Monday, August 28, 2006

"TeNtANg sI aDiK KeCiL"

Sejurus kemudian kulepas pandang ke luar jendela bis kota (baca: jurusan Kamp. Rambutan – Grogol) yang membawaku ke tempat tujuan, saat dia meringsek masuk dan mulai menyanyikan sebuah lagu milik penyanyi tenar yang aku lupa namanya. Tampang kecilnya yang awut-awutan tak terurus plus tubuh dekil –pertanda jarang mandi- segera akrab menyapa, menebar aroma khas yang membuat para penumpang segera menyingkir sambil menutup hidung.

Sementara aku yang duduknya tak jauh dari tempatnya berdiri, coba menyimak setiap lakunya dengan seksama. Hasilnya, si adik kecil (baca: begitu sebutanku terhadapnya) tetap saja tenang, tak sadar begitu banyak pasang mata memperhatikannya. Oh ya, sedikit informasi! Ternyata dia (baca: anak kecil) masuk ke dalam bis bersama si abang yang usianya 15 tahun lebih tua, -menurut perkiraanku-. Apakah itu abang yang tertua atau abang yang nomer berapa, tak ada yang tahu? Yang pasti, demi sesuap nasi dan menyambung nyawa di ibukota, dia –yang harusnya ada di bangku sekolah-, harus rela ngamen, nemani abangnya berpindah-pindah bis diantara deru knalpot kendaraan bermotor.

Melihat itu, yang terlintas di benakku adalah, dimanakah sang ibu…??? Apakah dia masih punya ibu? Atau, jangan-jangan, dia gak punya siapa-siapa lagi sekarang, kecuali si abang tadi. Pasalnya, ini adalah kali kedua aku bertemu dengannya, masih dengan si abang yang selalu setia menemani. Rasa sayang terhadap si adik kecil (baca: yang menanggung beban begitu berat), membuatnya selalu memberi perlindungan ekstra. Bahkan ketika turun dari bis, si abang selalu memegang erat tangan si adik, mencoba mengelakkannya dari lalu lalang kendaraan. Atau, saat di dalam bis, si abang akan selalu mengawasi gerak-gerik si adik, jangan sampai ada yang menyentuh atau berbuat buruk padanya.

“Permisi bapak ibu sekalian, ijinkan saya membawakan beberapa buah lagu,” demikian tutur sang abang saat akan membawakan sebuah lagu diiringi gitar tua miliknya. Takkala musik dimainkan, sang adik pun terlihat sibuk memainkan krincingan –yang berasal dari tutup botol yang dipipihkan-, pertanda sinkronisasi irama sebuah lagu. Mungkin karena dia masih terlalu kecil dan belum mengerti musik, irama yang dihasilkan terdengar aneh dan tidak harmonis. Beberapa kali sang abang memberi kerdipan mata sebagai kode, agar si kecil mengikuti ritme musik, tapi tetap saja ia sibuk dengan pemahamannya sendiri. “Ya, pantas aja! Karena dia masih terlalu kecil untuk mengerti nada, lagian dia kan, gak pernah belajar not,”, ujarku membathin.

Sedetik kemudian, secara perlahan kulayangkan pandang ke wajah-wajah aneka ekspresi para penumpang. Sepertinya, mereka masih terbius dengan pikiran masing-masing. Ada yang ngantuk, ada yang baca Koran, ada yang bengong dan ada yang asyik ngobrol dengan teman sebangku. Sama seperti ketika pengamen tadi belum muncul, para penumpang tetap khusyuk, merasa tak terusik sedetik pun. Hanya, sang kondektur yang terlihat sesekali menyambung kalimat dari lagu yang mereka nyanyikan.

Seperti pengamen pada umumnya, mereka berusaha menampilkan aksi panggung terbaik, dengan harapan para penumpang rela berbagi sedikit rejeki dengan mereka. Kadangkala, saat sebuah lagu dimainkan dengan begitu indah, tak sedikit penumpang yang beri sekeping rupiah plus tepukan riuh sebagai ungkapan rasa salut.

Tapi, pengamen yang satu ini agak beda. Apakah karena keberadaan si adik kecil itu? Mungkin juga! Pasalnya, saat si abang terlihat sibuk tarik suara, si adik malah kalem-kalem saja. Tapi di beberapa penggalan lirik berikutnya, tak jarang si adik ikut berdendang. Artinya, si adik kecil akan menyanyi sesuai kata hatinya. Itu yang membuat lagu si abang terlihat kacau. Sehingga untuk menghindari kesalahan yang lebih besar, sang abang tak mengharapkan keikutsertaan si adik dalam olah vokal. Dia lebih ingin agar si adik hanya berperan mengumpulkan saweran yang di terima dari para penumpang. Tapi, dasar si adik emang badung, tetap aja dia ikut nyanyi sambil memainkan krincigan dengan nada-nada yang jumpalitan.

Saat kucoba meliriknya, sama seperti ketika masuk tadi, dia tetap tak acuh (baca: sibuk dengan nadanya sendiri). Ketika melewati komdak, secara perlahan bis mulai dijejali penumpang. Si adik kecil pun langsung terhimpit di tengah-tengah orang yang mulai berjubel. Kali ini, dengan cekatan si abang segera menyelamatkannya. Posisi aman pun berhasil diraih. Disela-sela iringan lagu, tiba-tiba saja dia memasukkan jarinya yang kotor ke dalam mulut, -yang juga tak terawat-. Mungkin ada sisa kotoran yang nyangkut disana. Iseng-iseng kucuri pandang lagi. Kini, dari mulutnya terlihat beberapa buah gigi kuning yang letaknya jarang-jarang. Padahal untuk anak seusianya (baca: 3-4 tahun) pertumbuhan gigi seharusnya telah sempurna.

Tak lama berselang, si adik kecil mulai terlihat sibuk mengusap ingus yang keluar dari hidung mungilnya. Masih menggunakan tangan yang sama, dengan sigap dia membersihkan lendir yang tersisa. Selanjutnya kotoran itu ia tempelkan ke sisi bawah pakaian kumalnya. Melihat itu aku jadi sedih! Bukan kah anak seusianya, lagi asyik-asyiknya bermain di bawah pengawasan orangtua. Tapi, itu tak terjadi dengannya. Entah dimana orangtuanya kini?

Karena suka mengamati, lagi-lagi perhatianku selalu jatuh pada si adik kecil itu. Jika di lihat sekilas, tampangnya yang lucu dengan raut muka yang begitu tegar, perlambang beratnya sebuah perjuangan hidup. Di sekitar mulutnya terlihat bercak hitam sisa kotoran, menempel membentuk huruf O tak beraturan. Apakah si abang tak peduli dengan kebersihan si adik. Lagi-lagi gak ada yang tahu. Hanya aneh, jika si abang yang selalu nemani adik kecil kemanapun pergi, tak pernah memperhatikan kekurangan tersebut. Sementara aku, yang bukan siapa-siapa, semakin tersentuh dengan semua itu.

Tapi, kisah perjuangan hidup ini tak berhenti sampai disitu. Badan kecil, hitam, yang penuh borok itu, terlihat gontai menyusuri tiap bangku, mengumpulkan sumbangan para penumpang. Seperti bisa ditebak, tak banyak yang menyumbang. Tapi, tetap saja wajah mungilnya tampak berseri-seri, menikmati keadaan yang ada. Dari bis ini rencananya mereka akan melanjutkan ke bis-bis lain. Mencoba peruntungan yang berbeda.

Moral dari semua cerita tadi, membuatku teringat pada sosok bocah kecil yang usianya 2 tahun lebih muda dari anak kecil tadi. “Bubu”, demikian nama panggilannya. Bubu, yang hobi nyanyi, walau dengan irama tak jelas, selalu bangga jika disuruh tarik suara. Persis sama dengan si adik kecil tadi. Bubu juga sangat berani berkelana ke lokasi-lokasi yang tak dikenalnya. Lagi-lagi, sama seperti adik kecil tadi. Bubu pun punya karakter keras, saat bertahan dengan semua kemauannya, persis seperti karakter si adik kecil tadi; coba bertahan ketika ada yang mengusik mainannya.

Hanya saja, Bubu berbeda, karena hidupnya tak se-tragis si adik kecil tadi. Pasalnya Bubu masih punya orang tua yang selalu mencintai dan merawatnya. Selain itu, Bubu masih bisa menikmati masa kecilnya sementara si adik kecil harus berjuang mengisi masa kecilnya. Sebab si adik kecil, gak pernah tahu entah esok apa lagi?

Dengan semua itu, aku hanya bisa berdoa, semoga derita si adik kecil segera berakhir! Karena aku gak sanggup membayangkan kelanjutan kisah sedih yang akan di tanggungnya. Akankah hari-harinya berakhir di jalanan, atau masih adakah pihak yang ber-empati dan mau berbagi dengan mereka? Gak ada yang tahu! Kalau saja aku punya segudang cadangan, tentu akan kubagi dengannya. Tapi, aku gak punya! Sebab yang kupunya hanya doa dan rasa mengasihi. Akhirnya, semoga Bubu tak pernah merasakan penderitaan itu. Karena jika itu terjadi, aku akan sangat terpukul. Sebab, Bubu adalah buah hatiku. Anak lelakiku.




No comments:

Post a Comment