalnya tak pernah tahu akhirnya mulai mencibir. Bahkan kegiatan kateringnya yang sempat laris kala itu, harus direlakan bangkrut di tahun 1993, begitu tahu ia merupakan bekas jugun ianfu. Akhirnya dengan bersusah payah ia menata kembali kehidupannya yang hancur bersama sang suami, Aminun, seorang pensiunan TNI yang terpaut usia 38 tahun dengannya. “sampai sekarang saya tak pernah rela kalau di sebut pelacur” ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Ikhwal sedih itu

Saat itu, Mardiyem kecil yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas II sekolah rakyat (SR) di Yogyakarta, memiliki talenta di bidang seni. Dia mahir menyanyi keroncong dan sering tampil di pergelaran sandiwara di kampungnya.

Suatu hari di jaman penjajahan di tahun 1942, Mardiyem ditawari main sandiwara oleh seorang Jepang. Waktu itu umurnya baru 13 tahun, ayah dan ibunya sudah meninggal. Kakak yang saat itu tinggal dengannya pun mengizinkan untuk menerima tawaran itu.

Sekitar 48 perawan Yogyakarta diangkut dengan kapal Nichimaru milik Jepang menuju Telawang, Kalimantan Selatan. Di pulau seberang itu mereka dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama ditempatkan di restoran Jepang. Kelompok kedua dipekerjakan sebagai pemain sandiwara. Kelompok ketiga, termasuk Mardiyem, dibawa ke sebuah asrama tentara Jepang yang dipagari bambu tinggi. Orang menyebut tempat itu ian jo. Di area itu terdapat puluhan kamar berjejer teratur.

Cikada, pengurus asrama itu, segera menemui para gadis, termasuk Mardiyem. Para gadis itu diberi nama Jepang. Mardiyem pun menjadi Momoye, setelah terinspirasi cantiknya bunga kembang kertas yang dalam bahasa Jepang disebut Momoye. Setelah diperiksa dokter, para gadis diperintahkan menempati kamar masing-masing. Kamar itu sempit, luasnya tak lebih dari dua meter persegi.

Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11. "Dindingnya masih tercium ada bau cat," tuturnya, seperti yang dikutip dalam di buku Momoye.

Gadis remaja itu terhenyak. Ia merasa ditipu, karena ternyata pekerjaan menjadi pemain sandiwara muslihat belaka. Mulai saat itu ia resmi menjadi jugun ianfu, budak seks bagi tentara Jepang. Sejak itu pula Mardiyem tak akan pernah bisa melupakan pengalaman duka itu

Pada hari pertama "kerja" itu tiba-tiba saja seorang pria Jepang nyelonong ke kamarnya. Lelaki berewok itu membawa karcis. "Saya tendang. Saya lawan. Tapi, seberapa sih kekuatan anak umur 13 tahun?" ujar nenek yang kini berumur 78 tahun itu. Benteng itu hancur lah sudah. Air matanya mengucur deras menahan pedih. Sakit! Dia tak pernah lupa pada derita perih saat kegadisannya direnggut.

Ternyata lelaki berewok itu baru permulaan, pembuka petaka. Siang itu pula enam laki-laki bergiliran mendatangi kamarnya. Kamar sempit itu segera menjadi neraka bagi Mardiyem. Kemaluan remaja yang belum mendapat haid itu mengalami perdarahan hebat. "Saat berjalan saja darahnya sampai netes. Kain saya basah jadinya," ujarnya lirih seperti yang dikutip dalam sebuah situs berita.

Selama tiga tahun Mardiyem dikurung di kamar nomor 11. Siang-malam dia harus melayani birahi tentara Jepang. Waktunya habis dalam kamar "pemerkosaan" itu. Bahkan, untuk makan yang hanya dijatah satu kali sehari pun sering tak sempat.

Bukan hanya kekerasan seksual yang dialami Mardiyem selama tiga tahun itu. Pukulan, tamparan, dan tendangan menjadi makanan sehari-hari. Para tamu ataupun pengelola ian jo begitu ringan tangan setiap Mardiyem menolak melayani. Setiap hari Mardiyem harus menjadi Momoye dan dipaksa melayani sedikitnya 5 hingga 10 lelaki.

Ternyata para pengunjung ian jo harus membeli karcis untuk bisa memperkosa Mardiyem dan kawan-kawannya. Semakin malam, harga karcisnya kian mahal. Setiap jugun ianfu harus mengumpulkan karcis yang dibawa para tamu. Menurut pengelola ian jo, karcis-karcis itu akan ditukarkan dengan uang di kemudian hari. Tiga tahun berlalu sudah, namun para gadis itu tidak menerima satu sen uang pun . Padahal, selama tiga tahun menjadi Momoye, Mardiyem mengumpulkan satu keranjang karcis.

Dua tahun berlalu. Suatu hari, Cikada, pengelola ian jo, memanggil Mardiyem ke kantornya. Mardiyem dibawa ke rumah sakit, karena gadis yang baru menginjak usia 15 tahun itu hamil. Petugas rumah sakit menggugurkan paksa kandungannya tanpa bius. Seorang perawat menekan perut gadis malang itu kencang-kencang. Mardiyem pun menjerit keras. Janin yang berusia 5 bulan itu keluar dari rahimnya. Sakitnya pasti luar biasa. Akhirnya, janin yang berwujud manusia itu hanya sesaat merasakan dunia.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Mardiyem dan rekan-rekannya lepas dari cengkeraman tentara Jepang. Tak lama setelah mereka lari, pasukan Sekutu menghujani asrama itu dengan bom.

Tidak Puas

Selama tiga tahun, (1943-1945), Momoye, begitu panggilan tentara Jepang kepadanya, harus melayani tamu. Entah tentara atau sipil. Jika mereka tak puas, pukulan dan tendangan sepatu lars sering mendarat di tubuhnya.

Sejarah kelam perempuan Indonesia yang dialami ribuan anak perempuan itu, tak sedikitpun tertulis dalam buku sejarah. Jugun ianfu dianggap aib oleh negara.

Tak ada hal lain yang diinginkan perempuan tua ini (baca: yang dulu sempat membantu tentara dengan menyeludupkan senjata dari markas Jepang), selain pengakuan dosa oleh penjajah Jepang. Dari sebuah NGO lokal terungkap, bahwa pada tahun 1993, tiga pengacara dari Negeri Matahari Terbit datang ke Indonesia melalui Menteri Sosial kala itu (baca: Inten Soeweno) meminta mereka untuk mendata para eks jugun ianfu yang masih hidup.

Setidaknya terdata sekitar 1.156 eks jugun ianfu dari Lampung hingga NTB. Mardiyem kemudian dihadirkan sebagai saksi dari Indonesia dalam persidangan Pengadilan Internasional di Tokyo untuk Kejahatan Perang terhadap Perempuan dalam Kasus Perbudakan Seksual Militer Jepang pada masa Perang Dunia II di Desember 2000.

Selanjutnya, di tahun 2001, Pemerintah Indonesia, lewat Mensos, menerima 38 juta yen dari pemerintah Jepang. Uang itu lantas digunakan untuk membangun panti jompo. Meskipun demikian, penggunaan dana itu tidak melibatkan para korban. Kantor Departemen Sosial di Yogyakarta membenarkan adanya dana sebesar Rp 285 juta untuk pembangunan panti jompo bagi para eks jugun ianfu.

Bu Mardiyem dan 12 kawannya menolak, karena selain tidak ingin tinggal di panti jompo, kala itu, permintaan maaf itu tidak kunjung datang. Sampai sekarang aliran dana itu ke mana, tidak ada kejelasan, padahal pengucuran dana AWF itu masih berlangsung hingga tahun 2007 ini.

Masalah Lain

Walau kini beban itu telah sedikit terangkat, tak serta merta hidupnya kembali tenang. Masalah lain kini sedang mendera. Masalah yang berawal dari penulisan kembali kisah hidupnya oleh penulis muda dan seorang Jepang. Ntah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja, kedua penulis itu bertamu kepadanya. Kurang lebih 2 minggu mereka tinggal bersama di gubuk reotnya itu.

Selama 2 minggu itu mereka berkesempatan mengurai kembali kisah sedih yang pernah dialami Mardiyem selama 3 tahun sebagai jugun ianfu. “Aku semakin sedih jadinya, kalo ingat masa-masa itu”, tuturnya padaku. Kegiatan penulisan buku ini juga yang membuatnya jatuh sakit, sepulangnya penulis tadi. Jika sudah begitu, hanya putra tunggalnya yang jadi repot karenanya. Sementara para penulis tadi, tetap berlalu, tak punya kepedulian sedikit pun, padahal mereka mengetahui ikhwal sakitnya sang momoye.

Selain itu, di awal pertemuan mereka, sang Momoye dijanjikan royalti untuk penulisan jika buku itu akhirnya terbit. Namun sayang, hingga kami bertamu ke rumah mungilnya, janji royalti tak kunjung tiba. Ketika lounching buku itu dilakukan disebuah mal di Jogyakarta, si penulis pun tak berani bertemu bahkan bertatap muka dengan Mardiyem. Itu pula yang terjadi ketika di acara Kick Andy -sebuah acara talk show di sebuah televisi swasta-, lagi-lagi, si penulis tak berani bertegur sapa dengannya. Bisa saja terjadi karena janji tersebut hanyalah pepesan kosong.

Akhirnya, hanya tersisa satu cara, yakni mengadukan kasus ini lewat jalur hukum. Untunglah pihak LBH Jogya yang pernah membelanya di kasus kejahatan perang di pengadilan internasional di Jepang waktu itu, masih berbaik hati mendampinginya. Sampai tulisan ini dibuat, pihaknya masih memperkarakan kasus perdata ini di pengadilan negeri Jogya.

Jika dirunut, sebenarnya permintaan perempuan tua ini sangat sederhana. Ia ingin agar penulis sedikit perhatian terhadapnya. Pasalnya, ia harus dirawat beberapa lama di rumah sakit karena rasa traumatis yang ditimbulkan oleh penulisan kembali kisah hidupnya itu. Dia hanya ingin para penulis itu punya hati. Belum lagi, ternyata janji royalti yang rencananya harus diberikan, ternyata tak kunjung tiba.

Akhir cerita

Bagi Mardiyem, penolakan masyarakat sudah membuatnya sakit hati. Hal itu diperburuk oleh pemerintah Indonesia yang juga tidak pernah peduli dengan perjuangannya. "Waktu saya ke Tokyo, hanya ditemani orang LBH. Kalau orang Korea, yang menemani wali kota bahkan gubernur sampai anggota parlemennya. Ini bukti kalau pemerintah tidak peduli," keluhnya dalam sebuah konperensi pers saat penerbitan bukunya.

Setiap malam tiba, penderitaan selama menjadi Momoye selalu terbayang. Air matanya pun menetes. Apalagi ketika buku yang berisi penderitaan hidupnya akan disusun. Semua kenangan sedih itu terurai kembali.

Setelah beberapa tahun berupaya mencari keadilan, akhirnya permintaan maaf dari pemerintah Jepang itu pun tiba. Walau tak sepenuhnya bisa menghalau pedih itu, dengan sedikit haru, kini ia bisa bernafas lega. Sepertinya, kepedihan tak akan pernah lekang dari ingatannya. Kepedihan yang hanya akan sirna ketika ia mati.

Kini, tahun-tahun pilu itu sudah 65 tahun berlalu. Mardiyem sudah renta. Saat ini perempuan tua yang sangat tegar ini hanya menggantungkan hidup dari uang pensiun suaminya, Rp 500.000 sebulan. Sesekali dia menerima belas kasih orang lain. Menurutnya, pengorbanannya di masa lalu, tidak akan terbayarkan dengan kompensasi sebesar apapun. “Saya hanya ingin hidup layak dan tenang”, ungkap pejuang yang terlupakan ini, seraya menutup perjumpaan kami malam itu.

Monday, August 13, 2007

"KiSaH SaNg PeNgAbDi"



Bekerja dengan dengan dedikasi yang tinggi dan dibayar mahal tentunya sudah biasa. Tapi tahukah anda, jika ada sekelompok orang yang bekerja dengan dedikasi tinggi, namun dibayar dengan harga murah. Ya.., merekalah para pengabdi.

Matahari baru saja beranjak ke peraduannya, ketika kami menyusuri daerah Bantul, sebuah kawasan administratif berstatus kabupaten di Daerah Istimewa Jogyakarta. Dikawasan ini, tepatnya satu tahun silam, gempa tektonik sebesar 5,6 skala ritcher sempat meluluhlantakkannya dengan menelan ribuan korban jiwa dan kerugian harta benda yang tak ternilai.

Berdasarkan informasi yang kami terima, tepatnya di Desa Pandes - Kab. bantul, terdengar kabar tentang sesosok pribadi yang sangat setia terhadap tradisi. Tradisi yang masih dipegang teguh oleh para pengabdi di lingkungan keraton Jogya. Yup…, dia adalah satu dari puluhan abdi dalam, yang bertugas di lingkungan kesultanan Jogya. Abdi dalam, merupakan sebutan bagi mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi bagi sultan dan keluarganya di lingkungan keraton.

Bagi pria berusia 85 tahun ini, mengabdi bagi keraton merupakan panggilan hidup yang sangat diinginkannya. Terbilang sudah 26 enam tahun ia bekerja disana. Di tempat itu, bermacam pekerjaan pun telah digelutinya, mulai dari merawat kebun dan tanaman, membersihkan aula dan istana, mempersiapkan semua hal yang berhubungan dengan kedatangan tamu sultan, hingga merawat gamelan dan benda-benda pusaka yang sering digunakan dalam acara-acara sakral.

Namun kini, seiring usia yang mulai senja, tugasnya tak lagi seberat dulu. Saat ini dia lebih terlihat sebagai supervisor bagi beberapa orang abdi dalam yang lebih muda. Jika ia tiba lebih dahulu, sesekali dia harus mengerjakan kegiatan rutin, seperti mengepel aula keraton dan merawat kebun yang ada disana.

Awal Perjumpaan.

Setiap detik perjalanan hidup sungguh merupakan sebuah misteri. Misteri yang tak akan kita tahu akan berujung seperti apa. Setidaknya ini yang dialami pria berusia 85 tahun yang dikenal masyarakat sekitar sebagai “Mbah Udi”. Di usia yang semakin uzhur, badannya masih terlihat bugar, meski kini ia tinggal sendiri semenjak ditinggal mati sang istri beberapa tahun silam. Pola pikirnya pun masih tetap sama. “hidup ini sebuah misteri yang mesti di jalani” ungkapnya padaku di sela-sela makan siang waktu itu.

Di rumah berukuran 8 x 4 meter yang di dalamnya tak terawat inilah orang tua tersebut tinggal. Sekeliling tembok yang tak di plester semakin menimbulkan kesan kelamnya. Benda-benda berbentuk usang tampak berserakan di sepenjuru ruangan, pertanda simbol kemiskinan. Serta tak ketinggalan sepeda “onthel” yang usianya teramat tua, teronggok di ujung ruang tamu. Jika ditaksir, umurnya mungkin sepantaran dengan usia pemiliknya yang kini semakin rapuh.

Di sela-sela istirahatnya, ia pun menuturkan ikwal perjumpaannya dengan dunia abdi dalam di keraton. Saat itu usianya sekitar 59 tahun, ketika tawaran tersebut datang. Berhubung orangtuanya juga merupakan abdi dalam, sifatnya ke-abdiannya bisa turun ke anaknya. Begitulah Mbah Udi yang bagi masyarakat sekitar dianggap tetua desa, mulai berkecimpung di lingkungan keraton.

Ternyata, sejak mudanya Mbah Udi telah akrab dengan kegiatan bersih-bersih di lingkungan keraton. Di sela-sela kegiatannya, ia kerap membantu pekerjaan orangtuanya yang bertugas di istana. Akhirnya, karena kerja keras dan keuletannya itu, Sultan Hamengkuwono X mengangkatnya sebagai abdi dalam dan dianugerahi gelar Wiryudikseno hingga sekarang. Ketika ku tanya sampai kapan ia akan bertahan menekuni profesi ini, dengan sumringah ia menjawab, “sampai ajal menjemput”, ujarnya.

Menuju Tempat Kerja

Seperti kesepakatan sebelumnya, kami berencana mengikuti rutinitas keseharian bapak 5 orang anak ini keesokan harinya. Benar saja, saat sebagian orang masih terlelap dalam selimut hangatnya. Sosok yang satu ini sudah siap sedia saat jam menunjuk angka 5.20 WIB. Ditemani sepada bututnya sebagai satu-satunya alat transportasi, ia telah berdandan dengan pakaian kebesaran, berupa baju sojan berwarna merah dengan bawahan dari batik, tak beralas kaki, serta tak ketinggalan topi ‘blangkon’, sebagai ciri khas seorang abdi.

Berhubung hari masih subuh, sarapan berupa bubur yang disiapkan oleh anak perempuannya tak pernah ketinggalan menghiasi tas kecilnya yang selalu tergantung di ‘stang’ sepeda.

Dari rumahnya yang terletak di Desa Pandes, Kab. Bantul, ia akan menyusuri jalan-jalan kampung yang masih terlihat sepi, hingga akhirnya akan bertemu jalan besar yang akan mengantarkannya tiba di keraton Jogya. Sedikitnya, ia menghabiskan waktu 30 menit untuk tiba disana.

Sifatnya yang sangat terbuka, membuat kami gampang berkomunikasi hingga boleh mengikuti kesehariannya. Sesekali ia terlihat tersenyum, tak kala aku menyebutkan sebuah kata yang ternyata berlainan makna. Maklum, saya bukan lah orang jawa. Saya hanyalah keturunan seberang yang tertarik dengan kehidupan kaum minoritas, terlepas apapun sukunya.

Secara sigap ia pun mendorong sepeda tuanya keluar dari rumah idamannya. Rumah yang sudah puluhan tahun ditinggalinya. Rumah tempat ia dan istrinya membesarkan kelima orang anaknya yang kini telah mandiri.

Selanjutnya, dari rumah ia akan melaju ke arah Krapyak, daerah luar karaton yang mulai dipadati penduduk. Krapyak merupakan bangunan berbentuk simetris (nyaris seperti kubus). Pembagian ruangan dipisahkan oleh koridor-koridor dengan langit-langit atas berbentuk melengkung. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I (13 Februari 1755 - 24 Maret 1792). Panggung Krapyak terdiri atas dua lantai. Kedua lantai tersebut dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu (tangga ini sekarang sudah tidak ada lagi). Lantai atas merupakan lantai yang terbuka dengan pagar yang juga terbuat dari tembok mengelilingi setiap sisi lantai.

Dulunya, bangunan ini dipergunakan sebagai tempat membidik binatang sambil berlindung. Binatang-binatang tersebut ditempatkan di bagian selatan Panggung Krapyak. Di samping sebagai tempat berburu, tempat itu diduga juga sebagai tempat pertahanan/pengintaian prajurit keraton dari serangan musuh.

Dari Krapyak ia terus menyusuri jalan-jalan yang mulai dipenuhi oleh pengendara lain. Suasana tampak berubah. Sekeliling mulai dipadati oleh ratusan orang yang sibuk dengan aneka keperluan. Ada yang membawa anak sekolah dan ada yang pergi ke tempat kerja. Hingga tak terasa akhirnya ia tiba di derah Plengkung Gading, sebuah pintu masuk menuju alun-alun selatan Keraton Jogya.

Di pintu gapura yang berbentuk melengkung ini, lagi-lagi mbah udi harus beradu cepat dengan pengendara lain. Pasalnya pintu itu tak terlalu lebar. Dengan sedikit tertatih, terlihat jelas bagaimana pria tua ini harus meloloskan diri hingga akhirnya berhasil masuk, untuk selanjutnya menuju Alun-Alun Selatan (baca; Kidul).

Dari Alun-Alun Kidul, ia terus menggoet sepedanya menuju bagian samping Sasono Hinggil. Sasono Hinggil merupakan salah satu kompleks bangunan di kawasan Keraton Yogyakarta. Kompleks bangunan Siti Hinggil Kidul terletak di utara Alun-alun Kidul Keraton Yogyakarta. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Siti Hinggil Kidul untuk saat ini lebih terkenal dengan nama Sasana Hinggil Dwi Abad.

Siti Hinggil Kidul digunakan oleh raja untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Grebeg dan pada zaman dulu, juga digunakan untuk tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan). Pada saat sekarang Siti Hinggil Kidul (Sasana Hinggil Dwi Abad) juga digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya. Bangunan-bangunan terpenting yang terdapat dalam kompleks Siti Hinggil Kidul di antaranya:Tratag Rambat dan Bangsal Siti Hinggil.

Dari tempat ini, akhirnya dia tiba di daerah ‘megangan’. Megangan merupakan pintu belakang keraton yang akan menghubungkannya dengan kawasan inti keraton. Dari tempat ini, setiap orang yang akan melintas, diwajibkan mematikan serta mendorong kendaraannya. Itu juga yang dilakukan abdi dalam yang satu ini. Setelah lelah berkendara selama 30 menit, ia pun mendorong sepeda tuanya menuju tempat parkir yang disediakan di samping pintu utama. Dari sini ia akan memulai tugas utamanya, sebagai tukang bersih-bersih aula dan alat-alat kesenian.
Tugas Utama.

Berbeda dengan abdi dalam yang lain, tugas abdi dalam yang berpakaian merah seperti dirinya, lebih ditujukan pada bagian dalam keraton. Saat itu, kami berkesempatan untuk mengikuti kegiatannya setelah lebih dahulu meminta ijin pada polisi (pengamanan) keraton.

Di aula tempat penyimpanan alat-alat musik tradisional, dengan cekatan ia mengambil se-ember air plus tongkat pel yang akan digunakan untuk membersihkan aula seukuran ¼ lapangan bola. Di tempat ini, ia akan memulai kegiatan utamanya.
Namun sayang, ketika akan mengikuti kegiatan selanjutnya, langkah kami dihentikan oleh pihak pengamanan tadi. Pasalnya, kami hanya diberi waktu beberapa menit untuk melihat kegiatan abdi dalam yang satu ini dari dekat. Sepertinya sudah jadi peraturan tak tertulis di tempat ini, kegiatan para abdi dalam merupakan kegiatan yang tertutup dari pihak media.

Akhirnya dengan berat hati kami harus kembali ke pintu megangan. Dari sini kami akan menunggu kepulangannya, untuk selanjutnya melakukan sedikit wawancara mendalam. Namun dari sela-sela pembatas ruangan, masih terlihat jelas, bagaimana bapak tua ini terlihat cekatan dengan alat-alat kerjanya. Sepertinya, ia sangat mencintai pekerjaan ini.

Pengabdian

Pengabdian merupakan cerminan kata yang sangat cocok dengan pribadi Mbah udi sebagai seorang abdi dalem. Makna pengabdian bisa saja berarti makan sehari sekali untuk bisa menghidupi tubuh renta-nya. Seringkali pak tua ini tidak peduli dengan harga-harga sembako yang selalu naik, mahalnya BBM, atau gula yang makin langka. Pernah pula sepedanya rusak dan ia bingung bagaimana memperbaikinya. Untunglah menantu (baca; suami anak perempuannya) yang kini hidup berdampingan dengannya dapat memberikan bantuan.

Mengabdi pada hidup-lah yang membuat orang kampung dari Desa Pandes ini terus bertahan. Meskipun hanya 1 atau 2x makan nasi campur gaplek, anugerah hidup tetap menopang tubuh-kurusnya untuk terus berusaha. Jika ia selesai ngabdi, -demikian kata-kata yang sering terdengar untuk mengasosiasikan kegiatan mengabdi di keraton- tak lupa ia mengambil sejumput rumput untuk makanan ternak kambingnya.

Di usianya yang tak lagi muda, tak banyak yang bisa ia lakukan. Biasanya selesai mengambil rumput ia pun akan bersantai di bangku kayu di depan rumahnya, sembari memilin tembakau lintingan yang dibelinya di pasar. “Inilah hidup. Apapun itu harus kita syukuri dan nikmati” ungkapnya disela-sela hisapan tembakau lintingannya.

Pengabdian baginya menjadi kunci penting yang bisa membawanya bertahan hingga saat ini. Di usianya yang kini 85 tahun, tak terhitung sudah banyaknya pengalaman yang dijalani. Sebagai abdi dalam yang dulunya hanya di gaji 3 ribu rupiah hingga mencapai 9 ribu perbulan kini, tak membuatnya kecil hati. Baginya gaji kecil tak jadi penghalang untuk terus mengabdi. Mengabdi bagi sultan dan keraton merupakan anugerah.

Dari gaji yang demikian kecil, bisa dipastikan tentunya tak cukup untuk menghidupi keluarga. “Namun, itulah muzijat”, Kilahnya. Jika kita bekerja dengan tulus semua muzijat bisa terjadi. Sehingga jangan heran jika kebutuhan primer bisa tercukupi. Namun tidak demikian halnya dengan kegiatan pendidikan. Anak-anaknya hanya mampu mengecam hingga bangku Sekolah Dasar (SD) sebelum akhirnya bekerja.

Nrimo dan Pasrah

Selain pengbadian, Mbah Udi pun selalu nrimo dan pasrah dalam menjalani hidup. Rasa itu yang membuatnya bisa menikmati hidup hingga sekarang. Biasanya gaji 9 ribu selalu utuh dibawa pulang untuk digunakan sendiri. Jika dulu, sewaktu istri masih ada, uang itu akan digunakan untuk keperluan keluarga. Tidak pernah ada keinginan yang di luar jangkauannya. Bila hari itu ia bisa bekerja dengan baik, menikmati makan siang, berupa sayur bayam dan tempe dan pulang siang hari, cukuplah baginya.

Karena prinsip nrimo dan pasrah ini, akhirnya sultan memberinya tanah seluas 1000 m di kawasan Parangtritis, selatan Jogya. Selain itu, ia pun kerap diberi tambahan uang oleh kerabat keraton yang peduli terhadap kehidupan abdi dalam.

Prinsip ini pula yang membuat ia selamat takkala gempa tektonik sebesar 5,6 skala ritcher mengguncang Jogya. Saat semua orang yang ada di jalan berjatuhan akibat goncangan gempa, ia sendiri terlihat kokoh mengayuh sepedanya menuju keraton. Ia sendiri tak tahu mengapa banyak orang yang jatuh dan luka-luka. Ia baru tahu ketika banyak orang teriak; ‘gempa’. Selain itu, ia pun dapat mengingat dengan jelas, bagaimana rumah reotnya tak rubuh oleh guncangan, ketika banyak rumah di sekelilingnya roboh dan menyatu dengan tanah. “Itulah kekuatan nrimo dan pasrah”, kilahnya.

Sepertinya banyak hal yang bisa dipelajari dari kehidupan para pengabdi ini. Selain pasrah, mereka pun konsisten dengan pengabdianya terhadap profesi. Bagi mereka tak ada kebahagiaan lain, selain bisa mengabdi seutuhnya pada sultan, simbol kekuasaan keraton Jogyakarta.

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN