Tuesday, November 06, 2018

Sumpah Pemuda, Spirit Yang Memaknai Konteks

(Alumni FP USU memperingati Sumpah Pemuda di puncak Gunung Gede, 2958 mdpl. Foto: ist)



"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie."
Moehammad Yamin

Mungkin banyak yang bertanya seperti apa bentuk spirit atau semangat yang terkandung di Sumpah Pemuda yang pernah digelorakan 90 tahun silam. Mampukah spirit itu bertahan di era millenials? Atau, jika di challenge, seberapa kuat semangat Kongres Pemuda Kedua yang digelar pada 27-28 Oktober 1928, mampu mempengaruhi para pola pikir dan gerak langkah pemuda zaman Now.

Lalu, benarkah nilai-nilai itu masih tetap ada? Resap dalam setiap gerak langkah para pemuda Indonesia? Atau, jangan-jangan Sumpah Pemuda ibarat perang menggunakan bambu runcing. Sesuatu yang berasal dari masa lalu, yang letaknya ada di garis demarkasi, sejarah, yang jika ditarik ke masa kini, membutuhkan effort yang sangat besar?

Pertanyaan itu ibarat refleksi, jika ingin berkaca pada kondisi terkini. Sebut saja begini, dimana persamaan tumpah darah yang satu, ketika faktanya saling bantai terjadi diantara anak bangsa, hanya karena berbeda klub sepakbola.

Atau, masihkah kita mengaku berbangsa yang satu, yakni Indonesia, ketika ada sekelompok orang membenci sesamanya karena perbedaan pandangan politik. Yang kian hari, kian mengkerucut pada dikotomi; kami dan kalian.

Pun, ketika banyak yang tak lagi menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, hanya demi prestise dan kebanggaan semu. Bukankan ini menunjukkan sebuah disorientasi identitas?

Sementara disaat yang bersamaan, Sumpah Pemuda tak lebih dari sekedar seremoni. Yang dalam peringatannya, 3 butir sumpah itu selalu diucapkan secara lantang oleh semua siswa di seantaro negeri. Atau, jangan-jangan banyak juga yang tidak hapal isi Sumpah Pemuda.

Kemudian, agar tak kehilangan makna, sejumlah pihak mulai menggelar peringatan Sumpah Pemuda dengan cara yang berbeda. Ada yang memperingatinya di dasar laut, perut bumi, hingga puncak-puncak tertinggi. Khusus berkegiatan di puncak gunung, salah satu yang sempat menyita perhatian di tahun lalu adalah ekspedisi 28 gunung di Indonesia yang disponsori salah satu merk produk outdoor ternama.

Hal serupa juga kami (baca: IKA FP USU) lakukan tahun ini. Meski tak se-ekstrem ekspedisi 28 gunung, pendakian kali ini cukup bermakna. Bermakna karena mendaki Gunung Gede (2958 mdpl) dilakukan atas kesadaran penuh, bahwa merayakan Sumpah Pemuda tidak hanya sekedar teks, namun harus menjadi konteks yang mampu menjawab persoalan bangsa.

Menjawab persoalan, sejatinya implementasi dari tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri atau kelompok/ golongan tertentu, namun pada tataran yang lebih luas. Yakni menghidupkan kembali semangat “nasionalisme” dalam bentuk nyata.

Karena itu, konteks menjadi penting, utamanya menganalisis sebuah teks dalam peringatan Sumpah Pemuda. Agar tidak terjebak pada rutinitas semu yang menjemukan. Konteks juga hadir dalam ruang dan waktu yang spesifik, khusus untuk menyempurnakan teks. Artinya konteks menjadi 'ada' sebagai jawab, bukannya menyisakan tanya.

Jika pada saatnya telah mengkristal, sebagaimana disebut Halliday & Hasan (1994), maka konteks merupakan something accompanying text, yaitu sesuatu yang inheren dan hadir pada situasi, sehingga memunculkan komunikasi. Sebuah dialog panjang yang sifatnya filosofis untuk membongkar akar persoalan dan mencari penyelesaian terbaik.

Karena itulah, Sumpah Pemuda selayaknya menjadi konteks dan semata-mata tidak terjebak dalam teks. Sumpah Pemuda merupakan acuan dalam menjawab problem bangsa yang multikrisis, karena menyangkut identitas setiap generasi muda.

Kini, di usianya yang ke-9o tahun, peringatan Sumpah Pemuda tak seharusnya bertengger di posisi yang disebut “jargon”, namun bergerak maju sebagai konteks kepribadian yang dikenal dengan sebutan nasionalisme. Dalam semangat sebagai agen perubahan dan menggelorakan pribadi yang pantang menyerah, selaku penerus masa depan bangsa.

Yup, semangat Sumpah Pemuda selayaknya membawa angin perubahan, yang tertanam di sanubari anak bangsa, berapa pun usianya dan apa pun latar belakangnya. Tujuannya satu, berkontribusi bagi negeri. Karena itu, mari terus memotivasi diri untuk lebih peduli dengan melakukan sesuatu dari langkah kecil.

Saya lalu teringat buku Mapping Human History yang ditulis Steve Olson, yang bercerita khusus tentang dahsyatnya gen manusia. Olson menyebut gen digunakan untuk melacak asal usul nenek moyang manusia modern serta penyebarannya, setidaknya sejak 150.000 tahun silam. Dan gen telah membawa catatan panjang dalam bentuk DNA (deoxyribonucleic acid) yang berfungsi meneruskan informasi genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pun membawa jejak sejarah manusia yang tak mungkin terhapus.

Lalu, jika ditarik ke periodisasi Sumpah Pemuda, semua mata akan tercengang, betapa hebatnya para pemuda masa itu, yang rela melepaskan jubah primodialisme demi satu tujuan, yakni nasionalisme sebagai sebuah bangsa. Kemudian, jika saja spirit itu masih terus mengalir dalam setiap gen anak muda, maka betapa luar biasanya gen yang kita miliki itu.

Gen yang menjadi konteks, tak sekedar teks, yang mampu membawa perubahan besar. Termasuk menjaga ruh Sumpah Pemuda sebagai bukti dari konsistensi dan semangat dalam menjalin hubungan yang damai, rukun dan penuh keadilan di atas ras kultur yang multietnis ini.

Karena itu, saya menyebut Sumpah Pemuda sebagai spirit yang mempersatukan. Spirit yang membangun, karena Sumpah Pemuda, bukan sumpahnya orangtua yang membuat kecut hati anak-anak muda. (jacko agun)










Cukilan Sejarah
Peringatan Sumpah Pemuda, setiap 28 Oktober ditetapkan sebagai hari nasional yang bukan libur melalui Keppres No. 316 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Sumpah Pemuda diawali dari keputusan Kongres Pemuda II yang diselenggarakann pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Kala itu, pemuda dari berbagai daerah mengadakan kongres untuk menyatukan pemuda di Nusantara.

Sebelumnya, Kongres Pemuda I (Kerapatan Besar Pemuda) telah berlangsung 3 hari, mulai 30 April hingga 2 Mei 1926. Kongres itu tidak menghasilkan apa-apa. Kemudian disepakati untuk mengadakan kongres II.

Kongres kedua dibagi dalam 3 rapat. Rapat pertama pada 27 Oktober 1928, dimulai pukul 07.30-11.30 yang digelar di gedung Katholieke Jongenlingen Bond Waterlooplein Noord. Dalam rapat itu, Soegondo Djojopoespito sebagai Ketua Kongres membuka rapat, kemudian Moehammad Yamin memaparkan soal persatuan dan kebangsaan Indonesia.

Rapat kedua, dimulai pukul 08.00 di Oost Java Bioscoop, Koningsplein Noord depan Deca Park. Rapat kedua membicarakan masalah pendidikan dengan tokoh sentral; Poernamawoelan, Sarmidi Mangoensarkoro, Djoko Sarwono dan Ki Hadjar Dewantara.

Terakhir, rapat ketiga mulai 08.00 pagi di Gedung Indoneisische Clubgebouw (Museum Sumpah Pemuda) membicarakan perkara Padvinderij oleh Ramelan, pergerakan pemuda Indonesia terhadap pemuda internasional oleh Mr Soenarion. Termasuk putusan penutupan kerapatan.

Sebelum putusan dibacakan, lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman diperdengarkan. Kemudian Moehammad Yamin menulis rumusan Sumpah Pemuda pada secarik kertas. Kertas tersebut kemudian diberikan kepada Soegondo, ketika Mr. Sunario berpidato di sesi terakhir.

Moehammad Yamin berbisik pada Soegondo "Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie."
(Saya mempunyai satu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini).

Soegondo lalu membubuhkan paraf setuju pada secarik kertas tersebut. Naskah itu kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju. Kertas itu kemudian berisi 3 poin penting, yakni
Pertama: KAMI POETRA POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE TANAH INDONESIA
Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE BANGSA INDONESIA
Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJONG TINGGI BAHASA PERSATOEAN BAHASA INDONESIA

Sumpah itu kemudian dibacakan oleh Soegondo dan dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin. Kongres sendiri dihadiri oleh 71 pemuda dari berbagai daerah dan latar belakang organisasi yang berbeda.


No comments:

Post a Comment