Friday, November 23, 2007

Menjelajahi Taman Nasional Laut Kep. Seribu



Sejarah mencatat, keindahan, keanekaragaman dan keunikan alam di Kepulauan Seribu menjadi potensi besar bagi keberlangsungan ekosistem. Sejak kawasan ini di tetapkan pemerintah sebagai Taman Nasional Laut di tahun 2002 lalu, berbagai pembenahan dilakukan guna mendukung pelestarian dan pengembangan objek wisata bahari di kepaulauan yang terkenal dengan gugusan pulau-pulau kecil dan perairan laut dangkalnya.

Pagi itu, suasana sepi diantara belasan kapal cepat yang berjejer rapi di pantai Marina - Ancol, berubah riuh saat serombongan orang mulai berbenah menuju kapal, sembari menunggu teman-teman lain yang belum datang. Yup, itulah kami, para jurnalis yang berkesempatan mengikuti fieldtrip yang diadakan Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, selama 2 hari ke depan.

Terbentang hingga 100 mil ke arah utara dari teluk Jakarta, kawasan Kepulauan Seribu seolah menyeruak bak pecahan partikel yang jatuh ke Bumi. Lukisan alam di kawasan tropis ini hadir menjadi harmoni perairan laut dengan sebaran pulau yang jumlahnya mencapai 110 buah, serta disarati ornamen alam berupa terumbu karang, pasir serta aneka biota laut yang sungguh kaya warna.


Menggunakan kapal patroli kehutanan bertenaga 750 cc, membuat perjalanan laut ini terasa mengasyikkan. Pecahan gelombang akibat putaran baling-balingnya menyisahkan buih-buih berwarna putih, pertanda kapal melaju cepat.

Sejak awal, Joko Prihatno, selaku Kepala Balai Taman Nasional, memperkenalkan kami dengan dengan hal-hal menarik yang bisa ditemui selama berada di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.

“... nanti, di P. Rambut kita bisa menyaksikan aneka jenis burung, terutama burung migran yang memilih kawasan ini karena habitatnya yang masih asli, sedangkan di P. Pramuka kita bisa melihat budidaya tanaman laut, mulai dari mangrove, butun hingga lamun yang berfungsi untuk menopang keseimbangan ekosistem perairan laut”, ujar pria yang mulai bergabung di Departemen Kehutanan sejak 1999 lalu.

Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu

Sejak di tetapkan sebagai kawasan konservasi sejak 2002 lalu dengan SK Menhut No. 6310/Kpts-II/ 2002, kawasan yang terletak pada 5º24' - 5 º45' LS dan 106 º25' - 106º40' BT resmi menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) yang membentang dari utara Jakarta hingga P. Penjaliran di utara Kep. Seribu. Selain itu taman nasional laut meliputi 3 kelurahan, yakni; kelurahan P. Panggang, P. kelapa dan P. Harapan. Secara keseluruhan kawasan ini meliputi wilayah seluas 107.489 Ha atau hanya 15% dari luas Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Adapun jumlah pulau yang berada di dalam kawasan taman nasional sebanyak 78 pulau. 20 pulau diantaranya merupakan pulau wisata dan 6 pulau sebagai hunian penduduk, serta sisanya dikuasai perorangan atau badan usaha.

Luas pulau-pulau yang masuk hingga utara TNKpS ini bervariasi, mulai dari 0,5 Ha hingga lebih dari 37 Ha. Pulau – pulau ini tersebar dari selatan hingga utara dataran Jakarta membentuk gugusan pulau yang mempunyai kesamaan morfologis, berupa perairan laut dangkal dengan pulau-pulau dan paparan terumbu karang (reef flot dan coral reef) yang menjadi ciri khas Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.

Disamping keindahan alam laut yang khas dan unik, juga terdapat aneka biota laut, seperti ikan hias dan ikan konsumsi, echinodermata, crustacea, molusca, penyu, tumbuhan laut dan darat, mangrove dan padang lamun.

Keberadaan karang di kawasan perairan ini merupakan ekosistem khas daerah tropis, berada pada kedalaman 1 – 20 m yang membentuk terumbu karang di sepanjang garis pantai yang mengelilingi pulau.

Sebagai salah satu sub sistem dari ekosistem perairan laut, terumbu karang mempunyai produktivitas yang sangat tinggi. Tingkat produktivitas primernya mencapai sekitar 10.000 gram Carbon/m²/tahun. Jauh lebih tinggi dibanding produktivitas perairan laut lepas pantai yang hanya 50 – 100 gram/m²/tahun.

Secara umum kondisi iklim kawasan ini bersifat tropis. Suhu rata-rata 27ºC, suhu maksimum 32,3ºC dan minimum 21,6ºC. Kelembaban mencapai 80%. Pada musim Barat (Desember – Februari), curah hujannya mencapai 100 – 400 mm. sementara pada musim Timur (Juni _ Agustus), curah hujannya berkisar antara 50 – 100 mm. Musim peralihan terjadi antara Maret – Mei dan September – November. Curah hujan terbesar terjadi antara bulan November – Maret.

Antara November – April, keadaan laut berombak besar dan kekuatan arus laut rata-rata 20 – 40 cm/ detik. Sebaliknya, Mei – September keadaan cuaca cerah, merupakan bulan-bulan terbaik untuk berkunjung ke TNL kepulauan Seribu.

Keindahan, keanekaragaman dan keunikan alam TNKpS yang terdiri dari karang, pasir putih dan airnya yang biru, flora dan fauna, serta beberapa tipe ekosistem merupakan potensi besar bagi penelitian, pendidikan, pelestarian ekosistem (terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun) dan pengembangan pariwisata bahari. Serta tak ketinggalan budidaya kelautan alam tradisional.

Di samping itu, beberapa pulau seperti P. Kotok Besar, P. Bira Besar, P. Sepa Barat, P. Putri, P. Matahari dan P. Pantara telah menjadi pulau tujuan wisata bahari dengan kelengkapan yang memadai. Diantara gugusan pulau-pulaunya, terdapat pula tempat Pembangunan Objek Wisata bahari bernuansa pelestarian alam, seperti P. Pramuka dan P. Semak Daun.

Fasilitas yang ditawarkan pun cukup memadai. Sehingga, bagi wisatawan yang ingin mengunjungi pulau-pulau tersebut, tak perlu ragu. Semua ada, mulai dari fasilitas cottage, gedung pertemuan, cindera mata, sarana transportasi, bar, bungalow, restoran, toko, tempat berkemah, hingga diving centre lengkap tersedia.

Pengamatan Burung di Pulau Rambut

Setelah mengarungi laut lepas selama 30 menit dari pantai Marina - Ancol, perhentian pertama kami adalah P. Rambut. Pulau ini berjarak 20 KM dari utara jakarta, masuk dalam Zona I Taman Nasional Laut, sesuai zonasi yang dibuat PHKA, FAO dan UNDP. Zonasi ini dibentuk, berdasarkan tingkat salinitas air dan keberadaan terumbu karangnya.

Di tempat ini, kami dapat melihat dan mengamati keindahan komposisi hutan pantai, mangrove dan hutan sekunder dengan keanekaragaman flora dan fauna burung yang jadi primadona kawasan.

Sejak awal, pulau yang luasnya hanya 45 Ha ini ditetapkan sebagai suaka margasatwa, karena berlimpahnya plasma nuftah yang menghiasi kawasan. Dahulu, orang belanda menamakan pulai ini dengan sebutan Nidelberg, sebagai penghargaan pada seorang peneliti Belanda.

Karena statusnya sebagai Suaka Margasatwa, pulau ini dinyatakan tertutup untuk dihuni manusia. Sebelum masuk kawasan, kita harus mendaftar terlebih dahulu, baru kemudian akan diajak berkeliling oleh jagawana yang bertugas sebagai guide. Di tempat ini mereka (baca: jagawana) menempati sebuah rumah panggung, yang berfungsi sebagai pos dan merangkap kantor.

Saat kunjungan tiba, mereka akan bertugas mendampingi para wisatawan yang ingin melihat dari dekat keindahan dan potensi pulau ini. Pengunjung hanya boleh berkeliling, namun tak diijinkan untuk menginap. Jamaknya, hanya dua jagawana yang bertugas menjaga pulau, baru digantikan oleh penjaga lain seminggu kemudian.

Dari sini, kami diantar oleh Budi (baca: salah seorang jagawana) menuju menara pengamatan burung setinggi 20 m, berada tepat di tengah pulau. Menara ini dikelilingi oleh hutan sekunder yang masih rapat. Dari sini kita bisa melihat koloni bangau bluwok --yang kebih mendomninasi-- hinggap di hampir semua pohon besar.

Selain itu, jalanan setapak yang ditata rapi sengaja dibuat untuk memudahkan wisatawan berkunjung ke beberapa pos pengamatan.

“sedikitnya terdapat 20.000 jenis burung yang mendiami kawasan ini. Belum lagi, jika saat-saat tertentu, seperti bulan Maret – September, jumlahnya bisa meningkat mencapai 50.000 burung, yang sebagian diantaranya merupakan burung migran dari Asia dan Australia”, ungkap pria yang masih melajang ini.

Rapatnya populasi menjadikan kawasan ini sebagai surganya nyamuk. Oleh karena itu, setiap wisatawan yang ingin menuju menara diingatkan agar menggunakan lotion anti nyamuk dan tidak memakai pakaian berwarna gelap, sehingga terhindar dari sengatan nyamuk yang memang sangat banyak jumlahnya.

Wisata Pendidikan dan Konservasi Laut di Pulau Pramuka

Tak sampai 20 menit, kami telah tiba di P. Pramuka yang merupakan pusat wisata pendidikan dan konservasi laut yang dikelola oleh Taman Nasional Laut Kep. Seribu (TNKpS). Disini kita bisa belajar sekaligus melakukan wisata bahari. Bagi pelajar/ wisatawan yang ingin melihat dan belajar budidaya biota laut langka, bisa mendapatinya di Laboratorium Biota Laut Langka.

Sejak 2001, Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya dari kec. di bawah Kotamadya Jakarta Utara menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Dengan ibukota P. Pramuka. Sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah gugusan Kepulauan Seribu.

Dahulu P. Pramuka dikenal dengan sebutan P. Elang. Pulau ini mulai dihuni penduduk yang sebagian besar berasal dari P. Panggang pada tahun 1972. Kala itu, P. Panggang yang berjarak seperempat jam dengan speedboat dari P. Pramuka dirasakan terlalu padat penduduk. Untuk itu, melalui SK. Gubernur DKI, dimulailah proses transmigrasi dari P. Panggang ke P. Pramuka.

Secara keseluruhan luas wilayah Kepulauan Seribu mencapai 6.997,50 Km², dengan jumlah pulau mencapai 110 buah, dengan luas daratan dari keseluruhan pulau mencapai 864,59 Ha. Kawasan ini secara administratif terbagi atas dua kecamatan dan enam kelurahan.

Setibanya di P. Pramuka, kami langsung disambut dengan welcome drink berupa es kelapa muda dengan panganan kecil berbahan buah sukun yang merupakan kuliner khas pulau ini. Selanjutnya, peserta fieldtrip di bagi dalam kelompok-kelompok guna pembagian kamar untuk menginap.

Pengenalan Habitat Hutan Pantai, Mangrove dan Lamun.

Selepas makan siang, peserta kembali berkumpul untuk melanjutkan sesi berikutnya, yakni melihat dan mencoba melakukan penanaman pohon pantai (Butun), Mangrove, Lamun dan Terumbu karang.

Penanaman pohon Butun sebagai upaya penyadaran pentingnya hutan pantai di pulau-pulau kecil. Pohon ini berfungsi untuk menahan abrasi air laut, selain tempat hidup berjenis-jenis burung. Kegiatan ini juga sering disebut dengan “adopsi pohon”, dimana para penanam diminta pertanggungjawabannya untuk tidak saja menanam, tetapi juga memelihara pohon tersebut hingga besar. Sedikitnya terdapat ratusan pohon Butun yang berumur 2 bulan hingga 1 tahun sudah ditanam oleh wisatawan yang mengikuti kegiatan sejenis.

Selesai menanam pohon Butun, kegiatan dilanjutkan dengan menanam mangrove dengan metode ‘Rumpun Berjarak’ sebagai model nasional penanaman mangrove di pulau-pulau kecil dengan media pasir karang.

Mangrove yang sering dikenal sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut, merupakan peralihan antara darat dan laut. Pepohonan yang dapat tumbuh dan berkembang pada kawasan pasang surut mempunyai toleransi terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan morfologi pantai secara baik.

Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili, misalnya; Avicennia, Rhizophora, Ceriops, Bruguiera, Xylocarpus, Acantus dan Hibiscus.

Adapun fungsi hutan mangrove adalah sebagai perlindungan pantai, perangkap sedimen dari darat, perlindungan bagi organisme tertentu, pemijahan, pembesaran, tempat mencari makan berbagai jenis ikan, udang dan kerang-kerangan. Di samping tentu saja fungsi lain, seperti pemanfaatan kayu untuk berbagai keperluan.

Tak jauh tempat itu, kegiatan dilanjutkan dengan penanaman lamun (seagrasses) menggunakan metode ‘Plug and TERFs’ yang sangat cocok dengan kondisi pulau-pulau kecil. Lamun merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) yang sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tanaman ini memiliki bunga dan buah sebagai alat reproduktifnya. Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang akarnya menempel di dasar perairan laut.

Lamun yang ditemukan di perairan Indonesia terdiri dari tujuh marga. Tiga diantaranya (Enhalus, Thalassia dan Halophila)termasuk suku Hydrocaritaceae. Sedangkan empat marga lainnya (Halodule, Cymodoceae, Syringodium dan Thalassodendron) termasuk suku Pornatogetonaceae.

Padang lamun ini berfungsi sebagai penangkap sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air, produktivitas primer, sumber makanan langsung kebanyakan hewan air, dan substrat organisme yang menempel. Selain itu padang lamun juga berfungsi mendukung kehidupan biota yang cukup beragam dan berhubungan satu sama lain. Jaring makanan yang terbentuk antara padang lamun dengan biota lain sangat kompleks.

Snorkeling di Baliho dan APL

Dari semua kegiatan fieldtrip, snorkeling menjadi agenda yang paling di tunggu-tunggu oleh peserta. Pasalnya, berwisata ke laut tentu tak lengkap rasanya jika tak menyentuh putihnya air. Salah satunya dengan snorkeling maupun diving.

Berhubung kebanyakan dari peserta tidak bisa diving, snorkeling menjadi alternatif pilihan yang paling diminati. Walau awalnya banyak yang merasa ragu, akibat tak bisa berenang, daya pikat yang ditawarkannya memaksa sebagian besar peserta mencoba olahraga bahari ini. Berbekal keberanian yang dipandu dive master berpengalaman, masing-masing orang mulai menceburkan diri ke dalam dinginnya air laut. Sejurus kemudian, kegaduhan langsung tercipta, saat peserta mulai mengepakkan fins (baca: kaki katak) sembari mencoba bernafas menggunakan snorkle (alat bantu bernafas) dan masker yang menutupi mata.

Baliho TNKpS berupa pondok dan jaring apung besar, merupakan tempat mendapatkan informasi dan pemanduan wisata, sekaligus tempat melihat pemberian makan ikan besar. Selain itu, Baliho ini sebagai pusat pendidikan snorkeling, diving dan memancing di rumpun alami, termasuk melihat percontohan dan riset transplantasi karang sistem ‘Rock Pile’.

Puas snorkeling di Baliho, kegiatan lanjutan di lakukan di APL (Areal Perlindungan Laut) tak jauh dari Baliho berada. Jika di baliho, terumbu karangnya tak begitu banyak, berbeda dengan APL. Selain lebih dalam, terumbu karang aneka rupa dan warna menghiasi wilayah APL, lebih kurang 5 km². Di tempat ini, karya sang Maestro alam sungguh nyata adanya. Dengan snorkeling, kita bisa menikmati keindahan taman koleksi yang mencakup ± 114 jenis karang hias yang terdapat di kepulauan seribu.

Kendala Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.

Dari segudang potensi yang dimiliki Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, aneka kendala masih menjadi momok yang perlu mendapat perhatian serius, diantaranya terbatasnya sarana transportasi, sampah warga Jakarta yang hanyut hingga ke pulau-pulau, rusaknya terumbu karang, sampai tumpahan minyak mentah yang kerap mengotori laut Kepulauan Seribu.

Secara umum, cara mudah ke Kepulauan Seribu masih di dominasi oleh dua pelabuhan, yakni Pantai Marina - Ancol dan Muara angke. Pantai Marina – Ancol digunakan untuk bersandarnya kapal-kapal cepat berbagai jenis, dari dan ke Kepulauan Seribu. Kebanyakan dari kapal-kapal cepat ini milik pribadi, sedang sisanya merupakan kapal wisata.

Saat menggunakan kapal wisata, pengunjung akan merogoh kocek sebesar Rp. 100.000 – 150.000/ orang untuk bisa sampai di salah satu pulau tujuan wisata, seperti P. Bidadari, P. Pramuka, P. Putri, ataupun P. Sepa, dengan waktu tempuh yang relatif singkat antara 45 menit – 1 jam. Sedangkan jika menggunakan kapal kayu dari Muara Angke, penumpang cukup membayar Rp. 25.000 – Rp. 50.000 saja untuk setiap orang. Namun perlu di ingat, waktu tempuh akan menjadi lama sekitar 2 – 3 jam perjalanan laut.

Perbandingan harga yang mencolok, tentunya menjadi pilihan para peloncong yang ingin berlibur ke Kepulauan Seribu. Jika bajet terbatas, tak ada salahnya mencoba kapal kayu. Namun harus di ingat, pilihlah kapal yang kondisinya masih layak, karena disana pelampung tidak disediakan. Hal ini tentu berbeda ketika kita memilih menggunakan kapal cepat.

Rendahnya frekuensi keberangkatan kapal, yakni sebanyak 2 kali antara pagi dan sore hari, menjadi kendala bagi para pengunjung yang ingin berlibur ke Kepulauan Seribu. Pasalnya, kapal akan mengangkat sauh, paling lambat pukul 08.00 pagi dan akan kembali pada pukul. 16.00 Wib. Hal ini tentu membuat para wisatawan yang hendak bepergian, harus tiba lebih pagi di salah satu dermaga, jika tak ingin terlambat.

Disamping terbatasnya sarana transportasi, masuknya sampah warga Jakarta kerap menghiasi hampir semua pinggiran pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu. Kebanyakan sampah-sampah ini terbawa hanyut gelombang air laut saat musim angin Timur tiba. Untuk ukuran P. pramuka misalnya, jarak yang cukup jauh dari Jakarta, ternyata tak menyurutkan berlabuhnya aneka jenis sampah di pinggiran pantainya.

Menurut hasil penelitian sebuah NGO, ditemukan luas sampah yang memenuhi Kepulauan Seribu telah mencapai 14.000 m³ yang setara dengan 14 ton sampah, berasal dari berbagai jenis, diantaranya: limbah industri, padatan, logam, sampah rumahtangga dan limbah minyak dengan titik terjauh mencapai 35 Km dari Utara Jakarta, yakni P.Pari.

Fakta yang paling mengerikan, adalah ancaman limbah cair yang berasal dari pabrik atau industri. Kalau kita berkuinjung ke Kepulauan Seribu lewat Marina, dengan mudah menyaksikan betapa parahnya pencemaran oleh limbah cair ini. Berdiri sampai lima menit di Marina, sambil menunggu kapal, bau limbah menyengat dan warna air pun hitam. Semakin ke tengah, warna air terlihat coklat, terus hijau, dan baru menemukan air yang biru ketika hampir mendekati Pulau Pari. Dampaknya sangat buruk bagi ekosistem laut dan pulau serta terhadap aktivitas ekonomi warga dalam mengeksplorasi potensi laut.

Hal lain yang tak kalah memprihatinkan adalah keberadaan terumbu karang sebagai pemecah gelombang alami untuk melindungi pantai dari erosi, (yang) secara terus menerus mendapat tekanan akibat berbagai aktivitas manusia baik secara langsung maupun tak langsung. Beberapa aktivitas itu, dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang, misalnya dengan penggunaan bom ikan, racun sianida (potas), pembuangan jangkar, berjalan diatas terumbu karang, penggunaan alat tangkap muroami, penambangan batu karang, penambangan pasir dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut masih terus berlangsung, walau dilakukan sembunyi-sembunyi.

Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), terumbu karang di Indonesia hanya tinggal 7% yang berada dalam kondisi sangat baik, 24% dalam kondisi baik, 29% dalam kondisi sedang dan 40% berada dalam kondisi mengkhawatirkan (Suharsono, 1998). Diperkirakan Terumbu karang akan berkurang sebanyak 70% dalam waktu 40 tahun, jikatidak dikelola dengan baik.

Pada waktu-waktu tertentu di gugusan Kepulauan Seribu juga sering ditemukan adanya tumpahan minyak mentah, yang di duga dilakukan oleh sebuah perusahaan migas yang beroperasi di kawasan itu. Biasanya sepanjang bulan Desember hingga Januari, perusahaan tersebut akan membuang limbahnya ke laut (yang) mengakibatkan timbulnya pencemaran.

"Saat ini terdapat 400-an rig di lepas pantai utara Jakarta. Sebagian milik China National Offshore Oil Company (CNOOC), yang berlokasi sekitar Pulau Pabelokan, 20 mil dari Pulau Kotok Besar” ungkap Rudi, salah seorang jagawana yang bersiaga di P. Pramuka.

Kejadian itu bermula pada Desember 2003. Saat itu, sedikitnya empat belas pulau di gugusan Kepulauan Seribu, tercemar limbah minyak dengan luas mencapai 167.000 Km². Limbah minyak mentah itu membanjiri kawasan selatan P. Kotok Besar. Garis pantai sepanjang 1,2 kilometer itu tertutup oleh limbah minyak berwarna kehitam-hitaman.

Selanjutnya limbah serupa mulai memasuki Pulau Opak, sekitar 5 mil sebelah utara-timur Pulau Kotok Besar. Adapun keempat belas pulau itu adalah P. Kotok Besar, Kotok Kecil, Opak Besar, Opak Kecil, P. Harapan, P. Kelapa, Gosong Pandan, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut Besar, Semut Kecil, Karang Congkak, dan P. Kuburan China.

Walau faktanya sudah sangat nyata, tiba-tiba saja penyidikan itu tidak sampai putusan di meja pengadilan. “...perkara itu akhirnya SP3 (baca; Surat Penghentian Penyidikan akibat tak cukup bukti), padahal semua orang tahu tentang keberadaan limbah itu”, ungkap Abdul Rahman Andit, Wakil Bupati Kepulauan Seribu yang kebetulan ikut dalam rombongan.

Realitas-realitas tadi bukanlah harga mati yang tak bisa di perbaiki. Sebuah upaya-upaya perlindungan, pemberdayaan dan penguatan masyarakat harus terus digalakkan. Pada saat yang sama, tentu kita tak ingin ceruk pasar yang tersedia hilang begitu saja, hanya karena ketidaksiapan kita dalam hal pengelolaan. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, sebagai salah satu potensi bangsa, merupakan amanah dunia kepada masyarakat Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta untuk dikelola sebagai kawasan pelestarian alam yang berpihak pada masyarakat dan berfungsi pokok sebagai penyangga kehidupan. Selain itu, kawasan ini, menjanjikan banyak harapan. Persoalannya kemudian, bagaimana kita memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk dikelola dengan baik demi kepentingan bersama dan demi masa depan bangsa.

No comments:

Post a Comment