(sumber: /www.google.co.id/imgres) |
Ngebayangin, kira-kira, saat itu, mukanya si "Nick" kayak apa ya?
Ada yang berubah, gak ya?
Ah... asli, gak bisa ngebayangin juga! Maklum, gak pintar mengkhayal.
Pintarnya baca tulisan - tulisan orang plus kasih komentar yang nylekit doang.
Oh ya, menurut gw, satu yang bisa di highlight dari catatan itu; sejak 2007, ternyata niatnya tertarik dengan dunia broadcast memang telah ada. Istilah kata, nih, bibitnya udah keliatan.
Dan, kalo bibitnya udah ada, maka tinggal menunggu waktu.
Eng... ing... eng, jadilah si Nick seperti sekarang ini.
Btw, sayang, selama di tempat itu, jujur gw belum pernah liat karyanya yang betul-betuk "ngok". Artinya, sebuah karya jurnalistik yang menggugah kesadaran banyak pihak, atau karya yang sejak awal hingga akhir, dikerjakan lewat sentuhan terampil seorang "Nick".
Dengan kondisi terakhir itu, gw pikir, dia gak ada bedanya seperti yang lain. Terlena dengan keadaan. Terbuai akan kenyamanan semu. Lalu tenggelam lebih dalam. Tinggal menunggu mati. Karena itu, menurut gw, si "Nick" ini gak layak menyandang profesi sebagai Jurnalis (pake huruf kapital J). Lebih cocok disebut sebagai tukang edit. Ya.. lebih elit sedikit, lah, ketimbang tukang potong.
Padahal, untuk orang-orang yang punya energi besar seperti si "Nick", jujur, gw punya ekspektasi lebih. Gw berharap kalo dia mampu menghasilkan sesuatu, yang kalo gak bisa disebut sebagai "masterpiece", ya..., minimal bisa nambah-nambah portofolio.
Oh ya, kenapa gw menyampaikan ini, karena sebagai yang lebih tua (baca: toku), gw senang memberi semangat kepada mereka yang lebih muda. Biar bergairah. Biar punya spirit dan menjaga harga diri, meskipun kita tahu sama tahu, kondisi tempatnya bekerja sekarang ini seperti apa.
Kalo udah kayak gini, nih, gw juga jadi ingat tempat kerja lama, tentang bagaimana gw menularkan virus jurnalisme yang benar kepada para jurnalis muda. Maklum anggota AJI, cuy, dan gw bangga dengan itu. Masa-masa itu, dengan getolnya gw ajak mereka untuk tetap punya harga diri, sehingga tidak terjebak pada pemikiran sempit yang berujung pada aksi melacur, dengan menerima jale. Karena sebagai jurnalis nan kere ini, kira-kira apakah yang tersisa, selain "harga diri". Haruskah kita menggadaikannya demi jale yang kita tahu jumlahnya pun tak gede-gede amat.
Lalu, sejak baca buku Catatan Seorang Demonstran, puluhan tahun silam, gw kepikiran untuk menjadi seorang resi. Resi yang hanya turun gunung ketika kondisi buruk sedang terjadi. Sementara ketika semua baik-baik saja, ia akan kembali ke pertapaannya. Yup, kira-kira, gw berharap bisa seperti itu.
Bertolak dari kondisi itu, sejujurnya gw hanya ingin menggugah kesadaran, apakah kita (baca: lu dan yang lainnya) sudah cukup puas dengan hal-hal yang telah dicapai selama ini? Padahal, menjadi jurnalis itu, ukurannya karya. So, sudah berapa banyak karya yang sudah dihasilkan? Kalo belum ada, saatnya kita malu. Malu, semalu-malunya.
Sementara, jika pertanyaan yang sama diajukan ke gw, gw akan jawab, "agak beda konteksnya". Sejauh ini, jujur saja, gak ada kata puas di hidup gw. Bahkan sejak dulu, ketika gw puas, maka disitulah titik kejatuhan. Titik kelemahan yang sebenarnya.
Kemudian, seandainya ada pertanyaan iseng, mengapa gw gak melakukan hal-hal yang sama seperti gw ajuin ke elu. Jawabnya, karena mereka (baca: yang punya kuasa) memang tak ingin gw melakukan lebih banyak di bidang ini (baca: jurnalisme). Tentu saja, setelah berkaca dari beberapa pengalaman sebelumnya. Bahkan ketika mengajukan usulan, jawaban yang diberikan tak pernah memuaskan. So, lebih baik gw tahu diri. Mereka memang tidak suka.
Nah, oleh karena itu, ketika gw gak mampu, gw berharap virus yang baik ini ada yang meneruskan. Gw berharap lu bisa menghasilkan karya indepth yang membuat semua mata, kan, terbelalak. Takjub. Karena gw tahu, lu mampu. Cuma memang, lagi malas aja. Atau malas banget, mungkin!
Finally, secara singkat gw ingin bilang, bahwa pola-pola yang lu mainkan selama ini, khususnya terkait pendekatan kompromistis yang terkadang menjijikkan itu, dapat diaktualisasikan ke dalam bentuk yang lebih nyata, yakni sebuah karya. Karya jurnalistik yang taat kode etik, pastinya.
Ya, kira-kira begitu harapan yang bisa disampaikan. Dan, pendapat ini murni berasal dari pikiran, sebagaimana gw ada saat ini. Selanjutnya, karena kita tak sekedar hadir dan bernafas, maka sebaiknya harus berbeda dengan mereka. (end)
note : Tulisan ini berasal dari komentar yang gak bisa terkirim karena sesuatu dan lain hal, dan ketimbang mubazir, akhirnya di posting aja. Tulisan ini udah agak lama, sebenarnya.
note : Tulisan ini berasal dari komentar yang gak bisa terkirim karena sesuatu dan lain hal, dan ketimbang mubazir, akhirnya di posting aja. Tulisan ini udah agak lama, sebenarnya.
No comments:
Post a Comment