Wednesday, August 30, 2006

"WeIHaN nAMaNyA"

Awalnya lelaki tua ini tampak ragu, kemudian dengan sedikit konsentrasi sebuah ide pun muncul. Tangannya yang keriput kelihatan bergetar, saat menorehkan ma-opi* ke atas putihnya si-ence* berukuran 30cm x 1,2m. Sejurus kemudian lekukan kuas nya mulai bergerak pasti, membentuk empat buah kata mutiara. Konon, kata-kata mutiara dari kaligrafi China ini bisa menjadi penambah spirit bagi mereka-mereka yang membutuhkan. Untuk kata pertama, dia membentuk huruf “tien” (baca: artinya langit), diikuti dengan huruf “tao” artinya prinsip. Selanjutnya secara perlahan kata “cou” (artinya upah: red) dan berakhir dengan kata “chin”, yang artinya rajin sebagai kata penutup.

Kabarnya, kaligrafi China punya makna filosofi yang sangat dalam, disamping proses pembuatannya yang cukup sulit dan tidak sembarangan. Waktu belajar puluhan tahun pun menjadi kesulitan tersendiri untuk mempelajarinya

Weihan, demikian nama pria berusia 56 tahun ini. Keahliannya melukis kaligrafi khususnya kaligrafi China, menjadikannya sebagai seorang pakar kaligrafi yang tersisa di Indonesia. Konon kabarnya, tak banyak orang yang menekuni bidang ini. Bahkan di China sendiri, karya-karyanya banyak dicari orang. Bukan karena kata-kata mutiara dan puisi, tapi lebih kepada keindahan kaligrafi yang ditawarkannya. “Kaligrafi saya selalu punya keindahan yang berbeda, dibanding karya orang China sendiri”, tuturnya, sebagai pembuka pembicaraan.

Awal kecintaannya terhadap dunia kaligrafi, ternyata tidak datang begitu saja. Saat itu, Weihan kecil yang sedang duduk di bangku kelas 3 SD di Jakarta, mempelajari kaligrafi China sebagai mata pelajaran tambahan di sekolahnya. Karena berada di sekolah yang kebanyakan muridnya berasal dari etnis China, mata pelajaran ini menjadi kegiatan belajar yang diajarkan turun temurun.

“Waktu itu, saya gak tahu apa maksud dari menulis huruf China ini. Tapi, lama kelamaan, seiring proses belajar yang saya lakukan, akhirnya saya mengerti makna yang tersembunyi dari huruf-huruf ini”, tuturnya, saat menuliskan sebuah kata mutiara. Sewaktu menuliskan sebuah kata-kata mutiara ataupun puisi dalam bahasa China, biasanya proses konsultasi menjadi penting bagi mereka yang akan memesan hasil karyanya. Karena kata-kata tersebut adalah cerminan pribadi pembeli.

Tapi, tak selalu dia bekerja sesuai pesanan. Seperti sekarang ini, saat aku bertandang kesana, dia baru saja menyelesaikan sebuah kaligrafi, berupa puisi. Ketika hasrat ingin menulisnya timbul, biasanya tak ada yang bisa membendung. Perkara, apakah nanti ada yang membeli atau tidak. Dia tak peduli. “Tapi anehnya, saat sebuah karya telah jadi, selalu saja ada orang yang datang berkunjung, apakah itu saudara atau orang lain. Dan, sewaktu melihat karya saya ini, tiba-tiba saja mereka tertarik untuk memiliki. Lalu dibeli lah oleh mereka!”, ucapnya disela-sela perbincangan kami.

Untuk ukuran harga, Weihan tak pernah mematoknya. Saat sebuah karya disenangi oleh pembeli, umumnya mereka yang menawar lebih dahulu. Sehingga tak jarang Weihan akan terheran-heran dengah harga penjualan yang diterimanya. Tapi, tak jarang juga Weihan akan memberi gratis hasil karyanya kepada orang-orang yang dianggap penting olehnya. Sama seperti saat ini, saya pun kecipratan hasil karyanya secara gratis. “Ntah kenapa, kalo ingin memberi, saya pasti akan ngasih dengan cuma-cuma. Tapi kalo saya rasa karya ini harus dijual, pasti akan ada orang yang membeli. Bahkan, untuk kaligrafi saya, ada orang yang rela membeli seharga 30 juta rupiah”, ucapnya, sembari merujuk beberapa karya yang sudah di pesan orang.

Bagi mereka-mereka yang tertarik mempelajari kaligrafi China, waktu seakan tak berarti untuk mengukurnya. Jika ingin menjadi sarjana dibutuhkan waktu sekian tahun, berbeda halnya dengan kaligrafi. Weihan yang sudah menggeluti bidang ini sejak 50 tahun silam, masih saja merasa kurang mahir. Artinya, untuk sebuah proses belajar, tak ada yang bisa membatasi, termasuk waktu. Tapi, waktu bisa menjelaskan matang tidaknya sebuah proses belajar. Kalau di China, untuk bisa melukis dan punya pemahaman yang baik tentang karya kaligrafi, dibutuhkan waktu sedikitnya 30 tahun. Sungguh, sebuah waktu yang sangat lama. Sehingga, wajar jika karya ini bernilai sangat tinggi.

@@@@@

Apakah kita tahu, bahwa seorang pelukis terkenal abad pertengahan bernama “Picaso”, pernah kepikiran untuk beralih aliran menjadi pelukis kaligrafi China. Konon karena keeksotisan dan nilai rasa yang dikandungnya, seniman ini sempat belajar kepada pelukis kaligrafi China. Tapi, karena di Prancis saat itu, penghargaan terhadap karya-karya realis lebih dominan. Picaso pun tak mampu membendung keinginan pasar.

Bagi Weihan, keinginan melukis kaligrafi, tak bisa tergantikan oleh kegiatan apapun. Selain mampu membuat semua organ tubuh bergerak, proses melukisnya membuat pikiran jadi tenang. Sehingga, bukan hal aneh, jika para pelukis kaligrafi punya umur panjang. Ini yang terjadi di China, para pelukis kaligrafi punya umur sampai 100 tahun. “Abis, proses melukisnya membuat pikiran jadi tenang dan semua masalah jadi lenyap”, tuturnya ketika menjelaskan manfaat melukis kaligrafi.

Karena Weihan berasal dari suku Han, di utara China. Melukis kaligrafinya pun berasal dari huruf Han-ce. Kabarnya, huruf ini diketahui oleh hampir semua etnis China, disamping huruf-huruf lain. Biasanya, saat akan melukis kaligrafi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Diantaranya; saat melukis, bagian kosong diatas kertas harus lebih besar dibanding bawahnya. Hal ini menunjukkan komposisi langit harus lebih besar dibanding tanah, yang disimbolkan sebagai bagian bawah. Selain itu, konsentrasi penuh, menjadi hal penting ketika akan menorehkan tinta, disamping banyak membaca buku-buku filsafat China. Selain itu, proses melukisnya hanya boleh dilakukan dalam satu sapuan kuas. Tidak boleh ada penebalan. Sehingga, saat ada bagian yang tak tersapu kuas, ini menjadi salah satu daya tariknya.

@@@@@

Empat buah kata muitara yang ditulis tadi, menjadi ajang demonstrasi di hadapan kami, perihal kepiawaiannya dalam melukis kaligrafi China. Dalam tempo yang tak terlalu lama, dia berhasil menyusun sebauh kata-kata mutiara yang sangat indah. “Tien tao Chou Cin”, demikian tulisan dalam huruf Han-ce itu. Jika diartikan, tulisan itu akan bermakna, kira-kira begini; Tuhan akan beri upah kepada orang yang rajin.

Mungkin karena merasa akrab dengan kehadiran kami. Tiba-tiba saja dia menawarkan diri untuk melukis kaligrafi untukku sebagai oleh-oleh. Perlambang sebuah persahabatan. Awalnya, aku gak terlalu mengharapkan. Pasalnya, setahuku harga sebuah lukisan kaligrafi terkenal mahal. Tapi, karena dia terlalu memaksa, aku gak bisa berbuat apa-apa.

Tapi, sebelum melukis, dia memintaku untuk menyebutkan sebuah kata atau kalimat perihal makna yang akan dilukisnya nanti. Ntah kenapa, tiba-tiba saja aku teringat dengan kata “berjuang”. Mungkin karena sifatku sebagai orang pejuang, menghadapi kondisi hidup yang berat ini. Rasanya, kata itu cukup mewakili pribadiku.

Untuk selanjutnya, Weihan mulai mengerutkan dahi, mencari padanan kalimat dari kata “berjuang” itu. Akhirnya kata-kata “Tien tao Chou Cin” tadi menjadi pilihannya. Menurutnya kata-kata itu sangat cocok buatku. Sejurus kemudian, dengan cekatan ia mengambil mek-ce* dan memasukkannya ke dalam mek phan*. Selanjutnya kuas dimasukkan kedalam tinta sebelum ditorehkan keatas putihnya sience*.

Gile, hanya dalam tempo semenit dia sudah berhasil melukis kaligrafi. Rasanya, indah benar karyanya ini. Kalau dilihat sepintas, mungkin terkesan biasa-biasa saja. Tapi, kalau diperhatikan lebih lama nilai-nilai magisnya akan keluar. Sebuah bentuk karya kaligrafi yang simetris dengan tekukan kuas yang tak rata menjadi daya tarik tersendiri.

“Nah, sudah selesai sekarang!”, katanya, sembari membersihkan sisa sisa tinta yang menempel di kuas. Ternyata dengan keahlian melukis, dia bisa bertahan hidup sampai sekarang. Bahkan untuk biaya kedua anaknya yang bersekolah di luar negeri, Weihan penuhi dari keahllian ini. Tapi, jauh dibalik itu samua, perasaan untuk melestarikan budaya leluhur, menjadi alasannya memilih bidang ini, disamping tuntutan ekonomi. “Sebab pada akhirnya, sebuah budaya, tidak akan menjadi milik bangsa itu saja, tetapi akan menjadi milik semua bangsa yang peduli terhadapnya.” Begitu ucapnya sebagai penutup pembicaraan kami kala itu.


Catatan;
Mek ce = tinta
ma-opi = kuas
Si-ence = kertas
Mek-phan = wadah piringan hitam

Monday, August 28, 2006

"TeNtANg sI aDiK KeCiL"

Sejurus kemudian kulepas pandang ke luar jendela bis kota (baca: jurusan Kamp. Rambutan – Grogol) yang membawaku ke tempat tujuan, saat dia meringsek masuk dan mulai menyanyikan sebuah lagu milik penyanyi tenar yang aku lupa namanya. Tampang kecilnya yang awut-awutan tak terurus plus tubuh dekil –pertanda jarang mandi- segera akrab menyapa, menebar aroma khas yang membuat para penumpang segera menyingkir sambil menutup hidung.

Sementara aku yang duduknya tak jauh dari tempatnya berdiri, coba menyimak setiap lakunya dengan seksama. Hasilnya, si adik kecil (baca: begitu sebutanku terhadapnya) tetap saja tenang, tak sadar begitu banyak pasang mata memperhatikannya. Oh ya, sedikit informasi! Ternyata dia (baca: anak kecil) masuk ke dalam bis bersama si abang yang usianya 15 tahun lebih tua, -menurut perkiraanku-. Apakah itu abang yang tertua atau abang yang nomer berapa, tak ada yang tahu? Yang pasti, demi sesuap nasi dan menyambung nyawa di ibukota, dia –yang harusnya ada di bangku sekolah-, harus rela ngamen, nemani abangnya berpindah-pindah bis diantara deru knalpot kendaraan bermotor.

Melihat itu, yang terlintas di benakku adalah, dimanakah sang ibu…??? Apakah dia masih punya ibu? Atau, jangan-jangan, dia gak punya siapa-siapa lagi sekarang, kecuali si abang tadi. Pasalnya, ini adalah kali kedua aku bertemu dengannya, masih dengan si abang yang selalu setia menemani. Rasa sayang terhadap si adik kecil (baca: yang menanggung beban begitu berat), membuatnya selalu memberi perlindungan ekstra. Bahkan ketika turun dari bis, si abang selalu memegang erat tangan si adik, mencoba mengelakkannya dari lalu lalang kendaraan. Atau, saat di dalam bis, si abang akan selalu mengawasi gerak-gerik si adik, jangan sampai ada yang menyentuh atau berbuat buruk padanya.

“Permisi bapak ibu sekalian, ijinkan saya membawakan beberapa buah lagu,” demikian tutur sang abang saat akan membawakan sebuah lagu diiringi gitar tua miliknya. Takkala musik dimainkan, sang adik pun terlihat sibuk memainkan krincingan –yang berasal dari tutup botol yang dipipihkan-, pertanda sinkronisasi irama sebuah lagu. Mungkin karena dia masih terlalu kecil dan belum mengerti musik, irama yang dihasilkan terdengar aneh dan tidak harmonis. Beberapa kali sang abang memberi kerdipan mata sebagai kode, agar si kecil mengikuti ritme musik, tapi tetap saja ia sibuk dengan pemahamannya sendiri. “Ya, pantas aja! Karena dia masih terlalu kecil untuk mengerti nada, lagian dia kan, gak pernah belajar not,”, ujarku membathin.

Sedetik kemudian, secara perlahan kulayangkan pandang ke wajah-wajah aneka ekspresi para penumpang. Sepertinya, mereka masih terbius dengan pikiran masing-masing. Ada yang ngantuk, ada yang baca Koran, ada yang bengong dan ada yang asyik ngobrol dengan teman sebangku. Sama seperti ketika pengamen tadi belum muncul, para penumpang tetap khusyuk, merasa tak terusik sedetik pun. Hanya, sang kondektur yang terlihat sesekali menyambung kalimat dari lagu yang mereka nyanyikan.

Seperti pengamen pada umumnya, mereka berusaha menampilkan aksi panggung terbaik, dengan harapan para penumpang rela berbagi sedikit rejeki dengan mereka. Kadangkala, saat sebuah lagu dimainkan dengan begitu indah, tak sedikit penumpang yang beri sekeping rupiah plus tepukan riuh sebagai ungkapan rasa salut.

Tapi, pengamen yang satu ini agak beda. Apakah karena keberadaan si adik kecil itu? Mungkin juga! Pasalnya, saat si abang terlihat sibuk tarik suara, si adik malah kalem-kalem saja. Tapi di beberapa penggalan lirik berikutnya, tak jarang si adik ikut berdendang. Artinya, si adik kecil akan menyanyi sesuai kata hatinya. Itu yang membuat lagu si abang terlihat kacau. Sehingga untuk menghindari kesalahan yang lebih besar, sang abang tak mengharapkan keikutsertaan si adik dalam olah vokal. Dia lebih ingin agar si adik hanya berperan mengumpulkan saweran yang di terima dari para penumpang. Tapi, dasar si adik emang badung, tetap aja dia ikut nyanyi sambil memainkan krincigan dengan nada-nada yang jumpalitan.

Saat kucoba meliriknya, sama seperti ketika masuk tadi, dia tetap tak acuh (baca: sibuk dengan nadanya sendiri). Ketika melewati komdak, secara perlahan bis mulai dijejali penumpang. Si adik kecil pun langsung terhimpit di tengah-tengah orang yang mulai berjubel. Kali ini, dengan cekatan si abang segera menyelamatkannya. Posisi aman pun berhasil diraih. Disela-sela iringan lagu, tiba-tiba saja dia memasukkan jarinya yang kotor ke dalam mulut, -yang juga tak terawat-. Mungkin ada sisa kotoran yang nyangkut disana. Iseng-iseng kucuri pandang lagi. Kini, dari mulutnya terlihat beberapa buah gigi kuning yang letaknya jarang-jarang. Padahal untuk anak seusianya (baca: 3-4 tahun) pertumbuhan gigi seharusnya telah sempurna.

Tak lama berselang, si adik kecil mulai terlihat sibuk mengusap ingus yang keluar dari hidung mungilnya. Masih menggunakan tangan yang sama, dengan sigap dia membersihkan lendir yang tersisa. Selanjutnya kotoran itu ia tempelkan ke sisi bawah pakaian kumalnya. Melihat itu aku jadi sedih! Bukan kah anak seusianya, lagi asyik-asyiknya bermain di bawah pengawasan orangtua. Tapi, itu tak terjadi dengannya. Entah dimana orangtuanya kini?

Karena suka mengamati, lagi-lagi perhatianku selalu jatuh pada si adik kecil itu. Jika di lihat sekilas, tampangnya yang lucu dengan raut muka yang begitu tegar, perlambang beratnya sebuah perjuangan hidup. Di sekitar mulutnya terlihat bercak hitam sisa kotoran, menempel membentuk huruf O tak beraturan. Apakah si abang tak peduli dengan kebersihan si adik. Lagi-lagi gak ada yang tahu. Hanya aneh, jika si abang yang selalu nemani adik kecil kemanapun pergi, tak pernah memperhatikan kekurangan tersebut. Sementara aku, yang bukan siapa-siapa, semakin tersentuh dengan semua itu.

Tapi, kisah perjuangan hidup ini tak berhenti sampai disitu. Badan kecil, hitam, yang penuh borok itu, terlihat gontai menyusuri tiap bangku, mengumpulkan sumbangan para penumpang. Seperti bisa ditebak, tak banyak yang menyumbang. Tapi, tetap saja wajah mungilnya tampak berseri-seri, menikmati keadaan yang ada. Dari bis ini rencananya mereka akan melanjutkan ke bis-bis lain. Mencoba peruntungan yang berbeda.

Moral dari semua cerita tadi, membuatku teringat pada sosok bocah kecil yang usianya 2 tahun lebih muda dari anak kecil tadi. “Bubu”, demikian nama panggilannya. Bubu, yang hobi nyanyi, walau dengan irama tak jelas, selalu bangga jika disuruh tarik suara. Persis sama dengan si adik kecil tadi. Bubu juga sangat berani berkelana ke lokasi-lokasi yang tak dikenalnya. Lagi-lagi, sama seperti adik kecil tadi. Bubu pun punya karakter keras, saat bertahan dengan semua kemauannya, persis seperti karakter si adik kecil tadi; coba bertahan ketika ada yang mengusik mainannya.

Hanya saja, Bubu berbeda, karena hidupnya tak se-tragis si adik kecil tadi. Pasalnya Bubu masih punya orang tua yang selalu mencintai dan merawatnya. Selain itu, Bubu masih bisa menikmati masa kecilnya sementara si adik kecil harus berjuang mengisi masa kecilnya. Sebab si adik kecil, gak pernah tahu entah esok apa lagi?

Dengan semua itu, aku hanya bisa berdoa, semoga derita si adik kecil segera berakhir! Karena aku gak sanggup membayangkan kelanjutan kisah sedih yang akan di tanggungnya. Akankah hari-harinya berakhir di jalanan, atau masih adakah pihak yang ber-empati dan mau berbagi dengan mereka? Gak ada yang tahu! Kalau saja aku punya segudang cadangan, tentu akan kubagi dengannya. Tapi, aku gak punya! Sebab yang kupunya hanya doa dan rasa mengasihi. Akhirnya, semoga Bubu tak pernah merasakan penderitaan itu. Karena jika itu terjadi, aku akan sangat terpukul. Sebab, Bubu adalah buah hatiku. Anak lelakiku.




Tuesday, August 22, 2006

"aKu gAk Tahu"

Sejurus kemudian, narasumber itu berlalu begitu saja dari mobil (baca: mobil operasional kantor tempatku bekerja) yang menghantarkannya tiba di tempat semula. Sebuah tempat kost di daerah Kali Deres, Jakarta Barat. Kuperhatikan dari balik kaca, kali ini raut mukanya terlihat muram saat menapaki daerah tempat tinggalnya itu. Berbeda ketika kita datang menjemputnya malam tadi.

Kalau lah boleh aku menduga, dia pasti sedang sedih, karena jasanya sebagai narasumber belum dibayar. Aku mengatakan demikian, sebab dari tadi partnerku (baca: reporter handal) –yang bertugas untuk memberinya honor- tak terlibat pembicaraan sedetikpun mengenai hal tersebut.

Kejadian ini bukan kali pertama dilakukannya (baca: reporter handal). Rasanya tak terhitung dosa serupa yang pernah di perbuat. Awalnya, aku yang sudah dua tahun ini terlibat pekerjaan dengannya, sering tak ambil pusing. Kupikir, karena itu bukan urusan dan tanggungjawabku, mengapa harus dipermasalahkan.

Tapi, lama kelamaan hal seperti ini sungguh tak wajar. Bagaimanapun si narasumber pasti berharap dari honor yang akan diterimanya. Peristiwa ini persis sama dengan yang dialami temanku campers (baca; camera person), yang sebut saja namanya By, ketika melakukan liputan bareng dia ke luar kota tempo lalu. By merasa dikadalin dengan semua ulahnya (baca: reporter handal). Sampai-sampai masalah sepele seperti makan, harus menjadi perseteruan yang seharusnya gak terjadi. “Abang lagi diet, neh! Kalo adek mau, pesan aja Indomie rebus di warung seberang!”, begitu ucapnya kala itu.

Masalah makan sebenarnya hal yang sepele. Tapi, jika kejadian yang sama dilakukan terhadap narasumber. Sungguh luar biasa dan sangat keterlaluan. Layaknya pengakuan teman By tadi, selama peliputan sang reporter handal gak pernah terlihat memberi honor sepeserpun kepada narasumber. By pun merasa tidak buta dan tidak pikun, sehingga masih terekam jelas dalam memorinya semua peristiwa yang terjadi. Yang pasti, dalam ingatannya saat itu, si reporter masih tetap menyimpan dana untuk narasumber. Apalagi tak jarang beberapa narasumbernya orang mampu. Besaran honor yang diberikan pastilah terlalu sedikit dibanding hasil bisnisnya. Sampai-sampai akibat tak puas dengan pembodohan tersebut, By pun melakukan investigasi kecil-kecilan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh reporter tadi.

Hasilnya, sungguh di luar dugaan! Dari laporan tersebut terlihat, bahwa dia (baca: reporter handal) telah mengeluarkan sejumlah uang untuk honor beberapa narasumber, yang nyata-nyata tidak pernah diberikan. Dan, yang lebih aneh lagi adalah laporan tersebut mengalami rembuirse dengan sejumlah uang. Artinya, si reporter akan menerima dana kembalian karena uangnya terpakai lebih dahulu selama liputan. Sungguh, suatu hal yang sangat menggelikan. Disaat By harus makan hemat dengan penginapan seadanya, laporannya menandakan bahwa mereka telah menghabiskan begitu banyak uang selama liputan. Sampai-sampai duit si reporter harus terpakai dulu dan akan dibayar kemudian oleh kantor –istilahnya rembuirse tadi-

Apakah kejadian ini akan berulang kembali denganku? Aku gak tahu? Sebenarnya, jika di tilik lebih dalam mengenai honor, aku gak akan terlibat banyak. Pasalnya itu adalah jobdesknya dia. Tapi, jika si narasumber di depan mata kita, merasa sedih dan bertingkah aneh karena honornya tak di bayar. Pastinya kita juga merasa gak enak. Karena dia (baca: reporter) dan aku adalah satu tim yang harusnya satu suara. Rasanya gak etis kita beseberangan (baca: berantem) di depan narasumber karena masalah duit. Tapi jika di luar itu, terserah!

Jauh di lubuk hatinya, si narasumber mungkin menjerit. Pasalnya, waktu yang di korbankan telah begitu banyak terbuang sementara dia tak mendapat apa-apa. Nihil! Apakah ajakan makan malam tadi menjadi simbol sudah dibayarkannya honor si narasumber. Sepertinya masih terlalu jauh. Sebab untuk makan dia pasti masih bisa, tanpa perlu menghamba-hamba kepada kami. Padahal, jika si narasumber tadi melakukan aktivitas ekonominya, sudah tentu ia bisa mengumpulkan sejumput rezeki. Tidak seperti saat ini.

Masih dalam tataran mengenai narasumber. Kalo gak salah, di dalam mobil malam tadi, si reporter handal berujar, bahwa hak-haknya mereka (baca: narasumber) harus diberikan. Tapi, apakah dia sadar dengan omongannya tadi. Ataukah, hanya sekedar basa-basi. Aku gak tahu? Semoga saja perkataan tadi tidak menjadi bumerang yang akan balik menyerang dirinya.

Dan, dari semua itu. Jika kuperhatikan keluarga si reporter, aku jadi sedih! Pasalnya keluarga tersebut cukup harmonis dan berkecukupan. Kebetulan aku kenal dengan istrinya yang ramah dan 2 orang anaknya yang juga manis. Menanggapi itu semua, aku hanya berharap, semoga mereka tidak tahu kelakuan sang kepala keluarga dan dari mana datangnya uang yang mereka makan (baca: selain gaji bulanan). Sampai sekarang aku gak habis pikir, bagaimana jika keluarganya tahu kelakuan bejat sang kepala keluarga. Apakah mereka masih bisa menerimanya. Aku gak tahu!

Melihat itu, aku semakin sedih, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebab, lagi-lagi aku tak punya kuasa. Sepertinya, pembodohan-pembodohan seperti ini harus segera dihentikan. Siapa yang menghentikan? Kalau aku, tentu tak bisa! Semoga saja para pengambil kebijakan itu tak buta matanya terhadap penipuan yang dilakukan oleh si reporter handal. Apakah semua itu dilakukan demi dalih keluarga. Sekali lagi aku gak tahu! Yang pasti, aku kesal dengan kelakuannya itu, sampai akhirnya harus kutuliskan diblog ini.

Saturday, August 19, 2006

"sANg PeMiJaT"

Tak banyak yang menyangka, kalo di dusun terpencil ini, hidup sebuah kaum yang dari dulunya punya keahlian khusus. Ya, keahlian itu adalah memijat. Keahlian yang konon diturunkan oleh nenek moyang mereka, dari generasi ke generasi. Seiring perkembangan jaman, kegiatan ini pun telah berkembang menjadi mata pencaharian baru bagi mereka, kala musim bercocok tanam usai. Bahkan tak berhenti sampai disitu. Kini, banyak diantara mereka pergi merantau ke kota-kota besar, termasuk Jakarta, hanya dengan bekal keahlian memijat.

Tepatnya di Dusun Warung Banten, Desa Cibeber, penduduk (baca: yang punya keahlian memijat) dengan populasi 159 KK itu berada. Lokasinya yang jauh di lembah gunung Halimun, membuat tempat ini sulit ditemui. Itu yang kami alami, saat coba bertandang kesana. Keberadaannya di perbatasan Kab. Sukabumi dan Kec. Bayah, membuat kami kewalahan untuk mencapainya. Sesuai informasi yang diterima, kami pun bergerak dari Jakarta kearah Lebak-Banten. Usut punya usut, ternyata keberadaan kampung ini lebih mudah dijangkau dari Sukabumi, bukan dari arah Lebak, seperti yang kami lakukan. Akhirnya, setelah 5 jam berkendara dengan mobil, kami pun berhasil tiba disana.

Perawakan kurus tinggi dengan cacat mata sebelah kiri dan peci hitam yang selalu menghiasi kepala, menjadi ciri khasnya. Saradin, demikian nama lengkap pria berusia 40 tahun ini. Sudah 10 tahun lalu ia meninggalkan kampung dan keluarganya menuju Jakarta, demi sebuah nasib yang lebih baik.

Diantara para pemijat dari kampung ini, Saradin menjadi salah seorang yang dituakan. Setiap ada pemijat baru -yang ingin mengadu nasib di Jakarta-, ia selalu memberi wejangan, agar mereka (baca: para pemijat muda) tidak terlena dengan impian semu ibukota. Sebuah kerja keras dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi tadi.

@@@@

Saat adjan maghrib membahana dari sebuah surau di pojok desa. Pak Saradin, baru saja selesai memberi pelajaran singkat tentang memijat kepada seorang pemuda yang ingin belajar. Jika menilik dengan seksama, ternyata belajar memijat tak begitu susah. Bermodalkan sebuah kemauan plus pengetahuan tentang urat/ syaraf anggota tubuh, menjadi senjata utamanya, disamping doa-doa murni yang di panjatkan kepada Sang Pencipta.

Malam itu, menjadi akhir pertemuan dengan keluarganya untuk satu bulan ke depan. Pasalnya, tak tiap minggu dia pulang ke kampung. Hanya, jika sejumput rupiah dari hasil memijat berhasil dikumpulkan, atau ketika rasa rindu sedang membuncah, dia pun akan segera pulang. Dari wajah anggota keluarga tersebut, tak tampak rona kesedihan. Mungkin, karena keseringan di tinggal, saat perpisahan seperti ini menjadi hal yang biasa. Hanya si ibu, yang terlihat sayuh, ketika melepas kepergian sang suami.

Melihat itu, aku jadi ingat masa kecil dulu, ketika mama meninggalkan kami untuk menjenguk nenek yang sedang sakit di kampung. Karena jarang ditinggal, kami selalu merasa kehilangan, jika mama pergi, even cuma ke kondangan. Sebab dia adalah segalanya bagi kami. Saat, gak ada yang bangunin dan gak ada yang nyiapin sarapan di pagi hari. Kami jadi mahluk hidup tanpa roh. Sepertinya ada yang kurang. Beda dengan keluarga Saradin, yang tampak tegar (baca: seolah tak terjadi apa-apa) dengan kepergian sang kepala keluarga. Apakah memang demikian, aku gak tahu. Hanya pribadi mereka dan Tuhan yang tahu!

@@@@

Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju Jakarta, dia berujar tenang seluk beluk pekerjaannya. Awalnya, dia gak kepikiran untuk menggeluti bidang ini. Dia, yang punya keahlian bertukang, sering ke Jakarta diajak pamannya untuk ikut proyek bangunan. Di sela-sela waktu istirahat, iseng-iseng dia menawarkan kemampuan pijat yang dimilikinya ke sejumlah teman bahkan bos proyek, dengan imbalan seadanya.

Saat tak ada proyek, Saradin yang sering pindah-pindah tempat tinggal di Jakarta, mulai memutar otak, bagaimana caranya agar keluarga di kampung masih bisa makan. Krisis moneter 1997 menjadi pukulan terberatnya. Saat itu hampir 80% sektor infrasuktur lumpuh. Mau gak mau, hanya keahlian memijat jadi senjata pamungkasnya. Berbekal minyak gosok dan sebuah krincingan dari kaleng, jadi alat untuk menjajakan kemampuannya. Keluar masuk kampung dilakoninya saat malam menjelang, berusaha mencari orang yang memerlukan jasa pijatnya. Dari satu kampung, secara kebetulan ada seorang yang berhasil dia pijat. Biasanya promosi dari mulut kemulut tentang keahliannya mulai diketahui banyak orang, yang secara tak langsung akan bergulir ke kampung lain. Sampai akhirnya, lama kelamaan dia pun mulai memiliki banyak pelanggan di banyak tempat.

Menurut pengakuannya, tak ada tarif khusus untuk jasa pijatnya. Semua dia terima dengan ikhlas. “Jika ada yang memberi lebih, ya syukur! Jika di beri sedikit, ya…, alhamdullilah!” ujarnya sambil menatap ke arah luar jendela mobil. Saat kutanya perihal buruk yang pernah dialaminya. Dia menuturkan, pernah ada orang yang tak memberi sepeserpun, ketika selesai di pijat. Dan, lagi-lagi dia tak bisa berbuat apa-apa. “Mungkin orang tersebut sedang apes”, jawabnya.

Untuk sekarang ini, Pak Saradin merasa kerasan tinggal di daerah Kali deres, Jakarta Barat, menyewa 1 kamar ukuran 3x3m, berbagi dengan 4 rekan lainnya –yang tak lain para pemijat berasal dari 1 kampung- dengan membayar sewa Rp. 150 ribu per bulannya. Tingginya biaya hidup di Jakarta, memaksa mereka harus hemat, sementara keluarga di kampung harus tetap di suplai. Rasanya, ruangan sempit ini, tak jadi masalah bagi mereka. “Kamar ini hanya jadi tempat berteduh dan menumpang tidur saja. Selain itu, untuk ruangan sesempit ini yang penting hatinya lapang”, ucapnya lirih. Mendengar itu aku jadi malu. Sebab sering kali, yang kelihatan, membuat kita minder dengan keberadaan kita.

Dari semua penuturannya, aku jadi ingat siapa diriku! Aku yang selalu melihat keatas, sering lupa bercermin, tentang siapa aku. Kadangkala, sesekali aku perlu melihat ke bawah untuk bisa mengerti “arti bersyukur”. Pak Saradin, jadi contoh tentang hebatnya pergulatan hidup. Tak jarang dia masih bisa mengirim uang (baca: 500 ribu) setiap bulannya ke kampung. Sedang aku, masih belum berbuat apa-apa! Rasanya, aku jadi malu!



Friday, August 18, 2006

"sEBuAh eLEgI di HaRi ke 17"

Sekeliling telah berubah semakin pekat, saat kendaraan roda dua pinjaman ini mulai mengepulkan deru, pertanda siap tuk dikendarai. Biasanya disaat seperti ini, kebanyakan orang sudah melepas lelah di rumah, sambil bercengkerama dengan keluarga atau sibuk dengan chanel yang ditawarkan banyaknya stasiun televisi. Atau..., jangan-jangan sudah ada yang tergolek layu di dalam hangatnya selimut tidur.

Bagiku, hari ini tak berbeda jauh dengan hari-hari sebelumnya. Hanya saja, kalo setiap harinya aku baru pulang saat malam menjelang, setelah kerjaan beres. Kali ini, di saat-saat yang istimewa (HUT RI; red) aku harus pulang subuh, karena nungguin editan edisi 17-an di Pejaten (baca: tempat ngedit gambar).

Rasanya sudah sangat lama, aku gak mengalami kejadian seperti ini. Pasalnya, aku gak terlibat dalam editan di luar kantor. Kalo 6 bulan lalu, program bulletin (berita spot; red) merupakan tempatku berkiprah dengan liputan yang tidak terlalu lama, beda dengan kali ini. Selain banyaknya kebutuhan gambar, editing merupakan kegiatan akhir yang membuat semua bahan-bahan tadi (gambar dan naskah: red) menjadi menarik untuk di tonton di televisi.

Sejurus kemudian, kendaraan ini mulai melaju pelan di jalanan Mampang – Lebak Bulus. Banyaknya bekas galian -yang aku gak tahu itu proyek apa-, masih meninggalkan sisa luka di kanan-kiri jalan, memaksaku harus ekstra hati-hati, agar tidak terselip/jatuh. Suasana masih saja ramai, padahal sudah hampir tengah malam. “Ya, inilah Jakarta, kota yang gak ada matinya!”, gumanku lirih.

Tepat di persimpangan Duren Tiga, saat lampu menyala merah. Kulihat segerombolan polisi sibuk melakukan razia. Ntah mengapa, setiap ada razia, aku selalu terlihat kikuk, padahal semua surat-surat lengkap. Pengalaman waktu saat SMP dulu menjadi mimpi buruk yang selalu menghantuiku. Saat itu, aku di berhentikan polisi, karena mengendarai motor butut tanpa dilengkapi surat. Jangankan surat kendaraan, SIM aja aku belum punya waktu itu. Tampang polisi yang garang and bengis, membuatku semakin tertekan. Ujung-ujungnya, sang polisi menawarkan damai dengan sejumlah uang –yang menurutku cukup besar- agar bisa bebas dari jeratan hukum. Tapi, ya.., namanya juga anak sekolahan, uang sebesar itu tetap aja gak bisa dipenuhi. Debat punya debat, -mungkin karena kasihan- akhirnya polisi tersebut mempersilahkanku lewat. Dan di akhir pembicaraan, dia berpesan agar menghindari razia polisi, jika surat-surat tak lengkap.

Tak terasa 20 menit waktu yang kubutuhkan untuk tiba di Pejaten, ditengah dinginnya angin malam yang mulai menusuk tulang. Aku harus segera tiba disana, untuk menjelaskan gambar yang akan di edit oleh editor. Sudah 2 hari ini aku berkutat dengan “capture” (memindahkan gambar video dari kaset ke mesin edit yang berupa komputer: red) sekaligus nungguin editan. Kalo sehari sebelumnya, aku harus nemanin edit plus nunggu “print-an” (hasil editan yang akan tayang di tivi; red). Hari ini aku harus berkutat dengan “ngapture” gambar dari berbagai materi (DVC PRO, Mini DV, VCD dan CD; red). Sungguh, sebuah kerja keras yang takkan pernah abis.

Berhubung besok adalah momen 17 Agustus, program kami berencana untuk menyuguhkan tayangan seputar 17-an. Sebuah tayangan, yang mengedepankan sisi-sisi lain sebuah peristiwa.

********

17 Agustus, sebuah momen yang tak asing di telingaku. Sewaktu sekolah dulu, momen ini menjadi saat yang paling di tunggu-tunggu. Pasalnya selain suasana –yang menurutku susah di deskripsikan-, aneka perlombaan selalu menghiasi saat-saat istimewa ini. Akibat lomba-lomba tadi, biasanya jam pelajaran akan semakin berkurang. Dan akhir dari semua itu; waktu bermain jadi lebih lama. Asyiiik....!!!

Tapi, kini semua itu telah berlalu. Beratnya himpitan ekonomi dan tuntutan kerja yang tak mau kompromi, membuatku hampir lupa momen bersejarah ini. Rasanya, aku tak lagi punya kenangan dengan peristiwa ini. Kalaupun ada, paling-paling cerita masa kecil tadi. Cerita kepahlawanan pejuang-pejuang dulu, hanya jadi onggokan cerita tanpa arti. Sebab, yang diperlukan sekarang adalah “uang”. Uang, yang bisa membuat segalanya lebih jernih. Uang yang membuat kita bisa menikmati hidup, bahkan mengenang saat–saat bersejarah itu. “Tapi uang tidaklah segalanya.”, begitu ujar teman lama yang aku sudah lupa namanya. "Semoga saja memang begitu!"

*******
Dan, semua kesemrautan bermula saat pagi tadi (baca: 16 Agustus 2006). Hanya karena bahan capture-an yang terpisah-pisah, terpaksa aku harus menyusuri kembali, kemana lenyapnya materi-materi tersebut. Sewaktu tiba di pejaten kemarin malam, aku hanya menemui 5 buah kaset. Sedangkan satu kaset satu lagi, beberapa CD film dan CD lagu, aku gak tahu terselip dimana. Untungnya, sebelum berangkat tadi pagi, kusempatkan mencari lagi di kantor. Eh…, ternyata benda tersebut masih ada di dalam file cabinet, tempat semua materi liputan berada.

Setelah semua bahan yang di butuhkan ter-capture, kini editor melanjutkan pekerjaannya. Dimulai dengan melihat secara seksama semua bahan dan naskah yang akan di edit, kini waktunya berkonsentrasi. Untuk gambar-gambar tertentu, biasanya editor sering kewalahan, karena tidak tahu gambarnya bercerita tentang apa. Disaat seperti ini lah dibutuhkan pendampingan oleh “camera person” yang mengambil gambar.

Sampai senja datang, ketika sang surya turun ke peraduannya, pekerjaan tersebut belum juga kelar. Kalo sebelumnya telah selesai dua segmen, kini tinggal segmen terakhir. Kegiatan menukar/menyusun gambar plus backsound musik yang dilakukan oleh editor mulai menampakkan hasil. Secara perlahan, kumpulan gambar-gambar tadi akhirnya jadi sebuah cerita.
Tak terasa, keesokanharinya, saat jam menunjuk pukul 04.50 wib dini hari (baca: 17 Agustus 2006), semua editan itu akhirnya kelar. Walau molor dari rencana semula, dengan sentuhan ajaibnya, Nandang –sang editor- tampak khusyuk menyelesaikan tahap demi tahap jalinan gambar yang dibutuhkan untuk jadi sebuah cerita.


*********

Masih dengan motor pinjaman, dinginnya udara subuh yang tak mau kompromi, kembali memaksaku menyusuri jalanan ibukota, menuju kantor. Sama seperti ketika berangkat tadi, jalanan masih saja ramai oleh hilir mudiknya penduduk Jakarta, yang seakan tiada henti.

Tapi, semua kerja keras tadi belum seberapa dibanding akhir cerita, tepat tanggal 17 Agustus 2006. Cerita yang membuat semuanya seakan tak ada arti. Pasalnya, setelah semalaman bersusah payah nemani ngedit, aku harus mengantar kaset print-an ke QC (quality control; red) di kantor. Di bagian inilah semua program yang akan ditayangkan di sensor ulang. Sehingga jika ada masalah, baik dari kualitas gambar ataupun isi materi, tak segan-segan mereka memulangkan kasetnya untuk di perbaiki kembali.

Tepat pukul 05.15 wib, aku tiba di kantor dan langsung menuju lantai dua, tempat QC berada. Di halaman depan, sebuah kesibukan yang lain dari biasanya segera menyapa. Ratusan orang terlihat sibuk memasang panggung ukuran raksasa. Kabarnya di tempat ini akan diadakan konser musik untuk memeriahkan HUT RI ke 61. Sebuah upacara perayaan semarak yang tak tanggung tanggung.

Sesampainya di QC, aku jadi bingung. Pasalnya, dari skedul acara hari itu, tak tertera jadwal programku. Untuk memastikannya, mereka pun menghubungi programming yang bertanggungjawab terhadap susunun acara. Tapi, lagi-lagi, programku tidak ada di roundown (susunan acara; red). Menurut mereka, jadwal pre empt (baca; tidak tayang) program tersebut sudah di kabarin sebulan lalu. “Mungkin produsernya tidak memberitakan ke semua kru”, begitu penjelasan mereka. Mendengar itu pun aku jadi semakin lemas. Abis, sudah susah-susah nemani ngedit semalam suntuk, tak tayang pula!

Aku hanya bisa berguman: “ini semua salah siapa? Atau, apa arti semua ini?”
Hari yang aneh! Saat semua orang terlihat larut dalam riuhnya semangat proklamasi, aku masih berkutat dengan sesuatu yang namanya “kerjaan”. Kerjaan yang semakin hari, semakin membelengguku. Membuat aku tak merdeka lagi, bahkan di saat hari kemerdekaan negeriku.

Makna proklmasi bagiku saat ini? Aaahhh, nanti dulu! Pusing mikirinnya! Mungkin saat semua permasalahan selesai dan rasa kantuk ini hilang, aku baru bisa memikirkannya. Tapi……..., sepertinya sekarang ini, aku butuh tidur! Bukan yang lain!

Akhirnya…., selamat ulang tahun negeriku. Semoga kau (baca: Indonesia) semakin jaya!

Sunday, August 13, 2006

"ThE GoD oF sMaLL tHiNgS"

*0*32***
Malam itu, sehabis pulang kerja, iseng-iseng aku baca sebuah koran nasional. Tiba-tiba saja mataku langsung tertuju pada sebuah artikel yang tertera disitu. Artikel yang membuatku teringat pada sebuah nama. Nama yang sudah sangat lama, terendap dalam memori otakku. Nama seorang pengarang wanita India, yang bukunya aku beli 2 tahun lalu. Kalo boleh di sejajarkan, nama ini setara dengan pengarang wanita mesir –“Nawal El Saadawi”-, yang sangat terkenal dengan bukunya “ Perempuan di Titik Nol”. Setelah menatap foto yang terpampang di koran tersebut dengan teliti, aku jadi sadar, bahwa inilah wajah sang pengarang itu. Pengarang wanita dengan karakter wajah yang sangat kuat ini, telah meraih penghargaan Booker Prize di London, tahun 1999 dan bukunya telah diterjemahkan di 21 negara, termasuk Indonesia.

Sejurus kemudian, aku mulai membaca artikel tersebut. Di situ disebutkan, kalo Arundhati Roi –sang novelis tersebut-, memilih fiksi sebagai jalur menulisnya untuk memahami hidup sebaik yang dia tahu. Disamping itu, ia pun masih aktif menulis artikel untuk beberapa media cetak internasional, disamping merawat anjing, yang merupakan binatang kesukaannya.

Aku juga masih ingat, saat membeli bukunya yang berjudul “The God of Small Things”, rasanya tak banyak orang yang mengenalnya. Karena kegemaranku terhadap sebuah karya sastra, apalagi penulis-penulis luar, dengan tema yang sangat beragam. Aku jadi tertarik untuk membelinya. Selain itu, embel-embel best seller yang tertulis di situ, menjadi pertanda buatku, kalo karyanya bukan sesuatu yang biasa-biasa. Pasti ada yang luar biasa di dalamnya. Dan, itu ternyata benar.

Walau, aku gak baca bukunya sampai tuntas, karena keterbatasan waktu dan rasa malas yang sering datang menggoda. Buku yang bercerita tentang si kembar Estha dan Rahel ini, cukup menarik untuk di baca. Di situ digambarkan tentang kekejaman dan penindasan jiwa masyarakat yang hidup dalam sistem kasta di India. Untuk para penikmat buku, spirit dan pesan yang dihasilkannya, bisa memberi wacana dan warna baru tentang sebuah tatanan sosial di sebuah negara berkembang yang punya penduduk besar (baca: India).

Dari informasi tersebut, diberitakan Suzana Arundhati Roy lahir dan tumbuh di Shillong, Meghlaya, India, pada 24 November 1961. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Aymanam, Kerala, India. Ibunya seorang aktivis pergerakan pembebasan sosial yang mendirikan sekolah bernama “Corpus Christi”, dan Roy –begitu nama panggilannya- menjadi salah satu murid sekolah itu.

Roy, mulai dikenal orang lewat karyanya –The God of Small Things-, yang di rilis pada 4 April 1977, dan versi terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia di tahun 2002. Roy yang mengaku, semua karyanya bukanlah sekedar catatan sejarah dan angka-angka, tapi sebagai karya yang mencoba melakukan perlawanan terhadap prinsip-prinsip moral, religius dan politik kaku yang menobatkan suatu kebenaran mutlak. Selain itu, cerita di buku tersebut adalah penggalan kisah nyata yang dialaminya beberapa waktu lalu. Sehingga tak terlalu sulilt baginya untuk menghasilkan sebuah karya yang di bangun dengan hati.

Kabarnya setelah menulis dan meraih penghargaan atas buku tersebut, Roy kerap melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Disaat itulah ide-ide untuk tulisannya muncul. Tapi, ketika ia merasa malas, tak satu helai pun tulisan yang bisa di hasilkan. Itulah sebabnya Roy, hanya akan menulis, ketika dia ingin menulis.

Saat ini, menurut artikel tersebut, Roy, lebih banyak menulis tentang perlakuan jahat penguasa terhadap manusia dan kondisi manusia tanpa penguasa. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Jerman, “Der Spiegel”, 28 Maret 2003, ia menjawab alasannya untuk tak banyak lagi menulis fiksi. “sebab saya mempunyai perasaan yang sangat kuat, bahwa saat ini adalah saat dimana para penulis harus punya posisi yang jelas dan tegas. Saya mendapat perasaan yang luar biasa kuat untuk menanggapi segala sesuatu yang terjadi,” katanya.



"sAAt SeJArAh aDa dI TaNgAn sAnG FoTOjURnALiS"

Siang itu, di tengah teriknya sang surya, seorang lelaki tua renta, berusia 72 tahun, terlihat sedih, saat menyusuri kembali tempat bersejarah itu. Tepatnya di jalan Hayam Wuruk. 30 - kota, sebuah bangunan yang punya nilai sejarah pernah berdiri kokoh. Dulunya, di tempat inilah dia dan para jurnalis foto legendaris lainnya, pernah berkumpul untuk menyetak dan menyebarluaskan foto hasil jebretan mereka ke berbagai media cetak di Indonesia bahkan mancanegara.

Saat menatap tempat itu, matanya mulai berkaca-kaca. Dia tak menyangka, kalo bangunan bersejarah tersebut, akhirnya harus rata dengan tanah. Kini, lokasi itu hanya menjadi lahan parkir, yang di sisi kanannya berdiri sebuah bangunan megah dengan nama “Bank Ganesha”. “Dulu, presiden Soekarno dan Soeharto pernah menjadikan tempat ini sebagai bangunan bersejarah. Tapi, ntah kenapa, tiba-tiba saja keluar surat yang menyatakan tempat ini telah beralih ke pihak lain. Kami sangat shock karenanya. Tapi kami gak bisa berbuat apa-apa.”, tuturnya lirih, seiring derai air mata yang turun membasahi pipi. Lelaki tua, yang tak tak lain adalah Piet Mendur -keponakan Frans Mendur, seorang fotografer legendaris yang mengabadikan peristiwa detik-detik proklamasi di tahun 1945-, menjadi genarasi terakhir yang masih mengalami semua peristiwa bersejarah itu.

Awalnya dia gabung di IPHHOS (Indonesia Press Photo Services; red), karena tertarik dengan keajaiban fotografi dan cerita-cerita petualangan sang paman. Berbekal pengetahuan fotografi seadanya, Piet mulai mengabadikan beberapa moment penting. Seiring kemampuan memotretnya yang semakin baik, dia pun tertarik untuk bergabung di IPHHOS pada tahun 1953.

Kini, di usianya yang mulai uzur, tak banyak yang bisa di perbuat. Menikmati masa tua di daerah Depok sambil bercengkrama dengan para cucu, membuatnya bisa mensyukuri hidup. Sesekali, dia terlihat hilir mudik di lantai dua Perpustakaan Nasional, untuk mendidentifikasi foto-foto koleksi IPHHOS, yang telah bercerai berai tanpa tanggal. Atau, di suatu kesempatan, masih banyak pihak yang mengundangnya sebagai pembicara di berbagai seminar kesejarahan ataupun koleksi foto-foto tua.

******
Dulunya di jalan Molinvliet Oost (kini Hayam Wuruk: red) 30 ini, berdiri sebuah kantor kontraktor Belanda. Dan, sejak Jepang masuk menjajah Indonesia, bangunan ini mulai tak ter urus. Akhirnya bangunan ini pun menjadi kosong tak berpenghuni. Selanjutnya, ketika Jepang kalah terhadap sekutu, gedung ini mulai digunakan untuk berkumpulnya para juru photo yang pro kemerdekaan. Banyak diantara mereka yang menyembunyikan klise dan hasil cetak foto mereka di tempat ini.

Ya, sebagian dari mereka (para fotojurnalis; red), telah hilang di telan jaman. Kini, tinggal “Piet Mendur” (72 tahun) dan “Meiti Mendur” (70 tahun) yang masih tersisa. Saat krisis moneter di tahun 1997 mengoyak-ngoyak regulasi keuangan kita, dan inflasi seolah tak terelakkan. Saat itulah mereka yang setia dengan payung IPHHOS (Indonesia Press Photo Services) mulai mengalami kesulitan financial. Sehingga, ribuan bahkan puluhan ribu klise hasil dokumentasi mereka, mulai terbengkalai. Untungnya pada tahun 1999, Perpustakaan Nasional, masih berbaik hati untuk menangani koleksi bersejarah tersebut, walau dengan konpensasi harga yang tak berimbang. “Sekarang saya sudah lega, karena koleksi bersejarah milik IPHHOS, sudah ada yang merawat!”, ujur Meity disela-sela perbincangan kami.

Mungkin kita masih ingat saat-saat dramatik itu. Saat dimana pengakuan kedaulatan itu bermula. Saat dimana kita (baca: bangsa Indonesia) menyatakan kemerdekaan atas republik ini. Menjadi bangsa yang merdeka, lepas dari semua belenggu penindasan.

Kisah itu sendiri dimulai selepas Subuh, ketika dua orang fotografer yang bersaudara atas niat sendiri-sendiri meninggalkan rumah mereka menuju jalan Pegangsaan Timur nomor 56. Alex Mendur –ayah Meiti Mendur- yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei mengetahui bahwa akan ada peristiwa penting di kediaman Soekarno kala itu. Demikian pula halnya dengan sang adik, Frans Soemarto Mendur, yang mendapatkan keterangan serupa dari sumbernya di harian Jepang Asia Raya.

Rute yang masing-masing mereka ambil pagi itu sunyi-senyap, tapi bukan tanpa marabahaya. Kendati beberapa hari yang lalu negeri Matahari Terbit menyatakan kalah dalam Perang Pasifik, baru sedikit orang di kepulauan Indonesia yang mengetahui hal ini. Radio tetap di segel. Bendera Hinomaru terus berkibar di mana-mana. Patroli Jepang masih berkeliaran dengan senjata lengkap dan perangai yang lebih galak lagi dibanding biasanya. Sepanjang jalan keduanya pun terpaksa melangkah dengan mengendap-endap.
Saat mereka tiba di tujuan, sekitar jam 5 pagi, suasana di rumah Soekarno "tidak ribut, tidak meriah. Sopan dan tenang. “Menunggu kemungkinan tindakan représailles (pembalasan) dari tentara Jepang." Demikian kenang seorang pelajar putri yang hadir hari itu. Di sana telah berkumpul pula tokoh seperti Mohamad Hatta dan S.K. trimurti, selain beberapa anggota Pembela Tanah Air (PETA) dan masyarakat biasa. Jumlahnya tidak banyak, karena kejadian yang akan bergulir pada hari itu memang tidak disebarluaskan. Kakak-beradik Mendur yang baru bertemu saat itu malah merupakan satu-satunya juru foto yang hadir. Semua menanti.
Ketika matahari bergerak naik, Soekarno di dampingi Hatta akhirnya menampakkan diri untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Alex dan Frans Mendur pun segera menjalankan profesinya, mengabadikan peristiwa bersejarah tersebut dengan kamera Leica mereka.
Pada saat itulah, di Jakarta, pada pukul 10 pagi, tanggal 17 Agustus 1945, sang fotojurnalis Indonesia lahir.

**********

Tak banyak yang menyangka, kalo foto-foto sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang banyak dimuat dalam buku-buku sejarah sebagian besar adalah hasil rekaman/koleksi dokumentasi Kantor Berita Foto IPPHOS. Karya para wartawan foto pejuang yang sejak dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Inddonesia pada 17 Agustus 1945 dengan penuh semangat telah bertekad untuk ikut menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia berjuang bersama rekan-rekan pejuang lainnya dengan bersenjatakan kamera foto.

Untuk mewadahi keinginan para fotojurnalis itu, sebuah paguyuban pun dibentuk. Mereka sepakat untuk membentuk sebuah biro foto dengan nama IPHHOS. Selanjutnya kantor Berita Foto IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) secara resmi berdiri sejak tanggal 2 Oktober 1946, oleh kakak-beradik Alexius Impurung Mendur (1907-1984) dan Frans Soemarto Mendur (1913-1971), serta kakak-beradik Justus dan Frans "Nyong" Umbas; Alex Mamusung dan Oscar Ganda. Namun sesungguhnya IPPHOS telah bergerak jauh sebelumnya yaitu pada awal tahun 1945, membantu perjuangan dengan jalan menyebarluaskan foto-foto perjuangan hasil liputannya melalui media massa lokal maupun internasional.

Lantas, ketika tiba saatnya rakyat Indonesia mengambil keputusan untuk menjadi bangsa yang merdeka para fotografer IPPHOS bersikap untuk berada di pihak Republik, sebuah pilihan yang tidak semudah yang kita duga. Sebagai profesional yang sudah memiliki karir sebagai fotografer di media-media cetak paling utama di zaman Hindia-Belanda dan Jepang, sebenarnya jauh lebih gampang bagi mereka untuk terus bekerja pada kekuatan asing. Ditambah lagi, sebagai etnis Minahasa yang dianggap dekat dengan bangsa Belanda baik dari segi historis, budaya maupun agama, mereka harus berjuang lebih keras untuk membuktikan komitmennya dibanding suku-suku yang lain di Indonesia.

Yang menarik, keberpihakan Alex Mendur dan kawan-kawan pada perjuangan kemerdekaan tidak serta-merta menjadikan mereka alat pemerintah RI. Berbeda dari Antara dan BFI yang bermula sebagai lembaga swasta tapi kemudian menempatkan dirinya dibawah naungan Kementerian Penerangan RI. IPPHOS sejak pertama didirikan hingga detik ini terus bertahan sebagai kantor berita yang independent.

Di satu sisi, ini menyangkut risiko yang tidak kecil dari segi ekonomi dan politik. Alex dan kawan-kawan, misalnya, tidak menerima gaji tetap dari pemerintah sebagaimana halnya Antara dan BFI. IPPHOS juga harus berjuang sendirian di Jakarta ketika Antara dan BFI turut hijrah mengikuti pemerintah RI ke Yogyakarta selama kurun waktu 1946-1949. Di sisi lain, strategi IPPHOS untuk memiliki dua perwakilan --satu di kota diplomasi Jakarta, satunya lagi di kota perjuangan Yogyakarta-- memperlihatkan kematangan pribadi dan profesionalisme para pendirinya yang mendapat gemblengan di penerbitan besar macam harian Java Bode dan majalah Wereld Nieuws en Sport in Beeld di tahun 1920-1930-an.
Di Yogyakarta, IPPHOS dijalankan oleh Frans Mendur yang terkenal gesit, pemberani dan bergaya kerakyatan. Foto-fotonya, yang memperlihatkan berbagai pertempuran dan kehidupan sehari-hari di wilayah Republik yang dikepung Belanda, menjadi salah satu senjata yang paling ampuh bagi perjuangan RI di dunia internasional. Sementara itu, Alex Mendur bersama "Nyong" Umbas yang luwes berbahasa dan bertata-krama a la Belanda bukan cuma bergaul dan meliput tokoh-tokoh Republik di Jakarta seperti Bung Sjahrir, tapi juga politikus, perwira militer, wartawan dan masyarakat awam di pihak lawan.
Dengan pilihan ini, sekali lagi IPPHOS mengambil risiko yang lebih besar dibanding kantor berita lainnya, karena Alex Mendur dan kawan-kawan lantas juga harus menghadapi berbagai tudingan sebagai wartawan yang "bermuka dua" dan "komersil" dari rekan-rekannya sesama juru kamera "kiblik" (Republik). Tapi, yang dilupakan banyak pejuang Indonesia ialah bahwa strategi IPPHOS itu justru sesuai dengan yang diterapkan oleh pemerintah RI sendiri. Seperti yang disinyalir sejarawan Robert Cribb, "ciri yang paling penting dari kampanye Republik di Jawa Barat adalah tidak adanya tuntutan yang nyata bagi para pengikutnya, selain loyalitas pribadi secara diam-diam. Tiap tindakan yang mengganggu kekuasaan Belanda merupakan suatu sumbangan yang diterima dengan senang hati. Bersikap tidak aktif berarti menyebabkan Belanda terus menduga-duga; bekerja untuk Belanda berarti mengifiltrasi musuh."
Harus diakui bahwa di tengah-tengah embargo politik dan ekonomi yang dilakukan Belanda terhadap kita saat itu, Mendur dan Umbas bersaudara justru bukan cuma memperlihatkan kedewasaan politik di atas wartawan foto Republik lainnya, tapi juga telah memilih taktik jitu yang terbukti menjamin kelangsungan hidupnya.
Dengan cara ini, mereka bisa mengirim materi foto ke kantong-kantong perjuangan, sekaligus menyelamatkan foto-fotonya dari sensor Belanda. IPPHOS menjadi satu-satunya kantor berita Indonesia yang berhasil menyelamatkan nyaris seluruh koleksinya, walaupun kantor mereka, seperti halnya Antara dan BFI, beberapa kali diserbu tentara Belanda. Alhasil, tidak ada satupun lembaga di Indonesia yang bisa mendekati keunikan, kekayaan dan orisinalitas foto-foto Alex Mendur dan kawan-kawan; koleksi IPPHOS merupakan satu-satunya karya visual yang paling penting yang kita miliki di Indonesia sekarang. Sementara sejak tahun 1950 foto-foto Antara dan BFI sudah tinggal debu, IPPHOS masih beroperasi dan menyimpan seperempat juta negatif asli.
Setengah abad kemudian, keberadaan koleksi itu menjadi semakin penting. Pertama karena sepanjang lima puluh tahun terakhir ini sangat sedikit sekali foto-foto zaman kemerdekaan yang bisa dilihat umum. Faktanya, karya para juru foto Republik yang pernah diterbitkan pemerintah atau swasta, baik untuk bacaan umum maupun kalangan akademis, jumlahnya tak sampai 200-an gambar, yang terus diulang-ulang pemakaiannya dari satu publikasi ke publikasi lainnya. Bila dihitung dari sekitar 22.000 negatif IPPHOS yang berasal dari kurun waktu 1945-1949 saja, jumlah itu berarti tak sampai 1%-nya!

Yang lebih mengejutkan lagi 99% foto karya Alex Mendur dan kawan-kawan yang belum pernah dipublikasikan itu justru memperlihatkan sebuah pandangan yang sangat bertentangan dengan gambaran yang disuguhkan oleh buku-buku sejarah dan kronik resmi tersebut.Sebagian besar adalah mengenai manusia biasa, petani, pedagang, buruh, wanita, anak-anak, dan tentara rendahan, bahkan ada pula pelacur, calo dan pemadat. Banyak yang menggambarkan kaum Republik, tapi tidak sedikit pula yang memperlihatkan orang-orang Belanda. Dalam kesemuanya, bahkan dalam sebagian besar potret para pemimpin, yang ditekankan adalah sisi mereka yang manusiawi.

Dari sinilah, misalnya, lahir foto Bung Karno yang asyik menonton para supir kepresidenan mereparasi mobil, juga sosok Amir Syarifuddin yang larut dalam tragedi Romeo and Juliet-nya Shakespeare di atas gerbong kereta yang membawanya ke hadapan regu tembak. Dari sini kita diajak merenung betapa warga Indo-Belanda bekas tawanan Jepang yang akan dipulangkan sama menderita dan berharapnya seperti keluarga campuran yang baru tiba di Tanjung Priok.

Foto-foto itu membuktikan betapa heroisme bukan hanya milik orang-orang besar dengan tindakan-tindakan besar mereka, atau cuma terjadi pada orang Indonesia saja, tapi juga berlaku bagi semua manusia yang di tengah-tengah badai sejarah yang menyeret mereka masih harus pula bergulat dengan kemanusiaannya yang boleh jadi sepele dan konyol --melawan lapar dan dahaga, mengatasi rasa takut dan bosan. Dan, itu membawa kita kepada hakekat yang paling penting bagi sebuah pengabdian dan idealisme.

Friday, August 11, 2006

"SePEnGgAl IPPHOS"

Foto-foto itu lahir dari kenyataan hidup: Perang bukan cuma sebuah dunia yang dihuni pahlawan, tapi di sana juga ada para pengkhianat, pengecut, dan pecundang yang sekadar ikut-ikutan. Perang bukan hanya pemimpin dan perwira, tapi juga korban-korban mereka.
Untuk setiap lelaki yang memanggul bedil, maka akan ada lelaki lain yang harus mencangkul di sawah. Akan ada yang lain yang mesti mendorong truk angkutannya yang mogok di tengah hutan. Akan ada seorang janda atau anak yatim yang terpaksa menjual pakaiannya, menggembel, atau bahkan menggadaikan tubuhnya untuk bertahan hidup. Lagipula pelacur juga bisa menjadi pahlawan; di Tangsi Penggorengan, adalah para wanita tuna-susila yang bertugas mencuri senjata prajurit gurkha.

Foto-foto itu lahir dari kemauan hidup, karena di hadapan maut jantung manusia biasanya akan berdegup lebih cepat. Maka, di Jakarta atau di Yogyakarta, lampu-lampu jalanan terus menyala di malam hari. Perusahaan film terus membuat lakon baru. Bioskop terus mempertunjukkannya. Ring tinju atau gulat dipenuhi penonton dan pejudi. Para remaja terus dansa-dansi. Opas masih harus bangun pagi dan berangkat ke kantor setiap pagi, pelukis tetap melukis dan bertikai satu dengan yang lain, sementara si pemilik sampan di Ciliwung tak henti mengayuh perahunya hilir-mudik ketepian mengangkut penumpang atau tangkapan.
Maka, foto-foto itu lahir dari kecintaan terhadap segala yang hidup. Hidup buruh-buruh pabrik gula yang sepanjang hari berpeluh keringat, atau bocah-bocah yang kegirangan menyaksikan atraksi pilot-pilot RI. Hidup seorang prajurit Tiongkok yang berbagi rokok dengan seorang laskar di hari-hari terakhir ketika langit Surabaya diselimuti asap-asap hitam. Juga hidup tuan tanah Belanda yang sama ketakutannya seperti petani yang lari tunggang-langgang ketika pesawat musuh menjatuhkan bom di kebun.
Dan yang paling penting, foto-foto itu lahir dari pengalaman hidup para pembuatnya; sebagai inlander, sebagai pejuang, sebagai minoritas Minahasa beragama Kristen, sebagai wartawan kere --pendek kata, sebagai manusia-manusia yang di setiap zaman --kolonial, penjajahan Jepang, maupun kemerdekaan-- selalu harus membuktikan keberadaannya.
Alhasil, kesaksian Mendur dan Umbas bersaudara menjadi terlalu luas, terlalu rumit, terlalu hidup untuk direproduksi ke halaman-halaman kusam kitab sejarah. Foto-foto IPPHOS berbicara tentang toleransi dan penghormatan terhadap seluruh manusia, tentang hidup, sementara para sejarawan cuma mau ngomong tentang kejayaan masa silam dan raja-raja yang sudah lama mati.

Thursday, August 10, 2006

"CaTaTAn kECil bUAt sAnG kOLeKToR FiLm"

Tak ada yang menyangka kalo rumah di kawasan Jati Waringin ini, menyimpan begitu banyak harta karun. Rumah yang berada di pojokan dari 4 deretan rumah petak ini, terlihat begitu kumuh tak terurus. Tak tampak ada kehidupan disana. Hanya pagar setinggi satu meter dengan gembok yang telah berkarat plus sampah berserakan yang menghiasi halaman depannya.

Bagi masyarakat sekitar, rumah ini dikenal sebagai gudang barang-barang tua. Tapi, bagi Mukhlis, 65 tahun, rumah ini merupakan gudang harta karun tempat investasi yang bernilai tinggi, jika saja peminat barang-barangnya masih ada.

Siang itu, di sebuah kesempatan, kami mengunjungi tempat harta karunnya berada. Begitu pintu depan di buka, aroma pengap, pertanda rumah ini jarang ditempati segera akrab menyergap. Selain itu, jalinan jaring laba-laba dan beberapa ekor tikus yang bersileweran tampak menghiasi sudut-sudut ruangan.

Sejurus kemudian, kami mulai menyusuri ruangan sempit yang di kanan dan kirinya terdapat tumpukan harta karun. Harta yang mulai dikumpulkannya sejak 40 tahun silam, tampak tak teratur dalam kotak-kotak kaleng berbentuk bundar. Ya, ratusan gulungan film bioskop tempo doeloe (Indonesia dan Barat; red) dalam format 35 mm dan 16 mm, merupakan harta terpendamnya. Film tersebut masih tersusun rapi dalam boxnya. Sama seperti dulu, kualitas filmya gak berubah. Hanya kaleng sebagai pembungkusnya, terlihat mulai karatan.

Kondisi rumah yang sudah 10 tahun ini dijadikan gudang, tampak semakin memprihatinkan. Sejak kehilangan beberapa buah koleksi film berharganya, akibat di gondol maling, yang masuk dengan merusak sisi atas rumah. Mukhlis, mulai kehilangan semangat untuk memperhatikan koleksinya. “Abis, dengan raibnya beberapa koleksi tersebut aku jadi sangat kehilangan. Belum lagi kehadiran DVD dan VCD, membuat minat orang terhadap film-film lama (dalam format 35mm/ 16mm; red), sudah sangat jarang”, tuturnya sambil mencari beberapa koleksi film tuanya.

Awal kecintaanya terhadap film, ternyata dimulai saat dia berusia 7 tahun. Ketika itu, orangtuanya kerap mengajak mukhlis kecil untuk nonton film di bioskop. Format film yang saat itu masih bisu tanpa audio, menjadi salah satu keajaiban teknologi yang sangat menarik minatnya. Seiring perkembangan jaman, film-film berwarna dengan suara mulai mengganti film-film tadi. Keberadaan film tersebut pun, ternyata tak membuatnya perhatiannya bergeming. Dia malah semakin tergila-gila. Merasa takjub dengan hasil yang ditawarkan sebuah film, keinginan untuk mengoleksinya semakin besar. Sampai ketika dia punya segepok uang, niat untuk memiliki film-film tersebut mulai kesampaian. Satu persatu film-film favoritnya dibeli.

Karena biaya untuk membeli sebuah film ternyata cukup besar. Mau tidak mau dia harus punya cadangan uang yang cukup besar pula. Untung saja, profesinya sebagai seorang pelukis bisa mendukung hobi tersebut. Setiap ada hasil lukisan yang laku, selalu saja ada koleksi film yang berhasil diraih. Sampai lama kelaman, tak terasa koleksi filmya semakin banyak. Tak puas dengan jenis film format 35mm dan 16mm, film dengan format Betacam, VHS dan Laser Disc pun menjadi incaran berikutnya. Bahkan, bukan itu saja, ketika ada perusahaan film yang gulung tikar, dia pun akan memborong semua aset perusahaan, mulai dari poster, foto, proyektor sampe materi asli (negative: red) film tersebut. Sungguh, sebuah hobi yang tak tanggung-tanggung.

Hobi unik tersebut, ternyata tak selamanya mengeluarkan biaya. Ketika banyak stasiun televisi mulai menanyangkan film-film lama, keberadaan film-film tersebut semakin sulit ditemui. Kelangkaan tersebut, akhirnya menimbulkan peluang bisnis baru buat Mukhlis. Lima tahun belakangan ini, banyak kalangan tivi yang mencari koleksi film-film jadul (jaman dulu; red) miliknya. Dengan mengenakan biaya sewa, keuntungan yang di dapatkannya pun lumayan. Untuk setiap judul film, dia bisa meraih laba 3 juta rupiah. Menurutnya, keuntungan tersebut masih terlalu kecil dibanding keuntungan yang diraih oleh perusahaan yang memproduksi film tersebut. Sebab, dalam sekali penayangan, mereka (pembuat film; red) bisa menerima keuntungan 40 juta untuk royalty yang harus dibayar oleh sebuah stasiun televisi .

Dalam sebuah kesempatan, Mukhlis mengatakan sudah tak terhitung koleksi filmnya. Selain itu, jumlah kolektor film kuno seperti dirinya bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan hanya berasal dari kalangan filmmaker yang telah bangkrut.

Berhubung banyak koleksi filmnya sudah tak terurus. Banyak teman-temannya mengusulkan, agar sebagian filmnya di hibahkan atau di jual kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap dokumentasi film Indonesia. TVRI dan SINEMATEK, contohnya. Ke tempat ini, sebagian koleksi-koleksi berharganya telah dia berikan dengan konpensasi harga yang tidak berimbang. “tapi………, dibanding busuk gak berbekas, filmnya lebih baik di jual murah, bukan?”, begitu ujarnya disebuah kesempatan.

Habis dari satu sudut ruangan, pindah ke sisi yang lainnya. Tapi, setelah 2 jam lebih membongkar-bongkar, film yang dicari tak kunjung ketemu. “Serangan Fajar”, itulah judul film yang dicari. Sebuah film yang dirilis pada tahun 1981, berisi tentang perjalanan seorang anak yang mencari keberadaan bapaknya di tengah peperangan yang terjadi kala itu. Bocah kecil itu merasa belum yakin kalo bapaknya sudah meninggal. Di film itu diceritakan, bahwa sang bapak telah meninggal di sebuah pertempuran. Proses pencarian itu, membuat sang bocah harus terlibat secara tak sengaja di banyak pertempuran. Sampai akhirnya Indonesia merdeka di tahun 1945. Dan, di penghujung film tersebut dikisahkan, kalo sang bocah –yang bernama Temon- berhasil merealisasikan cita-citanya sebagai seorang pilot tempur.

Balik ke tokoh kolektor film.
Mukhlis, yang punya hobi mengumpulkan film, akan selalu mencari film-film tua lainnya. Untuk itu, tak jarang dia akan hunting ke banyak tempat di Jakarta. Penjualan barang-barang antik, di jalan Surabaya, menjadi salah satu tempat favoritnya. Pasalnya, di tempat ini dia akan menjumpai begitu banyak barang antik yang ditawarkan, termasuk koleksi film-film tua. .

Sebenarnya, Mukhlis punya cita-cita untuk membangun sebuah tempat, yang mirip museum, guna menyimpan dan mengidentifikasi semua koleksinya. Tapi, lagi-lagi, masalah dana menjadi kendala terbesarnya. Sementara itu, pemerintah -yang harusnya punya inisiatif lebih untuk mengelola asset sejarah ini- seakan menutup mata. Sehingga, bukan tak mungkin, untuk mencari sebuah film produksi dalam negeri, kita akan kewalahan, karena keberadaannya yang sangat jauh di negeri seberang. Bukankah itu yang sering terjadi? Untuk mencari jati diri budaya sendiri, kita harus menemukannya di gedung-gedung museum negara lain. Dan, kita harus membayar lebih untuk itu. Sungguh, sebuah ironi yang memilukan.

Aku hanya berharap, semoga koleksi film-film kunonya, tak akan lekang oleh waktu. Semoga saja karat yang menggerogoti kaleng pelindung film tersebut, tak akan sampai menyentuh harta karun itu. “kalo di luar negeri, seorang kolektor film bisa kaya dengan semua koleksinya, beda dengan di Indonesia. Penghargaan terhadap sebuah karya seni yang punya unsur sejarah, sepertinya masih jauh dari harapan”, ujarnya lirih sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Monday, August 07, 2006

"SeDIkIt cATaTan bUAt pENaRi ULaR"

Sudah 45 menit waktu yang terbuang, saat mengitari kawasan Ciganjur untuk kedua kalinya. Gang Murni, itulah tujuan kami. Menurut info yang diterima, gang tersebut berada tepat di depan gang Manggis. Sejurus kemudian, setelah bertanya kesana kemari, keberadaan gang Manggis, sebagai petunjuk arah orientasi berhasil kami lacak. Tapi anehnya, banyak orang di sekitar itu tak mengetahui keberadaan gang yang kami maksudkan. Untungnya, setelah meniti pandang lebih seksama, gang Murni -yang plangnya sudah dicat hitam-, akhirnya dapat kita temukan.

Setelah berbelok ke kanan di ujung gang, kita akan menemukan rumah kontrakan berderet tiga. Di rumah paling ujung inilah “Sang Penari Ular” bisa kita jumpai. Sedetik kemudian, seorang wanita berumur, berperawakan tegar, segera menyapa kami. Tuan rumah ini terlihat ramah dengan mempersilahkan kami masuk. “Sabar ya, Dila-nya (panggilan sang penari ular: red) sedang dandan”, begitu ujarnya sambil memperhatikan kami.

“Hallo, Kok cepat datangnya!”, sapa Dila yang telah selesai dandan. “ Iya neh! Abis takut, kita nanti telat!”, begitu ujar reporterku. Sejurus kemudian kami pun saling memperkenalkan diri. Rencananya hari ini, kami akan melakukan liputan tentang “penari ular”. Sebuah profesi yang sangat langka di jaman sekarang ini. Kalo gak salah ingat, aku pernah nonton liputan tentang penari ular, setahun lalu. Bedanya, kalo saat itu, aku melihat sang penari yang berusia belasan tahun. Sedangkan yang duduk di depanku ini adalah seorang wanita matang, yang punya hobi nari sejak 25 tahun lalu.

Karena tak konfirmasi sebelumnya, sang penari ular, ternyata telah siap-siap. Sebuah tas besar yang berisi peralatan dan perlengkapan manggung telah ready di depan pintu. “Begitu mas-mas datang, kita langsung berangkat, kan?”, begitu tanyanya pada kami. Mendengar itu, kami pun menjelaskan beberapa ritual pengambilan gambar yang harus dilakukan. Sebab untuk liputan tivi, sekuen menjadi hal wajib.

Akhirnya, setelah mendengar penjelasan itu, sang penari-pun mengerti. Dengan sedikit rasa malu-malu, dia masuk kembali ke dalam kamar. Di kamar itu, aku mulai mengabadikan semua aktiviatas berdandannya sebelum show. Bedak rias yang sebelumnya sudah tertata rapi di dalam tas kecil, harus di keluarkan kembali demi sebuah sekuen. Sekuen yang nantinya menjadi jalinan cerita itu sendiri. Tak terasa 25 menit waktu yang kuhabiskan untuk semua itu.

Awalnya aku gak terlalu peduli dengan sekeliling. Tapi, setelah melihat beberapa kejanggalan, aku pun mulai ngeh! Mulai dari hadirnya beberapa anak kecil, adanya seorang wanita tua –yang tak lain ibunya Dila sendiri-, keberadaan wanita paruh baya yang terlihat kekar, sampai kemunculan seorang wanita muda yang masih terlihat cantik.

Untuk keberadaan anak kecil tadi, di depan kami Dila gak mengakuinya sebagai anak. Apapun itu, aku gak ambil pusing. Hanya anehnya, di beberapa kesempatan sang anak sering memanggil mama terhadap Dela. Sekali lagi, apapun itu, aku gak akan ikut campur.

Dari semua itu, yang cukup mencolok adalah keberadaan wanita kekar tadi. Setelah kita bertanya dengan sangat sopan, akhirnya Dila mengakui, kalo wanita tersebut adalah kekasihnya. Kekasih yang masih dicintainya sama seperti 6 tahun lalu. “Susah sedih sudah kami lalui bersama”, begitu tuturnya. “Selain itu, dia sangat pencemburu, lho! Makanya mas-mas ini harus hati hati!”, ucapnya kemudian. Mendengar itu, kami pun semakin menjaga jarak. Takut ada missunderstanding nantinya. Selain itu, aku juga gak berani bertanya lebih jauh, tentang ikhwal kedekatan mereka, atau masihkan Dila suka terhadap lawan jenis. Rasanya tak etis, aku menanyakan semua itu. Sebab itu ruang privasi, yang tak seorangopun bisa mengusiknya. Bahkan ibunya sampai geleng kepala, mengapa semua ini bisa terjadi. Tapi, mau di bilang apa, sang penari sudah dewasa dengan umur kepala tiga. Saat dimana seseorang bisa menentukan yang terbaik buat dirinya.

Sedangkan, wanita muda yang terlihat sexy, yang muncul belakangan, ternyata menjadi anak asuh Dila. Dila, yang dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai penari, mempunyai banyak anak asuh penari. Wanita tersebut, sebut saja “Rosi”, sudah 6 bulan ini bergabung dengan grupnya Dila. “Sweet Dencer”, begitu sebutan grup mereka. Grup penari ini, bersedia dipanggil untuk menari jika ada event-event tertentu, seperti lounching produk ataupun party-party. Sehingga, tak jarang keberadaan mereka di sebuah even, sangat gampang ditemui.

“Goo goo dance”, merupakan aliran tari mereka. Tapi, bukan tak mungkin mereka dapat melakukan tari kreasi yang lain. Kalo gak salah, goo goo dance, lebih dikenal di daerah hiburan malam, seperti diskotik dan cafe. Tarian yang di beberapa kesempatan menampilkan simbol erotisme, menjadi cirinya. Selain itu, seiring perkembangan jaman, tarian ini pun mulai berkembang kearah yang lebih berani. Streaptease, begitu nama bekennya. Tarian erotis yang diperagakan sang penari tanpa menggunakan sehelai busana, dipadu dengan gerakan yang mengundang syahwat, menjadi daya tariknya.

Selepas maghrib, kami pun bergerak menuju sebuah diskotik di daerah Kerawang, Bekasi. Karena lokasinya yang cukup jauh, tol merupakan jalur alternative terbaik untuk tiba disana. Diskotik ini dipilih karena “mami-nya” (istilah untuk induk semang: red) Dila menjadi menejer disana. Berdasarkan informasi yang kami terima, Dila mulai belajar tari ular dari sang mami beberapa tahun silam. Saat itu, Dila, yang dulunya takut ular, tiba-tiba berani memegang ular tanpa takut sedikitpun. “Abis, nyari pekerjaan susah sedangkan kebutuhan banyak! Mau gak mau nari ular pun harus kulakukan.”, ujar Dila di sela-sela pembicaraan.

Setibanya di diskotik, yang aku lupa namanya, suasana masih sepi. Hanya para pegawai yang terlihat lalu lalang menyiapkan sesuatu. Di tempat ini 2 jam waktu terbuang, hanya untuk menunggu kehadiran sang mami. Ular yang akan dipakai untuk menari juga belum kelihatan. Pasalnya, ular tersebut akan dibawa oleh sang mami.

Untuk memecah kebekuan karena tak melakukan apapun. “Ada baiknya Dila latihan dulu, deh! Biar nanti gerakannya terlihat bagus dan gak grogi”, ucapku. “Boleh juga, tuh!”, ujarnya menimpali. Sejurus kemudian, di atas panggung berukuran 5x10 m, Dila mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Sungguh, sebuah gerakan yang sangat indah. Tak henti-hentinya aku mengguman takjub atas tariannya. Sepertinya, ada kesan anggun, sexy, indah dan mistis dalam setiap gerakannya. Apalagi saat sorotan lampu mengarah padanya, sebuah imaji siluet tersaji indah di dinding ruangan.

Untuk musik pengiring, Dila memilih irama padang pasir/ Arabian. Menurutnya, musik tersebut sangat cocok, karena alunannya enak untuk dibawa bergoyang. Selain itu, temponya yang kadang cepat dan kadang lambat, sangat ideal untuk menyesuaikan gerakan ular. “Biasanya setiap ular punya gerakan tersendiri yang harus diikuti dan harus disesuaikan dengan musiknya.”, ujar Dela sebelum latihan.

Tepat pukul 23.45 WIB, sang mami yang ditunggu-tunggu, akhirnya muncul. Badannya yang terlihat mulai mengembang, dengan riasan seadanya, tak meninggalkan sisa-sisa kecantikan masa lalu. Awalnya sang mami, yang ternyata janda ini, terlihat angkuh dengan kehadiran kami. Tapi setelah lama berdialaog, suasana pun mulai berubah cair. Di sebuah kesempatan, sang mami, masih terlihat lincah memegang ular sanca peliharaannya. Dan, bukan itu saja, untuk mendekatkan dirinya dengan binatang melata tersebut. Sang mami sering memasukkan kepala ular ke dalam mulutnya. “biar jinak dan tidak galak!”, begitu ujarnya.

Selepas dandan ulang plus menggunakan kostum ungu kebesarannya, Dila –sang penari ular-, terlihat mulai akrab dengan ular sang mami. Karena ular tersebut bukan miliknya, sebuah pengakraban, wajib dilakukan. Mulai dengan mengelus-elus kepala dan badan ular, sampai melilitkan di tubuh, menjadi ritual yang harus dilakukan. “Setiap ular, punya kebiasaan sendiri-sendiri.”, ujurnya. Sejurus kemudian, dila pun mulai berlatih menari dengan ular tersebut. Berhubung ularnya sangat berat (±30kg; red), setiap gerakan yang dilakukan membuatnya terasa lambat. Selain itu lilitannya yang sangat kuat, sering menjadi kendala yang menyulitkan dalam menari.

Saat jam menunjuk angka 00.15 WIB, sang penari ular pun segera bergegas. Dandanan seksi dengan aksesori mahkota dan ular yang melilit di perut, pertanda semua telah siap. Seiring alunan musik Arabian, secara perlahan Dila mulai memasuki panggung. Sejurus kemudian Dila mulai meliuk-liukkan tubuhnya, yang di tingkahi riuh rendah para pengunjung yang takjub dengan aksi panggungnya. Saat sebuah gerakan sulit dilakukan, tak henti-hentinya tepukan tangan segera menyambut. Sumpah! Gerakan-gerakan itu emang indah. Kebayang kan, gimana susahnya menari sambil membawa ular seberat 30kg. Tapi, namanya emang penari professional, semua itu bukan penghalang baginya.

Walau sudah lama tak menari ular, energi Dila ternyata masih cukup besar. Ini terbukti, saat dia bisa menari mengikuti 2 buah lagu selama 7 menit. Sudah delapan bulan ini, dia tidak menari ular, karena tak ada orderan. Penampilan terakhir yang dia lakukan adalah saat nampil di sebuah acara televise swasta. Saat itu, dia hadir sebagai bintang tamu plus pengisi acara.

Malam itu, setelah pengambilan gambar dirasa cukup. Kami pun segera bersiap-siap pulang. Rasanya, lengkap sudah pemahamanku tentang penari ular. Di tengah-tengah jaman yang semakin gegap gempita, gemerlap sang penari ular pun semakin redup. Sebab, kehadirannya hanya sebatas acara-acara tertentu yang penontonya tak terlalu banyak. Tarian goo goo dance ataupun streaptease, sepertinya lebih diminati orang sekarang ini. Walau ingin menari ular sampai tua, Dila tak bisa menjamin sampai kapan tarian ini bisa bertahan. Dia hanya berharap, semoga masih ada generasi yang mau diajari untuk menari ular.



Tuesday, August 01, 2006

".. mENcoBa wISatA dI sAAt...."

Sedetik kemudian, sang satpam yang kelihatan galak, mulai menghentikan mobil kami, ketika tiba di pintu raksasa, yang berupa gapura candi. Busyet, mungkin karena kali ini tidak menggunakan mobil batik (logo TRANS: red), mereka -para satpam dengan seragam hitam-hitam yang melebihi gegana- terlihat serius memeriksa setiap kendaraan yang masuk, termasuk kendaraan kami. Padahal, jika menggunakan kendaraan sakti tersebut, kita selalu lancar saat melakukan peliputan. Untungnya, saat kita menyebut nama seorang menejer, yang kebetulan menjadi narasumber kali ini, semuanya pun menjadi lancar.

Tujuan peliputan kami kali ini adalah “Kebun Mekar Sari”, yang terletak Jl. Raya Cileungsi-Jonggol Km.3. Rencananya di tempat ini kami akan meliput tentang profesi pawang tanaman, yang sering melakukan penyilangan untuk mendapatkan bibit unggul. Kebun buah dengan luas ±127 ha ini, ternyata masih dimiliki oleh keluarga cendana. Saat ini kepemilikannya dipegang oleh putri bungsu, mantan orang nomor satu di negeri ini (Soeharto: red)

Perjalanan pun dilanjutkan meniti jalanan aspal ke arah selatan, sampai akhirnya tiba di sebuah telaga kecil yang diseberangnya berdiri sebuah gedung tinggi yang dibelah oleh air terjun, yang lebih terkenal dengan sebutan “Bangunan Air Terjun”. Konon gedung ini, merupakan bangunan air terjun tertinggi di dunia. Kalo gak salah, tingginya kurang lebih 30 meter, terdiri dari 7 lantai. Di bangunan inilah semua kegiatan operasional perusahaan dikendalikan.

Bagi orang awam seperti kami, perjalanan ke udara terbuka seperti ini, selalu memberikan kesan tersendiri. Rasanya sudah cukup lama kami berkutat dengan deru knalpot, sisa pembakaran di dapur-dapur warga dan asap pabrik. Ini yang membuat cuaca Jakarta dari hari ke hari semakin panas, akibatkan efek rumah kaca. Kalo gak salah, kejadian itu terjadi saat semua bahan-bahan polutan tadi terakumulasi di udara.

Sejak awal perjalanan, udara segar khas dataran rendah plus rimbunnya tanaman buah di kiri kanan jalan segera menyapa. Sudah tak terhitung lagi berapa jenis tanaman buah yang sudah dilewati, sebelum akhirnya kami tiba di tempat pembibitan, yang sering disebut “Nursery”. “Kurang lebih 1400 jenis tanaman buah yang dibudidayakan di tempat ini, itupun belum termasuk jenis tanaman bunga dan tanaman obat”, begitu penuturan kang Junaidy, salah satu staff di tempat ini.

Di tempat pembibitan, kami akan meliput persilangan antara nangka dan cimpedak, yang akan menghasilkan sebuah varietas baru, dikenal dengan nama “NangkadaK” (Nangka Cimpedak). Kami memilih topik ini, karena tanaman ini masih langka dan keberadaanya belum diketahui banyak orang. Selain itu, rasa buah yang dihasilkan merupakan perpaduan dua tanaman tersebut.

Seperti biasa, sebelum mengambil gambar, kita (reporter dan kameramen; red) selalu melakukan diskusi, perihal cerita apa yang akan diangkat dari sumber tersebut. Akhirnya kita bersepakat untuk membuat liputan tentang profesi sang pawang, mulai dari pemilihan bibit, penyerbukan, persilangan sampai panen buah. Kelihatannya sih gak terlalu sulit. Tapi, bahasa lisan dan tulisan gak segampang bahasa gambar. Selain karena lebih ribet, sekuen menjadi hal wajib yang harus diperhatikan. Sikuen merupakan urutan peristiwa, yang akan menjadi rangkaian cerita. Sehingga sekuen gambar dan sekuen story, menjadi satu kesatuan yang gak bisa di pisahkan.

Dengan sedikit berkeringat, akhirnya aku dapat menyelesaikan peliputan di lokasi tersebut. Tak sadar, sudah 2 jam waktu tersita, ketika kita menyelesaikan wawancara terakhir, tepat saat posisi sang surya telah mulai bergesar ke ufuk barat. Seperti biasa, setiap memulai pengambilan gambar perasaan malas selalu datang menggoda. Mungkin karena lokasi yang cukup jauh plus kurang tidur semalaman. Tapi, yang namanya kerjaan, mau gak mau harus segera dilakukan, kalo gak, akan berantakan nantinya. Trus, hasilnya pun pasti kelihatan jelek (tidak maksimal: red). Itu yang aku alami dulu, saat melakukan peliputan dengan perasaan yang tidak tenang.

Sejurus kemudian, kita diajak makan siang di sebuah resto siap saji (KFC; red), tepat di samping gedung pusat informasi. Bagi para pengunjung, tempat ini merupakan entry point untuk pergi ke beberapa wahana (lokasi wisata; red) yang ditawarkan. Ternyata makan siang di tempat ini cukup asyik, karena lokasinya yang terbuka dengan beberapa buah meja yang tertata rapi. Dari sini kita dapat melepas pandang keseluruh penjuru.

Rencananya kita akan segera balik ke kantor, tapi sang narasumber menawarkan untuk mengikuti paket tour yang ada disini. Berhubung kami belum pernah berkeliling kawasan, rasanya tawaran menarik itu sayang untuk dilewatkan. Dengan menumpang kendaraan tour, berupa mobil kereta 2 gerbong, perjalanan menjelajahi kebun raksasa ini pun di mulai. Laju kereta dengan tempo lambat, membuat pengunjung seperti kami dapat menikmati pemandangan yang tersaji di kanan dan kiri jalan. Sudah tak terhitung lagi banyaknya jenis tanaman buah yang kami lewati, dan semuanya itu termasuk jenis tanaman yang sukar ditemui.

Di kesempatan kali ini, layaknya pengunjung, kami ditemani oleh seorang guide, yang akan menerangkan semua hal tentang kawasan ini, mulai dari sejarah, jenis tanaman, sampai fasilitas apa saja yang bisa kita temui selama tour. Tujuan pertama kali ini adalah “kebun wisata Melon”. Lokasinya yang agak ke barat, memaksa kita mengikuti jalanan dengan arah berkelok-kelok. Secara detil aku gak hafal jalurnya, tapi kalo tersesat, aku masih tahu orientasi arah pulangnya. Maklum, dulu aku menguasai peta kompas!

Tak terasa, hanya 7 menit waktu yang dibutuhkan untuk tiba disana. Dari pintu depan kita langsung di bawa ke sebuah rumah kaca, tempat pembibitan dan perbanyakan melon dilakukan. Disinilah, kita dapat melihat bagaimana pembiakan melon dilakukan. Masa tumbuh sampai panen buahnya ternyata tidak lama. Dalam waktu 3 bulan, kita sudah dapat memetik hasilnya. Ini yang membuat tanaman ini selalu dapat ditemui. Para pengunjung yang ingin membeli melon segar sebagai oleh-oleh, dapat memesannya disini. Hanya dengan uang Rp. 10.000, buah melon ukuran 1 kg sudah bisa di bawa pulang.

Selanjutnya kita dibawa berkeliling ke arah Barat Daya, tepatnya ke “kebun wisata Belimbing”. Di tempat ini kita akan menjumpai ratusan bahkan ribuan pohon belimbing dalam aneka varietas. Walau sudah dijelaskan sang guide, aku tetap lupa jenis varietasnya. Maklum, aku gak terlalu memperhatikan waktu dia menjelaskan tadi. Tapi aku bisa tahu dari bentuk/ morfologi buahnya. Kalo gak salah, jenis belimbing yang berwarna merah kekuningan, merupakan primadona tempat ini, karena bentuk buahnya yang besar dan manis rasanya. Disini kita pun akan menemukan banyak buah belimbing yang belum masak, dibungkus kertas Koran. Gunanya untuk menjaga kualias buah tetap baik. And, buat pengunjung yang ingin membeli, cukup merogoh kocek Rp. 8000 untuk setiap kilonya. Berhubung tanaman ini selalu berbuah sepanjang tahun, pemanenan bisa dilakukan setiap hari. Sehingga tak heran jika keberadaan buah ini selalu ada.

Selepas dari tempat tadi, tujuan selanjutnya adalah “kebun wisata salak”. Lokasi ini berada tepat di seberang kebun Belimbing tadi. Arah jalannya yang berbentuk daun Lantorogung, membuat kita harus berputar-putar untuk tiba disana. Disain jalan mengambil bentuk daun Lantorogung, menjadi ciri khas kawasan ini. Mungkin karena filosofi Lantorogung yang multiguna, menjadi inspirasi dan cita-cita yang ingin dicapai kawasan ini. Idealnya, kawasan ini harus bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Di kawasan kebun salak ini, tak terlalu banyak salak yang ditawarkan. Pasalnya bulan panennya belum datang. “ntar, dua bulan lagi baru panen besar”, begitu penuturan seorang pegawai yang menjaga tempat ini. Karena terobsesi dengan salak berukuran besar, aku tak menyangka kalo salak di tempat ini bentuknya kurang menggairahkan, alias rada kecil. Untung rasanya yang manis bisa mengobati kerinduan tadi. Ditempat ini pun, para pengunjung masih bisa membawa pulang buah salak sebagai cinderamata, cukup dengan membayar Rp.10.000 per setiap kilonya.

Puas, berkelana ke kebun yang masih berbuah. Kini, tujuan selanjutnya adalah telaga, tempat terakhir tujuan pengunjung untuk melepas lelah sebelum mengakhiri semuanya. Kalo gak salah luas telaga ini sekitar 10 ha. Untuk keperluan pengembangan kawasan, sekarang telaga ini sedang mengalami perluasan dan pendalaman. Untuk perluasan sedang dikeruk sekitar 10 ha lagi. Dan untuk pendalaman, sedang diadakan penggalian sejauh 20 m. Sungguh, sebuah telaga yang cukup besar. Akhirnya, untuk melepas lelah, tak ada salahnya kita rehat sejenak di salah satu foofcourt yang banyak ditemui di sepanjang pinggir telaga. Sehingga para pengunjung yang ingin melepas lelah lebih lama, dapat menikmati suasana tempat ini, tanpa perlu khawatir, akan ketinggalan kereta. Pasalnya setiap 5 menit sekali kereta akan singgah di sini. Hanya saja, waktu kereta yang sampai jam 5 sore perlu menjadi pertimbangan, sebab kalo tidak, kita akan ketinggalan. Gak aneh kan, kalo sampe ketinggalan kereta! Uh…, capek pastinya.

Wah, lengkap sudah penjelajahan kali ini! Disela-sela waktu liputan, aku masih bisa memenuhi hasrat bathin tuk berwisata. Mungkin ini lah sisi lain pekerjaanku, yang gak ada di profesi lain. Sebuah pekerjaan yang menawarkan segudang pengalaman di banyak tempat. Tapi, jauh dari semua itu, aku rindu agar keluargaku bisa menikmati semua yang pernah aku rasakan. Sebab mereka juga butuh liburan dan wisata. Semoga kita bisa melakukannya bareng-bareng!


ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN