Foto-foto itu lahir dari kenyataan hidup: Perang bukan cuma sebuah dunia yang dihuni pahlawan, tapi di sana juga ada para pengkhianat, pengecut, dan pecundang yang sekadar ikut-ikutan. Perang bukan hanya pemimpin dan perwira, tapi juga korban-korban mereka.
Untuk setiap lelaki yang memanggul bedil, maka akan ada lelaki lain yang harus mencangkul di sawah. Akan ada yang lain yang mesti mendorong truk angkutannya yang mogok di tengah hutan. Akan ada seorang janda atau anak yatim yang terpaksa menjual pakaiannya, menggembel, atau bahkan menggadaikan tubuhnya untuk bertahan hidup. Lagipula pelacur juga bisa menjadi pahlawan; di Tangsi Penggorengan, adalah para wanita tuna-susila yang bertugas mencuri senjata prajurit gurkha.
Foto-foto itu lahir dari kemauan hidup, karena di hadapan maut jantung manusia biasanya akan berdegup lebih cepat. Maka, di Jakarta atau di Yogyakarta, lampu-lampu jalanan terus menyala di malam hari. Perusahaan film terus membuat lakon baru. Bioskop terus mempertunjukkannya. Ring tinju atau gulat dipenuhi penonton dan pejudi. Para remaja terus dansa-dansi. Opas masih harus bangun pagi dan berangkat ke kantor setiap pagi, pelukis tetap melukis dan bertikai satu dengan yang lain, sementara si pemilik sampan di Ciliwung tak henti mengayuh perahunya hilir-mudik ketepian mengangkut penumpang atau tangkapan.
Maka, foto-foto itu lahir dari kecintaan terhadap segala yang hidup. Hidup buruh-buruh pabrik gula yang sepanjang hari berpeluh keringat, atau bocah-bocah yang kegirangan menyaksikan atraksi pilot-pilot RI. Hidup seorang prajurit Tiongkok yang berbagi rokok dengan seorang laskar di hari-hari terakhir ketika langit Surabaya diselimuti asap-asap hitam. Juga hidup tuan tanah Belanda yang sama ketakutannya seperti petani yang lari tunggang-langgang ketika pesawat musuh menjatuhkan bom di kebun.
Dan yang paling penting, foto-foto itu lahir dari pengalaman hidup para pembuatnya; sebagai inlander, sebagai pejuang, sebagai minoritas Minahasa beragama Kristen, sebagai wartawan kere --pendek kata, sebagai manusia-manusia yang di setiap zaman --kolonial, penjajahan Jepang, maupun kemerdekaan-- selalu harus membuktikan keberadaannya.
Alhasil, kesaksian Mendur dan Umbas bersaudara menjadi terlalu luas, terlalu rumit, terlalu hidup untuk direproduksi ke halaman-halaman kusam kitab sejarah. Foto-foto IPPHOS berbicara tentang toleransi dan penghormatan terhadap seluruh manusia, tentang hidup, sementara para sejarawan cuma mau ngomong tentang kejayaan masa silam dan raja-raja yang sudah lama mati.
No comments:
Post a Comment