Tuesday, June 26, 2007

Meretas Batas Menunggang Angin

(Olaraga Paralayang merupakan kegaitan yang menantang. Foto: ist)

“Terbang!” Satu kata yang akhir-akhir ini membuat bulu kudukku selalu bergidik. Kata yang menjadikanku terlalu paranoid terhadap ketinggian. Sebuah kata yang lagi-lagi membuatku alergi dengan segala hal yang berbau kendaraan terbang, terutama pesawat terbang.

Tapi, semua ketakutan itu sirna saat mencoba kegiatan dirgantara yang satu ini. Yup, paralayang penggiat di Indonesia menyebutnya. Sedangkan di Negara asalnya (Eropa), kegiatan ini dikenal dengan nama ‘paragliding’. Saat ini, olahraga yang diidentikkan dengan ‘terjun gunung’ -karena selalu memulainya dari tempat tinggi- semakin berkembang di Indonesia. Terbilang lebih dari 20 klub sudah berdiri sejak tahun 1998 hingga sekarang, di beberapa kota besar di Indonesia.

Berbeda dengan penerjun payung, parasut yang digunakan lebih berfungsi sebagai alat penyelamat agar mendarat empuk saat menapak Bumi setelah jatuh bebas atau free fall. Sedangkan bagi penerbang paralayang, parasut yang digunakan tak bermesin, namun mampu membawa penerbangnya terbang lebih tinggi dan jauh. Asal tahu saja, rekor dunia terbang jauh paralayang adalah sejauh 350 km, kurang lebih jaraknya sama antara Jakarta - Malang.

Selain itu, parasut paralayang adalah sebuah "pesawat terbang" yang melayang menggunakan prinsip-prinsip aerodinamika, layaknya pesawat Air Bus yang sanggup membawa penumpang hingga ratusan orang. Bedanya, penumpang paralayang sangat terbatas, hanya satu orang saja ditemani seorang pilot.

Awal Perjumpaan
Saat itu, sekitar pukul 3 sore, kami tiba di Mountnear Paragliding Club (MPC), tepatnya di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. MPC merupakan salah satu klub paragliding yang menyediakan jasa pelatihan dan terbang tendem bagi pemula dan wisatawan yang ingin mencoba olahraga dirgantara ini.

Di basecamp yang terletak di pinggir jalan raya Puncak, kami dijamu oleh serombongan anak muda pencinta olah raga paralayang. Munir, salah satunya. Pria yang mengaku berusia kepala tiga ini, merupakan salah seorang pendiri MPC yang mendedikasikan hidupnya bagi kegiatan beresiko ini. “... akhirnya, aku putuskan untuk total di kegiatan ini, dari pada tanggung-tanggung gak jelas” ungkapnya suatu ketika.

Berawal dari rasa ingin tahu, pada medio 1998, ia dan beberapa orang temannya mulai mempelajari paralayang dengan cara yang sangat sederhana. Saat itu hanya 1 orang yang mempunyai payung standar yang layak digunakan terbang. Secara bergantian dengan naluri otodidak mereka mencoba menggunakan payung tersebut di sebuah lapangan luas di daerah Sentul. Lapangan yang luas merupakan tempat yang memadai untuk belajar cara menaikkan dan menurunkan paralayang. Lambat laun, try and error yang mereka lalui mulai membuahkan hasil. Secara perlahan mereka menjadi tahu cara mengembangkan payung dan terbang yang baik.

Saat itu, selain tidak adanya buku paralayang yang berbahasa Indonesia. Mereka pun belajar dengan mereka-reka gambar yang ada di buku panduan berbahasa Perancis, yang kebetulan dimiliki salah seorang rekan mereka saat itu.

Namun kini, seiring berkembangnya olahraga yang telah menjadi salah satu nomor perlombaan dalam Pekan Olahraga Nasional, tukar menukar informasi, baik dalam diskusi maupun pelatihan, membuat olahraga ini semakin diminati. Terbilang tak hanya orangtua yang menyenangi olahraga ini, anak-anak pun bisa menikmatinya. Itu sebabnya tak ada batasan umur untuk mengikutinya. “hanya bobot yang penting di perhatikan! Kalo masih 50 sampe 100 kg, masih boleh ikut terbang, kok” ujar Munir sembari mengecek ulang peralatan yang akan digunakan.

Saat semua peralatan yang akan digunakan dirasa cukup, dengan bergotong royong anak-anak muda ini menaikkan ransel (baca; berisi seat harness dan payung) berbobot 20 Kg ini ke dalam mobil kijang yang akan mengantar hingga starting point.

Starting Point
Cuaca agak mendung dengan angin bertiup kencang, saat kami tiba di titik strat penerjunan, tepatnya di sebuah puncak di Kawasan Perkebunan Teh Gunung Mas, Puncak, Bogor. Pemandangan yang mulai berkabut tak menyurutkan 6 orang "penunggang angin" untuk melepaskan hasrat terbangnya. Termasuk aku, salah seorang new comer di kegiatan ini. Sudah sejak pagi mereka setia menunggu kesempatan terbang. "Wah, kabutnya, kok, tebal banget, bisa terbang, gak ya?" tanyaku pada salah seorang tandem master di atas Bukit 250 yang jadi lokasi lepas landas sejak tahun 1999 lalu.

Menurut penuturan mereka, jika tak ada angin dan thermal tidak terbentuk, sering mereka kecewa karena harus pulang ke basecamp dengan log book terbang yang kosong. Sedikit rasa hopeless. Tetapi, itu tak menjadi soal karena masih ada hari esok. Para penerbang paralayang memang mempunyai prinsip 'lebih baik tidak terbang hari ini ketimbang memaksa terbang hari ini, tetapi esok tak bisa terbang lagi!'

"Wah, kayaknya asyik banget, tuh, bisa terbang seperti burung," ujar salah seorang wisatawan yang berkunjung di kawasan Puncak. Kadang-kadang justru keheranan muncul dari mulut para pelancong yang baru pertama kali melihat paralayang. "Lho, ada yang terjun payung, tetapi, kok, tidak terdengar suara pesawatnya?"

Saat aku tiba disana, lokasi start ini menunjukkan banyak perubahan, setidaknya itu yang dituturkan para penggiat paralayang. Kalo dulu para penerbang harus meniti jalan tanah untuk bisa tiba di titik tertinggi. Selain itu tidak ada landasan untuk berlari saat mulai terbang. Namun kini, semua terasa lebih baik. Jalanan sudah di buat dari beton untuk memudahkan mengangkut peralatan. Tempat landasan pun sudah di buat dari logam berongga untuk memudahkan penerbang lepas landas (take off) “semua ini di kerjakan sendiri oleh anak-anak paralayang tanpa dukungan siapa-siapa, lho” tutur Nanang, salah seorang tandem master yang menemaniku.

Lereng dan angin
Konsep terbang paralayang sangat sederhana, tetapi mengagumkan, terbuat dari lembaran kain nilon yang dibentuk seperti sayap atau aerofoil yang dihubungkan oleh tali-tali sebagai cantolan tempat duduk penerbang (seat harness). Dengan adanya gerakan saat melintasi di udara bebas, maka lembaran kain tersebut menggelembung dan menciptakan tekanan dan membentuk sayap yang akhirnya dapat diterbangkan.

Untuk dapat lepas landas, seorang penerbang paralayang memerlukan sebuah lereng bukit yang rata dengan kemiringan sekitar 20-30 derajat, atau jika tak ada lereng, ditarik dengan mesin Winch di lapangan terbuka pun bisa.

Untuk melakukan penerbangan, ada dua hal yang mesti diperhatikan, yakni kondisi angin dan thermal. Kondisi angin lebih banyak digunakan pada waktu sore hari. Saat-saat itu, keadaan angin biasanya berlimpah. Sedangkan untuk waktu pagi hari, para penerbang lebih mengejar thermal (baca; panas bumi) yang terbentuk. Karena tak kasat mata, kondisi thermal yang timbul hanya bisa dilihat dari beberapa ciri penanda, diantaranya; terbentuknya pusaran angin yang tiba-tiba, goyangnya sebuah pohon sementara pohon-pohon yang lain diam -tidak menunjukkan gerakan-, serta adanya pusaran angin yang memaksa payung terangkat lebih tinggi.

Untuk proses terbangnya pun sederhana. Sebelum terbang, parasut digelar dengan mulut-mulut sel (leading edge) menghadap angin dan sisi belakang (trailing edge) lebih dekat ke bibir lereng. Lembaran kain parasut, tali-tali, serta harness-nya lalu diperiksa agar yakin bahwa perlengkapan terbang itu sudah betul-betul oke.

Proses berikutnya, penerbang pun bersiap-siap setelah helmet dan harness dipakai. Masing-masing tangan memegang tali kemudi dan riser depan, sementara riser tengah dan belakang dibiarkan menggantung di atas siku. Saat angin berembus, penerbang pun kemudian melangkah maju sambil menarik dan mengangkat riser yang dipegangnya. Dengan adanya sedikit entakkan ini, parasut mulai terangkat, sel-selnya yang menganga itu langsung menelan angin, dan akhirnya mengembang sempurna di atas kepala.

Setelah parasut mengembang sempurna dan yakin tak ada yang kusut, penerbang meneruskan larinya ke arah bibir lereng. Dengan adanya gerak maju dan adanya embusan angin yang menghantam lereng, parasut kemudian terangkat dan membawa penerbangnya meluncur ke angkasa. Kecepatan angin dan kemampuan mengendalikan parasut merupakan kombinasi yang sangat menentukan apakah penerbang akan tetap terus melayang atau harus siap-siap mendarat.

Seperti burung
Apa sih, asyiknya terbang dengan paralayang? Pertanyaan sederhana, tetapi jawabannya bisa beragam. Setidaknya itu yang aku alami, ketika mencobanya pertama kali. Saat kaki tak lagi menjejak Bumi, sebuah perasaan dan ekspersi yang menakjubkan segera meraja. Sebuah pengalaman yang mungkin takkan sama jika di ungkapkan dengan kata-kata. Sebuah perasaan yang hanya bisa di identikkan dengan sesuatu. “Terbang”. Itulah padanan kata yang sangat sesuai untuk mengungkapkannya. Tidak lebih, tidak kurang.

Saat melayang-layang di angkasa itulah keadaan fenomenal yang paling mengasyikkan. Sepertinya, kita bisa terbang layaknya burung. Pemandangan dari atas yang kita dapatkan pun tak kalah dengan pemandangan yang disaksikan burung sehari-harinya. Ada kesunyian dan ketenangan yang berbeda yang aku rasakan.

Tetapi, lain lagi perasaan yang diungkapkan Munir, pendiri MPC dan sekaligus atlet paralayang asal Kaltim. "Rasanya puas saat bisa mengejar thermal dan terbang setinggi mungkin, apalagi dapat terbang jauh atau cross country dan mendarat berpuluh-puluh kilometer dari titik awal penerbangan," katanya.

Menurut literatur, olahraga paralayang adalah olahraga dirgantara yang mempunyai tantangan tak terbatas. Ketergantungan dengan wahana lain juga sangat kecil. “Paling murah diantara semua olahraga dirgantara dan sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi wisata dirgantara, mengingat hampir semua tempat terbang paralayang merupakan lokasi wisata," ungkapnya.

Modal Awal

Saat awal belajar tak perlu harus mempunyai alat-alat tersebut terlebih dahulu, karena biasanya sekolah atau klub pendidikan paralayang sudah menyediakannya untuk para peminat. Tentu saja harus menyiapkan ongkos pengganti biaya penyusutan perlengkapannya.

Maklum, untuk sebuah payung ukuran standar saja, para penggiatnya harus merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah. Belum lagi termasuk seat harness, pakaian dan helm yang harganya masih juta-jutaan. Tentu terasa mahal. Ini yang membuat olahraga ini terbilang ekslusif dan hanya bisa dinikmati segelintir orang saja. Rasanya, jika tak punya duit, mustahil bisa belajar terbang paralayang.

Namun kini, bagi kalangan awam yang tertarik pada kegiatan ini, ada baiknya bergabung pada klub-klub yang ada di daerahnya. Biasanya, pada tahap awal, klub-klub ini akan memfasilitasi anggotanya untuk bisa belajar dengan alat organisasi. Jika punya sedikit duit, tak ada salahnya untuk menyicil peralatan tersebut. Pasalnya, klub-klub besar menyediakan peralatan yang bisa dibayar dengan cara di cicil. Akhirnya, dengan cara inilah, kegiatan yang terbilang mahal bisa di siasati.

Walau peralatan cukup mahal, rasa menakjubkan yang ditawarkannya, tak senilai dengan harga peralatan tersebut. Bahkan setitik pun tidak. Rasa kecanduan akan terus dan terus menggerayangi penggiatnya untuk kembali terbang. Sebuah rasa penasaran. “karena setiap terbang selalu memberi pengalaman yang berbeda, meski melakukannya di tempat yang sama”, ungkap Munir menutup perjumpaan kami malam itu.

Friday, June 22, 2007

Kebebasan Pers Indonesia Terancam!


Data menunjukkan bahwa peringkat kemerdekaan pers di Indonesia memburuk. Hal ini di dukung oleh UU yang tak berpihak pada kebebasan pers. Selain itu, beberapa lembaga swadaya masyarakat (NGO) internasional yang secara teratur mengukur tingkat kemerdekaan pers negara-negara di dunia menguatkannya.

Freedom in the World, Index of Economic Freedom, Worldwide Press Freedom dan Reporters Without Borders pada tahun 2005 lalu menilai kebebasan pers di Indonesia. Freedom House menilai Indonesia dengan partially free. Mostly unfree dalam Index of Economic Freedom dan difficult situation dalam Wolrdwide Press Freedom Index. Hanya satu lembaga (baca; Reporters Without Borders) yang menilai pers Indonesia sudah membaik, itu pun baru secara partial.

Jika diperhatikan dengan seksama, sebelum hingga diberlakukannya UU Pers No. 40/ 1999, peringkat kebebasan pers di Indonesia sebagai berikut; 77 (1998), 53 (1999), 47 (2001), 53 (2002), 56 (2003), 55 (2004), 58 (2005). Dari data di tunjukkan bahwa makin tinggi berarti makin rendah peringkat yang diperoleh. Terlihat bagaimana pada tahun pertama UU ini diberlakukan, rating Indonesia mengalami lompatan kemajuan, dan terus makin baik selama 3 tahun sampai tahun 2001. Tetapi sejak itu, kualitas kemerdekaan pers terus menurun.

Mengapa demikian? Menurut laporan Freedom House, pers Indonesia meresot kemerdekaannya, antara lain karena: meningkatnya tuntutan perkara terhadap pers di pengadilan, penyerangan atas kantor redaksi dan penyogokan wartawan oleh pengusaha dan pejabat. Atas dasar inilah pers Indonesia di kelompokkan sebagai partially free.

Trend serupa, -meskipun lebih baik- juga terlihat pada pengamatan organisasi Reporters Without Borders (RWB). Menurut mereka, pada tahun 2002, peringkat kemerdekaan pers berada pada posisi 20.00. Kemudian memburuk pada 2003 (34.25) dan 2004 (37.75). Kemudian naik kembali pada 2005 (26.00). Dengan skor seperti ini, Indonesia menduduki peringkat 103 dari 167 negara, dibawah Gabon, tetapi di atas India, Thailand dan Malaysia.

Menurut Reporters Without Borders, kriteria pemeringkatan ini mereka lakukan berdasarkan; hukum media Negara yang bersangkutan, kebebasan wartawan dalam mencari berita dan profesionalisme wartawan dan media di Negara tersebut.

Sedangkan data Annual Worldwide Press Freedom Index, memperjelas makin buruknya kebebasan pers di Indonesia. Hal ini di tunjukkan dengan perbandingan yang dicapai Indonesia pada beberapa tahun. Di tahun 2002, Indonesia mencapai posisi 67 dari 139 negara, kemudian meningkat di posisi 111 dari 166 negara (tahun 2003). Selanjutnya pada tahun 2004- 2005 menduduki peringkat 117 dari 167 negara.

KUHP memperburuk Kemerdekaan Pers
Makin buruknya kebebasan pers di Indonesia, terutama terkait pasal-pasal dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana), KUH Perdata dan UU No.1/ 1946 (baca; yang masih di pakai) tentang peraturan Hukum Pidana yang mengancam dan menghukum penjara dan denda jutaan rupiah bagi perusahaan pers dan wartawan.

Sejak 21 Mei 1998, pers Indonesia mengungkapkan: kinerja pejabat yang tidak becus, dugaan KKN oleh pejabat dan pebisnis, pelanggaran HAM oleh oknum tertentu, perusakan lingkungan, peniadaan partisipasi publik dalam national policy making, hinga tiadanya transparansi. Hasilnya tak banyak temuan pers yang di respon oleh pihak terkait, seperti; DPR dan aparat penegak hukum. Alih-alih pers dan wartawannya dianggap kebablasan, , dianggap mencemarkan nama baik dan tak sedikit wartawan yang terancam masuk penjara dan/ atau denda dengan jumlah yang membangkrutkan perusahaan, bahkan dibiarkan banyak wartawan yang mengalami tindakan kekerasan. Akhirnya berdasarkan KUHP, karya jurnalistik menjadi karya kriminal.

Saat ini, yang paling mengkhawatirkan, pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan RUU (rancangan undang-undang) berisi 61 pasal yang dinilai kalangan pers sebagai kriminalisasi pers. Pasalnya dengan aturan baru ini, wartawan bisa masuk penjara. Sebuah aturan yang sangat kejam, bahkan lebih sadis ketimbang undang-undang pemerintahan kolonial Belanda.

Phobia Pemerintah Terhadap Pers
Sejatinya, pers membutuhkan payung kebebasan. Hal ini hanya mungkin terjadi, jika tegaknya hak publik untuk bebas berbicara dan berekspressi (the public right of freedom of speech and expressionz), tegaknya hak publik untuk bebas dari rasa takut (the public right of freedom from fear), serta tegaknya hak publik untuk bebas memperoleh informasi (the public right of freedom of inquiry)

Jika kebebasan pers kembali dibangun sejak runtuhnya rejim Orde Baru, kini kondisinya semakin mengkhawatirkan. Tampaknya pemerintah berkeinginan untuk menggunakan kembali lima alat kendali untuk mengontrol pers.

Pertama; alat kendali perizinan.
UU Pers No. 40/1999 jelas-jelas meniadakan persyaratan ijin untuk penerbitan pers. Ini yang membuat tak ada lembaga yang berhak mengadakan pembredelan terhadap pers. Sebagai gantinya, semua di serahkan ke Dewan Pers, sebagai institusi tertinggi yang membawahi pelanggaran yang dilakukan oleh pers.

- Permen Kominfo No. 17/ 2006; meniadakan keikutsertaan KPI sebagai penerbit perijinan penyelenggaraan penyiaran. Ini yang membuat KPI ibarat sapi ompong yang tak bisa berbuat apa-apa. Semua ijin penyiaran diambil alih dan di kendalikan oleh Kominfo. Berembus kabar, peraturan ini merupakan proyek Sofyan Jalil (baca; mantan Menkominfo) untuk mengkebiri penyiaran di Indonesia, baik radio maupun televisi. Hal ini terjadi, karena pengaruh media penyiaran memiliki dampak yang terluas. Sang mantan menteri takut, jika penyiaran di Indonesia terlalu bebas. Padahal, ini merupakan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebebasan pers.

Kedua; alat kendali politik hukum kriminalisasi pers.
UU Pers no. 40/ 1999 meniadakan kriminalisasi dalam kegiatan jurnalistik. Sedangkan dalam KUHP terdapat 37 pasal yang berisi kriminalisasi pers. Saat ini sedang di usulkan agar UU No. 40/1999 menjadi Lex specialist, yang membuat setiap ada pemidanaan terhadap pers/ wartawan harus diadili berdasarkan UU pers bukannya KUHP.

Namun yang paling mengkhawatirkan adanya Rancangan UU KUHP berisi 61 pasal yang dapat memenjarakan wartawan dalam pekerjaan jurnalistiknya.

Ketiga; alat kendali Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen
Dalam UU Pers No. 40/ 1999 meniadakan PP dan Permen dalam penyelenggaraan pers. Bertentangan dengan semangat UU Penyiaran No. 17/ 2006, lewat 7 PP Penyiaran dan Permen Kominfo No.17/2006. Disebutkan, Menkominfo menjadi penentu kebijakan, pengatur, pengawas dan pengendali penyiaran satu-satunya. Selain itu Kominfo berhak mengamputasi kewenangan KPI berdasar pasal 7 ayat 2, pasal 62 dan pasal 33 UU Penyiaran. Merujuk usulan Lembaga Kajian dan Teknologi Fak. Hukum UI, Depkominfo sedang melangkah lebih jauh, berkampanye agar merevisi UU Pers untuk mengakomodir otoritas Menkominfo menerbitkan PP yang mengontrol pers.

Keempat; Penyediaan amplop bagi wartawan dimaksudkan untuk memperlemah kontrol pers.
Banyak pihak yang mengatakan, salah satu penyakit pers adalah kegemaran mencari amplop Yang jika di urut akarnya, ternyata tidak terjadi dengan sendirinya. Ternyata kehadiran wartawan amplop (baca; bodrex) lahir karena pejabat, politisi dan pengusaha yang ingin membungkam pers dengan menyediakan amplop. Jika pihak-pihak tadi berhenti mengamplopi wartawan, penyakit ini akan hilang dengan sendirinya. Kini, di beberapa daerah, banyak wartawan yang tidak lagi menerima amplop, tetapi menerima isinya. Ini mah, sama saja!

Kelima; mengontrol pers dengan kebijakan yang membatasi hak publik mendapat informasi.
Kebijakan membatasi hak publik ini dapat dilihat dari beberapa instrument, seperti; Perpres Perlindungan Pejabat, RUU Rahasia Negara dan RUU KMIP yang secara substansi mengakomodasi prinsip-prinsip UU rahasia Negara.

Dari cara-cara ini terlihat bagaimana pola-pola lama mulai dilakukan untuk membungkam pers Indonesia yang semakin independen. Karena itu, tak ada cara lain selain kita sebagai pers independen harus getol mengkampanyekan gerakan-gerakan kebebasan pers. Jika di tanya, batasan apa yang membuat pers agar tidak kebablasan (baca; memelintir berita). Semua itu di kembalikan kepada penegakan kode etik. Sehingga kita bisa beranjak di jalur yang benar.

Saturday, June 09, 2007

Semoga Kau Tak Mengalaminya...


Wajahnya lumayan tampan untuk anak seusianya. Lakunya pun cukup bersahaja. Pola pikir yang cerdas mengingatkanku pada seorang bocah yang umurnya masih dua setengah tahun, jauh di di bawah usianya. Namun sayang, dibalik ketampanan itu, tak banyak yang tahu kalo lelaki berusia sembilan tahun itu memendam kepedihan yang teramat dalam.

Siang itu, saat meliput rumah warga yang dirampok orang tak dikenal, tak sengaja aku bertemu dengannya. Dia hadir mengikuti penjaga rumah yang menemani kami.

Kabarnya, rumah yang di bobol maling sehari sebelumnya, pernah di sewa seorang artis yang mulai nge-top. Kalo gak salah, Dina Olivia namanya. Masih menurut informasi yang kami dapat, diketahui bahwa si artis sempat menempati rumah itu selama 2 tahun saja, yakni tahun 2002 – 2004.

Peliputan korban perampokan di rumah ini harus kami lakukan setelah menerima pantulan (baca: informasi) dari kantor. Berdasarkan sambungan telepon di ujung sana, di kabarkan rumah ini dibobol maling saat pemilik tidak berada di tempat. Masih menurut kantor, kasus ini menarik, karena melibatkan artis.

Padahal, sebelumnya kami mulai menyusuri kasus pembunuhan tukang sate yang di lakukan teman sekamar. Kasus ini seakan berada di titik nol, setelah mendengar keterangan polisi. Tak ada yang bisa dilakukan. Pertama, karena TSK (baca; tersangka) yang masih buron. Diperkirakan dia melarikan diri ke Lampung. Kedua, keluarga korban telah meninggalkan kontrakan (baca; ibukota) setelah kejadian, pulang ke kampung halaman di Brebes. Artinya, tak ada sumber yang bisa dimintai keterangan.

Dari informasi yang di himpun kantor, diketahui rumah yang kemalingan berada di Jalan Pinang 1 No.2, Pondok Kopi, Jakarta Selatan. Sejurus kemudian, mobil batik yang kami tumpangi pun segera melaju ke lokasi tersebut. Tak terbayang sebelumnya, ternyata mencari alamat ini terbilang sulit. Butuh ketabahan dan ekstra hati-hati. Pasalnya lokasinya menjorok di dalam kompleks dengan nomor rumah yang tak beraturan.

Untunglah setelah tanya sana-sini, kami pun menemukannya. Rumah itu berada persis di pojokan (hook) jalan Pinang I. Rumah yang rencananya akan di jual seharga 1,4 milyar ini telah dua bulan kosong, setelah di tinggalkan penyewa terakhir. Sejak itu rumah ini tak berpenghuni lagi.

Dari penuturan Didin (baca; penjaga rumah) yang sempat melihat aksi pelaku, sekitar pukul 21.15 Wib, ada orang yang mondar mandir di lantai II rumah itu. Ini diketahui saat bayangan si maling melintasi jendela di bawah pendaran lampu jalan. Saat itu, hanya barang-barang kecil yang raib. Namun anehnya, semua barang tersebut bukanlah benda mahal, seperti perhiasan ataupun uang. Maklum, rumah ini sudah kosong sejak dua bulan lalu. Mungkin, karena tak ada barang berharga yang bisa diambil, barang-barang kecil, seperti kran, pipa, kabel, sambungan mesin pompa, menjadi alternatif lain yang mau tak mau harus di gondol, ketimbang pulang dengan tangan hampa.

Namun sayang, saat hendak membawa kabur barang curian, salah seorang pelaku berhasil di bekuk warga yang mengetahui aksinya. Ia berhasil ditangkap ketika turun dari genteng menuju pekarangan warga. Dari sana ia berencana keluar sambil membawa hasil rampokannya. Sementara itu, maling yang seorang lagi keburu kabur, begitu mengetahui warga menyergap temannya. Dari cara-caranya, di duga aksi pencurian ini terbilang amatir. Mulai dari cara kerja yang tidak sistematis dan koordinasi yang tidak baik. Belum lagi, saat berada di rumah, maling tersebut terlihat bingung dengan arah keluar yang akan di ambil.

*****
Sewaktu mengambil gambar di dalam kamar yang kata(nya) tempat persembunyian sementara si maling. Tiba-tiba saja kehadiran seorang bocah mengagetkanku. Dengan lagak yang sok tahu, ia langsung menunjukkan arah-arah yang dituju si maling. 

“dari sini mas, malingnya mulai masuk, trus ke sana” ujarnya suatu ketika. 

Lantaran tak kenal, aku tak ingin bertanya terlalu jauh. Takutnya yang diketahui si bocah hanya rumor/ selentingan orang-orang yang di pahami secara sepihak.

Saat kutanya siapa namanya? Faqi, demikan ia memperkenalkan diri. Bocah ini terlihat sangat bersahabat, bahkan terhadap orang baru.

Setelah ngobrol sekilas tentang siapa dirinya. Akhirnya baru diketahui, kalau dia adalah cucu Pak Hidayat si empunya rumah. “Faqi merupakan cucu ketiga,” ungkap Didin penjaga rumah yang bersedia menemani kami.

Menggunakan kaos bola berlambang klub AC Milan dengan nomor punggung 09, bocah ini tampak lincah memainkan bola plastik yang dibawanya. Sesekali ia menendang bola itu ke arahku, pertanda ingin mengajak main. Namun, jika tugas belum selesai, rasanya tak etis meninggalkan tanggung jawab. Sejurus kemudian aku pun kembali mengambil gambar.

Puas berkeliling di rumah yang sempat dihuni kalangan artis, perjalanan kami lanjutkan ke tempat pemilik rumah (baca; Pak Hidayat) yang letaknya berseberangan. Suasana tampak lengang disana. Hanya ada seorang penjaga lain yang terlihat duduk di depan pintu. Dia adalah pengasuh Faqi.

“Mas, silahkan minum dulu” ungkap penjaga tersebut. Minuman dingin di tengah teriknya mentari tentunya menjadi oase yang menyegarkan. Kami tak pernah menyangka akan dijamu seperti ini. Pasalnya, saat hendak meliput, kami kesulitan bertanya pada masyarakat sekitar, perihal kejadian tersebut. Semua rumah di kelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Untungnya, secara tak sengaja kami bertanya ke rumah Pak Hidayat, yang ternyata pemilik rumah tersebut.

Di beberapa kesempatan, Ujang, demikian pengasuh itu memperkenalkan diri, menceritakan duka yang dialami Faqi. Kami baru tahu, kalo Faqi kini menjadi yatim piatu. Dia gak punya orang tua yang bisa menerima segala keluh kesahnya. Ibunya telah tiada lebih dahulu. Tepatnya, beberapa tahun silam, akibat kanker. Saat kutanya, kanker apa gerangan. Ujang, hanya geleng-geleng kepala. “gak tahu mas!” jawabnya dengan ekspresi lugu.

Sementara sang ayah, baru saja meninggal seminggu lalu, juga karena penyakit. Berhubung harus meladeni omongan Faqi, aku jadi lupa jenis penyakit yang dituturkan Didin --si penjaga rumah--. Yang pasti, ayahnya meninggal karena sebuah penyakit.

Sungguh, ia kini sendiri. Hanya pengasuh yang menemani. Sementara ketiga saudaranya sudah dewasa. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Abangnya yang tertua, kini sudah berumahtangga dan hidup terpisah dengannya. Sedangkan seorang lagi, tinggal di lain kota. Yang tersisa hanyalah seorang kakak perempuan. Itu pun pulangnya selalu larut. Sehingga bisa dipastikan mereka jarang bertemu dan kurang pengawasan.

Ini yang membuat Faqi rada-rada badung. Tak ada yang mengontrol emosinya. Di beberapa kesempatan, omongannya selalu menyerempet ke arah narkoba. "Kalo gak ganja, ya... shabu-shabu". Apakah itu hanya ungkapan rasa ingin tahu? Bisa juga! Namun, siapa yang mengajarinya? Mungkinkah para pembantu itu? Rasanya mustahil, karena mereka terlihat polos, tipikal pemuda desa yang lugu. Bisa jadi, kemajuan teknologi, televisi salah satunyanya. Sudah begitu burukkah televisi kita, sehingga aneka tontonan yang berbau resiko seakan bukan hal tabu lagi? Jika saja salah arah, bukan tak mungkin bocah ini akan terjebak di dunia hitam. Pasalnya, tak ada yang melindungi. “paling-paling cuma ganja, kok om!” katanya padaku di suatu ketika.

Jika saja aku jadi dia, pasti tak punya semangat lagi. Bayangkan saja, seandainya orang-orang terbaik yang kita kasihi pergi tuk slamanya. Bisa-bisa kita jadi orang yang frustasi dan hilang arah. Namun tidak demikian dengan anak ini. Tak sedikit pun ia merasa sedih maupun kehilangan. Ia malah terlihat gembira dan asyik dengan kegiatannya. Mungkinkah, ia sudah melupakan semua duka itu? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Saat ini, obsesinya hanya satu, yakni jadi artis terkenal. Menurutnya jadi artis begitu mengasyikkan. Tak perlu belajar, yang penting menghasilkan duit dan dielu-elukan banyak orang. Ntah siapa yang menulari pikirannya? Bisa jadi, karena ada beberapa kerabatnya yang telah jadi artis. Dian Sastro, salah satunya. Menurut Ujang, Dian masih keluarga jauh dari pihak ibunya.

Dan, satu lagi, kegemarannya terhadap dunia bola tak bisa di anggap enteng. Walau usianya masih belia, daya ingat terhadap nama-nama pemain sepakbola dan asal klub menjadi bagian yang sudah khatam di memorinya. Namun, untuk urusan sekolah, prestasinya aku gak tahu ? Maklum, waktu bertemu terlalu sempit.

Di sebuah kesempatan, aku pun meluangkan diri bermain bola dengannya. Tepat, di halaman depan rumah. Kami pun bermain sekenanya. Ternyata dia masih ragu-ragu menggiring bola dengan orang yang lebih besar. Tapi, dari gayanya membawa dan menggocek bola, terlihat bahwa ia memiliki potensi. Bisa jadi dia punya bakat di bidang ini.

Postur tubuhnya yang relatif tinggi dibanding anak sebayanya, membuatnya terlihat jangkung. Saat bertemu dengan anak lain, tersirat caranya bersosialisasi. Ternyata ia banyak kenal dengan anak lain yang sebaya. Awalnya, ku pikir bocah ini jarang bergaul dengan anak lain. Ternyata pandangan itu luntur, ketika ia bertegur sapa dengan beberapa anak di depan rumahnya.

Puas dengan informasi yang dibutuhkan, kami pun mohon diri. Di akhir perjumpaan, masih sempat ku jabat tanganya yang mungil. “Hati-hati ya!” ujarku. “Ya om, tapi jangan lupa titip salam buat Tora, ya?” jawabnya. Ternyata anak ini nge-fans berat dengan Tora Sudiro, seorang personil komedi Extra Vaganza yang kini mulai naik daun.

Saat menatapnya terakhir kali, aku jadi teringat seorang bocah dengan usia jauh dibawahnya. Saat ini, bocah itu masih berumur dua setengah tahun. Hobinya terhadap bola juga sama. Tendangannya pun mantap. Hanya saja, ia belum terobsesi menjadi artis. Selain itu, ia juga masih punya orang tua yang mengasihinya. Yup, dialah Kelana, anak lelakiku yang ku tinggal di rumah bersama ibunya. Semoga saja kau tidak mengalami kisah sedih itu, nak!

Monday, June 04, 2007

*Luka Kedua


Sejak kepergiannya seminggu lalu, Umi menunjukkan banyak perubahan. Kini, semangat hidup tak lagi terpancar di wajahnya. Semua terasa hampa. Hanya kepedihan yang tersisa. Namun, kepedihan itu semakin meradang, takkala luka yang lebih besar hadir meraja. Ketika seorang yang tak dikenal datang bertamu.

Sudah dua puluh tiga tahun ini, Umi menghabiskan waktu dengannya. Sejak itu pula ia telah berkorban dan mengabdikan seluruh hidup pada lelaki yang telah jadi tambatan hatinya. Tak terhitung pula cerita duka dan momen indah yang mereka lalui. “mungkinkah ini yang namanya bunga-bunga kehidupan?”

Pertemuan yang bermula ketika Umi masih berumur 21 tahun, tak bisa ia lupakan begitu saja. Saat sedang berbelanja, tepatnya di sebuah pasar, tak sengaja ia bertemu seorang pemuda. Umar, demikian pemuda itu memperkenalkan diri. Umar yang sehari-hari berjualan sayur mayur di Pasar Ciledug selalu menyapa jika ia lewat. Di beberapa kesempatan umar pun memberi harga murah saat sang pujaan membeli sayur di warungnya.

Ternyata, sejak semula, di pertemuan pertama, sebentuk rasa mulai memenuhi relung hatinya. “Benarkah ini yang namanya cinta? Semoga saja, ya!”

Beberapa hari kemudian, Umi kembali berbelanja. Momen berbelanja itu ia sempatkan untuk singgah. Kalo tidak membeli sayur, ya... paling-paling hanya sekedar ngobrol. Biasanya, Umar yang pertama menyapa. Maklum posisi kiosnya yang berukuran 2x2m dekat dengan pintu gerbang.

Kelanjutan dari pertemuan itu memantapkan Umar bertamu ke rumahnya. Biasanya, jika tak ada halangan, setiap Kamis malam ia rutin berkunjung. Jika bertemu, mereka hanya berbincang di teras rumah, karena kekasih tak diijinkan pergi jauh oleh orangtuanya. Dari sekian banyak pertemuan, akhirnya tercetus ide untuk melakukan rencana besar itu. Jika tabungan dirasa cukup mereka berniat menikah.

Dua tahun berselang, saat dua insan yang saling mencinta berjanji, pelaminan jadi tempat akhir yang paling ditunggu-tunggu. Tanggal dan hari baik yang telah ditentukan pun di sepakati. Masing-masing pihak sibuk mempersiapkan semua yang dibutuhkan; mulai dari mahar, pakaian, keperluan pesta sampai ranjang pengantin.

Hari yang di tentukan pun tiba. Dua keluarga besar tampak gembira, tak terkecuali dengan pasangan ini. Mereka begitu bahagia. Tamu yang berdatangan pun tak kalah banyak. Pesta kecil yang dirancang untuk para kerabat, ternyata melebihi kapasitas. Untung persediaan makanan terbilang cukup, sehingga para tamu tidak kecewa.

Malamnya seusai hajatan, di dalam kamar, Umi dan Umar menghitung semua bingkisan yang mereka terima. Ternyata, sebagian berbentuk barang, sedang sisanya berupa uang yang di selipkan dalam amplop. Jumlahnya tentu tak banyak. Jika dibandingkan dengan biaya pesta, sepertinya belum balik modal. Tapi, lumayan untuk modal awal hidup berumah tangga.

Layaknya kisah di roman-roman, setahun sesudahnya, Umi pun mengandung dan melahirkan anak laki-laki pertama. Semar, mereka memanggilnya. Tingkah lakunya begitu lucu, apalagi jika tertawa. Sedangkan jika menangis, hanya tetek ibunya yang sanggup redakan. Saat itu, hidup mereka tak lagi sama. Hadirnya si kecil memberi warna baru.

Kebahagian pun semakin bertambah, tak kala Riska hadir ke dunia, tiga tahun sesudahnya. Kini, lengkaplah sudah. Sepasang anak telah mereka miliki. Tuntutan ekonomi semakin tinggi. Jika kemarin-kemarin hanya Semar yang minta susu, sekarang si adik pun tak kalah rakus. Disini, hidup semakin berat. Walau begitu, mereka tak langsung menyerah.

Untuk menyiasati kesulitan ekonomi, tak ada cara lain, selain ikut di kegiatan produksi. Bermodal ala kadarnya, Umi berjualan nasi uduk di depan kontrakan, sedangkan sang suami melanjutkan keahlian lama, berjualan sayur mayur di pasar. Sedikit demi sedikit, rupiah mereka kumpulkan dari kegiatan ini.

Tanpa di prediksi sebelumnya, setahun berselang, putri ketiga pun hadir melengkapi dunia kecil mereka. Keberadaannya sungguh tak bisa di tolak. “ini adalah anugerah yang harus di syukuri” ungkap Umar di acara aqiqahan.

Tapi, tak bisa di pungkiri, penambahan anggota keluarga, tentulah berakibat pada beban biaya per bulan. Umar semakin pusing jadinya. Apalagi, tahun depan, Semar harus duduk di Taman Kanak Kanak (TK) jika ingin masuk Sekolah Dasar (SD). Berbeda dengan jaman dulu di kampung. Disana tak dikenal TK. Setiap anak yang sudah cukup umur bisa masuk SD kapan dan dimana pun. Bahkan tak sedikit anak yang malas sekolah, karena keasyikan bermain.

Hari berganti hari, di benak mereka, tidak lain tidak bukan hanyalah bagaimana mengumpulkan sejumput rupiah dari usaha yang mereka geluti. Jika sayur di kalangan petani sulit di dapat, bisa di pastikan harga di tingkat pengecer pasti tinggi. Saat seperti ini Umar bisa meraup untung lebih dari biasanya. Walau kejadian seperti ini jarang terjadi.

*****
Siang itu, seperti biasanya, sehabis berjualan di pasar, Umar beranjak pulang. Di tengah jalan ia di kagetkan oleh teriakan Ali, tetangga sebelah rumah yang masih terbilang famili.

“Bang, cepat pulang”
“Iya, ini juga udah mau pulang! Emangnya ada apa?”
“Gawat, si Udin ngamuk lagi. Semua barang ia hancurin”
“Udin, ngapain lagi dia kesini?”
“Nah, itu dia! Setelah di nasehati kakak, dia langsung beringas.”
“Karena itu abang di suruh pulang. Kakak udah gak sanggup”
“Ya udah, ayo cepat..!!”

Bukan kali ini saja Udin membuat masalah di rumah. Sebulan lalu, seisi rumah dibuat takut oleh ulahnya. Sambil membawa golok dia mengancam setiap orang. Sampai-sampai, Fitri anak ketiga mereka jadi trauma karenanya. Pemicunya selalu bermula dari hal-hal sepele, seperti masalah salah tanggap ataupun menu makanan yang ditawarkan. Biasanya, Umi menasehati agar sifat kekanak-kanakannya dihilangkan. Pasalnya, usianya tak lagi muda.

Bagi orang-orang se RT, keberadaan Udin sangat di maklumi. Saking dimaklumi, ia dianggap angin lalu, tak banyak yang menggubris. Sifat beringas dan urakannya membuat ia di takuti. Dari pada berabe, banyak yang memilih diam. Apalagi, berdasarkan desas-desus yang beredar, ia merupakan salah satu preman yang di takuti di terminal Cengkareng, tempatnya nongkrong.

Di tempat itu, ia habiskan waktu dengan me-malak orang maupun pedagang kaki lima yang berjualan berjejer di sepanjang jalan. Jika uang sudah di dapat, biasanya ia hamburkan dengan mabuk bersama teman-teman. Atau, sesekali ia menyalurkan hasrat biologisnya di lokalisasi.

Bagi Umar, Udin bukanlah keluarga dekat. Ia hanyalah keponakan jauh dari pihak istri. Tali persaudaraan yang lebih dekat dengan sang istri, membuatnya tidak berani menasehatinya secara langsung. Dia takut nanti Udin tersinggung dan bisa berdampak lain. Sesekali saja, jika keponakannya itu sedang sadar, Umar memancing pembicaraan. Itu pun hanya berisi obrolan sekenanya.

Walau sudah memiliki keluarga, Udin termasuk jarang pulang. Setiap malam, ia tidur dimana, tak ada yang tahu. Hanya sesekali, jika kepepet tak punya uang, ia mendatangi keluarga Umi untuk meminjam uang (walau kenyataannya jarang di kembalikan). Di sana ia akan menumpang tidur dan makan. Untuk itu mereka tak bisa menolak. Seandainya masih ada rupiah yang tersisa, tak jarang mereka memberi. Sedangkan untuk urusan perut, silahkan makan jika masih ada. Tak beda halnya untuk urusan tidur. Udin di persilahkan melepas lelah di sofa, karena mereka tak punya kamar lain, selain ruang tamu. Biasanya, keesokan hari selepas sarapan, Udin akan pergi. Untuk selanjutnya mungkin kembali dalam jangka waktu yang tak bisa di tentukan.

*****
Sesampai di rumah, Udin, sang biang kerok tak menunjukkan batang hidungnya. Sementara seisi dapur sudah porak poranda. Pecahan beling di sana- sini.

“Bu, si Udin mana?”
“Gak tahu? tadi, sih di depan rumah.”
“Kalo anak-anak mana?”
“Riska dan Fitri lagi main, sedangkan Semar belum pulang sekolah.”
“Kok bisa begini, ceritanya gimana?”

Umi pun menuturkan ikhwal kejadiannya. Menurutnya, siang tadi, tiba-tiba saja Udin datang sambil menggedor-gedor pintu. Setelah dibuka, ia pun masuk. Saat ditanya apa keperluannya dan mengapa harus menggedor-gedor pintu. Udin hanya cengengesan. “aku hanya iseng!” kilahnya.

“Apa karena preman, maka suka-suka kamu disini”
“Bukan gitu, bi”
“Sebenarnya aku hanya mo numpang makan!”
“Ya sudah, ambil makan di dapur, gih!”

Selesai makan, udin kembali ngulah. Kali ini, tanpa tedeng aling-aling, bak orang kerasukan, dia menghancurkan semua barang yang ada. Umi yang berada di ruang tengah, jadi panik, gak tahu harus berbuat apa.

“Ada apa toh, din? Kamu kok tega buat begitu!”
“Kalian semua sama saja”
“Emangnya bibi salah apa? Kamu bilang lapar, trus bibi kasih makan.”
“Bibi, penipu!”
“Penipu apaan?”
“Kenapa makanan basi yang kalian beri padaku?”
“Makanan yang mana”
“Itu tuh, kuah sayurnya basi.”
“Ya ampun! Sayurnya dah basi, toh?”
“Kok kamu gak ngomong, malah berantakin dapur.”

Ternyata itu yang membuat Udin mengamuk hebat. Ia merasa gak di hargai. Sejurus kemudian ia pun melangkah pergi. Kemana perginya, gak ada yang tahu.

*****
(Dua minggu kemudian)
Pagi ini, seperti biasa, Umar yang berencana pergi ke pasar di kagetkan dengan kehadiran Udin di depan pintu.

“kamu Kok gak ngetuk-ngetuk”
“ehm... (udin gak menjawab)”
“Kamu lagi mabuk, ya?”
“Gak. Gue gak mabok, kok!”
“Tapi, mulutmu bau alkohol. Sekarang kamu mau apa lagi?”
“Aku mau pinjam duit! Bisa gak?
“Paman lagi gak punya duit. Kalo lima ribu, ada. Nih ambil, tapi kamu langsung pulang! Kasihan anak istrimu nunggu di rumah.”
“Aku mau pinjam lima puluh ribu! Ada gak?
“Kalo segitu, paman gak punya. Kamu ini gimana, sih? Kamu sudah tidak muda lagi. Ingat keluargamu. Sudah terlalu lama kamu tinggalkan mereka”
“Apa urusan paman dengan keluargaku. Tolong jangan coba-coba libatkan mereka! Kalo gak mau ngasih, ya gak usah!”

Dengan ekspresi marah udin pun meninggalkan kontrakan itu. Sementara Umar segera berangkat ke pasar sembari mengambil tas sandangnya.

*****
Adzan Isa masih menyisakan gemanya di ujung sana, ketika Umar dan ketiga anaknya selesai makan. Sedangkan Umi sibuk menyetrika pakaian di ruang tamu.

Sejurus kemudian, pintu diketuk dari luar. Umi pun beranjak melihat siapa gerangan. Ternyata, lagi-lagi, Udin yang datang.

“Paman ada?”
“ Ada tuh, lagi makan. Masuk lah!”
“Gak, disini aja. Di dalam panas.”
“Kamu ini dari mana aja? Kok baru nongol lagi.”
“Baru pulang dari rumah teman di dekat sini.”
“Ya udah, kamu disini dulu, ya! Bibi ada urusan ke rumah tetangga sebentar.”

Tinggallah Udin sendiri di teras rumah. Tak lama berselang, Semar pun ikutan keluar setelah diajak main oleh temannya. Kini, hanya Umar dan dua putrinya yang ada di dalam rumah.

Udin yang terlihat bengong, di persilahkan masuk oleh Umar.
“Aku sholat dulu, ya!”
“Silahkan paman! jawab Udin

Saat hendak melaksanakan sholat di kamar, udin terlihat berjingkat-jingkat ke kamar mandi. Dengan perlahan ia menutup pintu. Hanya bunyi ‘sreng-sreng’ yang terdengar. Sepertinya dia sedang melakukan sesuatu.

Usai sholat, Umar melakukan Zikir ditemani kedua anaknya. Karena sudah mengantuk, Fitri langsung terlelap, sementara Riska masih setia menemani. Tak ingin berpikiran macam-macam, Umar pun membiarkan Udin melakukan kegiatannya.

Tak lama kemudian, tanpa basa basi, udin menghambur ke kamar memburu Umar. Dengan gelap mata, ia menghunjamkan belatinya. Riska yang melihat kejadian itu langsung histeris. “Jangan bang! Sudah! Kasihan bapak.” pintanya

Ternyata, Udin masih sakit hati dengan nasehat sang paman beberapa waktu lalu. Dia gak ingin masalah keluarganya di ungkit-ungkit.

Seakan tak peduli, Udin makin kesetanan. Tak terhitung, berapa kali ia tusukkan belati itu ke tubuh ringkih Umar. Menerima perlakuan itu, tubuhnya langsung ambruk. Lima menit kemudian, Umar pun terkapar kaku. Beku tuk selamanya. Namun, di sela-sela dengus terakhirnya, ia sempat berujar: “Apa salahku, din? Kok, kamu tega?”

*****
Dua hari berselang, kepedihan masih menyisakan luka mendalam. Sepertinya, tak terhitung banyaknya airmata yang tertumpah. Sang kepala keluarga, kini telah tiada.

Setiap sanak famili yang datang melayat, hanya sanggup beri kata-kata penghiburan. “... ya sudah, relakan saja! Sekarang kalian harus bangkit.” demikian kilah mereka. Tidak lebih, tidak kurang. Sedang sakitnya, Umi dan ketiga anaknya yang rasakan. Kini mereka memulainya sendiri.

Sementara itu, si pembunuh langsung diamankan polisi, tak lama setelah kejadian. Polisi yang kebetulah patroli segera merespon pengaduan warga, ketika tahu telah terjadi tindak pidana pembunuhan (338).

Ketika Umi dan anaknya di panggil ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Umi memaksa ingin bertemu pelaku. Namun sayang, polisi tidak mengijinkan. “Tolong pak! Bunuh dia! Dia sudah rampas suami saya. Sekarang saya tak punya siapa-siapa lagi. Dia harus mendapat hukuman yang setimpal” jerit Umi dengan suara yang makin menjadi-jadi. Melihat itu, Riska yang berada di sampingnya, ikut-ikutan menangis. “Ayah... ayah...!!! Jangan tinggalkan kami!” pintanya dengan menjerit histeris. Kemudian jatuh pingsan.

*****
Seminggu setelah kejadian, keluarga ini berencana jiarah ke makam Umar. Sang surya mulai menebar silaunya, saat mereka tiba di makam. Tak tampak keramaian disana. Hanya beberapa penggali kubur terlihat berkumpul di pintu gerbang. Suasananya masih sama seperti ketika mereka jiarah tiga hari lalu.

Namun, ada sedikit keanehan di situ. Ntah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah ada dua wanita yang bersimpuh di makam Umar. Yang satu posturnya agak gemuk menggenakan longdress, sedang seorang lagi mengenakan jilbab dengan baju berwarna merah.

Begitu melihat kehadiran Umi, mereka buru-buru pergi. Dari jarak yang tak terlalu jauh, terlihat bagaimana wanita berpostur gemuk sedang menangis dan coba di redakan oleh temannya.

“Mengapa mereka ada di makam itu? Dan, siapa mereka? Apa hubungannya dengan suamiku?” Pertanyaan itu terus bergelayut di pikiran Umi, membuatnya tak tenang. Sampai akhirnya, dua hari kemudian, sebuah titik terang datang. Tiba-tiba saja, wanita gemuk yang ditemui di makam tempo hari, bertamu ke rumahnya. Kali ini, ia di temani seorang pemuda, yang katanya masih saudara. “Bagaimana mereka bisa tahu alamat ini?” tanya umi dalam hati

Dengan tersedu-sedu ia menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Sudah tiga bulan ini ia tak lagi datang bulan. Dan, orang yang melakukannya adalah Umar, suami yang kini sudah di lain dunia. Demikian menurut penuturannya.

“Bagaimana mungkin Umar bisa melakukan ini? Bukankah tiap malam dia selalu bersamaku. Kapan dan dimana mereka bertemu?” demikian pertanyaan itu keluar satu persatu tanpa bisa dibendung dari mana datangnya.

Bak petir di siang bolong, Umi hanya terdiam. Membeku! Tak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Sungai itu mulai membanjiri pelupuknya. Semua yang awalnya terlihat jelas, kini berubah kabur. Makin lama makin gelap. Sampai akhirnya ia tak ingat apa apa lagi.

(inspirasi dari kisah nyata; Ponakan Bunuh Paman di Celeduk)

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN