Sunday, January 15, 2012

MALARI dan ESEMKA


(ket. foto: sisa-sisa peristiwa 15 Januari 1974)

Mugkin sudah banyak yang tahu kalau kemarin (baca: 15 Januari) merupakan salah satu hari kelam dalam catatan panjang sejarah Indonesia. Hari itu, tepatnya 38 tahun silam, peristiwa berdarah terjadi. Sejarah itu pun dikenal dengan sebutan “Peristiwa Malari” atau Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari di tahun 1974. Begitu besarnya dampak yang ditimbulkan, sampai-sampai tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Pun, sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.

Meski banyak perdebatan mengenai penyebab terjadinya peristiwa berdarah tersebut, yang pasti aksi ini di motori oleh mahasiswa yang menolak dominasi modal asing. Saat itu penanaman modal asing di Indonesia memang sedang getol-getolnya, Salah satunya berasal dari Negara Matahari Terbit. Pola investasi ini pun tak lepas dari restu “Smiling General”, Soeharto. Alasannya, karena saat itu Indonesia sedang bangkit dari keterpurukan panjang akibat penjajahan.

Model penolakan ini sebenarnya sudah terjadi jauh-jauh hari. Sejak tahun 1966, tak urung ratusan bahkan ribuan aksi mahasiswa turun ke jalan marak terjadi. Puncaknya ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa saat itu merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma.

Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang harus ditolak. Aksi berupa long march dari Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, pun di gelar. Saat itu kesatuan aksi mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi mengusung tiga tuntutan: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Saat itu ratusan ribu orang ikut turun ke jalan. Aksi ini kemudian berujung pada kerusuhan.

Dalam sebuah sesi wawancara 4 tahun silam, Hariman Siregar, salah satu pimpinan aksi menuturkan bahwa aksi mahasiswa sebenarnya telah usai pukul 14.30. “kerusuhan terjadi satu jam kemudian,” katanya. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan penjarahan serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 jelas merusak citra pemerintah, karena peristiwa itu terjadi di depan tamu negara, PM Jepang. Malu akibat peristiwa tersebut ia lalu menunjukkan tangan besinya terhadap setiap aksi-aksi demonstrasi yang merongrong pemerintah.

Pada tanggal 17 Januari 1974 pukul 08:00, PM Jepang tersebut akhirnya meninggalkan istana tidak dengan mobil, melainkan menggunakan helikopter dari Gedung Bina Graha ke pangkalan udara Halim Perdanakusuma. Kondisi ini memperlihatkan bahwa suasana Kota Jakarta begitu mencekam.

Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia kemudian diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. Setelah empat bulan sidang, vonis enam tahun penjara mesti ia tanggung.

“Saya dianggap merongrong kewibawaan negara,” kata Hariman. Harga yang harus ia bayar pun cukup mahal. Saat menghuni hotel prodeo itulah ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya meninggal.

Peristiwa 15 Januari 1974 kemudian di catat sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya menyebutkan bahwa setelah itu Soeharto melakukan represi secara sistematis. Sejak itu pula kekerasan atas nama negara dihalalkan.

Modal Asing Di Tolak?

Aksi-aksi mahasiswa pada jaman itu merupakan bentuk kepedulian mereka terhadap kondisi yang terjadi. Modal asing di nilai tak memberi manfaat banyak bagi masyarakat. Ada kesan hanya demi kepentingan segelintir orang saja. Bukan rahasia lagi, bagaimana pejabat-pejabat Orde Baru memperkaya dirinya dengan menerima komisi saat melakukan negoisasi terkait banyak hal. Bahkan yang paling parah, ketika kontrak karya belum seleseai, kontrak baru telah di setujui. Salah satunya bisa di lihat di gunung emas Freeport.

Penolakan modal asing sebenarnya bukan tanpa alasan, mengingat kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Selain itu, beberapa orang pemuda, -- jauh sebelum Peristiwa Malari meletus--, telah memiliki ide brilian terkait membangkitkan produksi dalam negeri. Salah satunya adalah Chaerul Saleh, seorang pelajar Indonesia yang menimba ilmu di Jerman Barat. Yang lainnya adalah Semaun, ketua PKI 1920 dan Djuanda, Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Mereka merupakan pencetus pentingnya gerakan mobil nasional.

Peristiwa di tahun 1950 jadi pemicunya. Saat itu pemerintahan Amerika Serikat pernah menawarkan pembangunan jalan sepanjang Pulau Sumatera (Highway Standard) dengan konsesi mobil yang ada di Indonesia adalah Mobil produksi Ford, tapi pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno menolaknya. Alasannya, tidak ingin ada sistem monopoli atas industri otomotif. Saat itu otomotif Indonesia memang di dominasi berbagai produk dari Eropa. Saat itu, mobil-mobil Jepang mulai masuk lewat mobil niaga.

Sepulangnya Chaerul Saleh dari Jerman Barat di tahun 1956 ada obrolan menarik antara dirinya, Semaun dan Djuanda tentang Industri mobil jangka panjang. Djuanda menginginkan dibangunnya infrastruktur raksasa yang menghubungkan antara Jawa dengan Sumatera, kemudian dibicarakan tentang jalur trans Sulawesi dan pembangunan jaringan kereta di seluruh wilayah Kalimantan.

Semaun berkata “Dalam kota berbasis masyarakat sosialis, industri mobil pribadi bukan menjadi prioritas, tapi menjadi bagian dari ikutan kecil industri transportasi massal. Peran penting transportasi haruslah diletakkan pada keteraturan jalan raya yang mengedepankan sarana transportasi umum” usulan Semaun ini diargumentasi oleh Chaerul Saleh yang menghendaki dibangunnya mobil rakyat.

Chaerul Belajar bagaimana Jerman di Jaman Hitler membangun industri mobil rakyat seperti Volkswagen (VW) telah mendidik masyarakatnya untuk bangga pada produksi dalam negeri. Transportasi telah menjadi urat nadi paling penting dalam perekonomian suatu Negara. Transportasi juga memiliki varian industri ikutan yang amat panjang dan memiliki nilai tambah. Chaerul pun mengusulkan untuk dibangun pabrik baja.

Djuanda yang saat itu merupakan Menteri Keuangan tahu persis bahwa pos utama keuangan nasional hanyalah dari pampasan Jepang. Djuanda juga sudah mengestimasi, Jepang tidak akan memberikan pampasan Jepang itu ke tangan Indonesia begitu saja tapi Jepang akan menawarkan sesuatu perjanjian kerjasama. Kerjasama bisnis inilah yang di kemudian hari semakin mengukuhkan produk-produk Jepang di tanah air. Salah satunya produk mobil.

Mengapa Mobil?

Di Jerman Barat Chaerul Saleh banyak mengunjungi basis-basis perekonomian. Ia melihat kemunculan industri mobil berasal dari wilayah kaya biji besi seperti di Ruhr. Dari Industri baja di Ruhr, Jerman Barat memulai industri pertamanya dalam penaklukan dunia melalui mobil.

Sementara itu, nun jauh di pasific, usah kalah perang, pada tahun 1946 Jepang bangkit lewat program pemulihan kembali. Mereka pun memilih industri yang sama, yakni mobil.

Dalam sejarah dunia, industri mobil selalu menjadi batu loncatan kurva yang tingginya diatas rata-rata. Ketika Henry Ford memproduksi mobil jenis T, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat melesat diatas 10%, bahkan year on year untuk pertumbuhan ekonomi perdagangan meloncat sampai dengan diatas 20%.

Sukarno yang saat itu banyak mengamati, bukan saja tak tahu dengan industri mobil nasional. Ia memahami bahwa dibutuhkan uang yang tidak sedikit untuk pembangunan jalan. Ketika Dekon 1960, Deklarasi Ekonomi dengan konsep Djuanda diberikan, maka pengembangan industri mobil nasional dijadikan bagian dari pengembangan Industri Rakyat. Rakyat menjadi unsur utama dalam penyiapan suku cadang, jadi tidak menjadi Industri terpusat milik Industriawan. Seluruh jaringan produksi dikerjakan oleh industri rakyat kemudian masuk ke pabrik besar yang mengerjakannya adalah serikat pekerja profesional.

Namun sayang mimpi itu tidak terwujud. Ekonomi Politik yang dikembangkan Sukarno dengan dasar “Kemandirian Rakyat” atau “Rakyat Berproduksi Untuk Dirinya Sendiri” belum sempat dipraktekkan. Soekarno keburu dilengserkan dengan dalih terlibat PKI. Soeharto pun naik ke tampuk kekuasaan.

Lalu di tahun 1968, hal pertama yang dilakukan Suharto adalah berhutang kepada Jepang dan Amerika Serikat. Jepang melihatnya sebagai peluang baru. Bermula dari pembicaraan program Pampasan Perang kemudian berlanjut dengan memberi alternatif industri otomotif. Jepang melihat potensi pasar, karena sejak awal mereka memang punya data soal ekonomi Indonesia.

Pada tahun 1970 arus deras keuangan mulai masuk ke kas pemerintah lewat banyak hal. Regulasi ketat soal otomotif nasional peninggalan Sukarno dijadikan peluang bagi pemerintahan Orde Baru sebagai ajang penyelundupan. Banyak keluarga Cendana yang bermain di bidang ini, sampai-sampai Jenderal Hoegeng yang ingin menghajar penyelundupan mobil malah dipecat.

Arus Balik

Di tahun itu terjadi perkembangan besar pemahaman ekonomi politik baru yang dipengaruhi pemikiran-pemikiran ‘New Left’atau Kiri Baru yang berkembang setelah terjadinya Revolusi yang digerakkan Mahasiswa-Mahasiswi Perancis tahun 1968. Inti yang diambil dari gerakan Pemikiran Kiri Baru adalah anti ketergantungan. Pemikiran ini persis sejalan dengan pemikiran Sukarno soal Ekonomi Berdikari.

Tahun 1971 dunia mahasiswa panas karena modal asing begitu merusak tatanan perekonomian rakyat. Banyak modal asing, khususnya Jepang menguasai seluruh industri mobil nasional, berikut ikutannya seperti infrastruktur transportasi. Pembangunan jalan raya melibatkan bantuan Jepang yang pada akhirnya justru membuat ekonomi rakyat sangat bergantung atas modal asing.

Tahun 1973 ada rapat-rapat diantara jaringan mahasiswa Indonesia untuk menggempur begitu dominannya mobil Jepang. Bahkan seorang ekonom Liberalis macam Widjojo Nitisastro merasa tidak nyaman dengan dominasi barang-barang buatan Jepang. Saat itu jalur ekonomi Jepang dipegang oleh Sudjono Hoemardani salah satu asisten pribadi Presiden Suharto.

Widjojo lalu mengemukakan keluh kesahnya kepada Jenderal Sumitro, salah seorang jenderal berpengaruh saat itu. Soemitro yang memahami jalan pikiran Widjojo berkeinginan menyelamatkan ekonomi nasional dari cengkraman modal asing. Belakangan gerakan Sumitro malah dijadikan isu besar atas rivalitasnya terhadap Ali Murtopo yang memang telah terjadi sejak awal. Akhirnya isu “Modal Asing” lenyap berganti dengan isu suksesi.

Isu ini yang kemudian mencuat saat gerakan mahasiswa yang tadinya berlandaskan pada penolakan “Modal Asing” dimanfaatkan oleh sekelompok orang menjadi gerakan politik semata. Keadaan ini tanpa sadar, menjadi legitimasi Suharto untuk terus mengokohkan pengaruhnya, termasuk dengan mencari pemodal dari luar negeri.

Anehnya, di kalangan mahasiswa setelah itu, isu modal asing sampai gerakan mahasiswa 1998 tidak lagi jadi agenda besar. Padahal Modal Asing telah menyebabkan Indonesia begitu terpuruk akibat ketergantungan yang terus menerus.

Muncul ESEMKA

Sejarah mencatat bahwa upaya penolakan modal asing sebenarnya masih terjadi hingga sekarang. Hanya saja, upaya untuk melenyapkan gagasan tersebut masih ada dan tak kalah kuatnya. Tengok saja, saat salah satu karya anak bangsa hadir, yakni mobil “Kiat ESEMKA”. Penolakan secara bertubi tubi datang.

Bibit Waluyo yang juga Gubernur Jateng pernah menegaskan bahwa untuk menentukan kelayakan sebuah kendaraan harus memenuhi kelaikan jalan, memenuhi standar keselamatan dan harus dilengkapi dengan sertifikasi yang jelas. Tanpa memenuhi berbagai kriteria itu maka mobil Esemka belum bisa dipakai di jalan umum kecuali hanya untuk uji coba saja.

Sementara itu, hingga saat ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan belum mengeluarkan sertifikat uji tipe (SUT). Alasannya karena hasil uji emisi belum ada. Itu yang menyebabkan uji berkala juga belum dikeluarkan.

Selain itu, uji kalayakan jalan juga harus melibatkan kementerian terkait seperti Lingkungan Hidup dan Perindustrian. Ujung-ujungnya birokrasi yang jadi penghambat kemajuan teknologi. Untungnya Wali Kota Solo, Joko Widodo akrab di panggil Jokowi berkeinginan memenuhi semua persyaratan pengurusan perizinan kelayakan jalan tersebut.

Mobil ESEMKA sendiri merupakan SUV dengan 7 penumpang. Mobil ini mempunyai panjang 5.035 mm, lebar 1.690 mm serta tinggi 1.630 mm. Untuk urusan mesin Esemka menggendong mesin bensin 1.500 cc type SOHC dengan multi point injection 4 silinder bensin. Tenaga yang dihasilkannya 5.500 RPM setara 105 Hp. Angka ini sebenarnya masih kalah dibanding kebanyakan SUV yang ada. Hanya saja sebagai permulaan mobil ini cukup membanggakan.

Isu ini kemudian menjadi penting karena banyak pejabat kita bukanlah pengambil keputusan di tingkat nasional. Bukan pula sebagai panutan yang peduli dengan karya anak bangsa, melainkan beralih profesi sebagi makelar “calo” yang hanya memikirkan fee, dan tidak mengedepankan nilai tambah yang harusnya bisa dinikmati oleh bangsa sendiri. Buktinya, tak sedikit dari pejabat kita yang terlibat dengan praktek kotor korupsi. Pun, tak sedikit dari mereka yang justru turut andil memperburuk perekonomian kita. Karena itu pentingnya sosok seperti Jokowi.

Industri mobil sebenarnya industri sederhana dan industri masa lampau. Ia merupakan industri yang banyak mempengaruhi perekonomian sebuah negara. Tentu saja, karena varian ikutannya yang relatif banyak. Industri mobil biasanya secara bertahap akan membangkitkan industri lainnya, seperti baja, industri minyak bumi, suku cadang dan lain-lain. Pada gilirannya, bukan tidak mungkin industri ini akan mampu bersaing dan akhirnya dilirik oleh negara-negara lain.

Sehingga, apa yang dilakukan Jokowi dengan mobil ESEMKA-nya merupakan salah satu bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap modal asing. Perlawanan yang harusnya terus digelorakan. Perlawanan yang hanya mungkin terjadi, ketika kesadaran telah mencapai puncaknya, dengan membangkitkan dan mencintai produk dalam negeri. (jacko agun)

*credit foto: http://serbasejarah.wordpress.com/2011/12/21/jejak-soeharto-peristiwa-malarithe-shadow-of-an-unseen-hand

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN