Saturday, July 29, 2006

"Rasanya, Sudah Lama Tak Kudengar!!!"

Malam itu, hentakan musik reggae yang sudah lama tak kudengar, kembali menggema di sebuah ruangan berukuran ± 20 x 30 m. Ruangan di lantai tiga yang terletak di daerah menteng ini, telah cukup lama menjadi tongkrongan bagi komunitas reggae di jakarta, lengkap dengan orang-orang berambut gimbal sebagai ciri khasnya.

Musik yang di pelopori Bob Marley lewat lagunya yang terkenal, berjudul “No Women No Cry”, telah menjadi symbol lahirnya sebuah aliran musik baru, yang dikenal dengan “Reggae”. Dimulai pada awal tahun 1950, di tengah demam kemerdekaan, di pusat kota Kingstown, sound system merajalela di pinggir jalan. Awalnya adalah pengembangan dari R&B yang pada saat itu sangat dominan di Jamaika dan dikombinasikan dengan musik drum tradisional Afrika. Dengan mem-fusi-kan R&B, jazz, dan mento (semacam calypso) menjadi Shuffle. Inilah bentuk dasar musik reggae yang semakin berkembang sampai sekarang ini.

Awalnya, aku gak paham, kalo malam itu harus meliput seorang musisi yang mengusung “reggae” sebagai jalur bermusiknya. Dandanan seadanya dengan kaus oblong dipadu celana jeans pendek ¾ plus rambut gimbal, menjadi ciri khasnya saat tampil di depan panggung. Tony Q Rastafara, begitu nama bekennya. Tony, yang merasa sepaham dengan idiologi yang ditawarkan reggae, membuatnya jatuh cinta dengan karakter musik ini, sejak 18 tahun silam. Di kalangan penggemar reggae, namanya cukup familiar. Bahkan bagi komunitas reggae, dia dianggap sebagai “pioneer reggae” di Indonesia. Maklum, tak begitu banyak musisi yang berkiprah di jalur ini. Sebab, apresiasi masyarakat kita masih rendah. Berbeda dengan jalur musik pop, rock ataupun dangdut yang lebih dahulu berkembang dan telah mengakar cukup lama.

Sampai ketika beberapa buah tembang hits dia nyanyikan, aku belum ngeh, kalo itu adalah sebagian lagu dari album terbarunya. Rasanya, aku pernah mendengar lagu-lagu itu. Aku gak ingat pasti. Tapi kalo gak salah, waktu itu, aku dengar lagunya di sebuah toko kaset di Jakarta. And, aku ingat banget lagu “Om Fangkey”nya! Lagu yang membuat orang tak kan lupa. Lyriknya yang sederhana dibalut iringan nada reggae yang menghentak riang(easy listening: red), membuat semua orang yang mendengar pasti langsung ingat.

Malam itu, setelah mutar-mutar nyari lokasi BB’s café, tempat Tony dan band manggung. Kita harus masuk ke dalam sebuah gang sempit, tepat di samping Stadiun Persija yang masih menjadi sengketa, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Akhirnya di tempat ini kita berjumpa dengan Tony Q Rastafara, setelah sehari sebelumnya janji ketemu. Rencananya, malam itu dia akan tampil membawakan beberapa buah lagu, seperti : Lady’s White, NgayokJakarto, Salam Damai, Om Fankey, dll.

Waktu menunjukkan pukul 23.15 WIB, ketika kita melangkah masuk ke dalam café dan langsung menuju lantai tiga. Di tempat ini, setiap lantai, berisi café dengan berbagai jenis aliran musik. Untuk lantai satu misalnya, tempat ini adalah café dengan live musik biasa. Umumnya diiringi lagu-lagu top fourty. Sedangkan lantai dua, berisi café dengan ciri khasnya musik blues. Dan untuk penggila musik reggae, kita dapat menemukannya di lantai tiga. Sehingga jangan heran, jika di setiap lantai, selalu dipenuhi oleh komunitas dari penggila musik tertentu yang berbeda.

Anggapan, makin malam, sebuah café (tempat hiburan malam; red) makin ramai, ternyata terbukti benar di tempat ini. Awalnya, aku menduga kalo pengunjung di tempat ini tidak lebih dari 20 orang. Pasalnya, sejak buka tadi, pengunjung tak banyak. Hanya para kru-nya “Tony”, yang terlihat mondar-mandir di dalam café, menyetel peralatan musik sebelum digunakan. Tapi setelah “Tony” membawakan satu buah lagu, yang aku lupa judulnya. Secara perlahan namun pasti, satu per satu, pengunjung -yang aku gak tau datangnya dari mana- mulai masuk, memenuhi ruangan yang kini terlihat sempit.

Para penggemar reggae identik dengan rasta (ganja: red)? Rasanya, hal itu seperti gula dan semut. Dimana ada komunitas reggae dengan rambut gimbalnya, kemungkinan besar pasti ada ganja yang beredar. Hal itu juga yang terjadi di tempat ini. Belum lewat 10 menit berlalu, aroma penebar nikmat itu, sudah memenuhi hampir seluruh ruangan. Aroma yang bisa menimbulkan kecanduan bagi penikmatnya, begitu khas menyapa. Agak sulit untuk mendeskripsikan aroma tersebut, tapi aku ingat betul bagaimana aroma ini bersatu dengan udara disekitarnya. Sebab, sewaktu kuliah dulu, teman-temanku menggunakannya untuk memancing kreatifitas, atau untuk memecah kejenuhan akibat jurnal kuliah yang menyiksa. Tapi tak sedikit yang menggunakannya untuk mabuk-mabukan. Apalagi keberadaannya tak terlalu sulit ditemui.

Berhubung, aku harus mengabadikan sosok Tony yang gimbal saat manggung di café ke dalam camcorder Sony DSR PD-170. Mau gak mau, setiap suasana yang ditimbulkannya harus ikut terekam indah. Mulai dari kegiatan anggota band nge-cek sound, para pengunjung yang berdatangan, para bartender yang terlihat sibuk melayani tamu, wawancara dengan Tony Q Rastafara, sampai sang kupu-kupu malam yang ikut menghiasi beberapa sisi ruangan, menjadi rentetan cerita yang terjadi dengan sendirinya. Sebuah perpaduan antara audio dan video, yang akan menjadi saksi sebuah peristiwa. Saksi tentang catatan sekelumit sisi anak muda, yang anti kemapanan, dan masih memegang teguh idiologi kaum reggae.

Untuk beberapa sisi, aku sepakat dengan cara pandang kaum ini. Cara pandang, yang lahir dari pertentangan kelas, dan berujung pada pengelompokan/ pengkotak-kotakkan kelompok. Awalnya, genre musik yang timbul akibat pemberontakan ini, berisi paham idiologi anti kemapanan, anti birokrasi dan anti penguasaan individu atas individu. Mereka merasa, manusia lebih mementingkan dirinya sendiri dibanding orang lain, bahkan saudaranya sendiri. Hanya karena alasan ekonomi atau lebih tepatnya “uang”, setiap orang akhirnya akan bertindak sebagai kapitalis, yang menganggap semua itu diukur dengan uang. Atau bisa disederhanakan dengan “uang adalah segalanya”.

Tapi dari sisi kelakuan. Aku termasuk orang yang tidak sepakat dengan mereka. Sifat santai, pesimis dan seolah tak peduli, boleh jadi salah satu ciri kaum ini. “Buat apa bersusah payah melakukan sesuatu, kalo toh gak bisa merubah sesuatu.” Itu sebagian prinsip yang timbul diantara mereka. Akhirnya, prinsip ini menjadikan mereka semakin patah arang. Malas untuk berusaha lagi. Seperti pepatah “Bagai si Punguk yang merindukan Bulan”, kondisi itu yang kini terjadi.

Bagi sekelompok orang, seperti yang kutemui malam itu. Rasanya, rasta-lah yang membuat persaudaraan mereka menjadi begitu kuat. Berbeda dengan kemunculannya dulu, kini penggemar musik ini, terlihat lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Tak terlihat lagi ciri pertentangan kelas seperti dulu. Saat ini, sebagian dari mereka mulai terbius dengan sikap pesimistis terhadap sesuatu, yang akhirnya akan berujung pada sikap santai dan tak peduli. Sebuah ciri khas baru, kaum hedon metropolis.

Seiring berjalannya waktu, penikmat musik ini pun semakin bertambah. Kalangan penikmat yang dulunya hanya seniman jalanan, tak membuat pergeseran nilai rasa berhenti sampai disitu. Kini, para pengusaha, birokrat sampai eksekutif muda, terlihat mulai menyenangi musik ini. Abis, musiknya emang enak di dengar dengan pemaknaan syair-syair yang sangat dalam!

Dalam sebuah kesempatan, sebelum manggung malam itu, Tony –sang pelopor- menuturkan perihal kecintaannya terhadap musik ini. Meski belum semua orang bisa menerima, dia akan tetap eksis menekuni dan mencoba mensosialisasikannya ke masyarakat. “Sebab, seorang seniman adalah melakukan sesuatu sesuai kata hatinya!”, begitu ujarnya sambil meneguk bir yang telah tersaji.

Reggae, ditengah segudang aspek yang melingkupinya, telah memberi warna baru dalam belantika musik di Indonesia. Walau banyak kalangan yang meragukan kelanggengannya dibanding jenis musik lain. Hadirnya tokoh-tokoh musisi yang tetap eksis, seperti Toni Q Rastafara, turut memperkaya khazanah musik di tanah air. Aku hanya berharap, semoga setiap aliran musik yang ada, bisa berjalan bergandengan sama tinggi, tanpa memandang rendah yang lain.











Wednesday, July 26, 2006

"Semoga Muzijat Menyentuhmu!!"

@#%$!!!*&&****

Sudah dua hari ini bubu mengalami hal yang sama. Muntah-muntah dan mencret! Penyebab kejadiannya pun masih simpang-siur. Apakah karena salah makan, atau faktor kebersihan, yang membuatnya bisa begitu, kami selaku orang tua masih bingung karenanya.

Sejak kepulangannya dari Medan beberapa hari lalu, kondisinya semakin lesu. Awalnya, penyakit mencret-mencretnya tidak terlalu sering. Tapi dua hari kemudian, kondisinya semain parah. Panas tinggi pun mulai ikut-ikutan menyerang. Akibat itu, kondisinya semakin melemah. Tubuhnya pun semakin kurus. Bahkan keceriaan yang selama ini terpancar dari wajah mungilnya mulai semakin padam, seiring penyakit yang menggerogoti fisiknya.

Kini, tak kutemukan lagi tubuh kecilnya yang montok seperti dua bulan lalu. Saat itu aku masih ingat, ketika dia dan mamanya pergi ke Medan, tuk menjenguk neneknya yang sedang sakit parah. Sifatnya yang aktif plus wajahnya yang penuh canda, selalu menghiasi hari-hari kami kala itu. Aku juga masih ingat, kalo setiap malam, kami selalu ber kejar-kejaran di tempat tidur, yang akan berakhir dengan tawa cekikiannya. Sungguh aku tak bisa melupakan saat-saat itu.

Tapi dibalik sakit yang di deritanya, ada perbedaan besar yang kini terjadi. Bubu, yang sebulan lalu belum bisa mengucapkan kata-kata, sekarang mulai lancar melafalkan beberapa buah kata. Kurang lebih sepuluh kata baru bisa diucapkannya kini, mulai dari: mama, papa, bubu, bebek, nenek, mimi, enak, ini, lima dan ma’em. Tapi itu juga belum apa-apa dibanding responnya terhadap sesuatu. Kini, jika disuruh untuk mengambil sesuatu atau melengkapi sesuatu, dia pasti akan melakukannya dengan sigap.

Tak kalah dengan sikapnya tadi, bubu pun kini telah lancar berjalan. Kalo dulu, kami sangat khawatir melihat posisi berjalannya yang belum stabil. Kini Kami tak terlalu takut lagi, pasalnya keseimbanganya sudah mantap. Bahkan,untuk saat-saat tertentu, dia sudah bisa berlari. Melihat semua itu, aku hanya bisa bersyukur, semoga organ-organ tubuhnya berkembang sempurna. Mungkin ini juga yang dialami orangtuaku dulu, atau bahkan semua orang tua yang bangga melihat perkembangan anaknya.

Sampai ketika tulisan ini belum kelar, aku baru saja mendapat kabar, kalo anakku itu, kembali mengalami muntah dan mencret. Dengan suara tersedu-sedu, istriku mengatakan kalo kondisi bubu belum juga membaik, padahal baru saja dia diberi obat. Tapi, lagi-lagi semua itu harus dimuntahkan.

Rasanya, sudah begitu banyak doa yang kupanjatkan untuk kesembuhan anakku ini, tapi sampai kini hasilnya belum kelihatan. Tapi, aku masih belum menyerah! Walau sejuta doa, aku pasti melakukannya, sampai sebuah muzijat menyentuhnya. Sama seperti kuasa Bapa yang pernah menyentuhku, aku juga yakin bubu pun pasti mengalaminya. Sebab Dia yang diatas sana, tak pernah berubah dahulu, sekarang dan sampai selamanya.

Dari lubuk hati yang terdalam, aku mencintaimu, nak! Dengan segenap hatiku dan dengan segenap jiwa ragaku! Jangan pernah lupakan cinta kami. Kami pun selalu menunggu kesembuhanmu. Kami rindu canda tawamu. Kami rindu ceriamu menghiasi sisi-sisi kehidupan kami. Aku mengasihimu anakku.

Tuk anakku. Semoga muzijat itu nyata!




Tuesday, July 25, 2006

"Saat Ketika Aku Mulai Berpikir...."

******
Saat membaca ulasan seorang teman di sebuah millis interen kantor tentang militansi kawan-kawan di lapangan terhadap profesi yang telah mereka pilih sebagai jalan hidup. Sungguh, tak dapat dipandang sebelah mata. Sebuah usaha untuk menyuguhkan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang ada, telah tertanam begitu lekat di jiwa-jiwa jurnalis tv, seperti kami.

Kisah peliputan yang dilakukan oleh daeng Andi dari Makassar, menjadi salah satu contoh nyata, perihal tanggungjawab profesi yang dianutnya. Dari ulasan teman tersebut, diberitakan bagaimana sang jurnalis tadi harus melakukan peliputan ke daerah yang sangat jauh letaknya dengan sumberdaya yang sangat terbatas. Pekatnya malam, seakan tak menjadi kendala, untuk menjadi yang pertama tiba di lokasi kejadian. Sebab setiap pemirsa selalu ingin tahu kejadian dari lokasi sebenarnya. Sementara tenggang deadline yang ada semakin menyiksa, memaksa dia harus segera mengirim gambar dan naskah ke jakarta. Sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan dalam waktu yang nyaris bersamaan

Ibarat menyelam sambil minum air, itu yang sering kami lakukan. Tanpa pernah berpikir pamrih, kami harus bisa menyajikan sebuah peliputan yang komprehensif dan mendalam terhadap sebuah peristiwa. Tak pernah terbersit di benak kami, untuk mendapatkan sesuatu dari semua yang telah kami lakukan. Yang kami butuhkan hanya sebuah pengakuan. Pengakuan akan eksistensi profesi sebagai seorang jurnalis

Sudah menjadi pilihan, dimana kami harus mengorbankan banyak hal untuk profesi ini. Dalam sebuah diskusi ringan beberapa waktu lalu, kami mulai bercengkerama perihal semakin sedikitnya ruang kebebasan yang kami punya ketika memilih jalur ini.

Sewaktu pertama kali terjun di profesi ini, aku merasa semakin tak merdeka. Bukankah pekerjaan yang kita terima, harusnya menjadikan kita semakin merdeka? Ternyata yang kualami, tidak demikian. Aku yang dulunya punya kegemaran mendaki gunung, motret, nonton teater dan nongkrong, harus rela memendam keinginan itu dalam-dalam. Sebab semua telah tersita untuk sebuah kegiatan yang namannya "Liputan dan Liputan"

Dalam diskusi tersebut, akhirnya kita dapat menarik kesimpulan, bahwa di dunia pekerjaan ini, masih terjadi hukum "sebab-akibat". Sebuah hukum yang tidak mungkin berdiri sendiri tanpa yang lainnya. Atau dalam bahasa yang lebih keren, sering disebut dengan "konsekwensi". Ini akan terjadi saat kita memilih sesuatu. Sebuah konsekwensi dari pilihan yang telah kita buat. Tak beda ketika aku memilih jalur ini. Akhirnya, aku hanya bisa menghela nafas, semoga nantinya masih bisa menikmati semua kegemaranku itu.

Kembali kedunia pekerjaan. Rasanya setiap orang di tempatku bekerja melakukan tugas sesuai dengan jobdesknya. Para kameramen bertanggungjawab terhadap audio dan visual, para reporter bertanggungjawab terhadap naskah, para staff produksi bertanggungjawab terhadap on air dan staff RCD bertanggungjawab terhadap analisa share/rating dan peluang untuk bisa menumbangkan prgaram station lain. Tak ada seorangpun yang kelihatan membenci pekerjaannya. Sebab kalaupun ada, pasti dia takkan bertahan lebih dari satu semester di tempat ini

Cerita tentang idealisme rekan-rekan jurnalis tv di tempatku bekerja, bukan barang baru yang dapat ditawar-tawar. Setiap ada kejadian besar, baik konflik maupun bencana, semua kawan-kawan selalu berlomba untuk menjadi yang pertama bisa dilibatkan dalam peristiwa tersebut. "Nilai seorang jurnalis adalah ketika dia bisa menjadi yang pertama tiba di lokasi dan laporannya adalah yang pertama dari lokasi tersebut", begitu pendapat seorang jurnalis senior. Sehingga hampir setiap orang di tempatku bekerja selalu merindukan jika diutus ke tempat-tempat yang tingkat resikonya cukup besar.


Tapi, jika ditilik lebih dalam. Rasanya tidak adil jika perusahaan ini melalui para pemegang kebijakan selalu meminta hasil yang maksimum tanpa dibarengi kesejahteraan yang layak. Jika dibandingkan dengan rekan-rekan yang melakukan kegiatan sejenis di station lain, sepertinya kegiatan mereka lebih dihargai. Hal ini bisa dilihat dari "sallary"nya. Ini juga yang membuat banyak kawan berlomba-lomba keluar dari tempat ini, mencoba menggapai mimpinya di tempat lain.

Bicara gaji yang layak, aku jadi ingat kejadian dua bulan lalu. Sore itu, saat kita sibuk dengan komputer masing-masing, seorang teman mulai terlibat pembicaraan dengan seorang petinggi di kantor ini, perihal idealisme rekan-rekan di tempatku bekerja dengan minimnya sallary yang mereka terima. Dari perbincangan tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa sang atasan merasa sekarang ini yang diperlukan adalah kerja keras dan proses belajar. Sedangkan menurut rekanku, yang tak mau kusebutkan namanya, merasa sudah bukan jamannya lagi kita masih berkutat dalam proses belajar. Belajar baginya adalah masa dua tahun lalu, masa dimana dia yang dulunya tidak mengetahui dunia jurnalist broadcast, sekarang telah menguasainya. Sedangkan kini, adalah masanya mencari uang

Aku juga sangat sepakat dengan temanku itu. Bukan karena semata-mata dia temanku, tapi lebih karena pendapatnya yang sangat rasional. Rasanya setiap orang punya masa untuk belajar dan punya masa untuk mencari uang. Bukankah sang atasan tersebut mengalami hal yang sama? Kalo tidak, dia pasti punya gaji yang sama denganku kini. Tapi kenyataannya tidak demikian. Dia malah punya sallary yang jumlahnya bisa 4-5 kali lipat bedanya dengan gajiku

Semoga kantor ini bisa melihat lebih jernih permasalahan yang dialami para jurnalis-jurnalisnya. Daeng Andi dan kami, merupakan contoh kaum jurnalis (idealis dan merdeka: red), yang butuh lebih dari sekedar pengakuan. Kami butuh penghargaan. Penghargaan akan hasil karya jurnalistik kami. Penghargaan yang diaktualisasikan dalam gaji bulanan yang disebut "Sallary". Sebab jangan pernah berhitung tenaga dengan semua yang telah kami korbankan. Juga, jangan pernah tanya seberapa besar loyalitas kami untuk kantor ini. Rasanya kami telah berikan yang terbaik, untuk station milik kita bersama ini

Aku hanya bisa berdoa, semoga perusahaan ini mengalami keuntungan yang luar biasa tahun depan, sehingga bonus dan gaji bisa berubah drastis. Kalo nggak berubah, kebangetan.

Salam!

Sunday, July 23, 2006

"JoGYa dan Dia"

.......
Saat itu aku masih ingat, sewaktu meliput bencana Gempa besar yang melanda di Jogya kemarin. Jogya yang bagiku masih menjadi sebuah kota kharismatik, dengan keramahan penduduknya, telah memberi ruang tersendiri tentang keindahan dan keeksotisannya. Tiada yang menyangka, kalo kota yang masih berpegang teguh pada tradisi ini, harus hancur hanya dalam hitungan menit oleh pergeseran lempeng Bumi. Sebuah kejadian langka yang terjadi kembali setelah 300 tahun silam.
Tapi kejadian maut yang merenggut ribuan korban jiwa dan menghabiskan semua harta benda masyarakat Jogya, telah memberi sebuah pelajaran tentang pentingnya arti bersyukur. Aku hanya bisa berdoa, semoga mereka bisa diberi kekuatan dan ketabahan tuk menghadapi semua ini. Dan, jika semua ini dibalik. ketika bencana itu harus menimpaku. Sungguh aku tak tahu harus berbuat apa! Paling-paling aku akan bersembunyi di balik kepedihanku, dan sedikit berdoa, semoga Dia yang diatas sana memberi petunjuk, perihal apa yang harus kulakukan. Sebab aku, yang tak berbeda jauh dengan mereka, masih manusia biasa, yang tak lepas dari salah .
Kejadian jogya kemarin, memang mengundang empatiku. Tapi berita yang satu ini tak kalah hebohnya. Tepatnya pada pukul 17.45 wib, sebuah SMS masuk ke dalam ponselku. Saat itu kita baru kelar Live sore dari pinggir jalan di daerah Jetis, Bantul. Kata-kata detilnya aku udah lupa, yang pasti isinya kurang lebih "....bang xxx telah resign dari XXXXX dan sekarang pindah ke XXtv...." Sontak aku kaget membacanya. Sejurus kemudian berita heboh ini kuceritakan ke semua rekan-rakan yang sedang meliput Gempa Jogya, kala itu. Mereka pun, tak kalah terkejutnya denganku.
Sampai ketika acara makan malam kelar, kita masih sibuk mendiskusikan perihal kepergian orang kedua di divisi News, milik kita bersama ini. Beragam opini bermunculan. Ada yang bilang, kalo kepergiannya karena tawaran dari tv tetangga lebih gede. Trus ada yang bilang, dia pindah karena di tempatku gak ada rubrik olahraga. Hal ini juga sangat logis, karena "dia" memang punya basic di Olahraga. And, sebagian lagi mengatakan, "dia" pindah karena ada sedikit masalah dengan "XXXXX", tempatku bekerja. Dan anehnya, sebagian kecil lainnya, merasa tak peduli dengan kehadiran ataupun kepergiannya. "Abis, dia orangnya sangat subjektif!", begitu ujar seorang teman disela-sela acara makan malam selesai.
Sampai ketika aku balik dari Jogya, perihal tentang kepergiannya masih tetap simpang siur. Baru seminggu kemudian aku mulai mengerti duduk permasalahannya, ketika seorang teman menceritakan ikhwal kejadiannya. Aku rasa, aku dapat mempercayai sumber tadi, karena hampir semua teman yang kutanya, selalu memberikan penjelasan yang sama.
Dari semua penelusuran yang kulakukan, dapat dijelaskan bahwa, "dia" harus resign dari sini, karena telah terjadi penyelewengan yang menyebabkan kerugian perusahaan sejumlah uang, yang tak seorang pun tahu besarnya, kecuali Pak Is, sang direktur.
Dalam sebuah rapat besar yang di pimpin Pak Is diberitakan, bahwa penyelewangan itu telah tejadi cukup lama. Perihal omongan rincinya aku juga gak ingat, tapi kurang lebih seperti ini; "...dan jika diantara anda, ada yang ingin mengetahui tentang penyelewengan ini. Saya punya bukti-bukti otentik yang sangat kuat, yang dapat saya perlihatkan jika anda datang ke lantai 9, sebab tak mungkin semua ini saya beberkan disini!", seru Pak Is, disela-sela rapat tersebut.
Jujur, aku tak terlalu prihatin dengan bencana yang menimpa"nya"! Sebab setiap orang harus menanggung resiko akibat perbuatannya. Demikian pepatah orangtuaku, yang sampai hari ini masih kupegang teguh. Aku juga tak mau berlarut-larut dalam intrik-intrik yang mungkin terjadi di level mereka, yang lagi-lagi aku gak tahu.
Hanya saja, jika aku boleh berargumen. Rasanya gak ada yang tidak terkejut dengan kepergian"nya". "Dia" yang punya jasa cukup besar terhadap tempatku bekerja, telah menorehkan begitu banyak karya dalam sejarah perusahaan ini. Sebuah proses kerja keras yang setiap orang pasti mengakuinya. Tapi, lagi-lagi rasa tak pernah puas bisa membuat orang collaps hanya dalam hitungan hari. Dan, ini yang terjadi dengan"nya"
Dari analisa seorang teman, diceritakan bahwa tak ada orang yang ingin menggeser kedudukannya, baik dari atas maupun dari bawah. Dari atas maksudnya, dari sang atasan. Sepertinya "dia" punya hubungan sosial yang sangat baik dengan atasan. Sehingga tak mungkin jika sang atasan punya masalah pribadi dengannya. Bang Iwan, sang kadiv misalnya. "Dia" dengannya merupakan kawan seiring yang membesarkan divisi news tempatku bekerja. Susah sedih telah mereka lewati bersama, selama kurang lebih lima tahun ini. Sedangkan bagi sang direktur "Pak Is", "dia" telah menjadi sahabatnya sejak bergabung disini. "Rasanya tak mungkin aku mencelakainya, dan tak ada alasan aku membencinya, sebab dia sahabatku!", begitu ucapnya di suatu kesempatan.
Selanjutnya, jika ingin ditilik dari sisi bawahan. Rasanya tak ada bawahan yang punya friksi dengannya secara langsung. Walau agak subjektif, semua orang bisa mengerti wataknya. Sejauh tidak mengganggu jalannya roda perusahaan, semua merasa baik-baik saja. Kang Ule misalnya, seorang teman seiringnya yang harus rela menjadi bawahan, hanya karena obsesi sebuah jabatan, masih tetap bersimpati terhadapnya. Sampai ketika seorang teman menanyakan perihal hengkangnya "dia" dari XXXXX. Kang Ule masih bersikap legowo, dengan mengatakan, setiap orang berhak untuk bertahan ataupun pindah ke tempat lain, sesuai dengan kata hatinya. Walaupun yang terjadi tidak demikian, tapi Kang ule coba berlaku bijak dengan tidak memperkeruh keadaan.
Sampai detik ini, aku gak tahu berapa besaran kerugian yang dialami perusahaan. Yang pasti, ini sebuah pelajaran berarti buatku. Pelajaran tentang meniti hidup dengan kejujuran. Sebab sering kali kita silau, hanya karena uang. "Uang emang gak ada temannya", begitu ujar seorang kawan waktu kuliah dulu. Ternyata perkataan itu jadi kenyataan saat ini.
Aku hanya bisa berdoa, semoga "dia" diberi kekuatan dan ketabahan sama seperti para pengunggsi Jogya tadi. Semoga kita masih bisa berteman, tanpa dibatasi sekat-sekat jabatan.
Sang Kelana!

Tuesday, July 11, 2006

"MaNDaLaWaNgI - PanGRaNgO"

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
'terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19-7-1966
(Soe Hok Gie)

Saturday, July 08, 2006

"Sembilan Elemen Jurnalisme"

Hati nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.

Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.

Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.

”Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizens).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.

Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.

BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya byline atau kolumnis, juga tidak cukup.

Byline diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”

Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), tidak berat sebelah (fairness) serta akurat.Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:- Jangan menambah atau mengarang apa pun;- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;- Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;- Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?- Apa ada yang kurang?- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.

MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.

Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.

ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.

SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan narasi (nonfiksi). Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya warga juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.

SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.

”Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”

PANTAU Nomor 20 Edisi Desember 2001

Tuesday, July 04, 2006

"Anak Manusia Bernama Superman"

Sesuper-supernya Superman ternyata dia manusia juga. Enggak percaya?

Berapa umur Superman sekarang? Kalo dihitung dari pertama kali dia muncul pada tahun 1938, tahun ini sang jagoan genap berusia 68 tahun. Ulang tahunnya jatuh pada bulan Juni ini. Bersamaan dengan dirilisnya serial Action Comics nomor 1 oleh DC Comics, Amerika.

Di ulang tahunnya yang ke-68 ini, Superman mendapat sebuah hadiah manis, sebuah film baru garapan Warner Bros. bertajuk Superman Returns. Dirilis di seluruh dunia tanggal 28 Juni 2006 film ini menggambarkan sisi lain sang manusia super. Dibandingkan film-film lainnya, Superman versi Superman Returns terlihat lebih manusiawi.

Layaknya manusia biasa, putra terakhir Krypton ini punya rasa rindu, cemburu, bahkan "nakal". Jauh dari sosoknya yang biasa terlihat seperti dewa.

Sebenarnya, ini bukanlah pertama kalinya Superman digambarkan mendekati sosok manusia. Beberapa tahun belakangan DC Comics mulai berupaya memanusiakan Superman lewat deretan cerita dalam serial komiknya.

Dalam beberapa episode, Superman digambarkan sebagai sosok yang amat tergantung pada Louis Lane. Jadi, ia nekat mengambil keputusan untuk menikahi kekasihnya itu. Di episode lain Superman yang kabarnya enggak tembus peluru ternyata bisa juga tewas. Bahkan, di serial Identity Crisis, jagoan kita digambarkan sebagai orang yang penuh curiga. Deretan sifat itu mirip seperti kita, manusia biasa.

Superhero

Gambaran yang kita dapat tentang Superman saat ini ternyata berbeda jauh dengan sosok Superman di masa lampau. Dulu Superman digambarkan sebagai sosok yang amat sempurna. Enggak punya masalah dengan kehidupan duniawi, selain cinta.

Selebihnya, Superman adalah dewa. Sosok yang enggak terkalahkan. Pemuda Amerika pujaan yang selalu jadi panutan.

Biar lebih jelas, mari kita lihat rekam jejak (track record) sang Man of Steel. Sejak kemunculannya pada era Golden Age (1938-1957) Superman sudah memperlihatkan keperkasaannya sebagai jagoan tanpa tanding. Selain gape meringkus kejahatan dalam kehidupan sehari-hari, Superman ternyata juga seorang tentara yang andal.
Seorang diri dia mampu menghancurkan pasukan Hitler dan Stalin. Dia juga membantu pasukan Sekutu menghancurkan kekuatan Jepang dan membawa Amerika dan sekutunya memenangi Perang Dunia II.

Kepahlawanan Superman enggak berakhir sampai di situ. Di beberapa edisi Action Comics terbitan tahun 1947 Superman digambarkan punya kemampuan spektakuler. Kembali ke masa lalu dengan memutar balik rotasi Bumi.

Berbekal kemampuan ini Superman sukses berkenalan dengan tokoh-tokoh penting masa lalu. Mulai dari Shakespeare sang penyair, Abraham Lincoln dan George Washington (Presiden Amerika), hingga Julius Caesar dan Cleopatra.

Saat memasuki era Silver Age (1957-1969), kehebatan Superman bertambah. Selain punya kekuatan super luar biasa, Superman memiliki daya tarik tambahan untuk memikat cewek.
Enggak seperti kisah-kisah awal yang selalu difokuskan pada hubungan Clark Kent, Superman, dan Louis Lane (sesekali diseling dengan Lana Lang), pada era ini Superman lebih rajin menebar benih cinta. Tercatat ada beberapa cewek yang sempat dipacarinya. Mulai dari Luma Lynai—superhero cewek dari dimensi lain, Lori Lemaris—sang putri duyung, sampai Lyra Lerrol—bintang film Krypton yang dikenalnya saat melakukan perjalanan menembus waktu ke planet asal.

Pada masa ini Superman pun menjadi semakin kuat. Pasalnya, makin banyak makhluk super yang bersekutu dengannya. Selain Krypto, anjing super yang muncul di era Golden Age, pada masa ini muncul Comet, si kuda super, Superboy, dan Powergirl. Belakangan muncul Supergirl, sepupu Superman yang terdampar pula di planet Bumi.

Popularitas Superman pada masa ini semakin bertambah berkat kesuksesan Superman: The Movie di layar lebar. Dibintangi Christopher Reeve, film ini dianggap mampu melahirkan sosok Superman yang mendekati komiknya. Enggak heran, film ini dianggap sebagai film Superman terbaik sepanjang masa. Yang membuat penonton seluruh dunia tertarik menyimak kisah-kisah komiknya.

Mendekati era Bronze Age (1970-1980), Superman semakin menjadi dewa. Kekuatannya kian enggak tertandingi. Pokoknya, jauh deh dibanding kemampuan kita-kita, manusia biasa. Dan, sosok inilah yang dipertahankan hingga awal ’90-an.

Dimatikan

Entah kenapa, pada era ’90-an penjualan komik Superman anjlok. Seminggunya, komik Superman cuma terjual 100.000 eksemplar. Angka ini jauh menurun dibandingkan angka penjualannya di tahun 1939 yang mencapai 1,25 juta eksemplar. Dibandingkan komik X-Men yang terjual delapan juta kopi per minggu pada saat yang sama, prestasi yang diraih Superman jelas hancur-hancuran.

Hal ini membuat petinggi DC memutar otak. Pasalnya, buat perusahaan komik raksasa itu, Superman adalah ikon. Sejak kelahiran Superman bermunculanlah berbagai superhero lain yang akhirnya mendapat tempat di hati pembaca komik. Uniknya, hampir semua terinspirasi sang putra Krypton.

Berbagai langkah diambil. Semua penulis dan pelukis komik kenamaan dipanggil. Bahkan, mereka enggak ragu-ragu membajak Mike Carlin—penulis kenamaan dari Marvel Comics, yang notabene saingan mereka, untuk ikut memikirkan kelangsungan hidup si manusia baja.

Mau tau, apa kesimpulan yang didapat?

Superman dianggap terlalu hebat. Kekuatan super yang dimilikinya membuat sang superhero kehilangan sisi manusiawi. Sisi yang seharusnya mendekatkan dia dengan pembaca.
"Superman is kind of old fashioned. Enggak kayak karakter hero lain yang muncul (saat itu), dia enggak pernah langsung berurusan dengan kematian. Itu yang menjauhkannya dari para pembaca….," ujar Mike Carlin, eks penulis kenamaan Marvel yang dibajak DC untuk menyelamatkan Superman.

Menurut Carlin dan timnya, diperlukan sebuah gebrakan besar untuk membuat Superman terlihat manusiawi. Satu-satunya jalan adalah "membunuh" Superman.
Gagasan ini jelas membuat petinggi DC terpukul. Namun, apa boleh buat. Risiko besar ini harus dicoba sebelum Superman mati beneran karena komiknya enggak laku.

Bareng timnya, Mike akhirnya merencanakan sebuah skenario besar untuk memanusiakan Superman. Si manusia baja dihadapkan dengan sebuah pertarungan mahadahsyat. Musuhnya adalah Doomsday, alien yang kekuatannya jauh melebihi Superman.

Pertarungannya melawan Doomsday berakhir seri. Keduanya tewas terbunuh. Superhero favorit pembaca komik sedunia harus menemui ajalnya.

Ternyata, peristiwa ini mampu menggugah pembaca komik di seluruh dunia. Gara-gara kematiannya komik Superman laris manis. Angka penjualannya bertahan hingga DC merilis komik-komik lanjutan dengan cerita yang enggak kalah seru. Cerita tentang kebangkitan Superman dan perjuangannya mendapatkan kembali kekuatan untuk kembali berperang membela keadilan.

Ritme ini terus dipertahankan sampai sekarang. Superman yang dulunya superhero sejati, bertransformasi menjadi manusia super yang manusiawi. Yang perlu berjuang untuk mencapai tujuan. Sama seperti kita-kita.

Superman kembali ke khitahnya sebagai anak manusia. Khitah yang sebenarnya sudah dipikirkan jauh-jauh hari oleh dua kreatornya, Jerry Siegel dan Joe Schuster, pada tahun 1938. Saat keduanya memutuskan untuk "menitipkan" putra Jor-El ini kepada pasangan petani Jonathan dan Martha Kent untuk dididik menjadi anak manusia. Bukan menjadi dewa seperti yang pernah diraihnya beberapa tahun silam. (Tim Muda)

Sunday, July 02, 2006

Mendaki Gunung, Gaya Hidup Seorang Fotografer

Mendaki Gunung, Gaya Hidup Seorang Fotografer

Mei 1997. "SAYA punya banyak teman di Indonesia," kata pria berperawakan langsing kelahiran Invermere, British Columbia 18 Oktober 1952 ini. Sekilas tampangnya tidak mengesankan seorang pendaki yang memiliki reputasi. Wajahnya bersih, tidak ditumbuhi berewok dan janggut seperti kebanyakan pendaki terkenal. Dia terkesan agak pendiam namun ternyata jauh dari kesan angkuh. Padahal berkat dedikasinya, jarang ada pendaki mancanegara yang asing dengan namanya. Paling tidak dalam dua dekade terakhir.

Saya bertemu Patrick Alan Morrow atau biasa disapa 'Pat' yang ditemani istrinya Baiba, di kediaman pasangan suami-istri Adi Seno-Diah Bisono di Kebon Jeruk.
Kecintaan pada gunung dan alam terbuka membuat Patrick Alan Morrow, lelaki Kanada ini, tidak bimbang memilih udara petualangan sebagai jalan hidup. Sosoknya sedikit unik bila melihat kenyataan jarang ada orang mendapat rejeki di atas rata-rata dari kegiatan 'bertetangga dengan maut' ini. Biasanya dia memotret untuk Equinox, majalah sains dan alam terbuka terbitan Kanada. Tapi tulisan dan foto-foto karyanya juga sering muncul menghiasi beberapa majalah luar negri. Seperti Action Asia (Hongkong), Yama-kei (Jepang), Geo (Australia), Climbing, Outside (AS), Montana dan lain-lain.
Kunjungan ke Indonesia Maret-April lalu, bagi lelaki yang merasa terlambat baru mulai menggauli dunia pendakian di usia 16 ini, seingatnya adalah yang ketiga kali. Agak beda dengan dua yang terdahulu, kali ini dia tidak berniat mendaki. Setelah beberapa hari di Jakarta, Pat bersama Baiba kemudian menuju Ujungpandang dan Manado. Di dua kota itu mereka membuat rekaman video mengenai Canadian 8-Project atau proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat yang dananya disokong pemerintah Kanada, diantaranya proyek air minum.
"Kami waktu itu cuma sampai Nabire," kata Pat mengenai kedatangannya yang pertama ke Indonesia. Ketika itu di tahun 1984, Pat dan Baiba berniat mendaki puncak Carstensz Pyramid di Pegunungan Sudirman, Irian Jaya. Tapi apa mau dikata. Gara-gara ijin mendaki tidak berhasil diperoleh, saat itu langkah mereka cuma sampai ibukota Kabupaten Paniai itu.
"Mengurus ijin pendakian sebuah gunung sering bukan perkara gampang. Untuk mendaki Everest misalnya. Menunggu ijin keluar bisa bertahun-tahun. Lagipula banyak gunung dianggap penting karena terletak dekat perbatasan dua negara. Contohnya Everest di perbatasan Tibet-Nepal atau Aconcagua di perbatasan Chile-Argentina. Perijinan, juga biaya, memang biasa jadi halangan. Umumnya pendaki berpengalaman sudah paham bahwa salah satu bagian tersulit dari pendakian gunung adalah bagaimana caranya mencapai kaki gunung itu," tutur Pat panjang lebar.
Gagal di tahun 1984, alhasil baru dua tahun kemudian dia berhasil melunasi hutang mendaki Carstensz. Ditemani Adi Seno, dia menginjak puncak bersalju abadi di dekat garis ekuator itu.
Dari Canadian RockiesPat Morrow menjalani masa kanak-kanak di British Columbia, Kanada. Sebuah daerah bergunung-gunung yang dulunya homeland suku Indian Kootenay. Di waktu luang, ayahnya sering mengajak Pat mancing dan berburu. Rumah mereka berada di pegunungan sehingga tiap kali keluar rumah mereka harus hiking menyusuri jalan setapak. "Di masa-masa itu saya mulai belajar bagaimana jalan di gunung, tapi belum untuk mendaki," katanya. Rasa ingin tahunya yang besar sebagai seorang anak terpuaskan dengan berada di luar rumah. Hal itu membuatnya gembira. Udara pegunungan yang bersih, bau tanah, harum bunga-bunga liar di tepi hutan serta kemilau keperakan dari lidah salju di lereng dan puncak gunung, seakan-akan memberi inspirasi baginya.
Dari pengalaman menemani sang ayah berburu, Pat mulai tergoda mendaki gunung-gunung bersalju di Canadian Rockies, sebutan untuk Pegunungan Rocky di wilayah Kanada, yang sebelum itu cuma bisa dipandanginya dari jauh. Mulailah dia naik ke sebuah gunung setinggi 3000-an meter. Dan Pat mendapat pelajaran pertamanya. "Pengalaman pertama kali mendaki ini mulai menumbuhkan keyakinan dalam diri saya tentang apa yang mampu saya lakukan dan apa yang tidak," katanya.
Berhasil sampai ke puncak, waktu turun dia jadi ketagihan. Kemudian Pat mendaki gunung itu berkali-kali jika ada kesempatan. Jiwa mudanya seolah mengacuhkan bahaya yang mungkin timbul. "Saya waktu itu mendaki di sembarang musim. Tidak peduli lagi musim panas atau musim dingin. Pokoknya mendaki dan mendaki. Padahal di musim dingin suhu di atas gunung itu biasanya cukup ekstrim, bisa sampai - 200 Celcius. Meski tidak punya pengetahuan memadai bagaimana mendaki dengan aman, saya berusaha survive. Malah saya tidak bawa sleeping bag. Untung waktu itu saya tidak mati," kisahnya sambil tertawa mengenang masa remajanya.
Gara-gara kebandelannya, Pat pernah kena frostbite pada ibu jari kaki kanan. Frostbite atau radang beku akibat sengatan udara dingin biasanya menyerang ujung-ujung jari yang tidak terlindung dengan baik. Kalau sampai parah dan sel-sel dagingnya mati, sering tak ada pilihan lain daripada dibiarkan membusuk. Harus diamputasi. Untung lagi Pat tidak mengalami ini meski bekas kehitaman di jempol kaki kanannya itu masih ada sampai sekarang. "Sampai sekarang masih sensitif pada udara dingin," katanya.
Mendaki gunung secara serius, artinya dipersiapkan dengan baik karena mengerti resiko, mulai dilakoni Pat di Bugaboo Spire, gunung di Purcell Mountain Range, British Columbia. Itu di tahun 1969. Untuk mencapai puncak gunung mirip jari-jari mengacung ke langit itu tidak bisa cuma dengan jalan kaki. Para pendaki mesti membekali diri dengan tehnik rock climbing agar bisa melewati medan campuran salju dan batu granit yang terjal. Karena itu Pat juga menguasai rock climbing dengan baik sekali.
Di tahun 1978 kegetolan trekking, mendaki sambil motret di seputar Canadian Rockies jadi modal bagi Pat untuk menulis buku. Bersama Anne Edwards dan Arthur Twomey, dia menyusun panduan wisata trekking, berkemah dan mendaki ke Purcell Mountain Range serta taman-taman nasional sepanjang British Columbia-Alberta. Buku setebal 103 halaman yang dilengkapi foto-foto menarik itu diterbitkan Douglas & McIntyre Publishers di Vancouver. Judulnya: Exploring the Purcell Wilderness. Kemampuan menulis buku ini kemudian dikembangkan Pat untuk menulis kisah-kisah petualangannya. Buku-bukunya yang lain diantaranya The Yukon, Adventures in Photography, Himalayan Passages dan Beyond Everest.
Buku, foto dan banyak kisah perjalanan Pat yang dimuat berbagai majalah memberi bukti bahwa dia bukan sekedar petualang yang nyambi jadi penulis. Pat memang profesional di kedua bidang itu. Dasar fotografi diperolehnya setelah selama dua tahun belajar pada sebuah sekolah fotografi di Banff, Alberta. Modal lain, diploma jurnalistik yang diraihnya di Calgary. Tapi kemahiran memotret dan menulis menurutnya justru terasah tajam dengan seringnya dia jalan-jalan sembari praktek langsung. Pat, agaknya tipe orang yang selalu belajar dari pengalaman.
Dia lalu memberi contoh seorang temannya di Kanada, fotografer dengan spesialisasi pada mountain landscape. Sudah lebih dari 20 judul bukunya diterbitkan, padahal orang itu tidak pernah sekolah fotografi. "Tergantung tiap individu. Jika kamu pandai, kamu bisa belajar apa saja diluar sekolah," katanya serius. "Yang dinilai kan hasil kerjanya. Penerbit buku kawan saya itu tidak peduli apa dia lulusan sekolah fotografi atau tidak. Kualitas foto-fotonya bagus kok. Lebih dari 20 buku, bayangkan!," ujarnya.
Pat mulai menarik perhatian seorang editor senior yang kelak menjadi pengasuh majalah Equinox antara tahun 1976-1977. Waktu itu pemuda Pat Morrow membeli tiket bus, mengisi sebuah koper usang dengan foto-foto karyanya lalu berkeliling ke Montreal, Toronto dan Ottawa. Tujuannya: mencoba merebut perhatian pengasuh beberapa majalah dengan esai foto tentang air terjun yang membeku di Pegunungan Rocky, pemandangan pantai barat Vancouver Islands dan alam liar Yukon di utara Kanada.
Seperti layaknya petualang muda, Pat pergi kesana-kemari dengan akomodasi hanya sebuah sleeping bag, lalu bercita-cita membuat dunia petualangannya bisa ikut dinikmati banyak orang. "Life and photography are a continouos chain of happy coincidences for him," komentar para editor setelah mengamati foto-foto karya Pat. Kontan beberapa pengasuh majalah pun tertarik membeli artikelnya tadi.
Di masa-masa 'perjuangan' itu, Pat tinggal di Kimberley, masih di British Columbia, bersama ayahnya yang duda. Dia mengaku sering tertawa sendiri bila ingat kamarnya ketika itu justru lebih sempit dibanding gudang tempat menyimpan kamera-kamera, alat-alat mendaki dan perlengkapan ski. Untung kamar itu lebih sering dibiarkan kosong melompong karena penghuninya bertualang dari satu tempat ke tempat lain. Dari jajaran pegunungan di British Columbia sampai gurun dan ngarai di barat daya Amerika.
Di sela-sela perjalanannya, kadang-kadang Pat terlihat nongkrong di hotel King Edward, Banff. Di situ dia berbagi cerita dengan teman-teman pendaki dan pemain ski yang membiayai perjalanan-perjalanan mereka dari upah bekerja sebagai waiters atau pekerja konstruksi. Dengan prinsip sama lain cara, Pat melakukannya dengan honor sebagai fotografer-penulis. Sampai-sampai di tahun 1982 oleh J.A Kraulis dan Robert Fulford yang menyusun buku fotografi Canada: A Landscape Portrait dia disebut 'salah satu fotografer majalah tersibuk di Kanada'. Akhirnya, berkat kerja keras dan ketekunan, saat majalah Equinox diluncurkan tahun 1982, Pat jadi salah seorang yang diajak bergabung sebagai staff lapangan.
Mendaki Tujuh Puncak Benua Kalau dihitung-hitung sudah hampir 30 tahun Pat Morrow menekuni kegiatan daki-mendaki gunung. Namun ternyata sulit baginya menentukan mana pendakian paling berkesan. "Agak susah menjawabnya karena kalau dilihat dari segi tantangannya, setiap pendakian punya tantangan tersendiri. Cerita sedih atau senang hampir selalu menyertai tiap pendakian. Jadi saya tidak punya alasan menganggap salah satunya sebagai yang paling memorable," ucapnya.
Tidak ada gunung yang paling mudah didaki, begitu prinsipnya. Meskipun dari segi teknis sebuah gunung dianggap gampang, menurutnya dari segi lain pasti ada bagian sulitnya. Soalnya gunung merupakan sensitive area yang segalanya beda dengan di kota. Dikisahkannya, suatu kali dia dan Baiba terperangkap badai salju di sebuah gunung. Selama beberapa hari mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mendekam dalam tenda - menanti cuaca cerah. 'Siksaan' itu ditambah dengan perjuangan lain: hampir setiap jam mereka harus menggali timbunan salju di depan pintu tenda mereka. Alasannya…….sekedar supaya mendapat udara untuk bernapas!
Setelah kenyang mendaki puncak-puncak Canadian Rockies, tahun 1977 Pat Morrow mulai menatap gunung di luar Kanada. Dia ketika itu tertarik dengan Gunung McKinley (6194 m) di Alaska, Amerika Utara. Terletak 390 km dari lingkaran kutub utara, gunung yang oleh orang Indian disebut Denali (yang tertinggi) sama sekali bukan gunung yang ramah. Bahkan pernah disebut-sebut gunung terdingin di dunia. Pasalnya semakin jauh sebuah gunung dari katulistiwa, semakin terasa pula efek ketinggian pada suhu udara. Pada ketinggian yang sama, gunung yang jauh dari katulistiwa lebih dingin dari yang dekat garis khayal itu.
Sebagai catatan, pada ketinggian 5486 meter atau kurang 600-an meter lagi dari puncak McKinley, suhu terhangat adalah 28 derajat Celcius di bawah nol. Lebih dari cukup untuk membekukan tubuh dalam hitungan jam saja. Tapi Pat terlanjur menganggap kesempatan ini sebagai berkah. "Sebuah kesempatan untuk coba mendaki gunung di high altitude dan kebetulan pas dengan isi kantong saya. Sebenarnya saya tidak berharap banyak, tapi sepertinya menarik dilakukan. So, I did it," katanya.
Pat yang ketika itu baru berusia 25 tahun menguras semua tabungannya yang sekitar 500 dolar lalu duduk di belakang kemudi sebuah VW Beetle karatan. Selama empat hari yang melelahkan, dia melintasi Alaska Highway sepanjang 3.862 km sebelum sampai ke Talkeetna, Alaska. Di kota inilah sebagian besar ekspedisi pendakian McKinley bermula.
Pendakian itu yang kemudian dikenangnya sebagai yang terberat. "Well, soalnya itu pertama kali saya beradaptasi dengan ketinggian ekstrim dan pengaruhnya buruk sekali buat tubuh saya. Kami merintis sebuah jalur baru yang juga sulit lewat South West Flank. Akibat terserang penyakit ketinggian, saya merasa sangat kedinginan, pusing, mual-mual, kehilangan nafsu makan dan susah tidur." Tapi toh kemudian dia berhasil.
Tengah malam pada tanggal 27 Mei 1977, dengan susah payah Pat dan seorang teman berhasil menginjak puncak McKinley. Meskipun saat itu suhu 34 derajat Celcius di bawah nol, tapi saking kelelahan mereka berleha-leha hampir dua jam di titik tertinggi Amerika Utara itu. Pfuff!
Empat tahun kemudian, tahun 1981, saat mendaki 'gunung setan' Aconcagua (6959 m) di perbatasan Chile-Argentina, Pat ngobrol dengan rekan setenda. Topiknya: mereka sadar sedang berusaha menjejakkan kaki di puncak tertinggi Amerika Selatan. Lantaran iseng, saat itu mereka juga berdiskusi. Gunung apa sih yang tertinggi di benua-benua lain?
Tahun berikutnya lagi setelah mempersiapkan diri di Gunung Muztagh Ata (7546 m) di Pamir, India, Pat yang termasuk anggota ekspedisi Kanada berhadapan dengan gunung tertinggi di dunia: Mount Everest. Mencapai atap dunia itu memang tak mudah. Dalam pendakian yang mengambil rute South Col di sisi Nepal itu (rute tim Kopassus kita mencapai puncak pertama kali April ini), seorang anggota tim mereka tertimpa longsoran es sekaligus mendapat tiket ke alam baka. "Ekspedisi terhenti hampir dua minggu akibat musibah itu. Lalu sebagian anggota tim memutuskan pulang ke Kanada. Saat itu secara psikologis betul-betul sulit membuat keputusan, apakah mau terus atau ikut pulang saja ke Kanada. Akhirnya delapan pendaki termasuk saya memutuskan untuk berusaha menyelesaikan pendakian. Bersama kami, ada dua belas sherpa yang siap membantu." Ekspedisi ini kemudian menjadikan Pat sebagai orang tertinggi di dunia pada hari dia mencapai puncak.
Dalam perjalanan pulang dari kemah induk Everest, entah kenapa Pat merasa risau. Dia jadi teringat diskusi dengan temannya di Aconcagua setahun sebelumnya. "Bila anda baru saja mendaki gunung tertinggi di dunia, apa yang ada di belakang anda seolah jadi tidak penting dan bisa jadi anda kehilangan fokus ke depan. Saya telah berhasil mendaki Everest. Ya. Tapi dengan profesi sebagai fotografer, saya sadar tidak boleh berhenti di situ. Saya tahu bahwa saya butuh sebuah rencana. Dan bla, bla, bla, waktu itu jadilah Seven Summits sebagai ide ke masa depan.
"Dasar ide ini, kalau menurut teori lempeng benua, di dunia ada tujuh daratan yang bisa disebut benua. Kebetulan waktu itu Pat belum pernah mendengar ada pendaki yang telah menyelesaikan pendakian ke puncak tertinggi di tujuh lempeng benua itu. Masing-masing Mount Everest (Asia), Elbrus (Eropa), Kilimanjaro (Afrika), McKinley (Amerika Utara), Aconcagua (Amerika Selatan), Vinson Massif (Antartika) dan Kosciusko (Australia).
Buat Pat sebenarnya agak aneh juga kalau belum ada pendaki yang memikirkan ide seperti ini setelah mendaki Everest. Padahal gunung yang oleh orang Tibet disebut Chomolungma dan oleh orang Nepal dinamakan Sagarmatha itu sudah didaki pertama kali oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay tahun 1953. "Saya agak heran," akunya.
Di tahun 1983 Pat kasak-kusuk mencari penugasan majalah untuk pergi ke Eropa, Afrika dan Australia. Dengan cara itu dia bisa sekalian mendaki tiga puncak lagi: Elbrus (5633 m) di Pegunungan Kaukasus, Georgia (ketika itu masih bagian dari Uni Soviet), Kilimanjaro (5895 m) di Tanzania dan Kosciusko (2230 m) di Australia. Berarti sampai tahun itu, Pat sudah mendaki enam dari tujuh puncak benua.
Tetapi kemudian usahanya ada yang menyejajari. Bahkan dalam persaingan yang kemudian disebut media massa dengan 'seven summits race' itu Pat kalah langkah. 'Pesaingnya': Dick Bass, seorang pengusaha milyuner asal Texas yang ketularan virus mendaki. Ketika itu Pat sedang berusaha mendaki Vinson Massif (4897 m) di 'benua putih' Antartika.
Tanggal 17 November 1984 pesawat tri-turbo DC-3 milik seorang kontraktor Califonia lepas landas dari pangkalan Punta Arenas di selatan Chili. Lima jam kemudian pesawat yang membawa tim pendaki Vinson Massif itu, termasuk Pat Morrow, mendarat di 'runway' gletser es di Esperanza, Antartika.
Pat Morrow yang membutuhkan Vinson Massif sebagai puncak terakhirnya sudah berusaha keras mewujudkan ekspedisi itu. Masalah yang harus dihadapi sebelum mendaki gunung yang letaknya 966 km dari kutub selatan itu meliputi: transportasi, logistik, dana dan birokrasi. Selain itu ekspedisi pun sempat mendapat rintangan dari organisasi-organisasi ilmu pengetahuan internasional yang sering melakukan penelitian ilmiah di sana.
Selama setahun Pat berkirim surat ke pejabat birokrasi di lima negara untuk mencari dukungan. Selain itu dia juga mengontak praktisi cinematografi, maskapai penerbangan, calon donatur potensial, produsen alat - alat ski dan mendaki - serta siapa saja yang tertarik. Pokoknya, dia menghubungi semua kontaknya demi mendaki Vinson. Pat memang berhasil, tapi tidak saat pelaksanaan ekspedisi.
Ketika pesawat mereka singgah sebentar di Esperanza, pangkalan terdekat di ujung Antartika sebelum melanjutkan penerbangan mendekati Vinson, timbul masalah. Pesawat itu mengalami kerusakan sehingga awaknya harus menerbangkannya ke Argentina untuk perbaikan. Tapi sial. Mungkin karena waktu itu masih hangat-hangatnya perang Malvinas, di sana para awak justru mendapat masalah lagi dengan pejabat militer setempat. Ditambah masalah-masalah lain, akhirnya ketika pesawat naas itu kembali ke Esperanza, tugasnya hanya membawa mereka balik ke Punta Arenas. Susah payah Pat menahan rasa dongkol karena hasil ini jauh dari harapan. Ekspedisi gagal.
Kembali ke Kanada, beberapa bulan kemudian Pat mendapat berita bahwa Dick Bass yang ikut empat ekspedisi Everest dalam dua tahun, akhirnya berhasil mencapai puncak pada tanggal 30 April 1985. Orang yang sebenarnya tidak dianggap saingan oleh Pat Morrow itu sukses bersama ekspedisi Norwegia yang dipimpin raja kapal Arne Naess. Dia ikut sebagai paying member (ikut dalam tim dengan membayar) dalam usia 55 tahun, usia tertua bagi pendaki yang berhasil di Everest sampai saat itu. Bagi Dick Bass, Everest adalah puncak seven summits yang terakhir setelah sebelumnya dia sudah mendaki keenam puncak lain. Berakhirkah seven summits race? Nanti dulu.
Semangat Pat Morrow untuk mendaki Vinson tak lantas meleleh. Dengan komposisi tim agak berbeda dari ekspedisi pertama, ekspedisi kedua dilancarkan dan berjalan mulus di bulan November 1985. Kali ini mereka naik pesawat twin otter.
Bulan November dipilih karena saat itu di Antartika sedang musim panas dengan matahari bersinar non-stop selama 24 jam. Lalu saat pendakian mereka menggunakan sistem 'ngintip' menembus udara dingin dan tiupan angin berkecepatan 322 km per jam yang di kalangan meteorologis disebut angin katabatic. Mereka berjalan saat cuaca 'hangat' (yang dianggap hangat itu suhu udara konon minus 15 derajat Celcius) dan langsung berhenti saat matahari bersembunyi dari balik awan atau punggung gunung. Akhirnya, bendera PBB yang dibawa pendaki empat negara berhasil dikibarkan di puncak tertinggi Antartika.
"Saya memandang ke batas horizon dan merasa kosong. Saya telah meraih keinginan saya bersama teman-teman yang membantu setiap langkah ekspedisi itu. Campur aduk perasaan antara puas dan kecewa jadi sukar diungkapkan," tutur Pat mengenai perasaannya saat itu. Dia mencapai puncak bersama tujuh pendaki lain, masing-masing: Stephen Fossett - ahli ilmu olahraga dari Chicago, Alejo Contreras - salah satu pendaki terbaik di Chili saat itu yang juga pengamat cuaca, Martyn Williams - guide pendakian gunung dan arung jeram dari Yukon, Patrick Caffrey, Giles Kershaw - pilot Inggris dengan jam terbang lebih dari 5000 jam di Antartika, Michael Dunn - pria Nevada yang sering memenej tour pendakian dan Roger Mitchell - yang punya pengetahuan segudang tentang ilmu fisik dalam kegiatan petualangan.
Belum Selesai Beberapa waktu setelah itu, kalangan pendaki sadar bahwa perdebatan seven summits belum selesai. Setidaknya masih ada babak kedua.
Selesai mendaki Vinson, Pat Morrow beranggapan masih ada yang terlewatkan dari rangkaian pendakian itu. Menggugat Dick Bass yang menganggap Kosciusko sebagai puncak tertinggi di benua Australia, Pat berpikir bahwa puncak Carstensz Pyramid (4884 m) di Irian yang lebih tinggi dari Kosciusko mestinya masuk hitungan. Alasannya, Pulau Irian juga masuk lempeng benua yang sama dengan Australia. Namanya: Australasia. Karena itu setelah mendaki Carstensz tahun 1986, baru Pat merasa bahwa seven summits rampung.
Di tahun yang sama, rangkaian pendakian itu disusunnya ke dalam buku Beyond Everest. Tanpa disangka-sangka, buku itu kemudian memunculkan 'booming' sekaligus trend baru dalam dunia pendakian gunung. Saat itu Pat dikatakan telah memenangkan persetujuan kalangan pendaki. Para pendaki jadi demam seven summits dan sebagian besar mengikuti versi Pat Morrow, yaitu mendaki Carstensz sebagai salah satu puncak dan bukannya Kosciusko, versi Dick Bass. 'Wabah' ini kemudian juga ikut menjangkiti para pengusaha, dokter, pengacara dan kaum profesional lainnya. Begitu pula dengan trekking agency atau tour operator pendakian yang ikut menjual seven summits sebagai paket komoditi. Di kalangan pendaki sendiri nama-nama terkenal yang ikut mendaki seven summits setelah Pat antara lain Reinhold Messner, Oswald Oels, Christine Janin, Junko Tabey (wanita pertama di puncak Everest), Ronald Naar, Doug Scott dan banyak lagi.
Merasa belum cukup, masih di tahun 1986 Pat mendaki Elbrus untuk kedua kali. Kemudian tahun 1991 mendaki lagi Carstensz dan Everest. Rute yang dipilih untuk Everest kali ini adalah North Col dari sisi Tibet. Namun Pat harus puas hanya sampai ketinggian 7500 meter. Lalu entah apa yang dicari, setahun kemudian dia mengulangi pendakian Vinson Massif dan tahun berikutnya, 1983, giliran McKinley.
Seolah menegaskan kembali alasannya mendaki puncak tujuh lempeng benua, Pat mengatakan, "Sebenarnya itu cuma karena saya ingin naik gunung, memotret dan melihat tempat-tempat lain di dunia. Sederhana saja. Bukan untuk pamer apalagi gagah-gagahan. Buat saya, proyek itu cara bagus melihat dunia. Kalau kita datang ke satu benua tidak cuma untuk mendaki, kita akan melihat lebih banyak. Misalnya travelling sambil bergaul dengan penduduk setempat." Lalu dengan senyum diteruskannya lagi, "Jika anda punya mimpi, anda harus berjuang mewujudkannya. Katakanlah anda ingin mendaki tujuh puncak gunung berapi di Pulau Jawa atau puncak tertinggi tiap pulau di Indonesia, atau apapun. Lakukanlah! Jadikan itu kebanggaan pribadi anda, untuk anda sendiri. Tapi jangan jadi alasan membuat diri terkenal.
"Way of LifeWalter Bonatti percaya bahwa alam dan gunung merupakan sekolah terbaik bagi manusia. Pat Morrow, mau tak mau, pernah kerasukan pemikiran semacam itu. Dia juga mengaku punya filosofi sendiri, untuk apa capek-capek mendaki sebuah gunung lalu turun lagi. Setiap pendaki punya alasan sendiri-sendiri. George F. Mallory yang hilang di Everest tahun 1924 ketika ditanya kenapa mendaki merasa cukup dengan bilang, "Because it's there!" Tapi seorang pendaki hebat macam Doug Scott bilang waktu itu Mallory kebelet ingin ke WC. Supaya cepat dia bilang demikian.
Jadi pasti ada alasannya. Dan seperti taburan bintang di langit, begitu gambaran betapa sering filosofi lahir dari ketinggian lereng dan puncak gunung. Tempat yang terasing, sepi, dingin dan angin memukul seperti palu dimana setiap bahaya harus dihadapi pendaki itu sendiri. "Filosofinya selalu berkembang. Seiring bertambahnya umur serta pengalaman, pandangan seseorang tentang mendaki gunung akan terus berubah," kata Pat "dan penting sekali buat seorang pendaki untuk sadar bahwa ada gunung yang tak bisa didakinya.
"Setelah bertahun-tahun, kini Pat bersikap lebih realistis. Sebagai orang yang cari nafkah dengan motret di gunung, menurutnya kegiatan ini sebuah usaha menggabungkan kerja dengan kesenangan. "Buat saya mendaki sebanyak - banyaknya penting untuk ditulis. Kedua hal itu sama menariknya. Kalau saya tidak bisa mendaki, selesai sudah. Saya tidak bisa menulis, maka berarti saya tidak bisa mengongkosi perjalanan berikut," katanya. Kalaupun ada tujuan sampingan ya untuk 'lari' sejenak dari tekanan stress dan peradaban modern. Di gunung seseorang akan kembali merasa menjadi 'manusia'.
Selain itu Pat juga menikmati nuansa petualangannya. Sebaliknya dengan blak-blakan dia menolak mentah-mentah bila mendaki gunung jadi ajang mencari kejayaan atau saling berkompetisi. "Mereka tidak belajar apa-apa dari pendakiannya sendiri," sindir Pat pada pendaki yang cuma menganggap naik gunung sebagai aktivitas fisik belaka atau lebih parah lagi, sebagai upaya penaklukkan terhadap alam.
Toh dia menyebut nama Jerzy Kukuczka sebagai contoh. Jerzy adalah pendaki hebat asal Polandia. Orang kedua yang merampungkan grandslam 14 puncak 8000-an meter di Himalaya. Meskipun selalu mencari-cari gunung atau jalur pendakian yang lebih sulit dari yang pernah didakinya, menurut Pat, Jerzy bukan pendaki yang hanya mengejar prestasi dan nama besar. "Saya kenal dia. Kami pernah bertemu di Inggris dan saya mengerti alasan-alasannya. He's a climbing bum. A real climber," komentar Pat tentang pendaki yang tahun 1989 akhirnya menemui ajal terkubur avalanche (longsoran salju) di salah satu dari tiga jalur yang konon tersulit di dunia, yaitu dinding selatan Lhotse.
Istilah 'climbing bum' itu sendiri muncul ketika di tahun 1995 Pat, Baiba dan teman-teman termasuk Adiseno, mendaki 21 gunung di atas 3000-an meter di barisan pegunungan Japan Alp termasuk Fuji-san. Mereka menyeberangi Pulau Honsyu dari Laut Jepang sampai Laut Pasifik sambil mendaki maraton. Ketika itu di sela pendakian, kepada Adiseno dia mengatakan bahwa orang-orang seperti dirinya yang hidup seolah hanya untuk mendaki adalah 'climbing bum'. Kalau diterjemahkan, bum kira-kira berarti 'orang miskin yang bertualang'. Jadi gampangnya climbing bum diartikan gembel gunung.
"Mereka orang-orang yang punya komitmen untuk terus mendaki dan menjadikannya gaya hidup," ulang Pat. Barangkali bisa disetarakan dengan seorang Bobby Robson atau Beckenbauer yang saking cintanya pada olahraga sepakbola sampai bilang, "Saya ini hidup dari dan untuk sepakbola." Atau mereka-mereka yang akrab dengan sarung tinju dan sansak di sasana yang suka berteriak, "Tinju adalah darah daging saya!"
Lebih jauh Pat menyebut contoh lagi yaitu Peter Croft. Pemanjat Kanada yang menetap di AS itu menurut Pat sepanjang tahun kerjanya manjat melulu. Pola hidupnya sederhana, malah bisa dibilang irit. Pengeluaran paling untuk makan dan tempat tinggal. Selebihnya? Untuk ongkos mendaki! "Orang-orang macam dia itu mendaki gunung, manjat tebing atau main ski hanya untuk menikmati. Bukan untuk tujuan lain, apalagi uang. Really. Justru uang mereka habis disitu. Untuk mendaki ke berbagai tempat kan butuh uang. Kadang mereka kerja part-time selama 3-4 bulan. Kerja apa tak jadi soal, asal halal. Kalau uang dirasa cukup langsung berkemas-kemas lalu mendaki lagi sepanjang sisa tahun," kata Pat.
Pat beruntung profesi fotografer berhubungan langsung dengan kesenangan mendaki. Waktu ke Jepang itu, dia mendapat penugasan dari majalah. "Sayangnya, satu majalah saja tak mampu menutup biaya perjalanan yang cukup mahal. Karena itu selesai menulis untuk Equinox, saya juga menjual tulisan serupa ke majalah - majalah luar negri atau ke penerbitan yang biasa menerbitkan buku panduan travel. Dari situ uangnya kami pakai beli tiket pesawat untuk perjalanan berikut." Kalau masih belum cukup juga, maka dia berusaha menggaet sponsor. Yang paling sering maskapai penerbangan Air Canada.
Sebagai ilustrasi, di Jepang Pat dimodali sponsor dari ujung kepala sampai ujung kaki misalnya oleh Adidas, Sierra Design, Kelty - produsen pakaian dan alat pendakian. Penginapanpun dibantu surat sakti dari Yama-kei, penerbit majalah pendakian terkemuka negeri sakura itu. Atau lebih gila lagi, sampai ke soal makananpun dari sponsor!
Dengan daftar pendakian begitu panjang, harap maklum kalau Pat memiliki banyak teman di berbagai negara. Kalau berniat mendaki di sebuah negara, dia menghubungi temannya yang tinggal di sana. Kemudian sering dia menginap di rumah sang teman, makan di situ dan ditemani ke gunung yang dituju. Sebaliknya kalau teman-temannya mengunjunginya di Kanada, mereka juga diperlakukan serupa. "Ini alasan lain kenapa saya pakai istilah climbing bum.
Mereka punya teman di seluruh dunia yang bisa membantu mereka pergi ke sebuah gunung. Di kota kecil tempat tinggal kami saja paling tidak ada 50 - an pendaki terdiri dari professional guide dan climbing bum. Sosialisasinya menyenangkan. Dan anda tahu hampir di setiap kota sekarang ini ada pendaki gunung atau orang yang suka pergi ke alam terbuka. Kita seperti punya teman di mana saja," ujarnya. Di tahun 1986 bersamaan dengan pameran EXPO di Vancouver, Pat menemani alm. Norman Edwin, Adiseno dan Titus Pramono, teman-teman Indonesia-nya untuk mendaki Bugaboo Spire di Canadian Rockies. Begitu juga terhadap Ang Nima Sherpa yang membantunya dalam dua ekspedisi Everest. Persahabatan yang lahir dari atas gunung biasanya memang sudah teruji.
Soal pilihan antara mau terus mendaki atau hidup normal seperti kebanyakan orang, menurut Pat kultur di Indonesia, Kanada atau di manapun sama saja. "Kita selalu diharapkan oleh keluarga atau masyarakat untuk hidup normal. Masuk universitas, cari kerja, berkeluarga dan sebagainya. Dulu ayah saya memang tak pernah bilang tidak, tapi saya tahu dia lebih suka saya hidup seperti orang lain."
Sulit diterima akal sehat kalau ingin terus mendaki atau bertualang di alam terbuka tanpa kuatir rejeki seret. Apalagi untuk hidup dari situ! Bedanya di Eropa atau Amerika kecenderungan orang mencari nuansa kebebasan terasa lebih kuat. Salah satu caranya dengan mendaki gunung. Walaupun demikian, komitmen untuk hidup dari dan untuk mendaki boleh jadi cuma dimiliki para gembel gunung ini. "Itu memang pilihan yang berani dan butuh kerja keras, tapi nyatanya banyak kok yang lebih gila dari saya," katanya. Pun, Chris Bonington, pendaki, penulis buku, fotografer sekaligus pemimpin ekspedisi terkenal asal Inggris pernah melepas kesempatan jadi pelatih manajemen di perusahaan multinasional Unilever. Dia menyatakan, "I choose to climb !"
Pat tidak menutup mata dengan kenyataan cuma segelintir orang jadi kaya karena mendaki. Kalau orang kaya senang mendaki sih banyak. Kalaupun ada yang hidup makmur hasil mendaki, salah satu yang layak disebut adalah Reinhold Messner. Pendaki asal Tyrol, Italia selatan ini prestasinya selangit: orang pertama mendaki the all 14-eight thousanders atau 14 gunung diatas 8000 meter, mendaki Everet tanpa tabung oksigen, bahkan sekali secara solo. Messner yang juga membuka banyak jalur sulit di berbagai gunung ini pernah jadi model iklan jam tangan Rolex dan disponsori Fila - produsen pakaian olahraga. Kabarnya dia juga punya sebuah puri di Italia. Orang ini, kata Pat, enteng saja merogoh kocek membeli sebuah rumah seharga 200 ribu dolar untuk putrinya yang tinggal dekat Canmore, kota tempat tinggal Pat dan Baiba di Kanada.
Bukan Cuma MendakiPat dan Baiba yang berjumpa pertama kali di Canadian Rockies sekitar tahun 1983 dan menikah setahun kemudian, sempat pula melakukan usaha sampingan. Selama tujuh tahun mereka bergabung dengan Adventure Network International (ANI). Perusahaan yang cikal bakalnya di Kanada tapi lalu berkantor di Inggris ini menjual jasa panduan teknis dan manajemen untuk ekspedisi petualangan ke Antartika, termasuk pendakian Vinson Massif. "Ada banyak perusahaan sejenis tapi cuma ANI yang bisa menerbangkan kliennya dari Inggris masuk ke banyak bagian Antartika," katanya tanpa maksud promosi "tapi kami sekarang sudah tidak bergabung di sana lagi."
Pasangan pendaki di Canadian Rockies ini memang kadung menjadikan pendakian sebagai gaya hidup. Karena itu mereka jarang sekali melakukan latihan-latihan khusus kalau tujuannya cuma untuk menjaga kondisi. "Kami ini pemalas ha..ha..ha.. Kami tidak berlatih. Buat kami mendaki gunung itu untuk mencari kesenangan."
Ini dimungkinkan karena rumah mereka di Canmore dekat pegunungan bersalju. Kalau sedang tidak bepergian, setiap hari mereka hiking atau main ski selama beberapa jam. Kemudian kalau mau mendaki atau manjat tebing bersama di akhir pekan. Dengan cara hidup demikian tak heran kalau mereka sanggup bertahan lama di alam terbuka.
Kondisi fisik mereka terpelihara secara alamiah. "Tapi kalau pendaki yang tinggal di kota besar yang panas dan berada di dataran rendah seperti Jakarta ini, harus punya komitmen pribadi. Disiplin menjaga kondisi dengan jogging atau slow continuous run, misalnya, atau latihan lain. Beda dengan kami yang terbiasa hidup di gunung. Berat memang, tapi apa ada pilihan lain?," tanyanya.
Soal mendaki Pat lebih suka melakukannya dalam kelompok kecil. "Kalau anggota timnya banyak lebih besar kemungkinan terjadi kesalahan. Pergerakan juga jadi lambat. Dengan tim kecil selain gampang mengambil keputusan juga lebih cepat dan enjoy," alasannya. Untung dan kebetulan, istrinya juga pendaki. Setelah menikah dengan Baiba, Pat hampir selalu melakukan perjalanan bersama istrinya itu. "Kami jadi sebuah tim kecil dan saling berbagi pekerjaan. Biasanya dia yang membuat telpon-telpon mengurus perijinan, janji pertemuan, mengatur waktu atau bersama-sama membuat perencanaan," kata Pat mengenai Baiba yang juga partner jalan yang tangguh.
Tidak cuma mendaki, Pat juga senang trekking (jalan-jalan di pegunungan) karena lebih banyak yang bisa dilihat dan dipotret. Misalnya di Himalaya. "Suatu kali kami jalan kaki dari kaki Gunung Annapurna di Western Himalaya sampai kaki Everest selama tiga bulan. Sehari kami jalan antara 10-15 kilometer dan banyak hal menarik yang kami jumpai, misalnya budaya masyarakat sherpa. Kalau anda terlibat dalam pendakian Everest, seluruh perhatian anda terfokus ke sana. Pandangan jadi sempit. Padahal dekat situ banyak puncak-puncak lain yang meski tingginya hanya 5000 atau 6000-an meter tapi juga menawarkan pemandangan sangat indah."
Dari kegemaran trekking ini, di tahun 1991 Pat dan rekannya menulis Himalayan Passage. Kisah long journey-nya ke puncak-puncak 5000-an meter di sana. Selama tujuh bulan dia melintasi pegunungan sangat tinggi, lembah sangat curam dan udara sangat dingin itu. Transportasinya beragam: jalan kaki, mountain bike, bus atau menumpang truk. Hampir semua kawasan Himalaya dilewati mulai dari Tibet, Western China, Pakistan, Karakorum, India sampai Nepal.
Kegemaran lain yang biasa dilakukan Pat adalah turun gunung dengan ski. "Terasa lebih menarik dan exciting dibanding waktu naiknya. Padahal justru lebih sulit dan berbahaya juga," kata lelaki yang turun dengan ski dari ketinggian 7500-an meter di Gunung Muztagh Ata ini.
Apakah orang ini tak pernah merasa takut? "Rasa takut selalu ada. Kita tidak mungkin menghilangkannya sama sekali. Sesekali kita mesti memutuskan mundur, menuruti rasa takut itu," kata pria ini mengutip ucapan temannya. Lalu bagaimana perasaannya jika dalam sebuah pendakian seorang rekannya tewas seperti yang terjadi dalam ekspedisi Everest di tahun 1982 itu?
Setelah berpikir sejenak dia menjawab hati-hati, "Begini. Itu kira-kira sama saja jika sekali waktu anda dan teman-teman naik mobil bersama sepulang dari kantor. Begitu masuk jalan raya tiba-tiba sebuah truk besar 'nyelonong menghantam mobil itu sehingga teman anda yang duduk di jok belakang tewas seketika," jawabnya serius.
Agaknya Patrick Alan Morrow akan terus setia dengan komitmen pribadinya. Kisah petualangannya juga masih akan terus dinikmati banyak orang. Saat ditanya kapan akan berhenti pun dia bilang, "Saya tidak tahu. Kalau bisa mendaki terus. Toh pendaki-pendaki besar seperti Chris Bonington, Doug Scott atau Messner masih melakukannya saat umur mereka menjelang 60 tahun. Mereka memang tidak bisa dibilang kaya tapi saya yakin mereka bahagia dengan pilihan hidupnya. Uang bukan segala-galanya kan?" Wah! (Reynold Sumayku/M-527-UI)

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN