Monday, June 04, 2007

*Luka Kedua


Sejak kepergiannya seminggu lalu, Umi menunjukkan banyak perubahan. Kini, semangat hidup tak lagi terpancar di wajahnya. Semua terasa hampa. Hanya kepedihan yang tersisa. Namun, kepedihan itu semakin meradang, takkala luka yang lebih besar hadir meraja. Ketika seorang yang tak dikenal datang bertamu.

Sudah dua puluh tiga tahun ini, Umi menghabiskan waktu dengannya. Sejak itu pula ia telah berkorban dan mengabdikan seluruh hidup pada lelaki yang telah jadi tambatan hatinya. Tak terhitung pula cerita duka dan momen indah yang mereka lalui. “mungkinkah ini yang namanya bunga-bunga kehidupan?”

Pertemuan yang bermula ketika Umi masih berumur 21 tahun, tak bisa ia lupakan begitu saja. Saat sedang berbelanja, tepatnya di sebuah pasar, tak sengaja ia bertemu seorang pemuda. Umar, demikian pemuda itu memperkenalkan diri. Umar yang sehari-hari berjualan sayur mayur di Pasar Ciledug selalu menyapa jika ia lewat. Di beberapa kesempatan umar pun memberi harga murah saat sang pujaan membeli sayur di warungnya.

Ternyata, sejak semula, di pertemuan pertama, sebentuk rasa mulai memenuhi relung hatinya. “Benarkah ini yang namanya cinta? Semoga saja, ya!”

Beberapa hari kemudian, Umi kembali berbelanja. Momen berbelanja itu ia sempatkan untuk singgah. Kalo tidak membeli sayur, ya... paling-paling hanya sekedar ngobrol. Biasanya, Umar yang pertama menyapa. Maklum posisi kiosnya yang berukuran 2x2m dekat dengan pintu gerbang.

Kelanjutan dari pertemuan itu memantapkan Umar bertamu ke rumahnya. Biasanya, jika tak ada halangan, setiap Kamis malam ia rutin berkunjung. Jika bertemu, mereka hanya berbincang di teras rumah, karena kekasih tak diijinkan pergi jauh oleh orangtuanya. Dari sekian banyak pertemuan, akhirnya tercetus ide untuk melakukan rencana besar itu. Jika tabungan dirasa cukup mereka berniat menikah.

Dua tahun berselang, saat dua insan yang saling mencinta berjanji, pelaminan jadi tempat akhir yang paling ditunggu-tunggu. Tanggal dan hari baik yang telah ditentukan pun di sepakati. Masing-masing pihak sibuk mempersiapkan semua yang dibutuhkan; mulai dari mahar, pakaian, keperluan pesta sampai ranjang pengantin.

Hari yang di tentukan pun tiba. Dua keluarga besar tampak gembira, tak terkecuali dengan pasangan ini. Mereka begitu bahagia. Tamu yang berdatangan pun tak kalah banyak. Pesta kecil yang dirancang untuk para kerabat, ternyata melebihi kapasitas. Untung persediaan makanan terbilang cukup, sehingga para tamu tidak kecewa.

Malamnya seusai hajatan, di dalam kamar, Umi dan Umar menghitung semua bingkisan yang mereka terima. Ternyata, sebagian berbentuk barang, sedang sisanya berupa uang yang di selipkan dalam amplop. Jumlahnya tentu tak banyak. Jika dibandingkan dengan biaya pesta, sepertinya belum balik modal. Tapi, lumayan untuk modal awal hidup berumah tangga.

Layaknya kisah di roman-roman, setahun sesudahnya, Umi pun mengandung dan melahirkan anak laki-laki pertama. Semar, mereka memanggilnya. Tingkah lakunya begitu lucu, apalagi jika tertawa. Sedangkan jika menangis, hanya tetek ibunya yang sanggup redakan. Saat itu, hidup mereka tak lagi sama. Hadirnya si kecil memberi warna baru.

Kebahagian pun semakin bertambah, tak kala Riska hadir ke dunia, tiga tahun sesudahnya. Kini, lengkaplah sudah. Sepasang anak telah mereka miliki. Tuntutan ekonomi semakin tinggi. Jika kemarin-kemarin hanya Semar yang minta susu, sekarang si adik pun tak kalah rakus. Disini, hidup semakin berat. Walau begitu, mereka tak langsung menyerah.

Untuk menyiasati kesulitan ekonomi, tak ada cara lain, selain ikut di kegiatan produksi. Bermodal ala kadarnya, Umi berjualan nasi uduk di depan kontrakan, sedangkan sang suami melanjutkan keahlian lama, berjualan sayur mayur di pasar. Sedikit demi sedikit, rupiah mereka kumpulkan dari kegiatan ini.

Tanpa di prediksi sebelumnya, setahun berselang, putri ketiga pun hadir melengkapi dunia kecil mereka. Keberadaannya sungguh tak bisa di tolak. “ini adalah anugerah yang harus di syukuri” ungkap Umar di acara aqiqahan.

Tapi, tak bisa di pungkiri, penambahan anggota keluarga, tentulah berakibat pada beban biaya per bulan. Umar semakin pusing jadinya. Apalagi, tahun depan, Semar harus duduk di Taman Kanak Kanak (TK) jika ingin masuk Sekolah Dasar (SD). Berbeda dengan jaman dulu di kampung. Disana tak dikenal TK. Setiap anak yang sudah cukup umur bisa masuk SD kapan dan dimana pun. Bahkan tak sedikit anak yang malas sekolah, karena keasyikan bermain.

Hari berganti hari, di benak mereka, tidak lain tidak bukan hanyalah bagaimana mengumpulkan sejumput rupiah dari usaha yang mereka geluti. Jika sayur di kalangan petani sulit di dapat, bisa di pastikan harga di tingkat pengecer pasti tinggi. Saat seperti ini Umar bisa meraup untung lebih dari biasanya. Walau kejadian seperti ini jarang terjadi.

*****
Siang itu, seperti biasanya, sehabis berjualan di pasar, Umar beranjak pulang. Di tengah jalan ia di kagetkan oleh teriakan Ali, tetangga sebelah rumah yang masih terbilang famili.

“Bang, cepat pulang”
“Iya, ini juga udah mau pulang! Emangnya ada apa?”
“Gawat, si Udin ngamuk lagi. Semua barang ia hancurin”
“Udin, ngapain lagi dia kesini?”
“Nah, itu dia! Setelah di nasehati kakak, dia langsung beringas.”
“Karena itu abang di suruh pulang. Kakak udah gak sanggup”
“Ya udah, ayo cepat..!!”

Bukan kali ini saja Udin membuat masalah di rumah. Sebulan lalu, seisi rumah dibuat takut oleh ulahnya. Sambil membawa golok dia mengancam setiap orang. Sampai-sampai, Fitri anak ketiga mereka jadi trauma karenanya. Pemicunya selalu bermula dari hal-hal sepele, seperti masalah salah tanggap ataupun menu makanan yang ditawarkan. Biasanya, Umi menasehati agar sifat kekanak-kanakannya dihilangkan. Pasalnya, usianya tak lagi muda.

Bagi orang-orang se RT, keberadaan Udin sangat di maklumi. Saking dimaklumi, ia dianggap angin lalu, tak banyak yang menggubris. Sifat beringas dan urakannya membuat ia di takuti. Dari pada berabe, banyak yang memilih diam. Apalagi, berdasarkan desas-desus yang beredar, ia merupakan salah satu preman yang di takuti di terminal Cengkareng, tempatnya nongkrong.

Di tempat itu, ia habiskan waktu dengan me-malak orang maupun pedagang kaki lima yang berjualan berjejer di sepanjang jalan. Jika uang sudah di dapat, biasanya ia hamburkan dengan mabuk bersama teman-teman. Atau, sesekali ia menyalurkan hasrat biologisnya di lokalisasi.

Bagi Umar, Udin bukanlah keluarga dekat. Ia hanyalah keponakan jauh dari pihak istri. Tali persaudaraan yang lebih dekat dengan sang istri, membuatnya tidak berani menasehatinya secara langsung. Dia takut nanti Udin tersinggung dan bisa berdampak lain. Sesekali saja, jika keponakannya itu sedang sadar, Umar memancing pembicaraan. Itu pun hanya berisi obrolan sekenanya.

Walau sudah memiliki keluarga, Udin termasuk jarang pulang. Setiap malam, ia tidur dimana, tak ada yang tahu. Hanya sesekali, jika kepepet tak punya uang, ia mendatangi keluarga Umi untuk meminjam uang (walau kenyataannya jarang di kembalikan). Di sana ia akan menumpang tidur dan makan. Untuk itu mereka tak bisa menolak. Seandainya masih ada rupiah yang tersisa, tak jarang mereka memberi. Sedangkan untuk urusan perut, silahkan makan jika masih ada. Tak beda halnya untuk urusan tidur. Udin di persilahkan melepas lelah di sofa, karena mereka tak punya kamar lain, selain ruang tamu. Biasanya, keesokan hari selepas sarapan, Udin akan pergi. Untuk selanjutnya mungkin kembali dalam jangka waktu yang tak bisa di tentukan.

*****
Sesampai di rumah, Udin, sang biang kerok tak menunjukkan batang hidungnya. Sementara seisi dapur sudah porak poranda. Pecahan beling di sana- sini.

“Bu, si Udin mana?”
“Gak tahu? tadi, sih di depan rumah.”
“Kalo anak-anak mana?”
“Riska dan Fitri lagi main, sedangkan Semar belum pulang sekolah.”
“Kok bisa begini, ceritanya gimana?”

Umi pun menuturkan ikhwal kejadiannya. Menurutnya, siang tadi, tiba-tiba saja Udin datang sambil menggedor-gedor pintu. Setelah dibuka, ia pun masuk. Saat ditanya apa keperluannya dan mengapa harus menggedor-gedor pintu. Udin hanya cengengesan. “aku hanya iseng!” kilahnya.

“Apa karena preman, maka suka-suka kamu disini”
“Bukan gitu, bi”
“Sebenarnya aku hanya mo numpang makan!”
“Ya sudah, ambil makan di dapur, gih!”

Selesai makan, udin kembali ngulah. Kali ini, tanpa tedeng aling-aling, bak orang kerasukan, dia menghancurkan semua barang yang ada. Umi yang berada di ruang tengah, jadi panik, gak tahu harus berbuat apa.

“Ada apa toh, din? Kamu kok tega buat begitu!”
“Kalian semua sama saja”
“Emangnya bibi salah apa? Kamu bilang lapar, trus bibi kasih makan.”
“Bibi, penipu!”
“Penipu apaan?”
“Kenapa makanan basi yang kalian beri padaku?”
“Makanan yang mana”
“Itu tuh, kuah sayurnya basi.”
“Ya ampun! Sayurnya dah basi, toh?”
“Kok kamu gak ngomong, malah berantakin dapur.”

Ternyata itu yang membuat Udin mengamuk hebat. Ia merasa gak di hargai. Sejurus kemudian ia pun melangkah pergi. Kemana perginya, gak ada yang tahu.

*****
(Dua minggu kemudian)
Pagi ini, seperti biasa, Umar yang berencana pergi ke pasar di kagetkan dengan kehadiran Udin di depan pintu.

“kamu Kok gak ngetuk-ngetuk”
“ehm... (udin gak menjawab)”
“Kamu lagi mabuk, ya?”
“Gak. Gue gak mabok, kok!”
“Tapi, mulutmu bau alkohol. Sekarang kamu mau apa lagi?”
“Aku mau pinjam duit! Bisa gak?
“Paman lagi gak punya duit. Kalo lima ribu, ada. Nih ambil, tapi kamu langsung pulang! Kasihan anak istrimu nunggu di rumah.”
“Aku mau pinjam lima puluh ribu! Ada gak?
“Kalo segitu, paman gak punya. Kamu ini gimana, sih? Kamu sudah tidak muda lagi. Ingat keluargamu. Sudah terlalu lama kamu tinggalkan mereka”
“Apa urusan paman dengan keluargaku. Tolong jangan coba-coba libatkan mereka! Kalo gak mau ngasih, ya gak usah!”

Dengan ekspresi marah udin pun meninggalkan kontrakan itu. Sementara Umar segera berangkat ke pasar sembari mengambil tas sandangnya.

*****
Adzan Isa masih menyisakan gemanya di ujung sana, ketika Umar dan ketiga anaknya selesai makan. Sedangkan Umi sibuk menyetrika pakaian di ruang tamu.

Sejurus kemudian, pintu diketuk dari luar. Umi pun beranjak melihat siapa gerangan. Ternyata, lagi-lagi, Udin yang datang.

“Paman ada?”
“ Ada tuh, lagi makan. Masuk lah!”
“Gak, disini aja. Di dalam panas.”
“Kamu ini dari mana aja? Kok baru nongol lagi.”
“Baru pulang dari rumah teman di dekat sini.”
“Ya udah, kamu disini dulu, ya! Bibi ada urusan ke rumah tetangga sebentar.”

Tinggallah Udin sendiri di teras rumah. Tak lama berselang, Semar pun ikutan keluar setelah diajak main oleh temannya. Kini, hanya Umar dan dua putrinya yang ada di dalam rumah.

Udin yang terlihat bengong, di persilahkan masuk oleh Umar.
“Aku sholat dulu, ya!”
“Silahkan paman! jawab Udin

Saat hendak melaksanakan sholat di kamar, udin terlihat berjingkat-jingkat ke kamar mandi. Dengan perlahan ia menutup pintu. Hanya bunyi ‘sreng-sreng’ yang terdengar. Sepertinya dia sedang melakukan sesuatu.

Usai sholat, Umar melakukan Zikir ditemani kedua anaknya. Karena sudah mengantuk, Fitri langsung terlelap, sementara Riska masih setia menemani. Tak ingin berpikiran macam-macam, Umar pun membiarkan Udin melakukan kegiatannya.

Tak lama kemudian, tanpa basa basi, udin menghambur ke kamar memburu Umar. Dengan gelap mata, ia menghunjamkan belatinya. Riska yang melihat kejadian itu langsung histeris. “Jangan bang! Sudah! Kasihan bapak.” pintanya

Ternyata, Udin masih sakit hati dengan nasehat sang paman beberapa waktu lalu. Dia gak ingin masalah keluarganya di ungkit-ungkit.

Seakan tak peduli, Udin makin kesetanan. Tak terhitung, berapa kali ia tusukkan belati itu ke tubuh ringkih Umar. Menerima perlakuan itu, tubuhnya langsung ambruk. Lima menit kemudian, Umar pun terkapar kaku. Beku tuk selamanya. Namun, di sela-sela dengus terakhirnya, ia sempat berujar: “Apa salahku, din? Kok, kamu tega?”

*****
Dua hari berselang, kepedihan masih menyisakan luka mendalam. Sepertinya, tak terhitung banyaknya airmata yang tertumpah. Sang kepala keluarga, kini telah tiada.

Setiap sanak famili yang datang melayat, hanya sanggup beri kata-kata penghiburan. “... ya sudah, relakan saja! Sekarang kalian harus bangkit.” demikian kilah mereka. Tidak lebih, tidak kurang. Sedang sakitnya, Umi dan ketiga anaknya yang rasakan. Kini mereka memulainya sendiri.

Sementara itu, si pembunuh langsung diamankan polisi, tak lama setelah kejadian. Polisi yang kebetulah patroli segera merespon pengaduan warga, ketika tahu telah terjadi tindak pidana pembunuhan (338).

Ketika Umi dan anaknya di panggil ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Umi memaksa ingin bertemu pelaku. Namun sayang, polisi tidak mengijinkan. “Tolong pak! Bunuh dia! Dia sudah rampas suami saya. Sekarang saya tak punya siapa-siapa lagi. Dia harus mendapat hukuman yang setimpal” jerit Umi dengan suara yang makin menjadi-jadi. Melihat itu, Riska yang berada di sampingnya, ikut-ikutan menangis. “Ayah... ayah...!!! Jangan tinggalkan kami!” pintanya dengan menjerit histeris. Kemudian jatuh pingsan.

*****
Seminggu setelah kejadian, keluarga ini berencana jiarah ke makam Umar. Sang surya mulai menebar silaunya, saat mereka tiba di makam. Tak tampak keramaian disana. Hanya beberapa penggali kubur terlihat berkumpul di pintu gerbang. Suasananya masih sama seperti ketika mereka jiarah tiga hari lalu.

Namun, ada sedikit keanehan di situ. Ntah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah ada dua wanita yang bersimpuh di makam Umar. Yang satu posturnya agak gemuk menggenakan longdress, sedang seorang lagi mengenakan jilbab dengan baju berwarna merah.

Begitu melihat kehadiran Umi, mereka buru-buru pergi. Dari jarak yang tak terlalu jauh, terlihat bagaimana wanita berpostur gemuk sedang menangis dan coba di redakan oleh temannya.

“Mengapa mereka ada di makam itu? Dan, siapa mereka? Apa hubungannya dengan suamiku?” Pertanyaan itu terus bergelayut di pikiran Umi, membuatnya tak tenang. Sampai akhirnya, dua hari kemudian, sebuah titik terang datang. Tiba-tiba saja, wanita gemuk yang ditemui di makam tempo hari, bertamu ke rumahnya. Kali ini, ia di temani seorang pemuda, yang katanya masih saudara. “Bagaimana mereka bisa tahu alamat ini?” tanya umi dalam hati

Dengan tersedu-sedu ia menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Sudah tiga bulan ini ia tak lagi datang bulan. Dan, orang yang melakukannya adalah Umar, suami yang kini sudah di lain dunia. Demikian menurut penuturannya.

“Bagaimana mungkin Umar bisa melakukan ini? Bukankah tiap malam dia selalu bersamaku. Kapan dan dimana mereka bertemu?” demikian pertanyaan itu keluar satu persatu tanpa bisa dibendung dari mana datangnya.

Bak petir di siang bolong, Umi hanya terdiam. Membeku! Tak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Sungai itu mulai membanjiri pelupuknya. Semua yang awalnya terlihat jelas, kini berubah kabur. Makin lama makin gelap. Sampai akhirnya ia tak ingat apa apa lagi.

(inspirasi dari kisah nyata; Ponakan Bunuh Paman di Celeduk)

No comments:

Post a Comment