Sunday, September 02, 2007

Sekeping Ungkapan Hati


Catatan ini tak lebih dari sikap kritis melirik semakin tergadainya idealisme demi sejumput rejeki (dalam) sesuap nasi di perusahaan ini. Tapi, haruskah seperti itu?


Apa yang salah, jika bersikap kritis? Banyak yang menyesalkan sikap seperti ini. “Buat apa capek-capek berpikir dan mencoba memperbaiki sesuatu, kalo toh gak bisa diubah. Ngabis-ngabisin energi aja”, begitu kilah mereka. Bagiku mungkin terdengar klise. Tapi, ntah kenapa, setiap gelagat ketidakbersesan muncul, rasa jengah dengan kondisi tersebut selalu mengusik akal sehatku. Walau gak bisa mengubah kondisi secara drastis, bagiku, memberi pemahaman yang benar, (baca: istilah kerennya “pencerahan”) bagi rekan-rekan, menjadi solusi -yang mudah-mudahan efektif- terhadap semua kegalauan tadi.

Secara garis besar, kucoba untuk mengelompokkan aneka masalah yang kerap mendera buruh media di perusahaaan tempat kami menggantungkan harapan. Ingin rasanya, pekerjaan ini –-jadi jurnalis yang benar-- mampu menopang kehidupan kami selanjutnya. Syukur-syukur bisa memberi masa depan yang lebih cerah.

Jujur, aku sangat mencintai profesi ini. Ada daya tarik yang begitu kuat, memaksaku gak bisa berpaling ke lain hati. Ketika banyak teman beralih ke bidang lain, hanya karena alasan “salary”. Sepertinya, mereka telah membuang jauh-jauh idealisme itu. Tapi, semua itu adalah pilihan wajar, yang menurutku sangat mungkin. Artinya, semua pilihan berpaling ke pribadi masing-masing. “Sebab, kematangan seorang jurnalis ditentukan oleh waktu, bukan embel-embel gelar yang dimilikinya”, ungkap seorang senior kala itu.

Sebuah Idiologi
Menurutku, permasalahan paling mendasar bagi -jurnalis-jurnalis karbitan- di tempat ku bekerja adalah kesalahan pemahaman, atau bahasa gaulnya “salah interpretasi filosofi”. Artinya, mereka tidak diajarkan sebuah pemahaman, tentang apa dan bagaimana bertindak sebagai seorang jurnalis yang benar.

Kebanyakan mereka --para jurnalis karbitan--, masih terjebak pada pemahaman sempit dalam memandang jurnalisme. Selintas TV memang mengesankan sifat esklusif. Sifat absurb ini yang membuat mereka (baca: para reporter) lebih mementingkan layar ketimbang cara menembus sumber dan isi sebuah berita. “Ya, gitu deh! Mereka berlomba-lomba untuk terlihat cakep di depan kamera, bukannya menguasai isu. Lebih tepatnya, mabuk layar!”, ucap seorang kolega asal Jogya.

Sedangkan bagi kebanyakan campers (baca: camera person), mereka memandang profesinya lebih kepada penguasaan alat, bukan pada koordinasi bagaimana menciptakan sebuah liputan yang betul-betul menggigit, dari segi gambar dan cerita. Akhirnya, mereka terjebak pada penggunaan alat, ketimbang filosofi sebuah gambar dalam kerangka berpikir/ cara pandang. Rasanya, masih sedikit orang yang sadar akan hal ini. Bahkan untuk ukuran seorang produser pun tak berani mengaku dirinya jurnalis. Mereka lebih senang disebut news broadcaster. Padahal, mereka juga seorang jurnalis, karena menghasilkan karya jurnalistik

Bisa jadi, kultur yang menciptakannya. Jika saja mereka (baca: campers) sadar, bahwa mereka tak lebih dari sekedar alat. Pastilah pola pikirnya harus diubah. Secara sederhana analoginya seperti ini; jika kita –-selaku campers-- telah bersusah payah mengabadikan segudang momen selama beberapa waktu, -baik dalam hitungan menit, jam maupun hari-, ternyata tak lebih dari elemen pelengkap, yang perannya sangat di tentukan oleh sentuhan ajaib seorang reporter. Pasalnya, jika saja gambar yang kita ambil tadi tak disentuh sedikit pun oleh naskah si reporter, tentunya semua sia-sia belaka. Bagaimana mungkin kita bisa memiliki bargaining yang tinggi jika ternyata posisi tawar itu mutlak dipegang oleh reporter. Syukur-syukur, bila ada komunikasi yang baik antar kedua belah pihak (baca: campers dan reporter), sehingga cerita yang akan dibuat bisa sinkron, antara narasi dan visual.

Ada juga suara yang mengatakan, bahwa video/ gambar dapat berdiri sendiri tanpa naskah. Untuk beberapa kasus, hal ini bisa dibenarkan. Misalnya, saat ada bencana, bentrokan, kerusuhan atau hal-hal lain yang menonjolkan nattsound (baca; suara sekeliling) dalam waktu tayang yang tidak lama (misalnya 1 menit), masih dimungkinkan. Namun, untuk keutuhan sebuah paket berita yang menjelaskan sebuah pokok permasalahan, naskah yang di buat oleh seorang reporter mutlak diperlukan, kecuali film dokumenter murni yang bersifat veritee.

Menurutku, ada pemahaman dasar yang perlu diluruskan bagi jurnalis-jurnalis karbitan tadi. Pemahaman yang benar tentang bagaimana seorang jurnalis harus bertindak. Selayaknya mereka sadar, bahwa mereka adalah jurnalis yang -akan, sedang dan telah- menyelesaikan kegiatan jurnalistik. Kegiatan untuk menghasilkan sebuah berita yang berpihak pada kebenaran, mengutamakan kepentingan publik, cover both side dan penuh verifikasi. Pun, mereka wajib sadar, bahwa tak ada pembeda dalam melakukan kegiatan jurnalistik, antara anak-anak cetak, radio dan online. Penting juga di garisbawahi, bahwa yang jadi pembeda hanya lah medianya. Kebetulan media yang kita gunakan adalah televisi, sebuah media yang mengedepankan audio dan visual yang tentunya berdampak sangat luas.

Militansi dan Sikap Kritis
Secara sederhana, ada beberapa hal mendasar yang seharusnya dimiliki setiap jurnalis untuk menunjang kegiatan jurnalistiknya. Diantaranya, militansi dan sikap kritis.

Untuk urusan militansi, sikap ini jauh, bahkan sangat jauh dalam lingkungan tempatku sekarang bekerja. Para jurnalis karbitan tadi, diciptakan tak lebih dari mesin produksi untuk menghasilkan uang yang besar bagi perusahaan. Tanpa perlu memiliki militansi --dalam bahasa populis disebut karakter--.

Sudah jadi rahasia umum, banyak pelamar yang diterima lebih dikarenakan penampilan fisik, khususnya wajah, ketimbang karakter maupun kemampuan analisanya. Itu pula yang membuat banyak teman gugur saat mengikuti test ala perusahaan ini. “Wajah kamu kurang menjual, sih”, begitu kira-kira jawaban yang mereka terima.

Dalam sebuah diskusi milis internal, aku pernah mengusulkan kriteria jurnalis yang layak dipilih. Menurutku, jika saja para pelamar memiliki background di bidang pers kampus, tentunya akan lebih mudah untuk mengarahkannya. Pasalnya, idealismenya sudah terbentuk. Sedangkan jika tak memiliki background tersebut, tak ada salahnya melirik orang-orang yang pernah bersinggungan langsung maupun tidak dengan dunia jurnalistik, seperti; penulis, pewarta foto freelance, maupun pembuat film indie. Atau, jika kedua hal diatas tak terpenuhi, tak ada ruginya mencari orang-orang yang tertarik dan mau belajar, --even belum pernah mengikuti-- dunia jurnalistik, khususnya televisi. Tolak ukur bisa dilihat dari pemahaman dan komitmennya.

Bagiku, militansi merupakan syarat mutlak bagi seorang jurnalis abad ini. Militansi menjadi cerminan saat seorang jurnalis bertindak. Militansi telah menjadi tolak ukur seberapa independen karya jurnalistiknya dalam menilai dan memberitakan sebuah peristiwa. Militansi pun menjadi indikator dalam menyuarakan kebebasan pers sebagai penanda tegaknya demokrasi di negeri ini tetap berdiri.

Saat semua berjalan lancar dan telah merasa nyaman, seringkali jurnalis meninggalkan rasa kritisnya terhadap situasi yang terjadi. Sikap kritis yang harusnya selalu ada. Kerapkali karena apatis dengan semua hal yang rasanya tak mungkin diperbaiki. Banyak jurnalis di tempat ini yang lebih memilih bungkam, tak mau repot untuk melakukan perubahan. Dan lebih banyak lagi yang hanya merenungi nasib.

Sebagai contoh kecil, adalah saat saya dan beberapa rekan menimbulkan wacana tentang pembentukan serikat pekerja. Sontak banyak pihak merasa kebakaran jenggot. Dan lebih banyak lagi yang tak berani bersuara. Alasannya sederhana, mereka merasa takut akan masa depannya karena telah di ultimatum lebih dahulu oleh segelintir pimpinan di perusahaan ini. Padahal pendirian Serikat Pekerja merupakan kewajiban para pekerja untuk melindungi hak-hak mereka yang tentunya dilindungi undang-undang, dari kesemena-menaan pemilik modal.

Walau sampai saat ini pembentukannya belum menunjukkan wujud, tetapi pemahaman yang benar sudah mulai terasa. Sedikit demi sedikit, bak bola salju, kesadaran itu mulai muncul. Sekarang, tinggal menggorganisasikannya dengan benar, sehingga setiap kalangan merasa terwakili suaranya. Buktinya, ketika wacana itu mulai bergulir di seantero kantor –-lewat intranet--, tiba-tiba saja banyak yang mengomentari. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju, serta sedikit yang bersikap abstain. Tak ada yang menyangka sebelumnya, kalau hit yang dicapai forum diskusi ini cukup tinggi. Walau pada akhirnya, forum yang sering digunakan untuk bertukar pikiran ini harus di ban/ block, satu yang pasti, setiap orang mulai memiliki pemahaman tentang perlu tidaknya pembentukan serikat pekerja.

Menurutku, pembentukan serikat pekerja menjadi penting, karena begitu banyak permasalahan di tingkat akar rumput yang tidak tersentuh kebijakan sepihak perusahaan. Sudah jadi rahasia umum pula, betapa tidak kondusifnya peraturan-peraturan yang dikeluarkan, sementara hak-hak pekerja sering terabaikan. Untuk itu hanya ada satu kata; bangun, bentuk serikat pekerja.

Budaya Diskusi
Bukannya ingin membandingkan dengan suasana di media pers cetak. Tapi, faktanya ada perbedaan karakter yang mendasar antara jurnalis cetak dan jurnalis televisi.

Bagi jurnalis cetak, budaya diskusi merupakan menu harian yang menghiasi setiap pembicaraan mereka. Singkatnya, apapun itu pasti akan berujung dalam diskusi, walau tak jarang harus berakhir dengan pendapat masing-masing.

Beda halnya dengan jurnalis di tempat ini, sepertinya sangat sulit untuk menemukan orang-orang yang tertarik dengan diskusi, even untuk mendiskusikan hal-hal sepele. Sementara, untuk hal-hal lain yang bersifat senang-senang, jamak banyak orang berkumpul. Untuk karaoke, billiyar, bersepeda dan dugem, misalnya. Tanpa perlu menunggu lama, masing-masing orang langsung menggabungkan diri.

Di lingkaran milis pun, tak banyak yang berperan aktif. Kebanyakan orang lebih memilih diam, tak ingin berkomentar. Bisa jadi, karena ada hirarki yang tak kelihatan. Unsur senioritas – junioritas masih kental terasa. Kerap terjadi suara si junior tak dianggap, sementara komentar sang senior yang mungkin biasa-biasa saja, telah menjadi semacam pembenaran. Pun sering terjadi, omongan sang senior ibarat pembenaran mutlak yang tak perlu di kritisi. Secara tak sengaja, telah terjadi mengkultusan sosok disini.

Jika di tempat lain, ada klub-klub diskusi yang akan membahas tentang banyak hal. Jangan berharap di tempat ini. Sepertinya sudah di design, setiap jurnalis lebih berlaku seperti robot. Tak perlu berkreatifitas, karena kreatifitas itu merupakan porsinya pemegang kebijakan, mulai dari asprod, produser hingga ke atasnya. Di tingkat bawah (baca: akar rumput) keberadaannya lebih bersifat sebagai eksekutor guna menjalankan semua program yang telah direncanakan, tanpa perlu bertanya, kenapa?

Buktinya, ketika ada kebijakan berupa pembentukan program baru, kebanyakan jurnalis ditempat ini tak pernah tahu, mengapa program tersebut ada dan apa platformnya? Setiap jurnalis diharapkan dapat bekerja sesuai porsinya, tanpa perlu tahu seperti apa yang akan mereka hasilkan. Pasalnya, lagi-lagi, semua itu bukan bagiannya mereka. Yang terjadi adalah, pemahaman sendiri-sendiri terhadap semua program tadi. Maklum, tak ada orang yang menjelaskannya.

Harus Punya Cantolan
Untuk yang satu ini, agaknya terlalu subjektif. Tapi itulah fenomena yang kusaksikan. Dalam mencapai posisi tertentu, semisal asprod, sepengamatanku tak lebih dari asal comot. Asal comot disini maksudnya, lebih kepada kedekatan seseorang dengan atasan. Bukan berdasarkan kapabilitas dan kredibilitas yang dimiliki.

Bahkan yang lebih parah, ada beberapa teman --karena kurang etis namanya tak perlu kusebutkan-- yang memberanikan diri maju ke atasan minta diberikan jabatan, mengingat telah banyak orang (baca: angkatan lebih muda) yang menduduki jabatan tertentu. Tentu saja ini menimbulkan polemik. Lagi-lagi arogansi senioritas masih kental terasa. Padahal untuk menaikkan jabatan seseorang merupakan hak preogratif atasan. Terdengar juga selentingan yang berbunyi; “karena tak ada orang promosiin kamu, makanya tidak diangkat”, sehubungan dengan gencarnya permintaan untuk jabatan tertentu.

Jujur, saya bukanlah orang yang ambisius untuk menduduki jabatan apapun. Bagiku bekerja dengan benar secara profesional adalah ukurannya. Walau, tak ada peraturan yang mengungkapkan kriteria yang jelas tentang kenaikan jabatan seseorang, tapi unsur kedekatan itu tak dapat disangkal. Bahkan seorang kadiv pernah berujar; “jika ingin dikenal atasan, kamu harus dekat dengan mereka”. Tapi haruskah seperti itu? Bisa ya, bisa tidak. Namun kok saya masih setuju dengan kapabilitas seseorang sebagai indikatornya.

Selain itu, saya kerap kesal dengan ke-tidakproporsionalan salary yang kuterima. Untuk bekerja hampir 4 tahun di tempat ini, kenaikan gajiku sangat tak signifikan. Bayangkan, untuk tahun ini, saya hanya mendapat kenaikan seratus ribu rupiah lebih sedikit, sementara keuntungan perusahaan mencapai 1 miliar lebih. Kenaikannya tak sampai 5 %, sedangkan banyak teman-teman yang mencapai angka 10 -20 %, bahkan lebih.

Tapi apapun hasilnya, itulah konsekwensi yang harus kuterima. Konsekwensi yang harus ditanggung oleh seorang aktivis dan aku siap untuk itu.

Jika banyak orang di tempat ini dekat dengan seseorang atasan, entah karena alasan tertentu, jelas berbeda denganku. Aku tak dekat dengan satupun diantara mereka. Bagiku, seorang atasan seharusnya melihat potensi yang dimiliki bawahannya, bukan bawahan yang mendekatkan diri dan berlaku sebagai penjilat bagi sang atasan. Sebab menurutku, harga diri (baca: idealisme) jauh diatas segalanya. Apalagi yang kita miliki kini, selain harga diri, karena semua telah tergadai demi mencari sesuap nasi.\

Idealisme ini juga yang membuatku menerima penilaian jelek tahun lalu. Hanya karena tidak dekat dengan atasan, aku rela menelan pil pahit dengan menerima kenaikan salari yang sedikit. Padahal jika dilihat, banyak juga orang yang tidak dekat dengannya. Bahkan yang lebih aneh, ketika si bos tersebut di pindahkan, tak sedikit teman yang bersorak dengan meluapkan kegembiraan di Coffee Bean. Tak pernah terpikirkan, ternyata mereka juga mengalami hal yang sama denganku. Hanya saja mereka tak berani bersuara.

Pindah Ke Sungai Lain
Dari semua uraian tadi, sepertinya aku tak punya masa depan di tempat ini. Walau secara finansial tak berkembang, aku harus jujur mengakui, bahwa banyak hal yang telah kupelajari. Pelajaran berharga yang tak mungkin bisa kudapatkan di tempat lain. Pelajaran yang membuat kami berbeda dengan teman-teman seprofesi di station lain. Mungkin ada benarnya rumor lama yang mengatakan; “di tempat ini kita tak bisa berharap banyak, disini kita hanya belajar”. Tapi bukankah belajar ada batasnya? Kalau gak begitu, kapan kita berlaku sebagai seorang profesional. Sungguh semua itu hanya akal-akalan saja.

Kini, ketika semua tak mungkin diperbaiki, tak ada salahnya melirik tempat lain yang lebih prospek. Mengutip ungkapan seorang senior; jika di kali ini ikan tak ada lagi, tak ada salahnya beralih ke sungai lain. Mungkin hal itu akan kulakukan.
-eNd-

2 comments:

  1. aku sepakat j-co, suatu hari aku pernah bersungut2 ama suami tentang 'kenaikan pangkat' ini .. orang2 seangkatan bahkan yg dibawahku udah pada 'naek' sedang aku msh di situ2 aja.. tp stelah ada di posisi skrg .. kok aku malah jadi pengen jadi reporter lagi ya ... gak senyaman yg aku bayangin ternyata ...

    masalah salary, rasanya kita mngalami hal yg sama ... dua tahun trakhir knaikan gajiku sama sekali diluar harapan .. aku sempet mo nangis begitu liat slip gaji .. suami pun menganjurkan ku buat pindah aja soalnya kamu under payment banget katanya ... pun ketika aku sudah di posisi sekarang, kupikir yg kutrima bakalan lebih baik ... hehehe ternyata aku salah ... yg aku trima tiap bulan itu tetap saja tak berubah, knaikan ya cuma dibawah 10 persen, dikurangi tidak lagi pernah dlk. :( bt sbenernya, tp ya gimana lagi ... tapi aku gak nyerah kok, suatu hari aku pasti pergi dari tempat ini ...

    ReplyDelete
  2. Hallo teman...

    Boleh berbagi contact PRODUSEN Minyak Kayu Putih di Pulau Buru donk kalau ada....Ya buat bisnis kecil2an di Surabaya.

    Thanks ya infonya.

    Zainal - Sby.
    Email:Zainalindo@yahoo.com
    Hp. :0818519704.

    ReplyDelete