Tuesday, March 03, 2009

ibarat Satu Ranjang Dua Mimpi



Dalam waktu yang tak begitu lama, konstelasi perpolitikan di tanah air terus memanas. Ini jadi pertanda, betapa geliat pemilu mulai mencapai puncaknya. Setiap elit dan parpol mulai berlaga menjual agenda program yang menurut mereka paling cocok dalam menjawab tantangan jaman 5 tahun ke depan.

Sebelum musim pemilu benar-benar terjadi, partai-partai yang ada mulai sibuk melakukan penjajakan terhadap partai-partai lain yang dianggap memiliki flattform yang hampir sama dalam mengusung capres dan cawapres yang mereka inginkan.

Apalagi putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) mengharuskan setiap partai-partai peserta pemilu memenuhi kuota 20 % suara terbanyak dalam pemilu legistatif, jika ingin mengusung 1 pasang bakal calon capres dan cawapres.

Namun, upaya untuk memenuhi kuota 20% suara terbanyak kursi DPR, tentunya bukan perkara gampang, mengingat begitu banyaknya partai yang ikut berlaga dalam pemilihan legislatif 9 April mendatang. Dalam hitung-hitungan di atas kertas, upaya sebuah partai mendulang suara dominan, kemungkinannya agak kecil, kecuali sebuah mujijat benar-benar terjadi.

Oleh karena itu, tidak ada cara lain, selain partai-partai yang ada saling berkoalisi untuk memenuhi tuntutan 20% suara terbanyak. Penjajakan diantara partai pun menjadi hal yang lumrah dilakukan. Mengutip istilahnya Jusuf kala (JK), penjajakan ini lebih tepat dikatakan sebagai ajang silahturahmi diantara sesama partai. Dengan silahturahmi ini pula lah akan terjalin deal-deal politik yang mungkin bisa dicapai sebelum pemilu pilpres dilakukan Juli mendatang.

Penjajakan koalisi ini menjadi semakin penting, mengingat partai-partai akan saling meminang diantara mereka. Pun, bukan tak mungkin, ada lebih dari 2 partai akan me-lobi sebuah partai yang dianggap cocok. Karena itu, siapa yang pertama meminang dan cocok, koalisi akan semakin kuat.

Perkembangan Terakhir.


Perkembangan berita di media massa menunjukkan, telah terjadi perubahan yang sangat cepat di kalangan partai dan elitnya. Simak saja, bagaimana dengan begitu yakin PKS mengusung JK sebagai capres dalam pemilu 2009, setelah SBY mulai melirik banyak kandidat non partai sebagai cawapresnya. Banyak analisis yang menyebutkan telah terjadi keretakan diantara keduanya.

Kamis malam kemarin (26 Feb’09), JK melakukan kunjungan silahturahmi ke kantor DPP PKS di bilangan Mampang – Jakarta Selatan. Kunjungan ini menjadi sinyalemen kuat, betapa Golkar -–partainya JK-- akan menggandeng PKS untuk menggolkan dirinya sebagai capres pada pemilu mendatang. Apalagi, tuntutan dari internal partai GOLKAR semakin kuat agar JK didaulat sebagai capres, bukannya cawapres.

Sementara dari pihak PKS, sinyal-sinyal koalisi ini ditanggapi dengan antusias. Mereka pun memasangkan Hidayat Nur Wahid menjadi cawapresnya JK. Kendati demikian, perubahan bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Menggandeng PKS, hanyalah salah satu alternatif koalisi yang mungkin dilakukan GOLKAR.

Kedepannya, jika koalisi dengan PKS dianggap mengalami jalan buntu, tidak tertutup kemungkinan GOLKAR akan beralih dengan partai lain yang dianggap senafas dengan gerakan perjuangan partai.

Sementara bagi partai Demokarat, dimana SBY menjadi dewan pembina, masih belum melakukan gerakan yang berarti. Mereka masih menanti hasil dari pemilu legislatif mendatang, tanpa menafikan kemungkinan koalisi dengan partai-partai lain, seperti yang diungkapkan Anas Urbaningrum, ketua DPP Partai Demokrat.

Hanya manuver-manuver kecil yang terlihat di lakukan oleh SBY. Tepatnya beberapa waktu lalu, secara tersirat ia mengatakan akan menggandeng pengusaha muda pribumi; Chairul Tanjung (CT) sebagai wakilnya dalam pilpres mendatang. Apalagi CT bukan orang yang baru di kenalnya. CT kerap dilibatkan dalam agenda-agenda SBY yang berhubungan dengan bidang ekonomi dan media. Bahkan, setiap ada rapat dengan pemilik media massa, CT pasti hadir di sana.

Namun, tak lama berselang, kabar yang menyebutkan SBY akan menggandeng tokoh-tokoh perempuan santer terdengar. Sejumlah nama pun ikut meramaikan bursa calon wakil presiden tersebut. Terdapat nama-nama, seperti; Sri Mulyani, Marie Eka Pangestu hingga Muthia Hatta. Nama-nama itu tentunya sudah tak asing lagi di lingkaran SBY, karena kinerja mereka selama ini.

Dalam manuver politiknya, terlihat bahwa SBY lebih senang menggandeng calon wakilnya dari kalangan praktisi, ketimbang politikus partai. Bisa jadi, karena ia mulai bosan dengan deal-deal politik yang kerap lebih menguntungkan partai ketimbang berpihak pada kepentingan rakyat.

Kendati demikian, semua itu mungkin terjadi, jika partai Demokrat menjadi pemenang mutlak dalam pemilu kali ini. Itu sebabnya, partai ini perlu lebih dari sekedar tenaga ekstra untuk mewujudkan impian tersebut. Apakah mungkin, pemilu legislatif lah jawabannya.

Terjadinya Keretakan.


Masih dari pemberitaan di media massa, kembali di sebutkan telah terjadi sesuatu yang sangat serius antara SBY – JK. Tekanan politik kepentingan dari masing-masing partai, salah satunya. Sudah jadi rahasia umum pula, betapa koalisi partai yang berhasil dibentuk selama pemerintahan mereka (baca: tahun 2004 silam) mulai menemukan wujud aslinya. Koalisi itu pun lebih bersifat pragmatis, ketimbang kesamaan visi misi. Semua demi kepentingan masing-masing partai yang merasa perlu menempatkan orang-orangnya dalam kabinet koalisi.

Sehingga jangan heran, jika sering terjadi rapat kabinet pada hari yang sama di 2 tempat yang berbeda. Atau kerap pula terjadi rapat kabinet yang berulang di dua tempat berbeda. Yang satu rapat di istana yang satu lagi rapat di rumah wakil presiden.

Ini menunjukkan betapa keretakan yang di khawatirkan selama ini semakin menganga, agak sulit untuk dipulihkan.

Ada suara yang mengatakan, secara personal JK tidak punya masalah dengan SBY. Kesenjangan mulai terasa, lebih karena kebijakan dan kepentingan partai yang memiliki agenda seting masing-masing yang tidak bersinergi. Artinya, partai yang membuat jarak diantara keduanya semakin renggang.

Seorang anggota komisi VII DPR RI dari fraksi PDI-P, Drs Effendi Simbolon, menyebutkan bahwa keinginan JK bercerai dari SBY menjadi semakin final, lebih karena sakit hati yang sudah terjadi sejak lama.

“kalo di lihat dari raut mukanya JK, bisa pastikan bahwa telah terjadi sesuatu yang sangat personal, sehingga ia memutuskan untuk menggandeng PKS sebagai bagian dari koalisi partainya” imbuh Effendi kemudian.

Sedangkan bagi PDI-P sendiri, kemungkinan terpecahnya koalisi Golkar dan Demokrat, sudah di prediksi sejak awal. Lebih-lebih karena koalisi ini dibentuk atas dasar politik kepentingan, dalam menikmati kekuasaan. Lagi-lagi, lebih pada kompromi-kompromi.

PDI-P yang sejak tahun 2005 lalu, --sesuai dengan putusan Kongres di Bali--, menyatakan diri sebagai oposisi yang konstruktif, akan bertindak sebagai watch dog terhadap pemerintahan SBY - JK. Oposisi yang menentang kebijakan SBY karena dianggap tidak berhasil memenuhi janji kontrak politiknya saat kampanye dulu.

Salah satu yang paling diingat masyarakat adalah, ketika ia berjanji tidak akan menaikkan harga BBM selama masa pemerintahannya. Namun apa yang terjadi, tak lama setelah ia berkuasa? Ia pun menaikkan harga BBM dengan dalih tingginya harga minyak mentah dunia. Dan di saat ia menurunkan harga BBM seperti ia dengung-dengungkan dalam iklan kampanye partainya. Ia pun melakukan kesalahan yang berarti. Dalam hal ini, kebijakan menurunkan harga BBM seakan-akan merupakan prakarsa SBY sendiri, padahal kebijakan tersebut merupakan hasil kerja pemerintah yang notabene koalisi beberapa partai besar.

Selain itu, PDI-P yang menjagokan Megawati Soekarno Putri menjadi capresnya merupakan harga mati yang tak bisa di tawar-tawar lagi. Demikian pula bagi Demokrat dengan SBY-nya. Ini lah yang menyebabkan, mengapa kedua partai tidak akan pernah melakukan koalisi dalam pemilu kali ini. Selain luka lama karena isu pengkhiantan, tentunya.

Koalisi ini hanya dimungkinkan, jika kemungkinan terburuk terjadi, yakni SBY ditinggalkan oleh partainya. Artinya, SBY maju sebagai pribadi bukan utusan partai lagi. Namun, lagi-lagi pertanyaan muncul; apakah mungkin?

Dari paparan diatas, bisa ditarik kesimpulan, bahwa kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Masih terbuka peluang, selama pemilihan legislatif belum berlangsung. Inilah sebabnya, mengapa perhatian banyak kalangan begitu besar pada pemilu legislatif. Sebuah pemilihan yang akan berdampak langsung terhadap pemilihan presiden Juli mendatang.

Siapa yang bakal berkuasa dan apa partainya, sepertinya masih samar-samar dan semua punya proporsi sama besar.

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN