Thursday, July 20, 2017

Perppu Ormas Tak Ramah HAM

(source: www.printweek.in)
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah menunjukkan watak insekuritas dan kegagapan negara dalam melihat dinamika kebebasan berserikat, berkumpul dan termasuk tanding tafsir atas situasi kebebasan beropini serta gagasan berbangsa dan bernegara di Indonesia. 
--Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 

Pemerintah resmi menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Perppu diharapkan mampu membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap memiliki asas dan kegiatan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pasalnya, UU Ormas dianggap gagal mengatur mekanisme pemberian sanksi yang efektif bagi ormas anti-Pancasila 

Terhadap sikap pemerintah itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyebut alasan penerbitan Perppu Ormas memiliki kelemahan, baik dalam hal proses maupun substansi. 

Dari segi prosedural, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi tiga syarat utama sebagaimana dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 38/PUU-VII/2009. 

Tiga prasyarat itu, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU. 

Jika kita amati secara jujur, ketiga prasyarat itu tidak terpenuhi, karena tidak adanya situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas. UU Ormas dengan jelas telah mengatur mekanisme sanksi, termasuk pembubaran ormas yang asas dan kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 

Dari sisi susbtansial, Perppu Ormas telah menghilangkan bagian penting yakni proses pembubaran ormas melalui pengadilan. 

Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului pemeriksaan di pengadilan. Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang bagi ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil. Mekanisme itu penting untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas.

Negara vs Masyarakat Sipil
Terbitnya Perppu Ormas telah menempatkan posisi negara kembali berhadap-hadapan dengan organisasi masyarakat sipil, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Pembubaran ormas tanpa jalur pengadilan terakhir kali terjadi saat Pemerintah Orde Baru, melalui UU No. 8 Tahun 1985, ketika membubarkan secara sepihak organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) pada 1987.  

Lebih dari itu, ketentuan dalam Perppu Ormas memungkinkan penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap orang yang menjadi pengurus atau anggota ormas apabila ormasnya dianggap terlarang. Ketentuan itu sangat rawan disalahgunakan, karena memungkinkan negara menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dilakukan, melainkan karena status keanggotaan di dalam sebuah ormas. Situasi itu tentu berpotensi melanggar kebebasan berserikat yang sejatinya dijamin oleh konstitusi.

Ancam Kebebasan Berserikat
Ketika Perppu Ormas diterbitkan secara tidak langsung telah mengabaikan hukum dan demokrasi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melihat Perppu Ormas dapat dipakai untuk memberangus kebebasan berserikat warga negara. Perppu Ormas rawan digunakan untuk memberangus kritik. 

Hal itu dapat kita baca dari penjelasan Pasal 59 ayat (3) huruf a, dimana makna ujaran kebencian sangat luas dan terkesan multitafsir. Rumusan penjelasan itu tidak hanya meliputi ujaran kebencian dalam hal agama, ras, suku, namun diperluas sehingga mencangkup pandangan politik maupun ujaran kepada penyelenggara negara. 

Perumusan ujaran kebencian terhadap penyelenggara negara, berikut ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup, sangat berbahaya dan mengancam hak warga negara untuk berpendapat sebagaimana diatur Pasal 28F UUD 1945.

Lebih jauh, arti “tindakan permusuhan” yang pengertiannya ditentukan sepihak oleh Pemerintah disertai ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, sangat deskriminatif. 

Pemerintah juga mengabaikan Pasal 28F UUD 1945 yang menyebut setiap warga negara berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Anti-Subversi
Human Rights Working Group (HRWG), koalisi NGO HAM Indonesia, menegaskan pemerintah memiliki kewajiban konstitusional dan hak asasi manusia untuk mengatur dan membatasi individu, kelompok maupun organisasi yang menyebarkan kebencian, permusuhan dan melakukan kekerasan berdasarkan ras, suku, agama, identitas tertentu, dan pilihan politik. Sayangnya, kewajiban itu belum maksimal dijalankan Pemerintah di tengah situasi kebangsaan yang terancam aksi-aksi intoleran, radikal dan teror. Di sisi lain, kemunculan Perppu Ormas justru berseberangan dengan prinsip dan norma hak asasi manusia. 

Perppu Ormas dianggap tidak mampu memperbaiki substansi UU Ormas yang di antaranya mengatur tentang penodaan agama. Sebaliknya, Perppu Ormas mengintrodusir tindak pidana baru, yaitu penistaan agama, memperluas unsur pidana ujaran kebencian kepada penyelenggara negara. 

Padahal, dalam catatan HRWG, pasal penghinaan atau ujaran kebencian terhadap penyelenggara negara justru seringkali digunakan untuk membungkam kebebasan sipil di Indonesia. Dengan munculnya klausul permusuhan terhadap penyelenggara negara, secara langsung, Perppu Ormas telah membangkitkan kembali tindakan anti-subversif yang pernah ada di masa lalu.

Melanggar Kovenan Hak Sipil
Perppu Ormas, selain bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat juga bertolak belakang dengan Ratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Meskipun Perppu Ormas mencantumkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sayangnya prinsip pembatasan menurut ICCPR tidak seluruhnya diadopsi, sehingga alasan yang memungkinkan pembatasan justru bersifat ambigu dan berpotensi disalahgunakan. 

Oleh karena itu Perppu Ormas seharusnya tegas dalam pembatasan, misalnya, terkait waktu situasi darurat. Sehingga, pembatasan terhadap hak-hak yang dijamin konstitusi, seperti kebebasan berekspresi, berorganisasi, berkumpul, dapat dilakukan dalam waktu yang terukur. 

Sementara itu, jika semangatnya ingin menjaga falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka Perppu Ormas haruslah didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Karena, pengaturan penjatuhan sanksi terhadap ormas dan adanya pemidanaan yang tidak proposional justru berdampak buruk karena menunjukkan sifat represif negara. 

Lalu, ketika pemerintah berniat memerangi aksi-aksi intoleran, ujaran kebencian, kekerasan berbasis agama, dan teror yang mengancam keamanan publik di Indonesia, maka hal itu harus tetap menjamin kebebasan sipil yang dilindungi oleh konstitusi dan mengatur mekanisme pembatasan yang sesuai prinsip HAM secara utuh. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment