Monday, April 23, 2007

"DaN, KeJaDiAn iTu pUn TeRJaDi"


...

Tiba-tiba saja, pukulan telak menggunakan sebuah sepatu mendarat mulus di pipi kiri orang nomor satu di perusahaan itu. Ntah dari mana datangnya, seseorang yang hilang kesabaran, segera melepas sepatunya dan langsung menghambur menuju mimbar saat kesempatan langka itu tersaji di depan matanya. Kejadian memalukan itu pun terjadi.

Berhubung suasana di aula tempat pertemuan antara pihak manajemen dengan seluruh karyawan dalam keadaan temaram, akibat nuansa tungsten yang dihasilkan oleh pendaran lampu-lampu berwarna merah. Cap berbentuk tapak sepatu yang sempat melekat walau beberapa detik di wajah sang pimpinan tersebut tak begitu kelihatan. Bahkan jajaran direksi yang berada di sampingnya pun tak tahu, kalo sang bos mengalami musibah yang membuatnya malu besar, tapi gak bisa berbuat apa-apa. Dia juga gak tahu siapa dan dari mana arah pelakunya datang. Apakah dari jajaran direksi ataukah dari deretan karyawan yang berada tepat di depannya. Yang dia rasakan, hanyalah sebuah tamparan yang begitu keras terjadi dalam hitungan detik, sebelum semuanya menjadi terang.

Kejadian itu sendiri terjadi, saat dia memulai arahannya di hadapan kurang lebih dua ribu lima ratus karyawan. Pertemuan yang mungkin jadi kejadian langka bagi semua buruh di perusahaan tersebut. Maklum, pertemuan seperti ini jarang dilakukan dan belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali kali ini. Bisa jadi “the first and the last”. Kejadian luar biasa ini dimungkinkan, jika perusahaan sedang mengalami sesuatu, seperti keuntungan atau kerugian yang luar biasa dan bisa berakibat pada perusahaan gulung tikar.

Ketika pertemuan tersebut mulai berjalan, para karyawan masih bertanya-tanya perihal apa kiranya yang akan di sampaikan oleh sang pimpinan. Sampai-sampai sebuah pengumuman harus ditempel di banyak tempat, dengan himbauan agar seluruh karyawan wajib menghadirinya. Jika tidak datang akan di beri surat peringatan (SP). Dilihat dari gelagatnya, pertemuan ini pastilah super duper krusial.

Bagi perusahaan keripik pisang dengan ribuan karyawan, sebuah aturan yang begitu ketat menjadi menu harian yang harus dilakoni. Mulai dari seragam merah-merah, pemakaian Id card di dada sebelah kiri sampai pemakaian sepatu pantovell selama berada di lingkungan pabrik jadi pemandangan yang tak asing. Sehingga jika ada orang yang tak mengikuti aturan ini, bisa dipastikan dia adalah tamu atau anak magang yang sedang praktek. seandainya ada yang coba-coba berontak, di pintu depan, si satpam dengan kumis tebalnya -yang lebih cocok disebut anjing penjaga- akan bertindak garang. Biasanya, si karyawan akan di intimidasi dan namanya langsung di catat di buku dosa, selanjutnya akan dilaporkan ke pihak manajemen. Barulah kemudian pihak manajemen akan menjatuhkan hukuman, apakah akah dipekerjakan sebulan penuh tanpa gaji atau di suruh mengundurkan diri. Apapun itu, pilihannya benar-benar sulit.

Pertemuan pun dibuka oleh seorang pejabat teras sebagai pengantar. Baru kemudian momen penting yang jadi sesi bagi orang nomor satu di daulat kepadanya. Dengan perut buncit dan suara parau, menjadi ciri khas saat ia memulainya dengan sebuah pencerahan. Pertemuan yang rencananya akan menjadi dialog, ternyata lebih terkesan monolog. Bisa dipastikan, si bos besar tampak mendominasi. Diawali dengan paparan mengenai kondisi perusahaan yang kata(nya) mulai mengalami kemunduran. Bahkan jika dibandingkan dengan kondisi serupa tahun lalu, keuntungan yang dicapai saat ini jauh berbeda. Kabarnya, saat ini perusahaan seakan jalan di tempat.

Mendengar itu, karyawan yang hampir semuanya lulusan SMA tampak menyimak dan tertegun dalam tanya. Tak seorang pun terlihat gusar, apalagi khawatir dengan kondisi mereka (baca; buruh). Sudah jadi kebiasaan di tempat itu, saat terjadi pengarahan, semua karyawan harus duduk manis mendengarkan dan tak boleh berkomentar, kecuali diminta. Walau tak bisa berbuat banyak, dalam hati kecilnya para buruh ini ingin berontak. Namun apa daya, tak punya kuasa. Pertemuan ini sebenarnya jadi penentu nasib mereka. Pasalnya, berembus kabar akan adanya efisiensi di tubuh perusahaan. Orang-orang yang dianggap memiliki bad performa (kinerja buruk) akan disingkirkan, mengingat perusahaan tidak menunjukkan kemajuan dari segi penjualan produk.

Walau tak sedikit pun menyinggung tentang efisiensi yang bakal terjadi di perusahaan, sang pimpinan mencoba membangkitkan motivasi para buruhnya agar bekerja lebih giat. Sebuah tekad dan tindak nyata dalam berbuat yang terbaik, menurutnya jadi penentu, apakah perusahaannya akan keluar jadi pemenang di persaingan ini, atau kah jadi pecundang.

Masih dengan berapi-api orang nomor satu itu mengurai studi kasus yang bisa jadi acuan agar perusahaan bisa mengambil hikmah. Dia mencontohkan perusahaan keripik kentang yang letaknya tak jauh dari pabriknya. Karena tak banyak pilihan yang dihasilkan, pembeli mulai meninggalkan produk mereka. Ini menjadi point penting menurutnya, ketika perusahaan tidak bisa menghasilkan inovasi dan variasi produk, maka perusahaan akan tergilas oleh pesaing baru yang tentunya lebih jeli melihat peluang pasar. Harus di ingat pula, bahwa perilaku konsumen adalah sebuah konstanta variabel yang selalu berubah. Sampai disini, para karyawan tampak terkesima dengan kecerdasan sang pimpinan, baik dalam penyampaiannya yang sistematis maupun kemampuannya membaca peluang pasar.

Parin, -salah seorang karyawan- pun mengakui kharisma sang big boss. Walau bagi karyawan beranak dua ini, kegiatan seperti ini tak begitu banyak artinya. Menurutnya, pertemuan tesebut tak lebih dari ketakutan kaum kapitalis yang mulai risau saat perusahaannya mengalami stagnan bahkan kemunduran. Apalagi tahun ini si bos besar mematok target yang cukup tinggi, yakni sebesar 1,5 juta bungkus kripik harus laku. Lebih besar 500 bungkus dibanding tahun lalu.

Bagi pria 40 tahun ini, semua target yang dipatok perusahaan tak akan jadi kendala jika saja masalah klasik, berupa perbaikan kesejahteraan telah terselesaikan. Sudah jadi sebuah postulat, ketika karyawan dibayar pantas untuk keringatnya, maka ia akan loyal dengan perusahaannya. Seandainya tidak, berarti ada apa-apa. Mungkin buruh tersebut tidak sejahtera atau mengidap sakit jiwa.

******

Sebetulnya Parin tak beda dengan buruh-buruh lain. Bekerja giat sesuai profesi (baca: tukang bungkus kripik) dan tidak ingin neko-neko. Karena dia masih punya tiga orang tanggungan yang harus diberi makan setiap hari di rumah kontrakan berukuran 5 x 5 m. Dia beranggapan, bahwa bekerja dengan benar sudah cukup. “jika bernasib baik, atasannya akan mengangkatnya jadi asisten pengawas bagi para pembungkus kripik,” pikirnya. Tapi sampai 4 tahun bekerja di pabrik tersebut, dia belum menjadi apapun. Titelnya masih saja sama “ pembungkus kripik”. Sementara teman-teman lain, bahkan yang lebih muda darinya sudah banyak yang jadi asisten pengawas. Maklum, buruh di tempat ini cukup banyak.

Setiap harinya, Parin harus meninggalkan rumahnya di bilangan pinggir Ciputat jam 5 subuh dengan menggunakan sepeda “onthel” untuk bisa tiba di pabrik tepat pukul 8 pagi. Sebuah jarak yang cukup jauh tentunya. Lokasi pabrik yang berada di Depok, tak menyurutkan niatnya untuk bekerja. Di tengah hembusan angin subuh yang menusuk tulang, dengan bersemangat ia meniti sepedanya menyusuri jalan-jalan ibukota yang lalu lalang dan berdebu. Sesekali dia harus berhenti karena kelelahan atau menunggu kemacetan akibat banyaknya kendaraan.

Biasanya, sebelum jam 8 pagi dia sudah tiba, ketika suasana pabrik masih lengang dan belum banyak karyawan yang datang. Bagi karyawan yang bawa kendaraan sendiri, di halaman samping di sediakan areal parkir. Disini biasanya dia memarkir sepeda bututnya. Namun jangan heran! Demi sebuah tempat parkir, para buruh masih di bebani dengan biaya parkir sebesar Rp. 30.000 per tiga bulan. Kalau di banyak pabrik, biaya parkir “free” alias gratis, berbeda dengan tempat ini. Dari sekian banyak pabrik, baru di sini ditemukan adanya biaya parkir bagi karyawannya. Sungguh tak manusiawi! Manakala buruh di gaji dengan upah tak layak (baca; Rp. 650.000, lebih kecil dari UMP), biaya yang identik dengan pungli (baca; pungutan liar) masih menjerat mereka. Jika di luar sana, pungli dilakukan oleh oknum preman. Di tempat ini pungli di lakukan oleh pihak manajemen dengan cara-cara halus, namum menyakitkan.

Tak berhenti sampai disitu, pihak perusahaan pun masih membebani buruhnya dengan harga-harga mahal untuk sejumput makanan di kantin. Walaupun sistem kupon telah diberlakukan untuk meringankan biaya makan. Tetap saja, para buruh harus merogoh kocek lebih untuk membayar, karena harganya lebih mahal ketimbang nilai yang tertera di kupon tersebut.

Sebenarnya Parin tak ingin bekerja dengan orang/perusahaan lain. Dia masih ingat susahnya bekerja di tempat orang lain. Sudah tiga kali ia harus pindah kerja. Pertama bekerja, dia diterima di pabrik tahu. Saat itu dia masih muda dan belum menikah. Disana ia akhirnya hengkang, karena lingkungan yang tidak kondusif. Pada tempat kedua, dia diterima di pabrik Sepatu. Disini dia mulai belajar tentang tatacara packing yang benar, sampai akhirnya harus di PHK karena perusahaan mengalami kerugian terus menerus. Pengalaman selama 2 tahun di bagian penggepakan itu yang jadi modalnya di perusahaan kripik pisang, tempatnya berada sekarang. Berkat anjuran teman-temannya yang lebih dahulu masuk, dia pun memberanikan diri melamar di bagian pembungkusan. Akhirnya, ia pun diterima.

Di tempatnya sekarang, tak banyak yang bisa di buat. Semua kegiatan karyawan selalu di awasi oleh manajemen. Saat berkumpul antar karyawan, misalnya. Selalu saja ada mata-mata yang melapor dan orang-orang tersebut pasti di interogasi. Perusahaan sangat paranoid dengan kegiatan-kegiatan karyawan. Di tempat ini, buruh ibarat robot. Datang pagi, pulang sore. Ini yang membuat Parin mulai jengah. Selain tak bebas berekspresi, dia pun tak punya kekuatan untuk berontak. Apalagi seperti sekarang, ketika bonus tahunan yang harusnya jadi hak buruh tak kunjung dibagikan.

Jika tahun lalu bonus tahunan dibagikan setiap tanggal 20 pada bulan Februari. Tahun ini, rencananya bonus akan di bagikan dua bulan kemudian, yakni bulan April dengan tanggal yang tak seorangpun tahu, kecuali pihak manajemen dan Tuhan. Kabarnya, pembagian ini mundur dari jadwal sehubungan masalah teknis, yang tak lain karena pembagian sesuai proporsi bagi karyawan berbeda-beda. Kabarnya, ada yang dapat 20 kali dan ada yang dapat hanya sebulan gaji. Sungguh, pembagian yang rumit. Tetapi, benarkah harus serumit itu, atau tak adakah cara lain yang lebih manusiawi. Ya..., terserahlah! “yang penting aku kerja dengan benar,” guman Parin dalam hati.

******

Pada tiga tahun pertama, Parin masih giat bekerja dan belum banyak tahu tentang pentingnya pembentukan serikat pekerja atau apapun namanya. Baru setahun belakangan ini, setelah bergaul dengan sesama pekerja yang pernah menjadi aktivis serikat buruh di tempat lama, dia mulai menyadari perihal pentingnya berserikat.

Kesadaran itu semakin memuncak, takkala hak-hak buruh semakin terkangkangi. Misalnya, masalah bonus, uang lemburan yang tak jelas, tidak adanya jamsostek, reimburse yang sulit, intimidasi dan banyaknya pungutan oleh perusahaan.

Walaupun begitu, Parin bukanlah tipikal pemberontak yang berani melawan terang-terangan. Dia lebih suka mendiskusikan rencana pendirian serikat buruh dengan cara yang lebih elegan. Dia tak sepakat dengan aksi-aksi anarkhis yang telah melekat kuat dalam gerakan buruh. Dia juga beranggapan, seandainya tak ada suara yang mendukung langkahnya, berarti belum saatnya perusahaan tersebut memiliki serikat pekerja. Semua itu berpulang pada kebulatan suara rekan-rekan buruh.

Sampai ketika pertemuan kemarin malam di gelar, Parin dan rekan-rekannya belum memutuskan aksi apa yang akan mereka tempuh sehubungan rencana efisiensi dan pembagian bonus yang tak jelas. Saat suara lantang sang pimpinan terdengar, Parin lebih banyak mendengarkan dalam diam. Hanya sesekali dia berbicara dengan teman di sebelah kanannya, yang dia tak tahu siapa namanya.

Namun, di beberapa kesempatan dia terlibat pembicaraan serius dengan orang tersebut. “seandainya ada orang yang berani menampar pipi si bos besar, kira-kira apa tindakannya? Tunjukkan kuasa atau ... melongo?”, ucap Parin dengan ekspresi kesal. Mendengar itu, lelaki tersebut langsung memandang Parin dengan tatapan nanar.

Parin menganggap semua yang di omongin si bos besar hanya retorika yang tidak lebih dari proses cuci otak. Maklum, sebagian bahkan seluruh karyawannya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Sementara bagi lelaki di sebelah kanannya, ucapan-ucapan parin begitu menohok. Bisa jadi karena dia juga merasakan hal yang sama. “Betul mas, semua itu romantisme semu dan bohong belaka,” ujarnya suatu ketika.

Tiba-tiba saja, saat sang pimpinan memberi arahannya, lampu di ruangan aula padam. Apakah, mati karena hubungan arus pendek atau sabotase yang dilakukan oleh oknum tak bertanggungjawab. Parin gak ingin berpikir terlalu jauh!

Hanya saja, di momen-momen genting itu, teman di sebelahnya langsung bergegas menuju podium. Apa yang dilakukannya, hanya dia yang tahu? “Mungkinkah dia melakukan seperti yang ku katakan tadi, atau… apa?” tanya Parin di dalam hati.

Sejurus kemudian, laki-laki tadi kembali ke posisinya semula. “Tenang mas, sudah saya kasih pelajaran dia. Sekarang dia rasakan akibatnya!” ujarnya dengan nada bersemangat. “Betul kamu melakukannya?” tanya Parin! “Betul mas! Kalo gak percaya lihat saja bekas tapak sepatuku yang menempel di pipi kirinya” balasnya

“Berani juga orang ini. Padahal aku cuma bercanda. Mungkinkah dia terpancing oleh omonganku?” pikir parin. Apapun itu, keberaniannya boleh diacungi jempol.

Beberapa detik kemudian, lampu yang tadinya padam kini mulai menyala akibat gerak cepat awak ME (mechanical electrical) gedung ini. Suara riuh masih menyisakan riaknya, sesaat ketika bos besar kembali dengan arahannya. Kali ini, suaranya tak selantang tadi. “Apakah karena barusan ada yang menamparnya?”

Tak ada yang menyangka, momen matinya lampu menjadi ajang balas dendam bawahan terhadap atasan. Atasan yang bukan saja sekedar atasan. Atasan yang jadi semua atasan di tempat itu. Dan mengapa pula, lampu harus mati. Tak ada yang tahu!

Jujur, tak ada niat Parin untuk memprovokasi. Ucapan itu hanya tercetus tiba-tiba akibat kekesalan yang sudah memuncak dan terakumulasi.

Akibat kekesalan itu juga, Parin harus berada di dua dimensi. Dimensi yang sama-sama nyata menurut penampakannya. Namun, mana yang lebih hidup, sulit dibedakan.

Hanya colekan seseorang di sebelah kanannya yang membuat ia kembali ke dunia sesungguhnya. “mas-mas, acaranya sudah kelar!” ungkap wanita di sebelahnya yang merasa terganggu akibat miringnya kepala Parin ke arah kanan .

Mendengar itu, Parin tergagap-gagap sambil membetulkan posisi duduk. Pria paruh baya ini masih terlihat linglung. Dalam hati dia bertanya: apa yang terjadi dan mengapa situasinya bisa berubah? Bukankah tadi dia duduk bersebelahan dengan seorang buruh pria? Dan, buruh itu yang menampar sang pimpinan dengan sepatunya.

“...tadi, emang mati lampu, kan?” tanya Parin pada wanita itu, masih dengan ekspresi bingung. “benar mas, tapi gak lama, kok!” jawabnya. “Tadi, ada lihat laki-laki yang lari menuju mimbar, gak?” tanya parin kembali. “Gak ada mas. Gak ada siapapun yang lari!” jawab perempuan itu menimpali sambil mendekatkan pundaknya ke leher; pertanda ekspresi tidak tahu.

Sembari keluar ruangan, Parin masih ingat betul bagaimana dia melihat lelaki itu beranjak dari kursinya dan langsung menuju mimbar di tengah gelapnya ruangan. “Tenang mas, sudah saya kasih pelajaran dia. Sekarang dia rasakan akibatnya!” Itu kata-kata yang diucapkan lelaki tadi. Perkataan yang masih terngiang jelas di telinganya. Kalo gak salah, dia sempat memperkenalkan diri. Ya..., Chairul namanya!

(Jakarta, Sabtu 21 April 2007, pukul; 01.15 WIB)

No comments:

Post a Comment