Monday, April 24, 2017

Rekonsiliasi Basi!

(Ilustrasi. Source: http://www.thecalled.net)
“Kebhinekaan itu fakta, karena itu tidak usah diperjuangkan. Ada yang mengatakan memperjuangkan kemerdekaan, kemerdekaan itu fakta, fakta itu diterima, bukan diperjuangkan. Yang harus diperjuangkan bukan kebinekaan, (tapi) persatuan di dalam kebinekaan, itu yang harus diperjuangkan”
--Anies Baswedan

Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) atau real count KPU akhirnya selesai pada 20 April 2017 pukul 21.15 WIB. Hasilnya, pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta nomor urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno berada di posisi puncak dengan perolehan 57,95 persen. Sementara itu, pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta nomor urut 2, Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat mendapatkan 42,05 persen suara.

Data dari 13.034 TPS di Jakarta telah masuk 100%. Sebanyak 78 persen atau 5.661.895 suara dari yang terdaftar sebanyak 7.257.204 suara telah menggunakan hak pilihnya. Jika di kalkulasi, ada 22 persen warga yang tidak mencoblos. Secara umum, tingkat partisipasi masyarakat di putaran kedua cukup besar, membuktikan pilkada mendapat tempat di hati warga Jakarta.

Lalu jika di breakdown, Anies-Sandi memperoleh 3.239.668 suara, sementara Basuki -Djarot meraup 2.350.887 suara. Ini artinya jumlah pemilih Basuki – Djarot tidak bertambah sama sekali. Jumlahnya nyaris sama dengan hasil pilkada putaran pertama, yakni 2.364.577 suara. Suara Agus – Sylvi (paslon nomor urut 1) semuanya beralih ke Anies – Sandi.

Bagi saya, hal itu tidak mengejutkan. Pasalnya, 17 persen suara AHY – Sylvi sama sekali tidak terjangkau dan tidak bisa di maintance dengan baik oleh kubu Basuki - Djarot. Bisa jadi karena faktor waktu yang terlalu singkat, sehingga pengorganisasian ke kantong-kantong AHY tidak maksimal dilakukan.

Di lain pihak, partai politik juga terbukti gagal melakukan kerja-kerja politik ke lapisan bawah (baca: masyarakat). Ada yang menyebut partai politik bekerja setengah hati, karena pada dasarnya masing-masing kader telah memiliki pilihan sendiri. Banyak dari mereka mbalelo terhadap arah kebijakan partai. Akhirnya bisa ditebak, semua berjalan tak sesuai rencana. Berantakan!

Sementara itu, pihak Anies – Sandi bekerja giat dengan turun ke bawah. Mendatangi kantung-kantung warga yang selama ini dianggap tak tersentuh, dianggap terabaikan oleh Basuki – Djarot. Pun, bisa jadi mereka adalah masyarakat yang sakit hati dengan kebijakan keras Basuki.

Dari situ, Anies - Sandi mulai menggalang kesadaran warga dengan janji-janji yang sejatinya sulit diwujudkan. Namun anehnya, hal itu tidak menjadi pertanyaan kritis warga. Masyarakat lebih bisa menerima, jika pemimpin ibukota haruslah seorang yang beragama Islam, sebagaimana tafsir Al Maidah 51 yang sering digunakan saat musim pilkada tiba.

Masyarakat kemudian tidak lagi cerdas dan menggunakan akal sehat. Pemimpin yang memiliki track record baik dan pemimpin yang telah terbukti kinerjanya, tak lagi menjadi acuan. Mereka pun memilih pemimpin berdasarkan agama.

Padahal, secara umum, kerja – kerja Basuki Tjahaja Purnama dalam 3 tahun pemerintahannya cukup baik dan menunjukkan banyak perubahan. Tak heran jika standar minimal kinerja Gubernur Jakarta berubah drastis. Basuki kemudian dianggap telah meletakkan dasar-dasar yang baik bagi pembangunan Jakarta.

Sementara Anies Baswedan belum berpengalaman mengelola wilayah sebagai kepala daerah. Pengalaman Anies sebagai menteri pendidikan tentunya tidak bisa dijadikan acuan, karena medan perangnya sangat berbeda. Oleh karena itu, Anies memang perlu belajar banyak dari pendahulunya. Beruntung, Basuki bersedia membantu.

Lalu kaitan dengan tingkat rasionalitas pemilih Jakarta, juga jauh berbeda. Jika sebelumnya, ada yang menyebut, masyarakat Jakarta sangat kritis dalam menentukan pilihan. Yang terjadi di lapangan tidak demikan. Hal itu dimungkinkan, seiring ajakan tidak memilih pemimpin “kafir” masif didengungkan. Bahkan ada banyak video di situs berbagi, YouTube, membuktikan ceramah-ceramah itu.

Gerakan itu begitu masifnya, sampai-sampai pengajian ibu-ibu dekat rumah, isinya adalah memilih pemimpin seiman. Lalu, yang menyedihkan ketika muncul banyak spanduk yang mengancam tidak menyalatkan jenazah, karena ketahuan memilih pemimpin kafir di pilkada putaran pertama. Adakah ini, tidak dilakukan secara sistematis?

“Kalo diancam dengan masuk neraka, munafik, kafir, pastilah masyarakat pada takut. Bagaimana pun memilih berdasarkan agama itu paling gampang”, ujar seorang kawan.

Uniknya, meski sejak awal sepertinya masing-masing kandidat sepakat untuk tidak menggunakan isu SARA, namun praktiknya sungguh berbeda. Bagi saya, jawabnya mudah. Karena tak ada satupun diantara penantang yang bisa mengalahkan petahana dari sisi kinerja. Lalu, yang paling mudah adalah menggunakan isu SARA. 

Apakah itu salah. Relatif, jawabnya. Salah menurut etika, namun benar jika menggunakan seluruh kemampuan yang ada. Memilih pemimpin berdasarkan agama, sah-sah saja. Tidak dilarang. Hanya saja, mengarahkan warga untuk memilih pemimpin berdasarkan agama, kurang elegan. Cara berpikirnya sangat dangkal, menurutku. Jika ingin menang secara mudah, gunakan sentimen SARA. Gak perlu pake "mikir".

“Ibarat membakar jerami kering. Langsung terbakar”, ujar si Mamaw, teman lama dikala susah.

Kini, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dipastikan bakal memimpin DKI Jakarta. Bagi saya, kemenangan mereka harus dihargai. Harus diapresiasi, karena mereka meraihnya melalui pemilihan umum yang terbuka dan transparan.

Sebagai warga Jakarta, saya mendukung kebijakan-kebijakan yang pro rakyat yang nantinya diwujudkan Anies - Sandi. Saya juga harus mengakuinya sebagai Gubernur DKI Jakarta terpilih. Soal berbeda pilihan saat pilkada adalah hal lain. Dan itu biasa saja dalam negara demokrasi. Semua kemudian selesai, ketika KPU mengumumkan pemenangnya. Ya, harus selesai!

Sesuai janji-janji kampanye, pekerjaan rumah Anies – Sandi sangat banyak. Mulai dari mewujudkan rumah DP nol rupiah, menolak penggusuran, membenahi transportasi, membereskan sengkarut reklamasi hingga mempersempit gap ketimpangan ekonomi dengan Oke Oce, tentu bukan perkara mudah.

Namun menurut saya, mewujudkan janji kampanye merupakan langkah kedua yang akan dilakukan Anies – Sandi. Langkah pertama adalah menyatukan warga Jakarta yang telah terkoyak. Terbelah begitu dalam, setidaknya sejak musim pilkada berlangsung sejak September tahun lalu.

Buktinya, bisa kita lihat di media sosial. Masing-masing pendukung telah bertempur habis-habisan dengan saling lempar berita hoax, caci maki dan ujaran kebencian yang tiada tara.  Pun, tak sedikit pertemanan yang rusak, dengan saling un-friend.

Sementara di dunia nyata, mereka-mereka yang berseberangan kebanyakan memilih diam dan mulai berisik ketika orang yang berbeda pilihan pergi. Di dunia nyata, perseteruannya tidak sedahsyat media sosial. Tidak sevulgar di medsos, kecuali bertebarannya spanduk-spanduk ancaman seperti yang saya utarakan diatas.

Oh ya, hampir lupa, perseteruannya memang tidak seheboh di media sosial, tapi praktik-praktik di dunia nyata seperti demonstrasi besar-besaran dengan berbagai edisi, hingga dipakainya rumah  ibadah bukan untuk berbicara tentang Tuhan tetapi pilkada, jamak dilakukan.

Itulah sekelumit realita yang terjadi di pilkada DKI 2017. Sentimen agama telah menemukan bentuknya, tidak lagi sebatas hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya, namun telah meluas ke urusan-urusan lain, seperti pilkada. Urusan yang seharusnya bisa diselesaikan secara akal sehat, dan tak perlu membawa-bawa nama Tuhan.

Melalui media mainstream saya membaca jika Anies – Sandi akan melakukan rekonsiliasi pasca-pilkada ini, khususnya setelah mereka dilantik. Artinya mereka menyadari hal itu. Mereka tahu kerusakan yang ditimbulkan pilkada telah begitu dalam. Terbelah begitu parah, sehingga untuk menyatukannya kembali, pastinya dibutuhkan korbanan yang tak sedikit.

Mardiyah Chamim dari Tempo Institute menyebut; “Sekarang saatnya mengubur semua jejak pertikaian dan saling merangkul sebagai sesama warga Ibu Kota. Untuk itu, Anies - Sandi harus memosisikan diri sebagai figur moderat yang mampu menjembatani semua kelompok kepentingan dengan berbagai latar belakang.”

“Retorika panas yang bikin merah kuping kubu lawan selama berkampanye, harus ditinggalkan. Pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai keberpihakan pada satu kelompok tak boleh lagi ada”, ujar Mardiyah kemudian.

Menurut saya,  ide rekonsiliasi yang ditawarkan Anies – Sandi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mengakuinya sebagai gubernur terpilih memang fakta. Namun mengoreksi apa yang telah dilakukannya, perlu sebagai bagian dari kerangka berpikir logis.

Sama sulitnya untuk menerima secara logis upaya rekonsiliasi yang digagas Anies akan berjalan mulus. Sulit sekali. Karena yang dilakukan Anies, secara nyata-nyata telah merusak tenun kebanggsaan. Ibarat kain, tenun itu telah robek.

Ketika strategi kampanye tim Anies menjual Islam sebagai identitas. Ditambah fakta mereka merangkul kelompok-kelompok Islam radikal, yang intoleran dan anti-kebhinekaan, maka dipastikan 2 hal yang bertolak belakang sejak awalnya tidak mungkin bisa disatukan.

Apakah Anies mampu menjaga jarak dari kelompok-kelompok Islam garis keras yang telah menghantarkannya jadi gubernur Jakarta? Jika membaca gelagat Anies selama ini, rasa-rasanya sulit ia melakukannya. Sementara di sisi lain, kelompok Islam garis keras tentu punya banyak kepentingan di Jakarta.

Dan harus diiingat, kampanye "jangan pilih pemimpin non muslim" merupakan kerja-kerja yang juga dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran semacam FPI dan lainnya. Termasuk membangkitkan sentimen anti-Cina yang dieksploitasi secara masif.

“Secara bergantian kita lihat publik diingat-ingatkan bahwa Ahok adalah Cina dan kafir”, tulis Made Supriatma di IndoPROGRESS.

Sebagaimana Made yang khawatir tentang dampak pasca pilkada, saya pun berpikiran serupa. Jujur saja, saya takut yang terburuk yang bakal terjadi.

Pengalaman membuktikan, tidak hanya di dunia, namun juga Indonesia, jika seorang berkuasa menggunakan sentimen SARA, maka ketika berkuasa nanti, ada kemungkinan dia akan menutupi ketidakmampuannya dengan cara yang sama. Tentu saja, karena karakternya memang demikian.

Khusus untuk Anies, saya menyebutnya berpotensi melakukan hal serupa. Dari beberapa ceramah dan orasinya, ia kerap melakukan blunder yang berlebihan. Diantaranya dengan menyebut, tak perlu memperjuangkan kemerdekaan dan kebhinekaan. Atau, ia juga menyebut, yang paling berjasa merebut kemerdekaan adalah keturunan Arab. Menurut saya, hal-hal itu menunjukkan siapa Anies yang sebenarnya.

Karena itulah, saya seribu persen setuju, ketika banyak pengamat yang menyebut; memilih pemimpin berdasarkan agama atau etnis merupakan langkah mundur ber-demokrasi. Karena, ketika kualitas kepemimpinan dan kinerja kandidat tak jadi ukuran, maka esensi berkompetisi secara sehat untuk mencari pelayan rakyat terbaik, jadi kehilangan makna.

Di pilkada DKI, ketika Anies menggunakan cara yang kurang elegan, memakai cara-cara yang cenderung kasar, bukankah ia secara nyata membakar habis tenun kebangsaan sebagaimana judul bukunya itu?

Seperti tulisan Made Supriatna yang menyebut; “Mau dia obral berapa gulung pun, semua tenunan itu sudah habis dia bakar.”

Lalu, bagaimana ia merajutnya kembali? Karena itu rekonsiliasi di antara warga yang digagas Anies sepertinya hanya basa-basi.  Tentu saja, karena tak ada yang tersisa sama sekali. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment