Wednesday, February 22, 2012

Urban Farming Sebuah Gaya Hidup


Ket foto: saat ini warga kesulitan untuk melakukan bercocok tanam karena ketersediaan lahan yang sangat terbatas.

Ayo kawan kita berkebun... menanam jagung di kebun kita...
Ambil cangkulmu...

Masih ingat penggalan lagu itu, bukan? Ya, Kegiatan berkebun memang mengasyikkan. Apalagi jika kita ingat dulu, saat masih di sekolah dasar. Pelajaran berkebun dan bercocok tanam menjadi pelajaran yang cukup diminati. Biasanya murid-murid senang karena merupakan sebuah pengalaman baru.

Namun, kondisinya kini jauh berbeda. Terbatasnya lahan, membuat kegiatan yang satu ini semakin sulit ditemukan. Orang yang melakukannya pun lebih banyak di pedesaan ataupun di daerah-daerah pinggiran kota.

Sementara di kota seperti Jakarta, berkebun merupakan kegiatan langka. Jika kita lihat sekeliling, tak ada lagi lahan kosong. Di kanan-kiri jalan telah berderet rumah gedong. Tak jauh disana, gedung tinggi menjulang. Jika sudah begitu, di mana ya, kita bisa berkebun?

Berdasarkan literatur, berkebun ternyata bisa dimana saja. Bahkan memanfaatkan lahan kososng yang sempit pun masih dimungkinkan. Konsep ini kemudian di kenal dengan sebutan ”Urban Farming” atau berkebun di kota dalam bahasa indonesianya.

Beberapa jenis tanaman yang bisa ditanam di lahan sempit seperti: kacang panjang, cabai, tomat, sawi, melon, dll. Biasanya setelah bosan dengan jenis tanaman yang itu-itu saja, setalah panen tak ada salahnya mencoba jenis tanaman lain, tergantung kesukaan.

Apa Itu Urban Farming?

Kegiatan Urban Farming atau berkebun di kota muncul sebagai jawaban atas kegelisahan masyarakat menyikapi semakin terbatasnya lahan di kota-kota besar. Tingkat polusi yang makin parah dan minimnya kawasan hijau membuat kota semakin gersang.

Kesadaran ini yang memunculkan gerakan urban farming di kota-kota besar di seluruh dunia. Secara umum Urban Farming merupakan kegiatan pertanian yang dilakukan dengan memanfaatkan lahan sempit di perkotaan. Kegiatan Urban Farming mencakup kegiatan produksi, distribusi, hingga pemasaran produk-produk pertanian yang dihasilkan.

Martin Bailkey, seorang dosen arsitektur landscape di Wisconson Madison, AS, membuat definisi Urban Farming sebagai Rantai industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan dengan metoda using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan.

Urban Farming dilakukan sebagai kegiatan untuk menghasilkan pendapatan bagi petani, khususnya bagi mereka yang mata pencarian utamanya dari bertani. Sedangkan bagi masyarakat kota yang getol mengembangkan Urban Farming, kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari rekreasi.

Sejarah Urban Farming

Urban agriculture sebagai cikal bakal urban farming sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu, tepatnya di Machu Pichu di mana sampah-sampah rumah tangga dikumpulkan menjadi satu dan dijadikan pupuk. Air yang telah digunakan masyarakat dikumpulkan menjadi sumber pengairan melalui sistem drainase yang telah dirancang khusus oleh para arsitek kota di masa itu.

Pada Perang Dunia II di Amerika dicanangkan program “Victory Garden” yaitu membangun taman di sela-sela ruang yang tersisa. Program ini ini kemudian berkembang menjadi gerakan urban farming. Dari program tersebut pemerintah Amerika Serikat mampu menyediakan 40% kebutuhan pangan warganya pada waktu itu.

Perhatian akan manfaat Urban Agriculture menjadi berkembang ketika masyarakat di berbagai belahan dunia menyadari bahwa semakin hari pertumbuhan penduduk semakin besar dan kebutuhan akan makanan juga bertambah, sementara luas lahan pertanian semakin berkurang. Maka mulailah lahan-lahan kosong di daerah perkotaan dipakai sebagai tempat bercocok tanam. Mulai dari lahan satu meter persegi di depan rumah hingga atap-atap gedung-gedung pencakar langit, kini dimanfaatkan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan Urban Farming.

Urban farming selain mengasyikkan juga membantu memberikan kontribusi terhadap ruang terbuka hijau kota dan Ketahanan pangan. Bisa di bayangkan jika setiap gedung mengadopsi kegiatan urban farming. Jakarta tentunya akan semakin hijau dan adem.

Jakarta Kini

Pembangunan di Jakarta dalam beberapa dedake memang menunjukkan perubahan drastis. Akibatnya, lahan yang ada habis digunakan oleh sektor permukiman, bisnis, dan industri. Karena itu, saat ini luas lahan yang tersisa di DKI Jakarta tinggal tersisa 30 persen saja.

Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah propinsi ingin mengoptimalkan lahan yang sudah ada dan tidak berniat melakukan penambahan bangunan-bangungan besar. Pasalnya, jika tidak berhati-hati dalam melaksanakan pembangunan fisik akan berakibat fatal.

Penduduk yang mencapai 15 ribu jiwa per satu kilometer menjadi salah satu penyebab banyaknya pembangunan fisik. Di satu sisi memang bagus untuk menggenjot perekonomian daerah. Namun faktanya ada banyak dampak negatif, dan itu harus dihentikan.

Dari sekian banyak konsep, salah satu yang mulai ditawarkan pemerintah adalah dengan membangun gedung berkonsep green building dan itu bisa dilakukan di mana saja.

Konsep dimana bangunan ramah lingkungan didorong menjadi tren dunia bagi pengembangan properti saat ini. Bangunan ramah lingkungan ini punya kontribusi menahan laju pemanasan global dengan membenahi iklim mikro. Hanya saja, secara umum, belum banyak gedung di Jakarta yang mengadopsi program ini.

Manfaat Berkebun di Kota

Di sadari atau tidak, ada banyak alasan mengapa warga ibukota disarankan berkebun. Hanya saja, persoalan komunikasi dan informasi sering jadi alasan mengapa hanya sedikit orang yang melakukannya. Padahal setiap orang pasti menginginkan lingkungan yang sehat. Beberapa manfaat tersebut adalah:

Pertama adalah untuk menyegarkan udara yang ada di sekeliling kita. Pasalnya, pepohonan berfungsi sebagai menghisap karbondioksida (bahan polutan) dan mengeluarkan oksigen.

Kedua, bercocok Tanam di Perkotaan akan memenuhi kebutuhan pangan, khsusunya sayur mayur dan buah-buahan dengan kondisi yang terjamin. Kebanyakan produksi sayur dan buah yang dihasilkan dari Urban Farming menggunakan pupuk organik yang tidak meninggalkan residu di tubuh.

Ketiga, berkebun dapat menyegarkan mata dan pikiran. Jika sedang penat, kita bisa keluar untuk menikmati pemandangan hijau yang tersaji di depan mata.

Keempat, makanan hasil Urban Farming ternyata lebih bercitarasa. Mereka yang telah mempraktekkan bercocok tanam di Perkotaan mengatakan bahwa ini memberi kepuasan tersendiri. Seperti banyak hobi bermanfaat yang lain, para petani perkotaan mendapatkan bahwa bercocok tanam telah memberi sebuah nilai tambah pada mereka terlepas dari manfaat pokok yang diberikan.

Kelima, yng tidak kalah berharga adalah, kita dapat membantu mengurangi laju pemanasan global. Berkebun adalah hal yang sepele namun manfaatnya segudang.

Keenam, kegiatan berkebun di kota akan mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk transportasi ketika memindahkan produk tersebut dari pedesaan. Artinya, kita juga akan menghemat penggunaan BBM dalam jangka panjang.

Ketika segudang manfaat terebut bisa dicapai dengan kegiatan berkebun di tengah kota, sekaranglah saatnya mencoba. Bingung ingin memulai dari mana? Tenang saja, ada banyak buku yang mengulas tema Urban Farming di pasaran atau jika di rasa kurang, tak ada salahnya berselancar di di dunia maya. (Jekson Simanjuntak)

Monday, February 13, 2012

Menyingkap Tabir Ciliwung



Ciliwung identik dengan sampah dan bau busuk. Ups, tunggu dulu! Ciliwung yang satu ini tidak begitu. Di sebuah tempat nun jauh disana, wajah Ciliwung terlihat berbeda. Seperti apa Ciliwung yang sesungguhnya, kami mencoba menyusuri dan menyajikannya dari dekat untuk anda.

“Ayo dayung kuat, mas! Awas, jangan sampai nyangkut!” ujar Kurawa yang jadi skipper (baca: kapten) di perahu kayak bermuatan 2 orang yang saya tumpangi. Perahu kecil kami pun mengarah ke Jeram Panjang ber-grade 2. Sejurus berlalu, byuur!!! Perahu menerjang ombak dan melaju dengan mulus.

Perahu kayak yang kami gunakan merupakan perahu leader berfungsi sebagai pembuka jalur. Semua informasi awal dikumpulkan, mulai dari kondisi jeram, rute, hambatan, hingga dapat tidaknya perahu melewati sebuah jeram. Jika semua baik, perahu berikutnya siap meluncur.

Begitu mendapat aba-aba dari kami, secara perlahan perahu-perahu berukuran sedang yang mengangkut 5 orang meliukkan tubuhnya di Jeram Panjang. Indah benar gerakannya. Bak ikan yang sedang menari. Jeram ini dinamakan Jeram Panjang, karena jeram yang terbentuk cukup panjang berada pada lintasan sejauh 100 meter.

Pada kondisi di bawah normal seperti sekarang ini, jeram yang tercipta tidak terlalu berbahaya. Hanya saja, batu-batu besar kadang merepotkan. Berbeda halnya ketika debit air sedang tinggi. Tingkat kesulitan atau gradenya bisa mencapai 2+ bahkan 3. Jika kondisi demikian, salah membaca arus bisa berakibat fatal, seperti: perahu terbalik atau wrap –nyangkut di dinding sungai--.

Puas dengan Jeram Panjang, 10 menit kemudian, saya dan Kurawa harus ekstra waspada. Pasalnya, sebentar lagi, kami akan tiba di Jeram Sablon, salah satu jeram paling berbahaya di sungai ini. Jeram ini berbahaya karena perbedaan tingkat gardien sungai dengan posisi jeram berbentuk zigzag. Kondisi ini tentu menyulitkan, meski kita berada di arus utama.

“amankan pijakan, mas, dan jangan lupa dayung kuat”, pekik Kurawa memberi aba-aba. Benar saja, sedetik kemudian, cipratan air menghantam wajahku dan membasahi sekujur tubuh. Byuuur, dingin! Tak pelak, dayung kutancapkan dalam-dalam. Sementara posisi kaki, aman berada di bawah bantalan perahu. Maklum, perahu kayak yang kami gunakan relatif kecil dan rentan terbalik. Jangankan di jeram besar, di jeram kecil saja, goncanganya sangat terasa.

Jeram ini dinamakan ‘Jeram Sablon’, karena di jeram tersebut, Sablon,--nama guide berpengalaman-- terjatuh saat melaluinya pertama kali di tahun 2008. Sablon merupakan salah satu guide yang ikut suvey, jauh sebelum wisata arung jeram mulai populer di sungai ini.

Sesuai taklimat, kami memilih jeram bagian tengah dengan pertimbangan manuver yang lebih aman agar tidak tersedot ke arah batu. Jeram tersebut berada persis diantara celah dua batu besar. Tak lama kemudian, hyuuuus, kami berhasil melaluinya. Bravo! Selanjutnya menuju tepi.

Seingatku hanya beberapa detik saja kami di guncang oleh kedahsyatan jeram ini. Saking cepatnya, yang terpikir hanya bagaimana melaluinya dengan selamat Namun, kesannya terasa lama. Selebihnya ingin mengulang lagi. Lagi dan lagi. “Inilah daya tarik arung jeram yang sesungguhnya”, gumamku lirih.

Bagi mereka yang tidak berpengalaman, sebaiknya menggunakan perahu ukuran sedang. Selain lebih aman, bentuknya kokoh dan lebih stabil saat menerjang jeram. Bagi saya, menggunakan perahu kecil, merupakan pengalaman pertama yang mengasyikkan dan penuh was was.

Sebelum perahu yang lain tiba, dengan cekatan saya mengeluarkan kamera DSLR dari drybag (baca: kantong kedap air) yang memang telah dipersiapkan. Lalu, mengambil posisi di tempat aman, sembari bersiap menekan rana, menunggu perahu masuk ke dalam frame. Dan, klik, sebuah momen terekam indah. Tak puas dengan satu jepretan, saya pun mengabadikannya dalam beberapa sekuen.

Tak lama kemudian, satu persatu perahu mengarungi ganasnya Jeram Sablon. Di mulai dengan perahu merah yang diawaki 5 orang, di susul perahu kuning. Demikian seterusnya, hingga 5 buah perahu karet meluncur dengan sempurna.

Obrolan Via BBM

Awalnya tidak menyangka, jika obrolan singkat via BBM dengan Iwan Firdaus (seorang teman lama sekaligus pemilik Soar Rafting) akan menjadi kenyataan. Pasalnya, ajakan berarung jeram memang telah lama terlontar. Hanya saja, waktu seringkali jadi kendala. Demikan akhirnya, ketika saya mengiyakan, dengan catatan diijinkan melakukan peliputan selama pengarungan.

Singkat cerita, rencana pun di gelar. Tim peliput di bentuk. Nesia di daulat sebagai reporter, sementara Sayid dan Fadzrin menjadi juru kamera. Mereka bertugas mengabadikan semua perjalanan dalam format video HD.

Jujur saja, Sungai Ciliwung tak banyak orang tahu hulunya seperti apa. Ciliwung bagi warga Jakarta hanya terkenal dengan warna yang hitam plus onggokan sampah. Namun benarkah demikian? Kami tertarik mengetahuinya. Maklum, Ciliwung memiliki peranan besar. Sungai ini merupakan salah satu penyokong kehidupan warga ibukota, dimana ia digunakan sebagai sumber air baku oleh PDAM yang dialirkan melalui kanal tarum barat (baca: Kali Malang)

Selain itu, sungai ini memang kurang familiar sebagai salah satu tujuan wisata air. Warga Jakarta telah lebih dahulu akrab dengan Sungai Citarik atau Sungai Cicatih di Sukabumi, karena gencar dipromosikan sebagai lokasi berarung jeram.

Dari kantor tujuan kami adalah Rest Area yang berada 100 m di pintu keluar Tol Ciawi. Letaknya persis di sebelah kiri jalan. Di sana Iwan telah menunggu bersama rombongan lain. Setelah bertegur sapa, ia menyarankan kami segera berganti pakaian untuk selanjutnya bergerak menuju titik start di Desa Pasir Angin. Untuk kesana, rombongan akan diantar menggunakan pick up.

Menurut Iwan, Sungai Ciliwung sangat cocok untuk olah raga arung jeram, khususnya bagi pemula. Jeramnya yang tidak terlalu besar, aman saat dilalui. Selain itu, beragam rute pengarungan tersedia. Mulai dari 600 m, 4Km hingga 8Km, seperti yang akan kami lalui. Bahkan untuk kondisi tertentu mereka sanggup menyediakan rute 12 Km. Dari sisi jarak dan waktu tempuh, Ciliwung punya banyak keunggulan, yakni waktu tempuh yang lebih singkat, ketimbang jika memilih Citarik atau Cicatih. Hanya dengan 2 jam berkendara, pengunjung bisa menikmati olahraga petualangan yang satu ini.

“Ciliwung sebenarnya sangat strategis. Letaknya pun tidak begitu jauh dari Jakarta. Kedepannya, karena kelebihan tersebut, sungai ini bakal ramai di buru pengunjung”, ungkap Iwan optimis.

Tak terasa setelah berkendara 20 menit, kami tiba di Desa Pasir Angin, Kecamatan Gadog. Lokasinya berada di pertemuan dua sungai, yakni Ciesek dan Ciliwung. Di musim-musim penghujan, debit air Sungai Ciesek cenderung lebih besar ketimbang Ciliwung. Bisa jadi karena perbedaan kemiringan dasar sungai dan volume debit air.

“Kalo musim hujan, Sungai Ciesek lebih berbahaya ketimbang Ciliwung. Tak jarang banyak rumah warga di bantaran ikut hanyut. Jika Katulampa airnya berlebih, salah satunya pasti dari sungai ini”, ujar Iwan sembari menunjukkan keberadaan sungai Ciesek.

Titik start berada persis di pertemuan ke dua sungai. Lokasi ini cukup strategis, karena letaknya yang tidak jauh dari jalan. Selain itu, volume air yang tercipta relatif stabil. Meski saat itu, debit air 50 cm di bawah normal, sungai ini masih layak diarungi.

Sebelum berarung jeram, para tamu akan beri pengarahan oleh guide berpengalaman tentang tata cara keselamatan. Tamu juga diajarkan tentang istilah yang biasa digunakan saat berarung jeram, seperti: dayung maju, dayung mundur, pindah kanan, pindah kiri dan boom.

Usai briefing, guide akan membagi tim berdasarkan kekuatan dan komposisi di dalam perahu. Hal ini menjadi penting agar kekompakan saat mendayung merata antara sisi kanan dan kiri. Sementara saya diberi kesempatan untuk menikmati perahu kayak berpenumpang dua orang.

Begitu pengecekan final selesai, pengarungan pun di mulai. Perahu kami di beri kesempatan pertama. Dengan beberapa kali dayungan, jeram pertama segera menyapa. Jeram ini tidak begitu berbahaya. Mereka menyebutnya “Jeram Selamat Datang”.

Sudah menjadi standar dalam pengarungan, setiap perahu yang berhasil melewati jeram, wajib menunggu perahu berikutnya. Baru ketika semua perahu tiba dengan selamat, perjalanan kembali di lanjutkan. Sistem ini dikenal dengan sebutan “river runing system”. Itu pula sebabnya dalam sebuah pengarungan tidak dianjurkan hanya menggunakan 1 buah perahu. Minimal dua.

Tak terasa, 13 menit kemudian, kami pun tiba di Jeram Sawah. Di tempat ini pengunjung dimanjakan dengan panorama alam berupa deretan sawah hijau membentang. Tampak pula beberapa petani sedang membajak sawah. Jeram sawah ini panjangnya kurang lebih 200 m dengan tingkat kesulitan, grade 2.

Ketika adrenalin telah menemukan bentuknya, tak ada cara lain, selain mengikuti irama yang tercipta. Irama yang hanya muncul ketika kekompakan tim berpadu. Gerakan yang menimbulkan harmonisasi yang dipadupadankan dalam ketukan ritme. Jika tim kompak, tak sulit bagi perahu meliuk indah di atas liarnya jeram.

Setengah Perjalanan

Tepat pukul 11.35 siang, tim akhirnya berhenti sejenak di sebuah tempat bernama “Galian Pasir”. Di lokasi ini tim beristirahat sembari melemaskan otot-otot yang kaku. Berhubung hari telah siang, tak sedikit diantara rombongan memilih menghabiskan bekal yang di bawa. Sementara di ujung sana, para guide sibuk membenahi perahu masing-masing. Ada yang memompa, mengecek perlengkapan dan ada yang sibuk membersihkan perahu dari lumpur yang menempel.

Lokasi ini di pilih sebagai tempat beristirahat, karena jaraknya berada persis 4 Km dari titik start. Dengan demikian, perjalanan tinggal setengah lagi.

Dua puluh menit kemudian saat puas beristirahat, pengarungan kembali dilanjutkan. Menurut Kurawa, di depan sana, masih ada beberapa jeram besar yang patut diwaspadai. Salah satunya Jeram Stres. Jeram ini dinamakan demikian, karena pola jeram yang tidak beraturan. Beberapa batu besar juga menyembul keluar. Sedang di beberapa sisinya terjadi pendangkalan. Jika tidak pintar memilih arus, perahu akan terjebak kandas. Itu sebabnya banyak guide yang stres saat melalui jalur ini.

Menggunakan perahu kecil merupakan pilihan bijak di jeram ini. Hanya dengan beberapa manuver, kami berhasil melewatinya dengan mulus. Sementara bagi perahu karet ukuran sedang, seperti yang sudah kami prediksi, banyak yang stagnan. Mau tidak mau memang harus di bantu dorong.

Etape Terakhir

Di Sungai Ciliwung, kami tidak menemukan halangan berarti, selain standing vawe, hole dan banyaknya batu. Berbeda dengan sungai di tempat lain, disini kami tidak mendapati adanya undercut (cerukan dengan arus yang menghisap) ataupun strainer (batang kayu besar) yang mampu menghambat pengarungan.

Sejak dari titik start, saya juga tidak menemukan banyak sampah. Secara umum, hulu sungai ini terbilang bersih, jauh berbeda dengan kondisi di hilir. Warga pun lebih banyak memanfaatkannya untuk mandi dan mencuci. Sehingga jangan heran, jika di sepanjang perjalanan kita akan menemukan banyak warga yang mandi atau mencuci.

Selain itu, sepanjang tahun 2008 hingga sekarang, belum pernah ada kecelakaan akibat berarung jeram di Sungai Ciliwung. Soar Rafting selaku operator tunggal menekankan pentingnya standar keselamatan disertai kemampuan guide berpengalaman. Akibatnya, tak sedikit tamu yang rela kembali untuk berarung jeram.

"biasanya gitu, mas. Jika tamu telah mencoba rute 4 Km, mereka akan datang lagi untuk mencoba rute 8 Km", tutur Kurawa bersemangat.

Di etape terakhir ini, ada bererapa jeram yang mesti diwaspadai. Salah satunya Jeram Miring. Jeram ini bentuknya miring, berada di sisi kiri dengan tingkat kecuraman yang cukup besar. Akibatnya beberapa hole (terjunan) tercipta. Jika tidak berhati-hati perahu yang melewatinya bisa terbalik atau tertahan di diatas hole.

Karena begitu berbahaya, Kurawa sempat menawarkan untuk berhenti sebelum jeram tersebut. Pasalnya, ia ragu dengan kemampuan saya. "Jika memilih berhenti, bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki", katanya. Sementara perahu akan di lining (di tarik dengan tali) melewati jeram tersebut. Setelah itu pengarungan dilanjutkan kembali.

Setelah berpikir cepat, dengan tegas, saya menolak tawaran tersebut. Saya beranggapan jika tim kompak, kami pasti sanggup melewatinya. “Ayo, kang, kita hajar saja. Saya masih kuat, kok”, ujarku lantang.

Perlahan namun pasti, perahu kami melaju di ganasnya ombak. Strateginya adalah dengan memilih arus utama yang terdiri dari standing vawe (ombak berdiri) berukuran kecil. Metode ini di pilih karena akan menghemat tenaga dan memanfaatkan energi hempasan ombak.

Persoalan pertama telah selesai, tinggal bagaimana cara melewati hole yang kekuatannya mampu menghisap perahu. Tak ada cara lain, selain mendayung sekuat tenaga. Begitu aba-aba “dayung maju” dikumandangkan, dengan cepat saya menancapkan dayung ke dalam jeram. Berkali-kali, hingga akhirnya kami berhasil melaluinya. Karena kalau terlambat sedikit saja bisa celaka. “cihuuy…berhasil!” teriakku. Kini tinggal menunggu perahu berikutnya. “Semoga mereka juga berhasil”.

Lepas dari Jeram Miring, Jeram Batu Besar segera menyambut. Jeram ini dinamakan demikian karena ada beberapa batu besar melintang persis di tengah sungai. Batu ini turut membentuk jeram. Kendati berbahaya, lagi-lagi dengan kekompakan, kami berhasil melaluinya dengan baik.

Tak lama berselang, kami menemukan aliran air yang tenang. Para rafter menyebutnya flat. Di tempat ini, setelah letih mendayung, para tamu mulai malas beraktivitas. Mereka hanya menikmati pemandangan sembari diam membiarkan perahu bergerak dengan sendirinya.

Namun, lama kelamaan rasa bosan timbul juga. Flat yang cukup panjang membuat pencapaian finish semakin terasa lama. Karenanya, skiper menyemangati tim dengan ajakan mendayung. Meski lambat, gerakan tersebut mampu membuat perahu bergerak pelan, ketimbang tidak mendayung sama sekali.

Lima menit kemudian, di ujung sana, jembatan besar muncul dari balik kelokan sungai. Ini pertanda pengarungan hampir selesai. Saya dan Kurawa yang berada di posisi terdepan segera bergegas, ingin jadi tim pertama yang tiba di garis finish. Dengan bersemangat kami memecah ombak di deretan panjang Jeram Finish.

Akhirnya, kami berhasil menuntaskan pengarungan di hulu Ciliwung sejauh 8 Km. Sebuah perjalan yang menyenangkan. Bergelut dengan liarnya jeram Ciliwung telah memberi pengalaman baru. Ciliwung ternyata masih indah di tempat ini. Betul-betul indah, seindah pesonanya yang melekat kuat di ingatan.

--End--

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN