Tuesday, May 17, 2016

Buku-Buku Kiri, Nasibmu Kini!

(Ilustrasi buku-buku di perpustakaan. Sumber: beritagar.id)
Selasa (17/5/2015), seharusnya menjadi hari istimewa bagi para penggemar buku. Setiap 17 Mei selalu diperingati sebagai Hari Buku Nasional yang kebetulan bertepatan dengan berdirinya Perpustakaan Nasional.

Pada awalnya, peringatan Hari Buku Nasional sengaja di desain untuk mendorong minat baca masyarakat yang memang tergolong rendah. Selain itu. Peringatan Hari Buku Nasional diharapkan menjadi momen yang pas bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap buku dan menghargai para penulis.  

Sayangnya, upaya meningkatkan minat baca masyarakat, khususnya generasi muda menjadi kontradiktif dengan kebijakan yang ditempuh oleh Perpustakaan Nasional belakangan ini, utamanya seiring razia buku-buku beraliran kiri.

Perpustakaan Nasional yang seharusnya mendukung keberadaan buku, sebagai bagian dari khazanah ilmu pengetahuan yang harus diapresiasi, ternyata malah mendukung upaya pemberangusan buku, tanpa alasan logis, dan lebih terkesan dibuat-buat.

“Saya setuju. Karena dengan adanya buku-buku aliran kiri ternyata meresahkan. Zaman Orde Baru buku-buku itu dilarang untuk diedarkan. Untuk baca, harus ada izin kejaksaan,” ujar Dedi Junaedi, yang menjadi Pelaksana Tugas Ketua Perpusnas seperti dikutip dari Tempo (16 Mei 2016).

Menurut saya, kondisi itu, menunjukkan sebuah kemunduran. Kondisi tersebut juga telah meruntuhkan peran dan fungsi perpustakaan, sebagai tempat khusus bagi berkumpulnya aneka jenis buku, tanpa memandang aliran. Bukankah, perpustakaan seharusnya menjadi wadah penyimpanan, karya tulis, karya seni demi melengkapi ruang ilmu pengetahuan?

Perpustakaan juga seharusnya mampu memelihara sejumlah karya ilmiah, termasuk buku-buku kiri, karena perpustakaan merupakan lembaga yang netral, bukan malah terjebak dalam genderang pemerintah yang aktif menghilangkan buku-buku berbau kiri.

Buku-buku yang memuat gagasan kiri seharusnya tidak untuk dilarang, selama ide yang ditawarkan mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan seharusnya dilawan dengan gagasan, begitu juga buku. Tidak dengan membakar atau melenyapkan buku-buku beraliran kiri.

Uniknya, Perpustakaan Nasional mengakui jika perpustakaan merupakan lembaga yang berkewajiban untuk menyimpan koleksi beragam jenis buku. Namun disisi lain, pihak Perpustakaan Nasional berdalih, munculnya buku-buku kiri akan membuat masyarakat resah. Oleh karena itu, ketika razia buku berbau kiri dilakukan TNI dan Polri, pihak Perpustakaan Nasional mendukung aksi itu. 

“Terutama untuk kebaikan anak-anak kita, ya. Buku-buku semacam itu tidak sesuai dengan Pancasila,” pungkas Dedi mantab.

Tak hanya itu, pihak Perpustakaan Nasional juga meragukan adanya International Standard Book Number (ISBN) bagi buku-buku baru, yang ditengarai beraliran kiri. Selanjutnya, pihak Perpustakaan Nasional akan melapor seandainya ditemukan ada permintaan ISBN untuk buku-buku yang berbau kiri. 

Saat membaca alasan pihak Perpustakaan Nasional menolak buku-buku kiri, saya terhenyak. Terlihat jelas, bahwa ketidaktahuan menjadi pembenar bagi mereka untuk menolak keberadaan buku-buku yang berbau kiri. 

Padahal, jika mereka sadar akan sejarah, Indonesia tak bisa lepas dari perjuangan pergerakan kiri. Kiri disini adalah sebuah gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kekuasaan kolonial Belanda. Salah satunya, pemberontakan PKI di tahun 1926 melawan Belanda. 

Lalu, sebutlah beberapa tokoh yang afiliasinya kiri, seperti Soekarno (Presiden Pertama RI), Tan Malaka (Pejuang Kemerdekaan), Semaun (Pimpinan Serikat Buruh), Pramoedya Ananta Toer (Penulis) dan masih banyak yang lainnya, terbukti turut andil mewujudkan Indonesia merdeka.

Oleh karena itu, pemberangusan buku-buku kiri sangat tidak relevan, apalagi dilakukan di zaman keterbukaan seperti sekarang ini. Di zaman semua informasi bisa diakses secara gratis, tidak melulu melalui buku, pemberangusan buku-buku kiri, sungguh sebuah kemunduran, tidak hanya dalam alam pikiran, juga tindakan.

Khusus bagi generasi muda, kehadiran buku-buku kiri sejatinya tak berbeda dengan buku-buku lain, bahkan kho ping ho0 sekalipun. Ia diperlukan untuk memenuhi dahaga pengetahuan. Memperluas wacana berpikir generasi muda agar tidak mudah terjebak dalam pemikiran sempit, pembelokan sejarah, mitos ataupun propaganda yang sejatinya bertolak belakang dengan akal sehat dan kenyataan.

Sehingga, ketika generasi muda membaca banyak sumber, tidak hanya buku-buku kiri, maka dapat memilah yang cocok dan terbaik bagi mereka. Generasi muda juga akan memahami dengan baik perjalanan sejarah bangsa ini, yang di beberapa sisinya bolong-bolong.

Atas pembatasan kemerdekaan untuk berpikir ini, maka tindakan yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional sangat disayangkan. Kondisi itu juga tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, sama saja dengan pembodohan terhadap generasi muda, utamanya terkait pembatasan pembelajaran melalui buku-buku kiri. Oleh karena itu, segala bentuk pembatasan berpikir, berkarya dan bereskpresi memang hanya menyisakan satu kata; Lawan! (jacko agun)

No comments:

Post a Comment