Tuesday, June 26, 2007

Meretas Batas Menunggang Angin

(Olaraga Paralayang merupakan kegaitan yang menantang. Foto: ist)

“Terbang!” Satu kata yang akhir-akhir ini membuat bulu kudukku selalu bergidik. Kata yang menjadikanku terlalu paranoid terhadap ketinggian. Sebuah kata yang lagi-lagi membuatku alergi dengan segala hal yang berbau kendaraan terbang, terutama pesawat terbang.

Tapi, semua ketakutan itu sirna saat mencoba kegiatan dirgantara yang satu ini. Yup, paralayang penggiat di Indonesia menyebutnya. Sedangkan di Negara asalnya (Eropa), kegiatan ini dikenal dengan nama ‘paragliding’. Saat ini, olahraga yang diidentikkan dengan ‘terjun gunung’ -karena selalu memulainya dari tempat tinggi- semakin berkembang di Indonesia. Terbilang lebih dari 20 klub sudah berdiri sejak tahun 1998 hingga sekarang, di beberapa kota besar di Indonesia.

Berbeda dengan penerjun payung, parasut yang digunakan lebih berfungsi sebagai alat penyelamat agar mendarat empuk saat menapak Bumi setelah jatuh bebas atau free fall. Sedangkan bagi penerbang paralayang, parasut yang digunakan tak bermesin, namun mampu membawa penerbangnya terbang lebih tinggi dan jauh. Asal tahu saja, rekor dunia terbang jauh paralayang adalah sejauh 350 km, kurang lebih jaraknya sama antara Jakarta - Malang.

Selain itu, parasut paralayang adalah sebuah "pesawat terbang" yang melayang menggunakan prinsip-prinsip aerodinamika, layaknya pesawat Air Bus yang sanggup membawa penumpang hingga ratusan orang. Bedanya, penumpang paralayang sangat terbatas, hanya satu orang saja ditemani seorang pilot.

Awal Perjumpaan
Saat itu, sekitar pukul 3 sore, kami tiba di Mountnear Paragliding Club (MPC), tepatnya di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. MPC merupakan salah satu klub paragliding yang menyediakan jasa pelatihan dan terbang tendem bagi pemula dan wisatawan yang ingin mencoba olahraga dirgantara ini.

Di basecamp yang terletak di pinggir jalan raya Puncak, kami dijamu oleh serombongan anak muda pencinta olah raga paralayang. Munir, salah satunya. Pria yang mengaku berusia kepala tiga ini, merupakan salah seorang pendiri MPC yang mendedikasikan hidupnya bagi kegiatan beresiko ini. “... akhirnya, aku putuskan untuk total di kegiatan ini, dari pada tanggung-tanggung gak jelas” ungkapnya suatu ketika.

Berawal dari rasa ingin tahu, pada medio 1998, ia dan beberapa orang temannya mulai mempelajari paralayang dengan cara yang sangat sederhana. Saat itu hanya 1 orang yang mempunyai payung standar yang layak digunakan terbang. Secara bergantian dengan naluri otodidak mereka mencoba menggunakan payung tersebut di sebuah lapangan luas di daerah Sentul. Lapangan yang luas merupakan tempat yang memadai untuk belajar cara menaikkan dan menurunkan paralayang. Lambat laun, try and error yang mereka lalui mulai membuahkan hasil. Secara perlahan mereka menjadi tahu cara mengembangkan payung dan terbang yang baik.

Saat itu, selain tidak adanya buku paralayang yang berbahasa Indonesia. Mereka pun belajar dengan mereka-reka gambar yang ada di buku panduan berbahasa Perancis, yang kebetulan dimiliki salah seorang rekan mereka saat itu.

Namun kini, seiring berkembangnya olahraga yang telah menjadi salah satu nomor perlombaan dalam Pekan Olahraga Nasional, tukar menukar informasi, baik dalam diskusi maupun pelatihan, membuat olahraga ini semakin diminati. Terbilang tak hanya orangtua yang menyenangi olahraga ini, anak-anak pun bisa menikmatinya. Itu sebabnya tak ada batasan umur untuk mengikutinya. “hanya bobot yang penting di perhatikan! Kalo masih 50 sampe 100 kg, masih boleh ikut terbang, kok” ujar Munir sembari mengecek ulang peralatan yang akan digunakan.

Saat semua peralatan yang akan digunakan dirasa cukup, dengan bergotong royong anak-anak muda ini menaikkan ransel (baca; berisi seat harness dan payung) berbobot 20 Kg ini ke dalam mobil kijang yang akan mengantar hingga starting point.

Starting Point
Cuaca agak mendung dengan angin bertiup kencang, saat kami tiba di titik strat penerjunan, tepatnya di sebuah puncak di Kawasan Perkebunan Teh Gunung Mas, Puncak, Bogor. Pemandangan yang mulai berkabut tak menyurutkan 6 orang "penunggang angin" untuk melepaskan hasrat terbangnya. Termasuk aku, salah seorang new comer di kegiatan ini. Sudah sejak pagi mereka setia menunggu kesempatan terbang. "Wah, kabutnya, kok, tebal banget, bisa terbang, gak ya?" tanyaku pada salah seorang tandem master di atas Bukit 250 yang jadi lokasi lepas landas sejak tahun 1999 lalu.

Menurut penuturan mereka, jika tak ada angin dan thermal tidak terbentuk, sering mereka kecewa karena harus pulang ke basecamp dengan log book terbang yang kosong. Sedikit rasa hopeless. Tetapi, itu tak menjadi soal karena masih ada hari esok. Para penerbang paralayang memang mempunyai prinsip 'lebih baik tidak terbang hari ini ketimbang memaksa terbang hari ini, tetapi esok tak bisa terbang lagi!'

"Wah, kayaknya asyik banget, tuh, bisa terbang seperti burung," ujar salah seorang wisatawan yang berkunjung di kawasan Puncak. Kadang-kadang justru keheranan muncul dari mulut para pelancong yang baru pertama kali melihat paralayang. "Lho, ada yang terjun payung, tetapi, kok, tidak terdengar suara pesawatnya?"

Saat aku tiba disana, lokasi start ini menunjukkan banyak perubahan, setidaknya itu yang dituturkan para penggiat paralayang. Kalo dulu para penerbang harus meniti jalan tanah untuk bisa tiba di titik tertinggi. Selain itu tidak ada landasan untuk berlari saat mulai terbang. Namun kini, semua terasa lebih baik. Jalanan sudah di buat dari beton untuk memudahkan mengangkut peralatan. Tempat landasan pun sudah di buat dari logam berongga untuk memudahkan penerbang lepas landas (take off) “semua ini di kerjakan sendiri oleh anak-anak paralayang tanpa dukungan siapa-siapa, lho” tutur Nanang, salah seorang tandem master yang menemaniku.

Lereng dan angin
Konsep terbang paralayang sangat sederhana, tetapi mengagumkan, terbuat dari lembaran kain nilon yang dibentuk seperti sayap atau aerofoil yang dihubungkan oleh tali-tali sebagai cantolan tempat duduk penerbang (seat harness). Dengan adanya gerakan saat melintasi di udara bebas, maka lembaran kain tersebut menggelembung dan menciptakan tekanan dan membentuk sayap yang akhirnya dapat diterbangkan.

Untuk dapat lepas landas, seorang penerbang paralayang memerlukan sebuah lereng bukit yang rata dengan kemiringan sekitar 20-30 derajat, atau jika tak ada lereng, ditarik dengan mesin Winch di lapangan terbuka pun bisa.

Untuk melakukan penerbangan, ada dua hal yang mesti diperhatikan, yakni kondisi angin dan thermal. Kondisi angin lebih banyak digunakan pada waktu sore hari. Saat-saat itu, keadaan angin biasanya berlimpah. Sedangkan untuk waktu pagi hari, para penerbang lebih mengejar thermal (baca; panas bumi) yang terbentuk. Karena tak kasat mata, kondisi thermal yang timbul hanya bisa dilihat dari beberapa ciri penanda, diantaranya; terbentuknya pusaran angin yang tiba-tiba, goyangnya sebuah pohon sementara pohon-pohon yang lain diam -tidak menunjukkan gerakan-, serta adanya pusaran angin yang memaksa payung terangkat lebih tinggi.

Untuk proses terbangnya pun sederhana. Sebelum terbang, parasut digelar dengan mulut-mulut sel (leading edge) menghadap angin dan sisi belakang (trailing edge) lebih dekat ke bibir lereng. Lembaran kain parasut, tali-tali, serta harness-nya lalu diperiksa agar yakin bahwa perlengkapan terbang itu sudah betul-betul oke.

Proses berikutnya, penerbang pun bersiap-siap setelah helmet dan harness dipakai. Masing-masing tangan memegang tali kemudi dan riser depan, sementara riser tengah dan belakang dibiarkan menggantung di atas siku. Saat angin berembus, penerbang pun kemudian melangkah maju sambil menarik dan mengangkat riser yang dipegangnya. Dengan adanya sedikit entakkan ini, parasut mulai terangkat, sel-selnya yang menganga itu langsung menelan angin, dan akhirnya mengembang sempurna di atas kepala.

Setelah parasut mengembang sempurna dan yakin tak ada yang kusut, penerbang meneruskan larinya ke arah bibir lereng. Dengan adanya gerak maju dan adanya embusan angin yang menghantam lereng, parasut kemudian terangkat dan membawa penerbangnya meluncur ke angkasa. Kecepatan angin dan kemampuan mengendalikan parasut merupakan kombinasi yang sangat menentukan apakah penerbang akan tetap terus melayang atau harus siap-siap mendarat.

Seperti burung
Apa sih, asyiknya terbang dengan paralayang? Pertanyaan sederhana, tetapi jawabannya bisa beragam. Setidaknya itu yang aku alami, ketika mencobanya pertama kali. Saat kaki tak lagi menjejak Bumi, sebuah perasaan dan ekspersi yang menakjubkan segera meraja. Sebuah pengalaman yang mungkin takkan sama jika di ungkapkan dengan kata-kata. Sebuah perasaan yang hanya bisa di identikkan dengan sesuatu. “Terbang”. Itulah padanan kata yang sangat sesuai untuk mengungkapkannya. Tidak lebih, tidak kurang.

Saat melayang-layang di angkasa itulah keadaan fenomenal yang paling mengasyikkan. Sepertinya, kita bisa terbang layaknya burung. Pemandangan dari atas yang kita dapatkan pun tak kalah dengan pemandangan yang disaksikan burung sehari-harinya. Ada kesunyian dan ketenangan yang berbeda yang aku rasakan.

Tetapi, lain lagi perasaan yang diungkapkan Munir, pendiri MPC dan sekaligus atlet paralayang asal Kaltim. "Rasanya puas saat bisa mengejar thermal dan terbang setinggi mungkin, apalagi dapat terbang jauh atau cross country dan mendarat berpuluh-puluh kilometer dari titik awal penerbangan," katanya.

Menurut literatur, olahraga paralayang adalah olahraga dirgantara yang mempunyai tantangan tak terbatas. Ketergantungan dengan wahana lain juga sangat kecil. “Paling murah diantara semua olahraga dirgantara dan sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi wisata dirgantara, mengingat hampir semua tempat terbang paralayang merupakan lokasi wisata," ungkapnya.

Modal Awal

Saat awal belajar tak perlu harus mempunyai alat-alat tersebut terlebih dahulu, karena biasanya sekolah atau klub pendidikan paralayang sudah menyediakannya untuk para peminat. Tentu saja harus menyiapkan ongkos pengganti biaya penyusutan perlengkapannya.

Maklum, untuk sebuah payung ukuran standar saja, para penggiatnya harus merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah. Belum lagi termasuk seat harness, pakaian dan helm yang harganya masih juta-jutaan. Tentu terasa mahal. Ini yang membuat olahraga ini terbilang ekslusif dan hanya bisa dinikmati segelintir orang saja. Rasanya, jika tak punya duit, mustahil bisa belajar terbang paralayang.

Namun kini, bagi kalangan awam yang tertarik pada kegiatan ini, ada baiknya bergabung pada klub-klub yang ada di daerahnya. Biasanya, pada tahap awal, klub-klub ini akan memfasilitasi anggotanya untuk bisa belajar dengan alat organisasi. Jika punya sedikit duit, tak ada salahnya untuk menyicil peralatan tersebut. Pasalnya, klub-klub besar menyediakan peralatan yang bisa dibayar dengan cara di cicil. Akhirnya, dengan cara inilah, kegiatan yang terbilang mahal bisa di siasati.

Walau peralatan cukup mahal, rasa menakjubkan yang ditawarkannya, tak senilai dengan harga peralatan tersebut. Bahkan setitik pun tidak. Rasa kecanduan akan terus dan terus menggerayangi penggiatnya untuk kembali terbang. Sebuah rasa penasaran. “karena setiap terbang selalu memberi pengalaman yang berbeda, meski melakukannya di tempat yang sama”, ungkap Munir menutup perjumpaan kami malam itu.

No comments:

Post a Comment