Saturday, August 19, 2006

"sANg PeMiJaT"

Tak banyak yang menyangka, kalo di dusun terpencil ini, hidup sebuah kaum yang dari dulunya punya keahlian khusus. Ya, keahlian itu adalah memijat. Keahlian yang konon diturunkan oleh nenek moyang mereka, dari generasi ke generasi. Seiring perkembangan jaman, kegiatan ini pun telah berkembang menjadi mata pencaharian baru bagi mereka, kala musim bercocok tanam usai. Bahkan tak berhenti sampai disitu. Kini, banyak diantara mereka pergi merantau ke kota-kota besar, termasuk Jakarta, hanya dengan bekal keahlian memijat.

Tepatnya di Dusun Warung Banten, Desa Cibeber, penduduk (baca: yang punya keahlian memijat) dengan populasi 159 KK itu berada. Lokasinya yang jauh di lembah gunung Halimun, membuat tempat ini sulit ditemui. Itu yang kami alami, saat coba bertandang kesana. Keberadaannya di perbatasan Kab. Sukabumi dan Kec. Bayah, membuat kami kewalahan untuk mencapainya. Sesuai informasi yang diterima, kami pun bergerak dari Jakarta kearah Lebak-Banten. Usut punya usut, ternyata keberadaan kampung ini lebih mudah dijangkau dari Sukabumi, bukan dari arah Lebak, seperti yang kami lakukan. Akhirnya, setelah 5 jam berkendara dengan mobil, kami pun berhasil tiba disana.

Perawakan kurus tinggi dengan cacat mata sebelah kiri dan peci hitam yang selalu menghiasi kepala, menjadi ciri khasnya. Saradin, demikian nama lengkap pria berusia 40 tahun ini. Sudah 10 tahun lalu ia meninggalkan kampung dan keluarganya menuju Jakarta, demi sebuah nasib yang lebih baik.

Diantara para pemijat dari kampung ini, Saradin menjadi salah seorang yang dituakan. Setiap ada pemijat baru -yang ingin mengadu nasib di Jakarta-, ia selalu memberi wejangan, agar mereka (baca: para pemijat muda) tidak terlena dengan impian semu ibukota. Sebuah kerja keras dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi tadi.

@@@@

Saat adjan maghrib membahana dari sebuah surau di pojok desa. Pak Saradin, baru saja selesai memberi pelajaran singkat tentang memijat kepada seorang pemuda yang ingin belajar. Jika menilik dengan seksama, ternyata belajar memijat tak begitu susah. Bermodalkan sebuah kemauan plus pengetahuan tentang urat/ syaraf anggota tubuh, menjadi senjata utamanya, disamping doa-doa murni yang di panjatkan kepada Sang Pencipta.

Malam itu, menjadi akhir pertemuan dengan keluarganya untuk satu bulan ke depan. Pasalnya, tak tiap minggu dia pulang ke kampung. Hanya, jika sejumput rupiah dari hasil memijat berhasil dikumpulkan, atau ketika rasa rindu sedang membuncah, dia pun akan segera pulang. Dari wajah anggota keluarga tersebut, tak tampak rona kesedihan. Mungkin, karena keseringan di tinggal, saat perpisahan seperti ini menjadi hal yang biasa. Hanya si ibu, yang terlihat sayuh, ketika melepas kepergian sang suami.

Melihat itu, aku jadi ingat masa kecil dulu, ketika mama meninggalkan kami untuk menjenguk nenek yang sedang sakit di kampung. Karena jarang ditinggal, kami selalu merasa kehilangan, jika mama pergi, even cuma ke kondangan. Sebab dia adalah segalanya bagi kami. Saat, gak ada yang bangunin dan gak ada yang nyiapin sarapan di pagi hari. Kami jadi mahluk hidup tanpa roh. Sepertinya ada yang kurang. Beda dengan keluarga Saradin, yang tampak tegar (baca: seolah tak terjadi apa-apa) dengan kepergian sang kepala keluarga. Apakah memang demikian, aku gak tahu. Hanya pribadi mereka dan Tuhan yang tahu!

@@@@

Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju Jakarta, dia berujar tenang seluk beluk pekerjaannya. Awalnya, dia gak kepikiran untuk menggeluti bidang ini. Dia, yang punya keahlian bertukang, sering ke Jakarta diajak pamannya untuk ikut proyek bangunan. Di sela-sela waktu istirahat, iseng-iseng dia menawarkan kemampuan pijat yang dimilikinya ke sejumlah teman bahkan bos proyek, dengan imbalan seadanya.

Saat tak ada proyek, Saradin yang sering pindah-pindah tempat tinggal di Jakarta, mulai memutar otak, bagaimana caranya agar keluarga di kampung masih bisa makan. Krisis moneter 1997 menjadi pukulan terberatnya. Saat itu hampir 80% sektor infrasuktur lumpuh. Mau gak mau, hanya keahlian memijat jadi senjata pamungkasnya. Berbekal minyak gosok dan sebuah krincingan dari kaleng, jadi alat untuk menjajakan kemampuannya. Keluar masuk kampung dilakoninya saat malam menjelang, berusaha mencari orang yang memerlukan jasa pijatnya. Dari satu kampung, secara kebetulan ada seorang yang berhasil dia pijat. Biasanya promosi dari mulut kemulut tentang keahliannya mulai diketahui banyak orang, yang secara tak langsung akan bergulir ke kampung lain. Sampai akhirnya, lama kelamaan dia pun mulai memiliki banyak pelanggan di banyak tempat.

Menurut pengakuannya, tak ada tarif khusus untuk jasa pijatnya. Semua dia terima dengan ikhlas. “Jika ada yang memberi lebih, ya syukur! Jika di beri sedikit, ya…, alhamdullilah!” ujarnya sambil menatap ke arah luar jendela mobil. Saat kutanya perihal buruk yang pernah dialaminya. Dia menuturkan, pernah ada orang yang tak memberi sepeserpun, ketika selesai di pijat. Dan, lagi-lagi dia tak bisa berbuat apa-apa. “Mungkin orang tersebut sedang apes”, jawabnya.

Untuk sekarang ini, Pak Saradin merasa kerasan tinggal di daerah Kali deres, Jakarta Barat, menyewa 1 kamar ukuran 3x3m, berbagi dengan 4 rekan lainnya –yang tak lain para pemijat berasal dari 1 kampung- dengan membayar sewa Rp. 150 ribu per bulannya. Tingginya biaya hidup di Jakarta, memaksa mereka harus hemat, sementara keluarga di kampung harus tetap di suplai. Rasanya, ruangan sempit ini, tak jadi masalah bagi mereka. “Kamar ini hanya jadi tempat berteduh dan menumpang tidur saja. Selain itu, untuk ruangan sesempit ini yang penting hatinya lapang”, ucapnya lirih. Mendengar itu aku jadi malu. Sebab sering kali, yang kelihatan, membuat kita minder dengan keberadaan kita.

Dari semua penuturannya, aku jadi ingat siapa diriku! Aku yang selalu melihat keatas, sering lupa bercermin, tentang siapa aku. Kadangkala, sesekali aku perlu melihat ke bawah untuk bisa mengerti “arti bersyukur”. Pak Saradin, jadi contoh tentang hebatnya pergulatan hidup. Tak jarang dia masih bisa mengirim uang (baca: 500 ribu) setiap bulannya ke kampung. Sedang aku, masih belum berbuat apa-apa! Rasanya, aku jadi malu!



No comments:

Post a Comment