Saturday, April 11, 2009
HaRiMaN si GoLoNGaN PuTiH
Oleh: Jekson Simanjuntak
Selain terkenal dengan peristiwa Malari 1974, Hariman Sieregar pun dikenal sebagai pendukung “golput”. Baginya, jika tak ada perubahan yang mendasar, buat apa ikut pemilu. Tidak memilih pun masih merupakan hak setiap warga negara.
Banyak kalangan yang menyerukan agar tidak golput (baca: Golongan Putih) pada pemilu 2009. Namun, tidak bagi Hariman Siregar, aktivis mahasiswa 1970-an yang hingga kini eksis sebagai golput.
Kami temui di kediamannya di kawasan Kalibata – Jakarta Timur, beberapa waktu lalu, ia pun terlihat bugar. “kalo kalian gak datang, saya mau main golf”, ujarnya. Ternyata, bagi pria yang usianya sudah lewat setengah abad ini, olah raga menjadi kegiatan penentu bagi kesehatannya.
“kira-kira apa yang akan kalian tanyakan?” ungkapnya seraya mempersilahkan kami duduk. “gak banyak, bang, hanya seputaran pemilu dengan gerakan golput, bang”, jawabku.
Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa gerakan golput, mulai populer di era tujuh puluhan. Dipelopori oleh Arif Budiman, abangnya Soe Hok Gie. Golongan ini timbul, akibat tidak puas terhadap pelaksanaan pemilu yang pemenangnya sudah ditentukan sebelumnya.
“Saat itu, pemenangnya pasti Golkar”, ungkapnya. Jika dicermati, Soeharto yang mendapatkan kekuasaannya secara ekstra konstitusi, berupaya mengatur kekuasaan legislatif secara sistematis dengan membatasi jumlah partai peserta pemilu. Buktinya, Soeharto menganulir 9 partai politik lain yang saat itu ada.
Maka pada tahun 1971 pun diadakan pemilu pertama di era orde baru. Sebelumnya, melalui serangkaian agenda, di tahun 1969, pemerintah mulai membentuk UU pemilu dan membentuk UU susduk (susunan dan kedudukan) lembaga negara guna menyukseskan pemilu 1971.
Dengan lolosnya UU pemilu saat itu, bisa di pastikan kemenangan sudah di pihak Soeharto. Faktanya, Golkar, lembaga bentukan Soeharto melalui angkatan darat, memenangkan pemilu 1971 secara mutlak dengan perolehan suara mencapai 62%.
Kemenangan ini pun mulai nyata, ketika Amir Machmud yang kala itu bertindak selaku Menteri Dalam Negeri, menginstruksikan ke setiap PNS untuk mencoblos Golkar, jika ingin karir mereka cemerlang. Serangan fajar ini pun terkenal dengan sebutan “buldozer”
“Selain itu, Soeharto pun membajak LPU (Lembaga Pemilihan Umum), KORPRI, Bapilu Golkar dan mematikan partai lain”, tukas Hariman dengan begitu bersemangat.
Golkar yang saat itu sebagai mesin orde baru, menjadi kekuatan baru yang begitu dominan. Dominan dalam segala hal, termasuk mendukung kebijakan pemerintah yang sangat tidak pro rakyat. Lalu, kapitalisme pun mulai menemukan bentuknya di Indonesia.
Sejatinya, rakyat dalam kondisi yang relatif stabil. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan munculnya riak-riak kecil di beberapa tempat di tanah air. Orba pun mencoba mengamankan pemerintahan dengan segala upanya. Namun, perubahan yang diharapkan dari Pemilu 71 tak kunjung timbul. Penyeragaman mulai terjadi.
Selanjutnya, kekuatan Golkar semakin absolut. Partai peserta pemilu yang sebelumnya terdiri dari banyak partai pun diciutkan menjadi 2 dengan satu Golongan Karya. Pemilu 1971 pun menjadi prototipe bagi pemilu-pemilu selanjutnya.
Counter Culture
Tak puas dengan pemilu 1971 yang menurut kalangan aktivis kampus merupakan ajang penipuan sistematis terhadap rakyat, akhirnya menelurkan gerakan “golongan putih”. Golput merupakan gerakan protes terhadap prosedur pemilu”, ungkap Hariman kemudian.
Hariman yang saat itu, (baca: tahun 1971), baru duduk di semester IV, Fak. Kedokteran UI, belajar banyak dari senior-seniornya, seperti Arif Budiman, Princen, Akbar Tanjung, dll. Mengetahui politik praktis melalui Dewan Mahasiswa, membawanya pada pemahaman yang berbeda dari arus kebanyakan.
Menurutnya, proses penyeragaman yang di lakukan pemerintah Orba secara sistematis, membuat orang tak bisa berpikir kreatif. “jika tak ikut arus, akan bersinggungan dengan pemerintah yang sah” ungkapnya.
Kondisi itu pula lah yang sempat membawanya masuk bui selama tiga tahun, pasca Malari 1974. Ia di tuding sebagai biang keladi yang mengakibatkan sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, serta 144 buah bangunan rusak berat. Serta tak kurang 11 orang meninggal, 300 luka berat dan ringan. Sedikitnya 160 kg emas hilang dari sejumlah tokoh perhiasan.
Saat itu, salah satu cara yang dianggap berhasil untuk mengatasi penyeragaman yang ditawarkan pemerintah adalah dengan melakukan “Counter Culture”. Terinspirasi dengan gerakan Counter Culture yang marak di negara-negara barat di era 60-an, membuat kalangan kampus mulai melakukan protes. Salah satu cara yaitu dengan populernya gaya hippies di kalangan mahasiswa. Rambut gondrong dengan dandanan suka-suka menjadi cirinya.
Sejatinya, Counter Culture merupakan gerakan pembalikan budaya yang dilakukan oleh akar rumput. Gerakan ini pun di dominasi oleh cendikiawan muda yang umumnya berasal dari kampus.
Protes pertama mereka adalah dengan mengumandangkan ide “tidak ikut pemilu”. Ide yang kemudian terkenal dengan sebutan “Golput”. Gerakan yang awalnya di motori oleh komunitas kampus pun lambat laun melebar dan akhirnya bisa di terima, khususnya oleh masyarakat “melek” politik.
Berawal dari Ide
Tak berbeda dengan gerakan mahasiswa sekarang, gerakan saat itu, khususnya era 70-an, ternyata berawal dari sebuah ide. “kami tak pernah mengkultuskan individu” ujar Hariman.
Jika ada individu yang dianggap tokoh, itu hanya ulah pers yang melakukan pelebelan terhadap gerakan mereka. Maklum saja, pers hanya akan mengutip omongan orang-orang yang dianggap kompeten, seperti pimpinan gerakan misalnya.
Seperti halnya golput, gerakan ini pun awalnya dimulai dari ide. Ide yang kebetulan sama dan bisa diterima oleh sebagian besar aktivis.
Bermula dari pertemuan di Balai Budaya, Arif Budiman yang kala itu cukup populer di kalangan aktivis, mulai membuka wacana tentang perlunya gerakan tandingan untuk meminimalkan superioritas pemerintah. Salah satunya dengan tidak ikut pemilu, bukannya menolak pemilu.
Munculnya golput sebenarnya mengingatkan akan lemahnya kehidupan perpolitikan nasional. Negara dianggap tidak berhasil untuk mengajak rakyat dalam menyukseskan program pemilu. Yang menjadi persoalan adalah ketika ajakan untuk golput itu dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan fisik. Sebab, jika demikian merupakan tindakan pidana.
Meski begitu, ide ini tak serta merta diterima. Faktanya, saat itu suara mahasiswa mulai terpecah. Ada yang mendukung dan yang menentang. Aktivis, sekaliber Dr. Sjahrir, HJC. Princen, Akbar Tanjung, Marsilam Simanjuntak, Yusuf Kaffi, merupakan aktor pendukung golongan putih. Sementara, Cosmas Batubara, Marrie Muhammad, David Napitupulu menjadi pembela pemerintah dengan pemilunya.
Sehingga jika ditanya, apakah golput ada tokohnya? Dengan lantang, Hariman berujar: golput tidak mengenal tokoh. Semua berawal dari ide. Ide yang sama dan di pahami secara bersama-sama pula.
“saat itu, dimasa perdana menteri Adam Malik, golput dinilai sebagai gerakan subversif, naif dan gerakan setan” imbuhnya kemudian.
Saat itu, golput yang lebih sebagai gerakan protes terhadap prosedur pemilu, dilakukan karena tidak jelasnya “vote register” (baca: daftar pemilih tetap). Sementara dana yang dikeluarkan pemerintah saat itu cukup besar, sekitar Rp. 40 Milyar.
“artinya, pemerintah tidak bersungguh-sungguh melakukan pemilihan umum” ungkap Hariman.
Golput masa kini
Sedangkan jika menilik kondisi sekarang, gerakan golput masih tetap relevan. Ini terlihat dari masih belum beresnya implementasi pencapaian partai-partai di lapangan. Mereka tidak sadar bahwa performance demokrasi itu ada pada stabilitas di partai. Stabilitas di partai itu sangat bergantung pada desain konstitusi dan desain institusi yang mereka buat. Serta hasil yang bisa masyarakat nikmati.
Berbeda dengan golput di era 7o-an, golput jaman Soeharto lebih kepada gerakan agar tidak terjadi legitimasi pada pemerintahan yang sedang berkuasa. Sebab, jika ikut pemilu, bisa di pastikan incumbent akan mengokohkan akar-akarnya. Itu artinya, tak terjadi perubahan yang mendasar dan pemenangnya itu-itu saja.
Jika pada era Orde Baru, persentase orang yang memberikan suara mencapai di atas 80 persen. Sekarang ini ada kekhawatiran pada pemilu 2009 jumlah orang yang menggunakan hak pilihnya akan tetap ada, meskipun jumlahnya tak banyak. Bisa jadi sisanya merupakan golput.
Golput tahun ini pun terjadi karena terlalu banyaknya caleg, baik di tingkat pusat maupun di daerah plus begitu banyaknya partai peserta pemilu. Belum lagi jika ditambah dengan DPD.
Hal ini tentu saja menjadi permasalahan mendasar yang di pahami oleh hampir semua elemen masyarakat. Selain tidak paham flattform partai-partai tersebut, masyarakat pun tak mengenal calon-calon legislatif itu. Mereka bingung harus men-centang apa?
“karena itu, golput sekarang masih realistis, kok. Cuma konteksnya berbeda!” tandas Hariman.
Selain itu, menurut pria yang pernah bergabung di Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR), yang paling penting adalah jangan sampai golput menolak pemilu. Karena jika itu terjadi, proses demokrasi yang kita inginkan akan berjalan di tempat.
Sedangkan jika persentase golput meningkat, ini artinya partai-partai tidak bisa mengartikulasi kepentingan masyarakat. Mereka cuma berkutat pada upaya mobilisasi massa," ujar Hariman menutup pertemuan kami siang itu.
Kalau rakyat kecewa pada parpol yang tidak memikirkan nasib rakyat, apa salahnya kalau rakyat tidak memilih. Tidak memilih juga merupakan sebuah hak, bukan?
Source photo: inilah.com
No comments:
Post a Comment