SEBAGAI wahana baru berwisata, Sungai Pekalen masih kurang familiar, bagi mereka yang senang dengan kegiatan arung jeram. Pasalnya, sungai ini kurang mendapat promosi, padahal jika ditelusuri, pesona yang ditimbulkannya tak bisa dianggap enteng. Ini yang membuat kami (baca: jurnalis televisi), merasa tertantang ingin menggeluti dan mengabadikannya ke dalam format video, agar bisa dinikmati oleh jutaan pemirsa lewat layar kaca.
Terletak di Kab. Probolinggo-Jawa Timur, sungai yang bersumber dari mata air gunung Lamongan dan Argopuro, biasa disebut Kali Pekalen Sampean. Dari pengamatan, sungai ini disebut-sebut sebagai sungai terbaik untuk kegiatan arung jeram di Jawa Timur. Kali Pekalen pun bersumber di tiga tempat; Sumberduren dan Ranusegaran, dan sumber di tapal batas Guyangan-Watupanjang.
"Batang air" dari Sumberduren dari Gunung Malang (1.221 m) dan Ranusegaran kemudian bertemu di Desa Jangkang, Kec. Tiris. Air dari kedua sumber inilah yang kemudian membentuk kali Pekalen Tiris-Condong yang menjadi "arus utama" arung jeram. Sedangkan sumber ketiga, tapal batas Guyangan-Watupanjang, Kec. Krucil, baru bertemu dengan hilir kali Pekalen di Desa Brani Wetan, Kec. Maron.
Dari sini, kali Pekalen mengalir ke utara dan bermuara di Desa Penambangan, Kec. Kraksaan. Dari pembacaan peta topografi, diketahui panjang aliran sekitar 50 km dengan kisaran 25 km (Tiris-Condong) yang bisa diarungi. Tapi, jarak tempuh masih bisa diperpanjang menjadi 40 km, hingga bisa mendarat persis di dekat kantor Pembantu Bupati di Gading. Namun untuk wisata arung jeram, waktu yang terlalu lama, bisa membuat penikmat bosan.
Persiapan Peliputan
Terletak di Kab. Probolinggo-Jawa Timur, sungai yang bersumber dari mata air gunung Lamongan dan Argopuro, biasa disebut Kali Pekalen Sampean. Dari pengamatan, sungai ini disebut-sebut sebagai sungai terbaik untuk kegiatan arung jeram di Jawa Timur. Kali Pekalen pun bersumber di tiga tempat; Sumberduren dan Ranusegaran, dan sumber di tapal batas Guyangan-Watupanjang.
"Batang air" dari Sumberduren dari Gunung Malang (1.221 m) dan Ranusegaran kemudian bertemu di Desa Jangkang, Kec. Tiris. Air dari kedua sumber inilah yang kemudian membentuk kali Pekalen Tiris-Condong yang menjadi "arus utama" arung jeram. Sedangkan sumber ketiga, tapal batas Guyangan-Watupanjang, Kec. Krucil, baru bertemu dengan hilir kali Pekalen di Desa Brani Wetan, Kec. Maron.
Dari sini, kali Pekalen mengalir ke utara dan bermuara di Desa Penambangan, Kec. Kraksaan. Dari pembacaan peta topografi, diketahui panjang aliran sekitar 50 km dengan kisaran 25 km (Tiris-Condong) yang bisa diarungi. Tapi, jarak tempuh masih bisa diperpanjang menjadi 40 km, hingga bisa mendarat persis di dekat kantor Pembantu Bupati di Gading. Namun untuk wisata arung jeram, waktu yang terlalu lama, bisa membuat penikmat bosan.
Persiapan Peliputan
Kabar tentang keeksotisan sungai ini, telah lama kami dengar. Bahkan saat singgah di Probolinggo beberapa waktu sebelumnya, kami sempat melakukan survey pendahuluan, perihal aman tidaknya melakukan peliputan di aliran sungai. Pasalnya, peralatan yang akan digunakan saat liputan tidak anti air.
Untuk kamera, misalnya. Demi keamanan selama berarungjeram, kami menggunakan 2 buah kamera yang tak terlalu berat, dengan kualitas gambar yang memadai (baca: 3 ccd). Satu kamera berupa handycam, kami masukkan ke dalam casing (wadah: red) yang tahan air. Sedangkan satu kamera lagi – SONY DSR PD 170- harus kami bungkus dengan plastic wrap, agar aman dari cipratan air. Maklum, casing untuk kamera ini, kami belum punya.
Peralatan lain, seperti: mik, clip on, kabel, earpiece, battere dan kaset cadangan, kami masukkan ke dalam sebuah wadah, yang disebut “Dry Bag”. Wadah kedap air, yang berasal dari bahan PVC ini, berfungsi untuk menyimpan segala macam barang yang rentan terhadap air.
Sedangkan tripot, alat bantu untuk dudukan kamera, tak perlu dimasukkan ke dalam wadah kedap air. Pasalnya, selain berat, benda ini bukan alat elektronik yang anti air. Hanya butuh penataan ruang di dalam perahu, agar benda ini tidak mengganggu selama pengarungan.
Setelah semua alat yang dibutuhkan dipacking rapi kedalam tempatnya. Kini saatnya menuju sungai. Menikmati pengarungan yang sesungguhnya.
Pesona Pekalen
Sungai Pekalen merupakan sungai permanen, karena dapat diarungi meskipun pada musim kemarau dengan arus yang tidak terlalu deras. Lain halnya pada bulan Januari hingga April debit air selalu tinggi, arus air menjadi lebih deras karena musim penghujan.
Sungai ini dikategorikan memiliki tingkat kesulitan (grade) II sampai dengan III +. Atau setingkat diatas Sungai Ayung ( Bali ) dan Sungai Sadang (Sulawesi Selatan). Bagi anda yang akrab dengan dunia arus liar, dua sungai ini tentunya sudah tak asing lagi, bukan?
Selain itu, tantangan alam berupa puluhan jeram yang ditawarkan masih sangat molek dan perawan. Pemandangan alam berupa air terjun, tebing sungai yang curam, sampai cerukan semacam goa, menambah panjang daftar panorama yang memberi nuansa baru pada kelopak mata.
Bagi para petualang, kondisi itu menjadi tantangan yang sangat menggiurkan. Belum lagi pemandangan alami yang khas dengan nuansa pedesaan menjadi pelengkap pesona arung jeram Sungai Pekalen.
Nuansa alami pun terekam pada langkah kaki penduduk desa yang berpenampilan ala kadarnya. Ketika perahu karet melintasi tepi sungai, tempat mereka mencuci pakaian, sebuncah senyum segera lemparkan tanpa malu-malu. Di balik bebatuan raksasa, penduduk desa yang kebanyakan perempuan itu asyik bercengkerama. Sesekali tangannya dilambaikan kepada peserta arung jeram. Sungguh, pemandangan langka yang jarang ditemui di perkotaan.
Sebuah Legenda
Sama seperti banyak tempat di Indonesia , Sungai pekalen pun memiliki cerita historis. Dari penuturan seorang sesepuh desa, diriwayatkan tentang perjalanan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada pernah singgah di sungai ini.
Ada juga legenda lain yang menyebutkan bahwa sang Ratu Dewi Rengganis yang pernah membangun istana di kawasan Probolinggo, pernah singgah ke sungai ini sebelum melarikan diri ke gunung Argopuro.
Sampai sekarang penduduk sekitar masih meyakini adanya tempat pemandian sang dewi, di tempat tersebut. Konon ritual ini dilakukan setiap Jumat Legi pukul 24.00 malam.
Persiapan Pengarungan
Berhubung jalur pengarungan ada dua, yakni pekalen atas dan pekalen bawah. Tim liputan dibantu Regulo Rafting -operator arung jeram tertua di Sungai Pekalen-, berencana akan memulainya dari Pekalen atas. Pasalnya Pekalen atas memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan dikhususkan bagi mereka yang sudah berpengalaman atau professional. Sedangkan pekalen bawah, lebih ditujukan pada layanan wisata. Meskipun begitu, jalur pekalen bawah tetaplah menantang.
Untuk menemukan lokasi basecamp Regulo Rafting, tidaklah begitu sulit karena dari jalan raya Probolinggo tinggal melihat papan petunjuk besar yang terletak di pinggir jalan. Dari jalan raya ini harus menempuh jarak sekitar 15 km untuk tiba disana. Sayangnya kondisi jalan tidak begitu bagus, sehingga para pengunjung akan melawati jalan yang berlubang-lubang.
Tiba di basecamp, biasanya peserta akan dipersilahkan beristirahat sejenak sambil disuguhi makanan kecil berupa pisang rebus dan minuman yang dinamakan Poka, terbuat dari teh dicampur jahe, keningar dan kayu manis. Selain itu, peserta juga diiberi kesempatan untuk berganti pakaian dengan pakaian yang siap untuk basah karena pasti akan terciprat derasnya air sungai.
Untuk keselamatan, para penikmat wisata arung jeram dilengkapi pelindung keselamatan seperti: helm, jaket pelampung, dan dayung, serta dipandu oleh seorang guide yang berpengalaman. Sedangkan perahu beserta pompa yang dibutuhkan untuk berarung jeram telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh operator. Sehingga ketika peserta datang, perahu telah siap.
Sebelum berangkat peserta akan diberi penjelasan singkat tentang cara berarung jeram. Disini peserta dikenalkan dengan beberapa istilah yang dipakai. Seperti "Maju" berarti mendayung maju, "Mundur" berarti mendayung mundur, "Stop" artinya berhenti mendayung, "Kiri Mundur" berarti pendayung kiri mendayung mundur dan pendayung kanan tetap mendayung maju, demikian sebaliknya. "Pindah Kiri/Kanan/Belakang" yang berarti peserta harus pindah duduk ke arah yang diperintahkan, dan yang paling penting yaitu "Boom" yang berarti peserta harus duduk di lantai dalam perahu dan mengangkat dayungnya menghadap ke atas - ini dilakukan apabila melewati jeram yang sangat deras dengan dinding samping yang sangat sempit.
Selanjutnya, untuk menuju lokasi, peserta akan dinaikkan ke mobil pickup. Setiap peserta harus berpegengan erat di pegangan, karena jalan yang dilalui lumayan menanjak naik turun. Sayangnya, sesudah turun dari mobil, peserta masih harus menyusuri jalan setapak yang lumayan jauh dan curam, sehingga stamina banyak terkuras disini. Malahan dapat dikatakan capeknya disini bukan karena arung jeramnya tetapi karena perjuangan ke titik start.
Petualangan yang Sesungguhnya
Sungai Pekalen Atas terletak di dusun Angin-Angin, desa Ranu Gedang, kecamatan Tiris, kabupaten Probolinggi, propinsi Jawa Timur. Dinamakan desa Ranu Gedang, karena di desa ini banyak terdapat pohon pisang (dalam bahasa jawa pisang disebut Gedang).
Dengan lebar sungai rata-rata 5-20 meter dan kedalaman air kurang lebih 1-3 meter, Sungai Pekalen Atas merupakan ajang ber-arung jeram yang sangat memukau.
Tiba di lokasi pemberangkatan, empat perahu karet dan beberapa kru Regulo sudah siap. Sedetik kemudian, aku dan “ndit” (baca: camera person) segera mengabadikan setiap momen yang berlangsung. Mulai dari mompa perahu, sampai doa dan yel-yel sebelum pengarungan.
Tak sabar rasanya, ingin segera terjun saat melihat jernihnya Sungai Pekalen. Namun, demi keselamatan, instruksi praktis tentang berarung jeram kembali didengungkan oleh “Ketip”, sang skipper (baca: kapten). Setelah semua paham, perahu karet pertama berisi lima orang yang sekaligus tim rescue mengarungi derasnya arus Sungai Pekalen.
Dimulai dengan jeram yang diberi nama “Selamat Datang”, kami diingatkan agar berhati-hati dan mematuhi aba-aba kru Regulo. "Dayung Maju", seru sang kapten saat meloloskan perahu dari celah batu besar di tengah sungai.
Pakaian yang tadinya tak terlalu basah, kini kuyup akibat empasan jeram sungai. Paddle (dayung: red) masing-masing lalu diangkat tinggi-tinggi, kemudian ditamparkan ke aliran sungai, pertanda keberhasilan melewati sebuah jeram dan kekompakan tim diatas perahu.
Lolos dari Jeram Selamat Datang, Jeram Pilihan Agak Rumit atau biasa disingkat Jeram Pilar sudah menanti. Disebut agak rumit, karena jeram ini diapit beberapa batuan besar. Sebelum meneriakkan aba-aba kepada peserta, tim harus bijak mengambil pilihan untuk melalui sisi sebelah mana. Itulah letak kerumitan jeram ini.
Lewat dari jeram-jeram tadi, di depan masih banyak jeram-jeram kecil yang siap menanti. Saking banyaknya, tak semua jeram diberi nama. Hanya jeram-jeram tertentu, yang mengingatkan akan sesuatu, lebih gampang diingat. Jeram Topmarkotop ini misalnya. Jeram di sisi kiri sungai ini begitu besar, membuat banyak perahu sering terbalik karenanya. Hanya kekompakan tim yang membuat perahu dapat melaluinya dengan mulus.
Dari jeram satu ke jeram berikutnya, jaraknya sangat bervariasi. Ada yang dekat, ada yang jauh. Ini yang membuat kepercayaan diri penggiat akan teruji. "Dari semua jeram yang ada, Jeram God Bless merupakan yang paling berbahaya, dengan tingkat kesulitan ‘grade III+. Di sini kita harus waspada penuh, karena kemungkinan perahu terbalik sangat besar," ujar Ketip, yang hafal betul sejarah dan karakteristik setiap jeram yang dilalui.
Dengan kekompakan dan segenap tenaga, akhirnya kami berhasil melalui jeram tersangar di sungai ini. Sejurus kemudian kami pun bersorak kegirangan, tanpa sadar kalo di depan masih ada jeram yang cukup sulit tuk dilewati. Berhubung pendayung sebelah kiri tidak siap, perahu pun tersedot ke dinding sungai di sebelah kiri. Akibatnya, tak ayal lagi, perahu tertahan di tebing sungai. Sedangkan para pendayung tak kuat menahan arus sungai. Satu persatu pendayung dan aku yang kebetulan di dalam perahu, terjatuh di telan arus sungai ber grade III. Rencana mengambil gambar akhirnya bubar, berganti dengan ‘self rescue’, menyelamatkan diri masing-masing. Untungnya, setelah itu arus sungai tak begitu deras, sehingga kita bisa berenang ke tepi, sambil menunggu perahu yang hanyut.
Sewaktu jatuh tadi, gerak refleks memaksaku mengangkat tangan tinggi-tinggi, sambil menggemgam kamera SONY DSR PD 170 (baca: tanpa casing) ditengah derasnya arus pekalen. Untung, air sungai tak bisa menyentuh kamera. Sehingga, sewaktu tiba di tepi, kamera yang kupakai masih bisa digunakan. “Syukur!”, tuturku membathin. Sebab, jika kamera rusak, aku gak akan bisa mengambil gambar, serta mungkin akan mendapat teguran dari kantor. Itu yang membuatku semakin berhati-hati di pengarungan kali ini.
Dalam pengarungan sungai, pada situasi apa pun, kuncinya harus “tenang”. Berhubung ada pemandu, prosedur dan aba-aba yang disampaikannya harus diikuti agar semua selamat. Karena itu, selain menawarkan keceriaan dan kerjasama, wisata air yang baru digalakkan di Sungai Pekalen awal 2002 ini, diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri para penggiatnya.
Setelah dirasa aman, reporter, yang ikut dalam pengarungan, akan melakukan pelaporan dari tempat itu, -biasa desebut dengan “Piece to Camera”-, sementara camera person akan mengambil gambarnya. Hal ini dilakukan jika ada momen penting yang layak untuk diberitakan.
JIka diamati, jeram-jeram disungai ini di beri nama yang berbeda oleh masing-masing operator. Hanya berberapa jeram tertentu mempunyai nama yang sama. Seperti Jeram Lumba-lumba dan jeram Delta, yang akan kita temui setelah dua jam pengarungan.
Jeram berikutnya yang tak kalah seru adalah Jeram Kuda Liar, Kuda Binal, dan Kuda Nil yang berturut-turut harus diarungi. Melewati Jeram Kuda Binal kita seperti dihentak-hentakkan seekor kuda karena jalur menurun dan berjeram panjang.
Di jeram-jeram besar, aku dan “ndit” akan berbagi tugas untuk merekam setiap kejadian. Seperti saat ini misalnya, aku yang berada di perahu rescue harus segera menepi, mencari tempat yang aman untuk mengambil gambar. Biasanya, tempat yang tinggi, seperti bongkahan batu dan jembatan menjadi pilihan. Setelah diberi aba-aba “dayung”, masing masing perahu akan melaju diantara putihnya deburan jeram. “Indah nian, sungai yang ditingakahi air terjun dan kicauan burung dikejauhan. Bak ikan cupang, perahu-perahu itu pun meliuk-liukkan tubuhnya, mengikuti setiap jengkal jeram yang tercipta”, gumanku lirih!
Tingkat kesulitan rafting di sini, dipengaruhi adanya air terjun di beberapa lokasi. Tantangan lainnya adalah peserta harus turun ke sungai dengan menggunakan tali memakai teknik ‘repeling’, bahkan mengharuskan ‘lining’ atau memindahkan perahu dengan teknik diulur memakai tali, dan ‘portaging’ yaitu mengangkut perahu karena tidak mungkin diarungi. Ini yang kami lakukan ketika tiba disebuah ‘terjunan’. Rasanya mustahil perahu dapat melaluinya
Tahap akhir
Setelah lelah ber arung jeram selama dua jam, kini kita tiba di sebuah perhentian, tepatnya di desa Condong, Kec. Condong. Di tempat ini, panitia telah menyiapkan hidangan ala kadarnya, berupa kue-kue dengan air kelapa muda. Sambil istirahat, puas rasanya melepas lelah sembari bercanda dengan sesama peserta, perihal petualangan yang telah dilalui.
Dan, jika istirahat dirasa cukup, pengarungan akan dilanjutkan. Tapi sebelum itu, ada ritual unik, yang menarik untuk dilakoni. Yup, melompat dari jembatan setinggi 7 meter, menjadi pembuka pengarungan tahap akhir ini.
Biasanya, para kru Regulo akan memulainya, diikuti para peserta yang punya nyali lebih. Dengan aba-aba “satu, dua, tiga” tiap-tiap orang akan melompat kedalam sungai yang mengalir tenang, dilanjutkan dengan berenang menuju perahu yang terambat di tepi. Sedangkan, bagi mereka yang ragu-ragu, diperbolehkan menuju perahu lewat darat.
Dari sini, pengarungan tinggal satu jam lagi menuju finish di Dusun Gembleng, Desa. Pesawahan. Tapi, jeram-jeram yang ada, tak bisa dianggap sepele. Walau tak sebesar jeram-jeram di hulu, jeram di bagian hilir lebih terlihat panjang dengan klasifikasi grade II.
Tak terasa, penyusuran telah menghabiskan Jarak 13 kilometer, ditempuh selama 3,5 jam pengarungan. Jumlah jeram yang dilalui pun tak kurang dari 33 buah seperti Welcome, Batu Jenggot, Pandawa, Rajawali, Xtravaganza, KPLA, Tripple Ace, The Fly Matador, Hiu, Cucak Rowo, Long Rapid, dan terakhir jeram Good Bye, berjarak 5 menit dari finish.
Setibanya di basecamp, tepatnya di pinggir sungai, kembali kamera disiagakan diatas tripot, menunggu tim lain yang belum sampai. “Roll... Action!”, Itu kata-kata yang kuucapkan, sebagai aba-aba, agar perahu selanjutnya segera melaju melahap jeram terakhir dengan kamera yang siap me-record, pertanda tahap akhir pengarungan.
Sejurus kemudian, peserta dan panitia berkumpul kembali, sembari berdoa atas keselamatan selama pengarungan, berlanjut dengan acara “bersih-bersih”, sementara operator sibuk membenahi alat yang telah digunakan. Sesudah itu, sajian pengggoda selera segera dihidangkan. Tempe , tahu dan ikan penyet, urap-urap dan lodeh, siap mengenyangkan perut para peserta yang energinya begitu terkuras setelah berarung jeram. Sekali lagi, untuk sekuen terakhir, aku pun mengabadikan momen tersebut. Ternyata, meliput sembari berwisata, dua hal yang saling berhubungan, jika kita lakukan dengan penuh kewaspadaan.
Untuk kamera, misalnya. Demi keamanan selama berarungjeram, kami menggunakan 2 buah kamera yang tak terlalu berat, dengan kualitas gambar yang memadai (baca: 3 ccd). Satu kamera berupa handycam, kami masukkan ke dalam casing (wadah: red) yang tahan air. Sedangkan satu kamera lagi – SONY DSR PD 170- harus kami bungkus dengan plastic wrap, agar aman dari cipratan air. Maklum, casing untuk kamera ini, kami belum punya.
Peralatan lain, seperti: mik, clip on, kabel, earpiece, battere dan kaset cadangan, kami masukkan ke dalam sebuah wadah, yang disebut “Dry Bag”. Wadah kedap air, yang berasal dari bahan PVC ini, berfungsi untuk menyimpan segala macam barang yang rentan terhadap air.
Sedangkan tripot, alat bantu untuk dudukan kamera, tak perlu dimasukkan ke dalam wadah kedap air. Pasalnya, selain berat, benda ini bukan alat elektronik yang anti air. Hanya butuh penataan ruang di dalam perahu, agar benda ini tidak mengganggu selama pengarungan.
Setelah semua alat yang dibutuhkan dipacking rapi kedalam tempatnya. Kini saatnya menuju sungai. Menikmati pengarungan yang sesungguhnya.
Pesona Pekalen
Sungai Pekalen merupakan sungai permanen, karena dapat diarungi meskipun pada musim kemarau dengan arus yang tidak terlalu deras. Lain halnya pada bulan Januari hingga April debit air selalu tinggi, arus air menjadi lebih deras karena musim penghujan.
Sungai ini dikategorikan memiliki tingkat kesulitan (grade) II sampai dengan III +. Atau setingkat diatas Sungai Ayung ( Bali ) dan Sungai Sadang (Sulawesi Selatan). Bagi anda yang akrab dengan dunia arus liar, dua sungai ini tentunya sudah tak asing lagi, bukan?
Selain itu, tantangan alam berupa puluhan jeram yang ditawarkan masih sangat molek dan perawan. Pemandangan alam berupa air terjun, tebing sungai yang curam, sampai cerukan semacam goa, menambah panjang daftar panorama yang memberi nuansa baru pada kelopak mata.
Bagi para petualang, kondisi itu menjadi tantangan yang sangat menggiurkan. Belum lagi pemandangan alami yang khas dengan nuansa pedesaan menjadi pelengkap pesona arung jeram Sungai Pekalen.
Nuansa alami pun terekam pada langkah kaki penduduk desa yang berpenampilan ala kadarnya. Ketika perahu karet melintasi tepi sungai, tempat mereka mencuci pakaian, sebuncah senyum segera lemparkan tanpa malu-malu. Di balik bebatuan raksasa, penduduk desa yang kebanyakan perempuan itu asyik bercengkerama. Sesekali tangannya dilambaikan kepada peserta arung jeram. Sungguh, pemandangan langka yang jarang ditemui di perkotaan.
Sebuah Legenda
Sama seperti banyak tempat di Indonesia , Sungai pekalen pun memiliki cerita historis. Dari penuturan seorang sesepuh desa, diriwayatkan tentang perjalanan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada pernah singgah di sungai ini.
Ada juga legenda lain yang menyebutkan bahwa sang Ratu Dewi Rengganis yang pernah membangun istana di kawasan Probolinggo, pernah singgah ke sungai ini sebelum melarikan diri ke gunung Argopuro.
Sampai sekarang penduduk sekitar masih meyakini adanya tempat pemandian sang dewi, di tempat tersebut. Konon ritual ini dilakukan setiap Jumat Legi pukul 24.00 malam.
Persiapan Pengarungan
Berhubung jalur pengarungan ada dua, yakni pekalen atas dan pekalen bawah. Tim liputan dibantu Regulo Rafting -operator arung jeram tertua di Sungai Pekalen-, berencana akan memulainya dari Pekalen atas. Pasalnya Pekalen atas memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan dikhususkan bagi mereka yang sudah berpengalaman atau professional. Sedangkan pekalen bawah, lebih ditujukan pada layanan wisata. Meskipun begitu, jalur pekalen bawah tetaplah menantang.
Untuk menemukan lokasi basecamp Regulo Rafting, tidaklah begitu sulit karena dari jalan raya Probolinggo tinggal melihat papan petunjuk besar yang terletak di pinggir jalan. Dari jalan raya ini harus menempuh jarak sekitar 15 km untuk tiba disana. Sayangnya kondisi jalan tidak begitu bagus, sehingga para pengunjung akan melawati jalan yang berlubang-lubang.
Tiba di basecamp, biasanya peserta akan dipersilahkan beristirahat sejenak sambil disuguhi makanan kecil berupa pisang rebus dan minuman yang dinamakan Poka, terbuat dari teh dicampur jahe, keningar dan kayu manis. Selain itu, peserta juga diiberi kesempatan untuk berganti pakaian dengan pakaian yang siap untuk basah karena pasti akan terciprat derasnya air sungai.
Untuk keselamatan, para penikmat wisata arung jeram dilengkapi pelindung keselamatan seperti: helm, jaket pelampung, dan dayung, serta dipandu oleh seorang guide yang berpengalaman. Sedangkan perahu beserta pompa yang dibutuhkan untuk berarung jeram telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh operator. Sehingga ketika peserta datang, perahu telah siap.
Sebelum berangkat peserta akan diberi penjelasan singkat tentang cara berarung jeram. Disini peserta dikenalkan dengan beberapa istilah yang dipakai. Seperti "Maju" berarti mendayung maju, "Mundur" berarti mendayung mundur, "Stop" artinya berhenti mendayung, "Kiri Mundur" berarti pendayung kiri mendayung mundur dan pendayung kanan tetap mendayung maju, demikian sebaliknya. "Pindah Kiri/Kanan/Belakang" yang berarti peserta harus pindah duduk ke arah yang diperintahkan, dan yang paling penting yaitu "Boom" yang berarti peserta harus duduk di lantai dalam perahu dan mengangkat dayungnya menghadap ke atas - ini dilakukan apabila melewati jeram yang sangat deras dengan dinding samping yang sangat sempit.
Selanjutnya, untuk menuju lokasi, peserta akan dinaikkan ke mobil pickup. Setiap peserta harus berpegengan erat di pegangan, karena jalan yang dilalui lumayan menanjak naik turun. Sayangnya, sesudah turun dari mobil, peserta masih harus menyusuri jalan setapak yang lumayan jauh dan curam, sehingga stamina banyak terkuras disini. Malahan dapat dikatakan capeknya disini bukan karena arung jeramnya tetapi karena perjuangan ke titik start.
Petualangan yang Sesungguhnya
Sungai Pekalen Atas terletak di dusun Angin-Angin, desa Ranu Gedang, kecamatan Tiris, kabupaten Probolinggi, propinsi Jawa Timur. Dinamakan desa Ranu Gedang, karena di desa ini banyak terdapat pohon pisang (dalam bahasa jawa pisang disebut Gedang).
Dengan lebar sungai rata-rata 5-20 meter dan kedalaman air kurang lebih 1-3 meter, Sungai Pekalen Atas merupakan ajang ber-arung jeram yang sangat memukau.
Tiba di lokasi pemberangkatan, empat perahu karet dan beberapa kru Regulo sudah siap. Sedetik kemudian, aku dan “ndit” (baca: camera person) segera mengabadikan setiap momen yang berlangsung. Mulai dari mompa perahu, sampai doa dan yel-yel sebelum pengarungan.
Tak sabar rasanya, ingin segera terjun saat melihat jernihnya Sungai Pekalen. Namun, demi keselamatan, instruksi praktis tentang berarung jeram kembali didengungkan oleh “Ketip”, sang skipper (baca: kapten). Setelah semua paham, perahu karet pertama berisi lima orang yang sekaligus tim rescue mengarungi derasnya arus Sungai Pekalen.
Dimulai dengan jeram yang diberi nama “Selamat Datang”, kami diingatkan agar berhati-hati dan mematuhi aba-aba kru Regulo. "Dayung Maju", seru sang kapten saat meloloskan perahu dari celah batu besar di tengah sungai.
Pakaian yang tadinya tak terlalu basah, kini kuyup akibat empasan jeram sungai. Paddle (dayung: red) masing-masing lalu diangkat tinggi-tinggi, kemudian ditamparkan ke aliran sungai, pertanda keberhasilan melewati sebuah jeram dan kekompakan tim diatas perahu.
Lolos dari Jeram Selamat Datang, Jeram Pilihan Agak Rumit atau biasa disingkat Jeram Pilar sudah menanti. Disebut agak rumit, karena jeram ini diapit beberapa batuan besar. Sebelum meneriakkan aba-aba kepada peserta, tim harus bijak mengambil pilihan untuk melalui sisi sebelah mana. Itulah letak kerumitan jeram ini.
Lewat dari jeram-jeram tadi, di depan masih banyak jeram-jeram kecil yang siap menanti. Saking banyaknya, tak semua jeram diberi nama. Hanya jeram-jeram tertentu, yang mengingatkan akan sesuatu, lebih gampang diingat. Jeram Topmarkotop ini misalnya. Jeram di sisi kiri sungai ini begitu besar, membuat banyak perahu sering terbalik karenanya. Hanya kekompakan tim yang membuat perahu dapat melaluinya dengan mulus.
Dari jeram satu ke jeram berikutnya, jaraknya sangat bervariasi. Ada yang dekat, ada yang jauh. Ini yang membuat kepercayaan diri penggiat akan teruji. "Dari semua jeram yang ada, Jeram God Bless merupakan yang paling berbahaya, dengan tingkat kesulitan ‘grade III+. Di sini kita harus waspada penuh, karena kemungkinan perahu terbalik sangat besar," ujar Ketip, yang hafal betul sejarah dan karakteristik setiap jeram yang dilalui.
Dengan kekompakan dan segenap tenaga, akhirnya kami berhasil melalui jeram tersangar di sungai ini. Sejurus kemudian kami pun bersorak kegirangan, tanpa sadar kalo di depan masih ada jeram yang cukup sulit tuk dilewati. Berhubung pendayung sebelah kiri tidak siap, perahu pun tersedot ke dinding sungai di sebelah kiri. Akibatnya, tak ayal lagi, perahu tertahan di tebing sungai. Sedangkan para pendayung tak kuat menahan arus sungai. Satu persatu pendayung dan aku yang kebetulan di dalam perahu, terjatuh di telan arus sungai ber grade III. Rencana mengambil gambar akhirnya bubar, berganti dengan ‘self rescue’, menyelamatkan diri masing-masing. Untungnya, setelah itu arus sungai tak begitu deras, sehingga kita bisa berenang ke tepi, sambil menunggu perahu yang hanyut.
Sewaktu jatuh tadi, gerak refleks memaksaku mengangkat tangan tinggi-tinggi, sambil menggemgam kamera SONY DSR PD 170 (baca: tanpa casing) ditengah derasnya arus pekalen. Untung, air sungai tak bisa menyentuh kamera. Sehingga, sewaktu tiba di tepi, kamera yang kupakai masih bisa digunakan. “Syukur!”, tuturku membathin. Sebab, jika kamera rusak, aku gak akan bisa mengambil gambar, serta mungkin akan mendapat teguran dari kantor. Itu yang membuatku semakin berhati-hati di pengarungan kali ini.
Dalam pengarungan sungai, pada situasi apa pun, kuncinya harus “tenang”. Berhubung ada pemandu, prosedur dan aba-aba yang disampaikannya harus diikuti agar semua selamat. Karena itu, selain menawarkan keceriaan dan kerjasama, wisata air yang baru digalakkan di Sungai Pekalen awal 2002 ini, diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri para penggiatnya.
Setelah dirasa aman, reporter, yang ikut dalam pengarungan, akan melakukan pelaporan dari tempat itu, -biasa desebut dengan “Piece to Camera”-, sementara camera person akan mengambil gambarnya. Hal ini dilakukan jika ada momen penting yang layak untuk diberitakan.
JIka diamati, jeram-jeram disungai ini di beri nama yang berbeda oleh masing-masing operator. Hanya berberapa jeram tertentu mempunyai nama yang sama. Seperti Jeram Lumba-lumba dan jeram Delta, yang akan kita temui setelah dua jam pengarungan.
Jeram berikutnya yang tak kalah seru adalah Jeram Kuda Liar, Kuda Binal, dan Kuda Nil yang berturut-turut harus diarungi. Melewati Jeram Kuda Binal kita seperti dihentak-hentakkan seekor kuda karena jalur menurun dan berjeram panjang.
Di jeram-jeram besar, aku dan “ndit” akan berbagi tugas untuk merekam setiap kejadian. Seperti saat ini misalnya, aku yang berada di perahu rescue harus segera menepi, mencari tempat yang aman untuk mengambil gambar. Biasanya, tempat yang tinggi, seperti bongkahan batu dan jembatan menjadi pilihan. Setelah diberi aba-aba “dayung”, masing masing perahu akan melaju diantara putihnya deburan jeram. “Indah nian, sungai yang ditingakahi air terjun dan kicauan burung dikejauhan. Bak ikan cupang, perahu-perahu itu pun meliuk-liukkan tubuhnya, mengikuti setiap jengkal jeram yang tercipta”, gumanku lirih!
Tingkat kesulitan rafting di sini, dipengaruhi adanya air terjun di beberapa lokasi. Tantangan lainnya adalah peserta harus turun ke sungai dengan menggunakan tali memakai teknik ‘repeling’, bahkan mengharuskan ‘lining’ atau memindahkan perahu dengan teknik diulur memakai tali, dan ‘portaging’ yaitu mengangkut perahu karena tidak mungkin diarungi. Ini yang kami lakukan ketika tiba disebuah ‘terjunan’. Rasanya mustahil perahu dapat melaluinya
Tahap akhir
Setelah lelah ber arung jeram selama dua jam, kini kita tiba di sebuah perhentian, tepatnya di desa Condong, Kec. Condong. Di tempat ini, panitia telah menyiapkan hidangan ala kadarnya, berupa kue-kue dengan air kelapa muda. Sambil istirahat, puas rasanya melepas lelah sembari bercanda dengan sesama peserta, perihal petualangan yang telah dilalui.
Dan, jika istirahat dirasa cukup, pengarungan akan dilanjutkan. Tapi sebelum itu, ada ritual unik, yang menarik untuk dilakoni. Yup, melompat dari jembatan setinggi 7 meter, menjadi pembuka pengarungan tahap akhir ini.
Biasanya, para kru Regulo akan memulainya, diikuti para peserta yang punya nyali lebih. Dengan aba-aba “satu, dua, tiga” tiap-tiap orang akan melompat kedalam sungai yang mengalir tenang, dilanjutkan dengan berenang menuju perahu yang terambat di tepi. Sedangkan, bagi mereka yang ragu-ragu, diperbolehkan menuju perahu lewat darat.
Dari sini, pengarungan tinggal satu jam lagi menuju finish di Dusun Gembleng, Desa. Pesawahan. Tapi, jeram-jeram yang ada, tak bisa dianggap sepele. Walau tak sebesar jeram-jeram di hulu, jeram di bagian hilir lebih terlihat panjang dengan klasifikasi grade II.
Tak terasa, penyusuran telah menghabiskan Jarak 13 kilometer, ditempuh selama 3,5 jam pengarungan. Jumlah jeram yang dilalui pun tak kurang dari 33 buah seperti Welcome, Batu Jenggot, Pandawa, Rajawali, Xtravaganza, KPLA, Tripple Ace, The Fly Matador, Hiu, Cucak Rowo, Long Rapid, dan terakhir jeram Good Bye, berjarak 5 menit dari finish.
Setibanya di basecamp, tepatnya di pinggir sungai, kembali kamera disiagakan diatas tripot, menunggu tim lain yang belum sampai. “Roll... Action!”, Itu kata-kata yang kuucapkan, sebagai aba-aba, agar perahu selanjutnya segera melaju melahap jeram terakhir dengan kamera yang siap me-record, pertanda tahap akhir pengarungan.
Sejurus kemudian, peserta dan panitia berkumpul kembali, sembari berdoa atas keselamatan selama pengarungan, berlanjut dengan acara “bersih-bersih”, sementara operator sibuk membenahi alat yang telah digunakan. Sesudah itu, sajian pengggoda selera segera dihidangkan. Tempe , tahu dan ikan penyet, urap-urap dan lodeh, siap mengenyangkan perut para peserta yang energinya begitu terkuras setelah berarung jeram. Sekali lagi, untuk sekuen terakhir, aku pun mengabadikan momen tersebut. Ternyata, meliput sembari berwisata, dua hal yang saling berhubungan, jika kita lakukan dengan penuh kewaspadaan.
Seneng banget baca post ini :)
ReplyDeleteJdi inget petualangan di Pekalen river Februari 2006 lalu.
Exciting banget pas di scene, ritual unik loncat dari jembatan dgn ktinggian 7 meter, karna aku ambil bagian di situ. Dengan hasil perut kram smpe 2 minggu... :(
Oh iya mo nambahin, pas sesi istirahat itu kan, dikasih kelapa muda ma jemblem! :P
Foto2 atau videonya dunk bang!
Salam kenal ^_^