(source: https://brianzahnd.com) |
Menjadi Kristen bagi saya adalah menjadi
komunis seperti Yesus. Menjadi anti-kapitalisme dan berjuang untuk pembebasan
manusia. Ini jalan salib Yesus.
@barahamin
Paskah!
@barahamin
Paskah!
Ya, di Minggu Paskah ini, saya sempatkan
untuk beribadah. Beribadah bukan karena keharusan atau rutinas, tapi
karena sebuah panggilan. Panggilan yang didasarkan atas kerinduan. Rindu lebih
dekat denganNya. Rindu menerima pengurapanNya yang ajaib.
Hari Raya Paskah sendiri memiliki banyak arti. Ada yang menyebut sebagai hari besar keagamaan Yahudi, simbol terbebasnya bangsa Israel atas penjajahan Mesir, hingga penanda bangkitnya Yesus dari kematiannya di hari ketiga. Kurang lebih begitu informasi tentang asal muasal Paskah yang saya baca. Namun bagi saya, tak penting latar belakangnya, karena yang utama adalah “mendekat” padaNya. Bagaimana saya bisa mendengar panggilanNya dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kabar terbaru bahkan menyebut Hari Raya Paskah tak selalu datang "tepat waktu". Paskah bisa datang "cepat" atau bisa juga "terlambat". Paskah tiba lebih cepat, jika perayaan kebangkitan Yesus jatuh di bulan Maret. Lalu, menjadi terlambat, jika perayaannya digelar di bulan April.
Perayaan Paskah sendiri dirembug oleh Konsili I Nicea pada tahun 325 Masehi. Bagi konsili itu, Paskah jatuh pada Minggu pertama sesudah hari ke-14 usai bulan baru pada equinox musim semi. Artinya, Paskah jatuh pada Minggu pertama setelah purnama atau setelah terjadinya equinox musim semi.
Equinox sendiri adalah fenomena atas gerak semu matahari, yaitu ketika matahari tepat berada di atas khatulistiwa. Equinox kerap dijadikan penanda awal musim semi yang kerap terjadi di bulan Maret.
Di tahun ini, equinox berlangsung pada Senin 20 Maret 2017 pukul 17.29 WIB. Sementara, purnama bulan Maret terjadi pada 12 Maret 2017. Akibatnya, perayaan Paskah harus menunggu 1 purnama lagi. Uniknya, purnama berikutnya setelah equinox Maret 2017 baru jatuh pada 11 April 2017. Jadilah Paskah disepakati pada 16 April 2017 atau hari Minggu pertama setelah purnama itu.
Menurut saya, Paskah seharusnya menjadi momen yang paling istimewa dan nilainya paling besar diantara semua hari besar keagamaan Kristen. Jawabnya, karena di momen itu, Yesus harus mati dan bangkit kembali di hari yang ketiga, demi menebus dosa umat manusia. Kurang lebih kajian teologinya seperti itu.
Secara sederhana, Yesus yang juga manusia itu harus mengorbankan hal mendasar yang dimiliki secara hakiki, yakni nyawanya. Adakah kita yang rela menyerahkan nyawa atas dosa yang tidak diperbuat? Rela dalam arti yang sebenarnya.
Rela ketika mengetahui bahwa harus kehilangan satu-satunya harta berharga. Rela menanggung semua dosa orang-orang yang menghinanya, meskipun Pilatus (baca: semacam pimpinan pemerintah kota) tak menemukan satu pun dosa yang diperbuat Yesus, pada saat itu.
Lalu, mengapa ia harus menanggung semua itu? Akal sehat saya menyebut, itulah yang disebut dengan ‘garis tangan’. Sebuah skenario yang mesti dijalani, sepahit apapun. Yesus yang bagi penganut Kristen adalah “Anak Allah” tentu saja telah mengetahui hal itu. Namun ia menjalaninya dengan tabah. Karena demikianlah panggilannya sebagai manusia, Ia harus mengalami penyiksaan yang begitu hebat, agar manusia berdosa seperti saya bertobat. Berpaling dari dosa-dosa.
Singkatnya, Yesus menjadi contoh mengapa Ia harus menanggung beban berat itu. Jika saja Ia tidak mati, maka tidak ada pertobatan. Tidak ada orang yang berbalik ke arah yang lebih baik.
Bagi saya, tak ada satu pun manusia yang mampu mengalami penderitaan seperti Yesus. Mulai dari diseret, dicambuk, dipaksa pikul salib, diberi mahkota duri, dipaku tangannya, bahkan lambungnya ditusuk tombak yang dilumuri cuka. Rentetan prosesi yang sangat menyiksa.
Bahkan ketika di bukit Golgota, Ia sempat berkata: 'Eli, Eli, lama sabakhtani?'. Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Yesus merasa sendirian saat itu, meskipun ada banyak orang yang menyaksikan penyalibannya.
Oh ya, sebelum itu, Yesus bahkan berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang diperbuat.” Saat disalib Yesus masih berbicara tentang pengampunan. Bukankah itu kontroversioanal?
Menurut saya, kita melihat bukti bahwa Yesus bukan manusia biasa. Ia memiliki karakter istimewa sesuai yang diajarkanNya kepada murid-muridnya. Ketika mengajarkan pengampunan, sebagai guru, Yesus mempraktikkannya, tepat ketika nyawa mulai meregang.
Bagi saya, pengampunan itu berarti belas kasih. Pengampunan menunjukkan kasih yang bukan sekadar kata-kata. Pengampunan itu mengasihi secara nyata.
Lalu di hari ketiga, keanehan terjadi, jika tak ingin menyebutnya, --keajaiban--. Kubur Yesus kosong. Batu penutup kubur telah terguling. Jika bukan kuasa diluar manusia, maka batu sebesar itu (baca: penutup kubur) tidak mungkin berpindah tempat. Tapi itulah yang terjadi.
Selanjutnya, ada malaikat yang berseru bahwa Yesus yang dicari oleh Maria Magdalena (baca: perempuan pendosa) telah bangkit dan kembali ke Surga. Ia tidak disitu lagi. Alkitab menyebut Yesus telah bangkit, yang kemudian diperingati sebagai Paskah.
Paskah kini telah berubah menjadi momen pelepasan. Momen menjadi manusia baru. Momen dimana maut telah dikalahkan dan tidak berkuasa lagi atas Yesus. Atas umat percaya. Dan karena Dia “Anak Allah” maka ia berhasil menyelesaikannya dengan sangat baik, agar apa yang tertulis di hukum Taurat digenapi.
Oh ya, penjelasan diatas adalah perspektif umat Kristen sebagaimana tertulis di kitab suci. Namun, saya tidak akan larut lebih dalam hal itu, karena pengetahuan teologi saya, sangat, sangat terbatas. Dan semua yang saya sampaikan adalah murni berdasarkan pemaknaan spiritual selama ini.
Sejatinya, saya ingin lebih jauh berbagi tentang Yesus yang menurut saya memiliki pribadi menarik. Sebagai manusia, atau selama ia menjadi manusia, Yesus tidak pernah melakukannya demi kepentingannya sendiri. Semua dilakukan demi kemaslahatan bersama. Demi kepentingan orang banyak.
Beragam muzizat telah ia lakukan, mulai dari mengubah air menjadi anggur, membangkitkan orang mati, menahirkan orang berpenyakit kusta, memberi makan 5 ribu orang, dan segudang muzizat lainnya. Semua itu dilakukan demi kepentingan orang banyak. Bukan untuk dirinya sendiri.
Mereka yang mau berkorban demi kepentingan orang banyak, mereka yang berpandangan satu rasa dan sama rasa, belakangan identik dengan komunisme. Menurut saya, selama hidupnya Yesus mempraktikkan hal itu.
Contohnya, ketika Yesus murka di Bait Allah yang telah berubah fungsi. Yesus menemukan Bait Allah yang pada awal pendiriannya menjadi ikon kehadiran Allah demi menyejahterakan umat, telah berubah menjadi tempat berdagang dan melakukan penindasan terhadap umat.
Tanpa basa-basi, Yesus langsung membalikkan meja-meja penukar uang, dan melakukan aksi vandalistik yang menarik perhatian tua-tua Yahudi dan hakim-hakim pengadilan agama. Di hadapan para birokrat itu Yesus mengancam: Runtuhkan Bait Allah ini, dalam 3 hari aku akan membangunkannya kembali!
Perkataan Yesus ini sangat keras dan implikasinya fatal. Jelas itu bukan sekadar hardikan yang menista agama. Ini adalah ancaman untuk membubarkan tatanan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang sudah berlangsung mapan saat itu. Tindakan Yesus sebagai antitesa terhadap praktik kapitalisme yang terjadi.
Ya, Yesus tidak senang dengan pengelompokan sumberdaya terhadap kepentingan sekelompok orang tertentu saja. Yesus ingin sumberdaya itu bisa dinikmati banyak orang. Secara bersama-sama. Yang jika ditarik secara filsafat, hal itu merupakan bentuk perlawan terhadap para pemilik modal. Komunisme itulah dia.
Komunisme atau paham komunis sejatinya berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels. Sebuah manifesto politik yang diterbitkan pertama kali pada 21 Februari 1848. Paham itu tentu saja sebagai bentuk perlawanan terhadap paham kapitalisme yang telah ada di awal abad ke-19.
Jauh sebelum Marx dan Engels hadir, Yesus telah mempraktikkannya. Yesus telah melakukan perubahan radikal dalam sistem kehidupan masyarakat. Yesus juga ingin Bait Allah diperuntukkan khusus untuk menyembah Allah, bukan untuk berdagang. Karena ketika manusia telah menjadi hamba uang, maka ia akan lupa segalanya. Lupa dengan saudara, lupa dengan tetangga yang mungkin masih butuh bantuan.
Selain kisah Yesus, saya jadi teringat Amir Syarifuddin Harahap, tokoh pemuda yang turut andil di Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Amir Sjarifuddin juga seorang pimpinan PKI yang pernah memegang jabatan tertinggi dalam pemerintahan, yakni Perdana Menteri pada 3 Juli 1947 hingga 23 Januari 1948.
Amir yang belakangan diketahui sebagai Kristen taat, menemukan ayat-ayat Alkitab sebagai dasar dari perjuangannnya. Amir menemukan ayat-ayat pembebasan didalam Alkitab. Bisa jadi, inilah bentuk lain dari “Teologi Pembebasan” edisi pertama versi Indonesia.
Sejarah mencatat, Amir Syarifuddin menjadi Kristen pada tahun 1931. Saat itu, ia dibaptis oleh Pendeta Peter Tambunan di gereja HKBP Kernolong, Batavia.
Pada masa itu, pengajaran kepada umat Kristen yang disampaikan pemerintah Belanda lebih banyak tentang vroomheid (kesalehan hidup), dan berjarak dengan kajian-kajian “sosial”. Umat Kristen dikondisikan hidup eksklusif, diberi banyak kemudahan memperoleh kedudukan sosial tinggi, berbeda dengan mayoritas pribumi. Akibatnya, tidak kritis terhadap ketimpangan sosial.
Melalui telaah Al kitab, Amir menemukan jika para nabi dan rasul membawa manusia dari alam perbudakan menuju tanah pembebasan. Karya pembebasan yang paling menarik baginya adalah kelahiran Yesus untuk membebaskan manusia dari dosa, menuju tatanan masyarakat yang sama rata sama rasa.
Kehidupan seperti itu yang diperjuangkan oleh jemaat Kristen mula-mula, yang pada akhirnya harus menghadapi kekejaman penguasa Romawi karena bertekad mempertahankan perbudakan dan penindasan.
Bagi Amir menjadi Komunis yang berjuang di kalangan buruh dan kaum miskin merupakan panggilan, seperti yang ditulis di Alkitab.
Disaat bersamaan, Komunisme adalah ilmu alam, yang mengajarkan manusia untuk menganalisa dan menyelesaikan persoalan yang sifatnya riil. Persoalan itu adalah penghisapan dan penindasan oleh mereka-mereka yang memiliki kapital dalam hubungan produksi.
Komunisme itu mencita-citakan kehidupan masyarakat yang setara, adil dan beradab. Tidak mengenal penindasan. Karena menyangkut persoalan nyata di dunia, maka Tuhan tak perlu dibawa-bawa. Di sini Amir telah meletakkan Materialisme-Dialektika-Logika sebagai ilmu bukan dogma.
Bagi Amir, ajaran Kristen tidak perlu dipertentangkan dengan Komunisme. Sebab keduanya membicarakan tentang kemanusiaan. Membicarakan antara ketuhanan dalam ajaran Kristen dengan kemanusiaan ibarat membicarakan "salib".
Bagian yang vertikal melambangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tuhan ada diatas, manusia dibawah. Sementara yang horizontal pertanda hubungan antar sesama untuk saling mengasihi dalam persaudaraan yang setara. Karena itu, seseorang yang berhubungan baik dengan Tuhan, pastinya memiliki hubungan baik dengan sesamanya. Singkatnya, seorang Kristen yang baik harus berjuang untuk kemanusiaan.
Pada titik ini, Kekristenan dan Komunisme telah menemukan wujudnya. Semua telah disatukan oleh momen Paskah. Paskah telah mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Paskah menjadi tonggak kehidupan iman, bahwa hidup harus peduli. Hidup untuk berbagi, bukan demi diri sendiri.
Lalu, jika ingin sedikit nakal, saya melihat Yesus berbeda dengan tokoh-tokoh agama yang pernah ada. Pasalnya, tokoh agama di Bumi hanya memiliki hari kelahiran dan kematian, namun Yesus punya hari kebangkitan atau Paskah.
Kebangkitan itulah yang membawa pembebasan atas kuasa dosa dan maut. Pembebasan yang seutuhnya. Pembebasan untuk kebersamaan. (jacko agun)
Hari Raya Paskah sendiri memiliki banyak arti. Ada yang menyebut sebagai hari besar keagamaan Yahudi, simbol terbebasnya bangsa Israel atas penjajahan Mesir, hingga penanda bangkitnya Yesus dari kematiannya di hari ketiga. Kurang lebih begitu informasi tentang asal muasal Paskah yang saya baca. Namun bagi saya, tak penting latar belakangnya, karena yang utama adalah “mendekat” padaNya. Bagaimana saya bisa mendengar panggilanNya dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kabar terbaru bahkan menyebut Hari Raya Paskah tak selalu datang "tepat waktu". Paskah bisa datang "cepat" atau bisa juga "terlambat". Paskah tiba lebih cepat, jika perayaan kebangkitan Yesus jatuh di bulan Maret. Lalu, menjadi terlambat, jika perayaannya digelar di bulan April.
Perayaan Paskah sendiri dirembug oleh Konsili I Nicea pada tahun 325 Masehi. Bagi konsili itu, Paskah jatuh pada Minggu pertama sesudah hari ke-14 usai bulan baru pada equinox musim semi. Artinya, Paskah jatuh pada Minggu pertama setelah purnama atau setelah terjadinya equinox musim semi.
Equinox sendiri adalah fenomena atas gerak semu matahari, yaitu ketika matahari tepat berada di atas khatulistiwa. Equinox kerap dijadikan penanda awal musim semi yang kerap terjadi di bulan Maret.
Di tahun ini, equinox berlangsung pada Senin 20 Maret 2017 pukul 17.29 WIB. Sementara, purnama bulan Maret terjadi pada 12 Maret 2017. Akibatnya, perayaan Paskah harus menunggu 1 purnama lagi. Uniknya, purnama berikutnya setelah equinox Maret 2017 baru jatuh pada 11 April 2017. Jadilah Paskah disepakati pada 16 April 2017 atau hari Minggu pertama setelah purnama itu.
Menurut saya, Paskah seharusnya menjadi momen yang paling istimewa dan nilainya paling besar diantara semua hari besar keagamaan Kristen. Jawabnya, karena di momen itu, Yesus harus mati dan bangkit kembali di hari yang ketiga, demi menebus dosa umat manusia. Kurang lebih kajian teologinya seperti itu.
Secara sederhana, Yesus yang juga manusia itu harus mengorbankan hal mendasar yang dimiliki secara hakiki, yakni nyawanya. Adakah kita yang rela menyerahkan nyawa atas dosa yang tidak diperbuat? Rela dalam arti yang sebenarnya.
Rela ketika mengetahui bahwa harus kehilangan satu-satunya harta berharga. Rela menanggung semua dosa orang-orang yang menghinanya, meskipun Pilatus (baca: semacam pimpinan pemerintah kota) tak menemukan satu pun dosa yang diperbuat Yesus, pada saat itu.
Lalu, mengapa ia harus menanggung semua itu? Akal sehat saya menyebut, itulah yang disebut dengan ‘garis tangan’. Sebuah skenario yang mesti dijalani, sepahit apapun. Yesus yang bagi penganut Kristen adalah “Anak Allah” tentu saja telah mengetahui hal itu. Namun ia menjalaninya dengan tabah. Karena demikianlah panggilannya sebagai manusia, Ia harus mengalami penyiksaan yang begitu hebat, agar manusia berdosa seperti saya bertobat. Berpaling dari dosa-dosa.
Singkatnya, Yesus menjadi contoh mengapa Ia harus menanggung beban berat itu. Jika saja Ia tidak mati, maka tidak ada pertobatan. Tidak ada orang yang berbalik ke arah yang lebih baik.
Bagi saya, tak ada satu pun manusia yang mampu mengalami penderitaan seperti Yesus. Mulai dari diseret, dicambuk, dipaksa pikul salib, diberi mahkota duri, dipaku tangannya, bahkan lambungnya ditusuk tombak yang dilumuri cuka. Rentetan prosesi yang sangat menyiksa.
Bahkan ketika di bukit Golgota, Ia sempat berkata: 'Eli, Eli, lama sabakhtani?'. Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Yesus merasa sendirian saat itu, meskipun ada banyak orang yang menyaksikan penyalibannya.
Oh ya, sebelum itu, Yesus bahkan berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang diperbuat.” Saat disalib Yesus masih berbicara tentang pengampunan. Bukankah itu kontroversioanal?
Menurut saya, kita melihat bukti bahwa Yesus bukan manusia biasa. Ia memiliki karakter istimewa sesuai yang diajarkanNya kepada murid-muridnya. Ketika mengajarkan pengampunan, sebagai guru, Yesus mempraktikkannya, tepat ketika nyawa mulai meregang.
Bagi saya, pengampunan itu berarti belas kasih. Pengampunan menunjukkan kasih yang bukan sekadar kata-kata. Pengampunan itu mengasihi secara nyata.
Lalu di hari ketiga, keanehan terjadi, jika tak ingin menyebutnya, --keajaiban--. Kubur Yesus kosong. Batu penutup kubur telah terguling. Jika bukan kuasa diluar manusia, maka batu sebesar itu (baca: penutup kubur) tidak mungkin berpindah tempat. Tapi itulah yang terjadi.
Selanjutnya, ada malaikat yang berseru bahwa Yesus yang dicari oleh Maria Magdalena (baca: perempuan pendosa) telah bangkit dan kembali ke Surga. Ia tidak disitu lagi. Alkitab menyebut Yesus telah bangkit, yang kemudian diperingati sebagai Paskah.
Paskah kini telah berubah menjadi momen pelepasan. Momen menjadi manusia baru. Momen dimana maut telah dikalahkan dan tidak berkuasa lagi atas Yesus. Atas umat percaya. Dan karena Dia “Anak Allah” maka ia berhasil menyelesaikannya dengan sangat baik, agar apa yang tertulis di hukum Taurat digenapi.
Oh ya, penjelasan diatas adalah perspektif umat Kristen sebagaimana tertulis di kitab suci. Namun, saya tidak akan larut lebih dalam hal itu, karena pengetahuan teologi saya, sangat, sangat terbatas. Dan semua yang saya sampaikan adalah murni berdasarkan pemaknaan spiritual selama ini.
Sejatinya, saya ingin lebih jauh berbagi tentang Yesus yang menurut saya memiliki pribadi menarik. Sebagai manusia, atau selama ia menjadi manusia, Yesus tidak pernah melakukannya demi kepentingannya sendiri. Semua dilakukan demi kemaslahatan bersama. Demi kepentingan orang banyak.
Beragam muzizat telah ia lakukan, mulai dari mengubah air menjadi anggur, membangkitkan orang mati, menahirkan orang berpenyakit kusta, memberi makan 5 ribu orang, dan segudang muzizat lainnya. Semua itu dilakukan demi kepentingan orang banyak. Bukan untuk dirinya sendiri.
Mereka yang mau berkorban demi kepentingan orang banyak, mereka yang berpandangan satu rasa dan sama rasa, belakangan identik dengan komunisme. Menurut saya, selama hidupnya Yesus mempraktikkan hal itu.
Contohnya, ketika Yesus murka di Bait Allah yang telah berubah fungsi. Yesus menemukan Bait Allah yang pada awal pendiriannya menjadi ikon kehadiran Allah demi menyejahterakan umat, telah berubah menjadi tempat berdagang dan melakukan penindasan terhadap umat.
Tanpa basa-basi, Yesus langsung membalikkan meja-meja penukar uang, dan melakukan aksi vandalistik yang menarik perhatian tua-tua Yahudi dan hakim-hakim pengadilan agama. Di hadapan para birokrat itu Yesus mengancam: Runtuhkan Bait Allah ini, dalam 3 hari aku akan membangunkannya kembali!
Perkataan Yesus ini sangat keras dan implikasinya fatal. Jelas itu bukan sekadar hardikan yang menista agama. Ini adalah ancaman untuk membubarkan tatanan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang sudah berlangsung mapan saat itu. Tindakan Yesus sebagai antitesa terhadap praktik kapitalisme yang terjadi.
Ya, Yesus tidak senang dengan pengelompokan sumberdaya terhadap kepentingan sekelompok orang tertentu saja. Yesus ingin sumberdaya itu bisa dinikmati banyak orang. Secara bersama-sama. Yang jika ditarik secara filsafat, hal itu merupakan bentuk perlawan terhadap para pemilik modal. Komunisme itulah dia.
Komunisme atau paham komunis sejatinya berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels. Sebuah manifesto politik yang diterbitkan pertama kali pada 21 Februari 1848. Paham itu tentu saja sebagai bentuk perlawanan terhadap paham kapitalisme yang telah ada di awal abad ke-19.
Jauh sebelum Marx dan Engels hadir, Yesus telah mempraktikkannya. Yesus telah melakukan perubahan radikal dalam sistem kehidupan masyarakat. Yesus juga ingin Bait Allah diperuntukkan khusus untuk menyembah Allah, bukan untuk berdagang. Karena ketika manusia telah menjadi hamba uang, maka ia akan lupa segalanya. Lupa dengan saudara, lupa dengan tetangga yang mungkin masih butuh bantuan.
Selain kisah Yesus, saya jadi teringat Amir Syarifuddin Harahap, tokoh pemuda yang turut andil di Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Amir Sjarifuddin juga seorang pimpinan PKI yang pernah memegang jabatan tertinggi dalam pemerintahan, yakni Perdana Menteri pada 3 Juli 1947 hingga 23 Januari 1948.
Amir yang belakangan diketahui sebagai Kristen taat, menemukan ayat-ayat Alkitab sebagai dasar dari perjuangannnya. Amir menemukan ayat-ayat pembebasan didalam Alkitab. Bisa jadi, inilah bentuk lain dari “Teologi Pembebasan” edisi pertama versi Indonesia.
Sejarah mencatat, Amir Syarifuddin menjadi Kristen pada tahun 1931. Saat itu, ia dibaptis oleh Pendeta Peter Tambunan di gereja HKBP Kernolong, Batavia.
Pada masa itu, pengajaran kepada umat Kristen yang disampaikan pemerintah Belanda lebih banyak tentang vroomheid (kesalehan hidup), dan berjarak dengan kajian-kajian “sosial”. Umat Kristen dikondisikan hidup eksklusif, diberi banyak kemudahan memperoleh kedudukan sosial tinggi, berbeda dengan mayoritas pribumi. Akibatnya, tidak kritis terhadap ketimpangan sosial.
Melalui telaah Al kitab, Amir menemukan jika para nabi dan rasul membawa manusia dari alam perbudakan menuju tanah pembebasan. Karya pembebasan yang paling menarik baginya adalah kelahiran Yesus untuk membebaskan manusia dari dosa, menuju tatanan masyarakat yang sama rata sama rasa.
Kehidupan seperti itu yang diperjuangkan oleh jemaat Kristen mula-mula, yang pada akhirnya harus menghadapi kekejaman penguasa Romawi karena bertekad mempertahankan perbudakan dan penindasan.
Bagi Amir menjadi Komunis yang berjuang di kalangan buruh dan kaum miskin merupakan panggilan, seperti yang ditulis di Alkitab.
Disaat bersamaan, Komunisme adalah ilmu alam, yang mengajarkan manusia untuk menganalisa dan menyelesaikan persoalan yang sifatnya riil. Persoalan itu adalah penghisapan dan penindasan oleh mereka-mereka yang memiliki kapital dalam hubungan produksi.
Komunisme itu mencita-citakan kehidupan masyarakat yang setara, adil dan beradab. Tidak mengenal penindasan. Karena menyangkut persoalan nyata di dunia, maka Tuhan tak perlu dibawa-bawa. Di sini Amir telah meletakkan Materialisme-Dialektika-Logika sebagai ilmu bukan dogma.
Bagi Amir, ajaran Kristen tidak perlu dipertentangkan dengan Komunisme. Sebab keduanya membicarakan tentang kemanusiaan. Membicarakan antara ketuhanan dalam ajaran Kristen dengan kemanusiaan ibarat membicarakan "salib".
Bagian yang vertikal melambangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tuhan ada diatas, manusia dibawah. Sementara yang horizontal pertanda hubungan antar sesama untuk saling mengasihi dalam persaudaraan yang setara. Karena itu, seseorang yang berhubungan baik dengan Tuhan, pastinya memiliki hubungan baik dengan sesamanya. Singkatnya, seorang Kristen yang baik harus berjuang untuk kemanusiaan.
Pada titik ini, Kekristenan dan Komunisme telah menemukan wujudnya. Semua telah disatukan oleh momen Paskah. Paskah telah mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Paskah menjadi tonggak kehidupan iman, bahwa hidup harus peduli. Hidup untuk berbagi, bukan demi diri sendiri.
Lalu, jika ingin sedikit nakal, saya melihat Yesus berbeda dengan tokoh-tokoh agama yang pernah ada. Pasalnya, tokoh agama di Bumi hanya memiliki hari kelahiran dan kematian, namun Yesus punya hari kebangkitan atau Paskah.
Kebangkitan itulah yang membawa pembebasan atas kuasa dosa dan maut. Pembebasan yang seutuhnya. Pembebasan untuk kebersamaan. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment