Saat itu aku masih ingat, sewaktu meliput bencana Gempa besar yang melanda di Jogya kemarin. Jogya yang bagiku masih menjadi sebuah kota kharismatik, dengan keramahan penduduknya, telah memberi ruang tersendiri tentang keindahan dan keeksotisannya. Tiada yang menyangka, kalo kota yang masih berpegang teguh pada tradisi ini, harus hancur hanya dalam hitungan menit oleh pergeseran lempeng Bumi. Sebuah kejadian langka yang terjadi kembali setelah 300 tahun silam.
Tapi kejadian maut yang merenggut ribuan korban jiwa dan menghabiskan semua harta benda masyarakat Jogya, telah memberi sebuah pelajaran tentang pentingnya arti bersyukur. Aku hanya bisa berdoa, semoga mereka bisa diberi kekuatan dan ketabahan tuk menghadapi semua ini. Dan, jika semua ini dibalik. ketika bencana itu harus menimpaku. Sungguh aku tak tahu harus berbuat apa! Paling-paling aku akan bersembunyi di balik kepedihanku, dan sedikit berdoa, semoga Dia yang diatas sana memberi petunjuk, perihal apa yang harus kulakukan. Sebab aku, yang tak berbeda jauh dengan mereka, masih manusia biasa, yang tak lepas dari salah .
Kejadian jogya kemarin, memang mengundang empatiku. Tapi berita yang satu ini tak kalah hebohnya. Tepatnya pada pukul 17.45 wib, sebuah SMS masuk ke dalam ponselku. Saat itu kita baru kelar Live sore dari pinggir jalan di daerah Jetis, Bantul. Kata-kata detilnya aku udah lupa, yang pasti isinya kurang lebih "....bang xxx telah resign dari XXXXX dan sekarang pindah ke XXtv...." Sontak aku kaget membacanya. Sejurus kemudian berita heboh ini kuceritakan ke semua rekan-rakan yang sedang meliput Gempa Jogya, kala itu. Mereka pun, tak kalah terkejutnya denganku.
Sampai ketika acara makan malam kelar, kita masih sibuk mendiskusikan perihal kepergian orang kedua di divisi News, milik kita bersama ini. Beragam opini bermunculan. Ada yang bilang, kalo kepergiannya karena tawaran dari tv tetangga lebih gede. Trus ada yang bilang, dia pindah karena di tempatku gak ada rubrik olahraga. Hal ini juga sangat logis, karena "dia" memang punya basic di Olahraga. And, sebagian lagi mengatakan, "dia" pindah karena ada sedikit masalah dengan "XXXXX", tempatku bekerja. Dan anehnya, sebagian kecil lainnya, merasa tak peduli dengan kehadiran ataupun kepergiannya. "Abis, dia orangnya sangat subjektif!", begitu ujar seorang teman disela-sela acara makan malam selesai.
Sampai ketika aku balik dari Jogya, perihal tentang kepergiannya masih tetap simpang siur. Baru seminggu kemudian aku mulai mengerti duduk permasalahannya, ketika seorang teman menceritakan ikhwal kejadiannya. Aku rasa, aku dapat mempercayai sumber tadi, karena hampir semua teman yang kutanya, selalu memberikan penjelasan yang sama.
Dari semua penelusuran yang kulakukan, dapat dijelaskan bahwa, "dia" harus resign dari sini, karena telah terjadi penyelewengan yang menyebabkan kerugian perusahaan sejumlah uang, yang tak seorang pun tahu besarnya, kecuali Pak Is, sang direktur.
Dalam sebuah rapat besar yang di pimpin Pak Is diberitakan, bahwa penyelewangan itu telah tejadi cukup lama. Perihal omongan rincinya aku juga gak ingat, tapi kurang lebih seperti ini; "...dan jika diantara anda, ada yang ingin mengetahui tentang penyelewengan ini. Saya punya bukti-bukti otentik yang sangat kuat, yang dapat saya perlihatkan jika anda datang ke lantai 9, sebab tak mungkin semua ini saya beberkan disini!", seru Pak Is, disela-sela rapat tersebut.
Jujur, aku tak terlalu prihatin dengan bencana yang menimpa"nya"! Sebab setiap orang harus menanggung resiko akibat perbuatannya. Demikian pepatah orangtuaku, yang sampai hari ini masih kupegang teguh. Aku juga tak mau berlarut-larut dalam intrik-intrik yang mungkin terjadi di level mereka, yang lagi-lagi aku gak tahu.
Hanya saja, jika aku boleh berargumen. Rasanya gak ada yang tidak terkejut dengan kepergian"nya". "Dia" yang punya jasa cukup besar terhadap tempatku bekerja, telah menorehkan begitu banyak karya dalam sejarah perusahaan ini. Sebuah proses kerja keras yang setiap orang pasti mengakuinya. Tapi, lagi-lagi rasa tak pernah puas bisa membuat orang collaps hanya dalam hitungan hari. Dan, ini yang terjadi dengan"nya"
Dari analisa seorang teman, diceritakan bahwa tak ada orang yang ingin menggeser kedudukannya, baik dari atas maupun dari bawah. Dari atas maksudnya, dari sang atasan. Sepertinya "dia" punya hubungan sosial yang sangat baik dengan atasan. Sehingga tak mungkin jika sang atasan punya masalah pribadi dengannya. Bang Iwan, sang kadiv misalnya. "Dia" dengannya merupakan kawan seiring yang membesarkan divisi news tempatku bekerja. Susah sedih telah mereka lewati bersama, selama kurang lebih lima tahun ini. Sedangkan bagi sang direktur "Pak Is", "dia" telah menjadi sahabatnya sejak bergabung disini. "Rasanya tak mungkin aku mencelakainya, dan tak ada alasan aku membencinya, sebab dia sahabatku!", begitu ucapnya di suatu kesempatan.
Selanjutnya, jika ingin ditilik dari sisi bawahan. Rasanya tak ada bawahan yang punya friksi dengannya secara langsung. Walau agak subjektif, semua orang bisa mengerti wataknya. Sejauh tidak mengganggu jalannya roda perusahaan, semua merasa baik-baik saja. Kang Ule misalnya, seorang teman seiringnya yang harus rela menjadi bawahan, hanya karena obsesi sebuah jabatan, masih tetap bersimpati terhadapnya. Sampai ketika seorang teman menanyakan perihal hengkangnya "dia" dari XXXXX. Kang Ule masih bersikap legowo, dengan mengatakan, setiap orang berhak untuk bertahan ataupun pindah ke tempat lain, sesuai dengan kata hatinya. Walaupun yang terjadi tidak demikian, tapi Kang ule coba berlaku bijak dengan tidak memperkeruh keadaan.
Sampai detik ini, aku gak tahu berapa besaran kerugian yang dialami perusahaan. Yang pasti, ini sebuah pelajaran berarti buatku. Pelajaran tentang meniti hidup dengan kejujuran. Sebab sering kali kita silau, hanya karena uang. "Uang emang gak ada temannya", begitu ujar seorang kawan waktu kuliah dulu. Ternyata perkataan itu jadi kenyataan saat ini.
Aku hanya bisa berdoa, semoga "dia" diberi kekuatan dan ketabahan sama seperti para pengunggsi Jogya tadi. Semoga kita masih bisa berteman, tanpa dibatasi sekat-sekat jabatan.
Sang Kelana!
No comments:
Post a Comment