Sejurus kemudian, narasumber itu berlalu begitu saja dari mobil (baca: mobil operasional kantor tempatku bekerja) yang menghantarkannya tiba di tempat semula. Sebuah tempat kost di daerah Kali Deres, Jakarta Barat. Kuperhatikan dari balik kaca, kali ini raut mukanya terlihat muram saat menapaki daerah tempat tinggalnya itu. Berbeda ketika kita datang menjemputnya malam tadi.
Kalau lah boleh aku menduga, dia pasti sedang sedih, karena jasanya sebagai narasumber belum dibayar. Aku mengatakan demikian, sebab dari tadi partnerku (baca: reporter handal) –yang bertugas untuk memberinya honor- tak terlibat pembicaraan sedetikpun mengenai hal tersebut.
Kejadian ini bukan kali pertama dilakukannya (baca: reporter handal). Rasanya tak terhitung dosa serupa yang pernah di perbuat. Awalnya, aku yang sudah dua tahun ini terlibat pekerjaan dengannya, sering tak ambil pusing. Kupikir, karena itu bukan urusan dan tanggungjawabku, mengapa harus dipermasalahkan.
Tapi, lama kelamaan hal seperti ini sungguh tak wajar. Bagaimanapun si narasumber pasti berharap dari honor yang akan diterimanya. Peristiwa ini persis sama dengan yang dialami temanku campers (baca; camera person), yang sebut saja namanya By, ketika melakukan liputan bareng dia ke luar kota tempo lalu. By merasa dikadalin dengan semua ulahnya (baca: reporter handal). Sampai-sampai masalah sepele seperti makan, harus menjadi perseteruan yang seharusnya gak terjadi. “Abang lagi diet, neh! Kalo adek mau, pesan aja Indomie rebus di warung seberang!”, begitu ucapnya kala itu.
Masalah makan sebenarnya hal yang sepele. Tapi, jika kejadian yang sama dilakukan terhadap narasumber. Sungguh luar biasa dan sangat keterlaluan. Layaknya pengakuan teman By tadi, selama peliputan sang reporter handal gak pernah terlihat memberi honor sepeserpun kepada narasumber. By pun merasa tidak buta dan tidak pikun, sehingga masih terekam jelas dalam memorinya semua peristiwa yang terjadi. Yang pasti, dalam ingatannya saat itu, si reporter masih tetap menyimpan dana untuk narasumber. Apalagi tak jarang beberapa narasumbernya orang mampu. Besaran honor yang diberikan pastilah terlalu sedikit dibanding hasil bisnisnya. Sampai-sampai akibat tak puas dengan pembodohan tersebut, By pun melakukan investigasi kecil-kecilan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh reporter tadi.
Hasilnya, sungguh di luar dugaan! Dari laporan tersebut terlihat, bahwa dia (baca: reporter handal) telah mengeluarkan sejumlah uang untuk honor beberapa narasumber, yang nyata-nyata tidak pernah diberikan. Dan, yang lebih aneh lagi adalah laporan tersebut mengalami rembuirse dengan sejumlah uang. Artinya, si reporter akan menerima dana kembalian karena uangnya terpakai lebih dahulu selama liputan. Sungguh, suatu hal yang sangat menggelikan. Disaat By harus makan hemat dengan penginapan seadanya, laporannya menandakan bahwa mereka telah menghabiskan begitu banyak uang selama liputan. Sampai-sampai duit si reporter harus terpakai dulu dan akan dibayar kemudian oleh kantor –istilahnya rembuirse tadi-
Apakah kejadian ini akan berulang kembali denganku? Aku gak tahu? Sebenarnya, jika di tilik lebih dalam mengenai honor, aku gak akan terlibat banyak. Pasalnya itu adalah jobdesknya dia. Tapi, jika si narasumber di depan mata kita, merasa sedih dan bertingkah aneh karena honornya tak di bayar. Pastinya kita juga merasa gak enak. Karena dia (baca: reporter) dan aku adalah satu tim yang harusnya satu suara. Rasanya gak etis kita beseberangan (baca: berantem) di depan narasumber karena masalah duit. Tapi jika di luar itu, terserah!
Jauh di lubuk hatinya, si narasumber mungkin menjerit. Pasalnya, waktu yang di korbankan telah begitu banyak terbuang sementara dia tak mendapat apa-apa. Nihil! Apakah ajakan makan malam tadi menjadi simbol sudah dibayarkannya honor si narasumber. Sepertinya masih terlalu jauh. Sebab untuk makan dia pasti masih bisa, tanpa perlu menghamba-hamba kepada kami. Padahal, jika si narasumber tadi melakukan aktivitas ekonominya, sudah tentu ia bisa mengumpulkan sejumput rezeki. Tidak seperti saat ini.
Masih dalam tataran mengenai narasumber. Kalo gak salah, di dalam mobil malam tadi, si reporter handal berujar, bahwa hak-haknya mereka (baca: narasumber) harus diberikan. Tapi, apakah dia sadar dengan omongannya tadi. Ataukah, hanya sekedar basa-basi. Aku gak tahu? Semoga saja perkataan tadi tidak menjadi bumerang yang akan balik menyerang dirinya.
Dan, dari semua itu. Jika kuperhatikan keluarga si reporter, aku jadi sedih! Pasalnya keluarga tersebut cukup harmonis dan berkecukupan. Kebetulan aku kenal dengan istrinya yang ramah dan 2 orang anaknya yang juga manis. Menanggapi itu semua, aku hanya berharap, semoga mereka tidak tahu kelakuan sang kepala keluarga dan dari mana datangnya uang yang mereka makan (baca: selain gaji bulanan). Sampai sekarang aku gak habis pikir, bagaimana jika keluarganya tahu kelakuan bejat sang kepala keluarga. Apakah mereka masih bisa menerimanya. Aku gak tahu!
Melihat itu, aku semakin sedih, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebab, lagi-lagi aku tak punya kuasa. Sepertinya, pembodohan-pembodohan seperti ini harus segera dihentikan. Siapa yang menghentikan? Kalau aku, tentu tak bisa! Semoga saja para pengambil kebijakan itu tak buta matanya terhadap penipuan yang dilakukan oleh si reporter handal. Apakah semua itu dilakukan demi dalih keluarga. Sekali lagi aku gak tahu! Yang pasti, aku kesal dengan kelakuannya itu, sampai akhirnya harus kutuliskan diblog ini.
Kalau lah boleh aku menduga, dia pasti sedang sedih, karena jasanya sebagai narasumber belum dibayar. Aku mengatakan demikian, sebab dari tadi partnerku (baca: reporter handal) –yang bertugas untuk memberinya honor- tak terlibat pembicaraan sedetikpun mengenai hal tersebut.
Kejadian ini bukan kali pertama dilakukannya (baca: reporter handal). Rasanya tak terhitung dosa serupa yang pernah di perbuat. Awalnya, aku yang sudah dua tahun ini terlibat pekerjaan dengannya, sering tak ambil pusing. Kupikir, karena itu bukan urusan dan tanggungjawabku, mengapa harus dipermasalahkan.
Tapi, lama kelamaan hal seperti ini sungguh tak wajar. Bagaimanapun si narasumber pasti berharap dari honor yang akan diterimanya. Peristiwa ini persis sama dengan yang dialami temanku campers (baca; camera person), yang sebut saja namanya By, ketika melakukan liputan bareng dia ke luar kota tempo lalu. By merasa dikadalin dengan semua ulahnya (baca: reporter handal). Sampai-sampai masalah sepele seperti makan, harus menjadi perseteruan yang seharusnya gak terjadi. “Abang lagi diet, neh! Kalo adek mau, pesan aja Indomie rebus di warung seberang!”, begitu ucapnya kala itu.
Masalah makan sebenarnya hal yang sepele. Tapi, jika kejadian yang sama dilakukan terhadap narasumber. Sungguh luar biasa dan sangat keterlaluan. Layaknya pengakuan teman By tadi, selama peliputan sang reporter handal gak pernah terlihat memberi honor sepeserpun kepada narasumber. By pun merasa tidak buta dan tidak pikun, sehingga masih terekam jelas dalam memorinya semua peristiwa yang terjadi. Yang pasti, dalam ingatannya saat itu, si reporter masih tetap menyimpan dana untuk narasumber. Apalagi tak jarang beberapa narasumbernya orang mampu. Besaran honor yang diberikan pastilah terlalu sedikit dibanding hasil bisnisnya. Sampai-sampai akibat tak puas dengan pembodohan tersebut, By pun melakukan investigasi kecil-kecilan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh reporter tadi.
Hasilnya, sungguh di luar dugaan! Dari laporan tersebut terlihat, bahwa dia (baca: reporter handal) telah mengeluarkan sejumlah uang untuk honor beberapa narasumber, yang nyata-nyata tidak pernah diberikan. Dan, yang lebih aneh lagi adalah laporan tersebut mengalami rembuirse dengan sejumlah uang. Artinya, si reporter akan menerima dana kembalian karena uangnya terpakai lebih dahulu selama liputan. Sungguh, suatu hal yang sangat menggelikan. Disaat By harus makan hemat dengan penginapan seadanya, laporannya menandakan bahwa mereka telah menghabiskan begitu banyak uang selama liputan. Sampai-sampai duit si reporter harus terpakai dulu dan akan dibayar kemudian oleh kantor –istilahnya rembuirse tadi-
Apakah kejadian ini akan berulang kembali denganku? Aku gak tahu? Sebenarnya, jika di tilik lebih dalam mengenai honor, aku gak akan terlibat banyak. Pasalnya itu adalah jobdesknya dia. Tapi, jika si narasumber di depan mata kita, merasa sedih dan bertingkah aneh karena honornya tak di bayar. Pastinya kita juga merasa gak enak. Karena dia (baca: reporter) dan aku adalah satu tim yang harusnya satu suara. Rasanya gak etis kita beseberangan (baca: berantem) di depan narasumber karena masalah duit. Tapi jika di luar itu, terserah!
Jauh di lubuk hatinya, si narasumber mungkin menjerit. Pasalnya, waktu yang di korbankan telah begitu banyak terbuang sementara dia tak mendapat apa-apa. Nihil! Apakah ajakan makan malam tadi menjadi simbol sudah dibayarkannya honor si narasumber. Sepertinya masih terlalu jauh. Sebab untuk makan dia pasti masih bisa, tanpa perlu menghamba-hamba kepada kami. Padahal, jika si narasumber tadi melakukan aktivitas ekonominya, sudah tentu ia bisa mengumpulkan sejumput rezeki. Tidak seperti saat ini.
Masih dalam tataran mengenai narasumber. Kalo gak salah, di dalam mobil malam tadi, si reporter handal berujar, bahwa hak-haknya mereka (baca: narasumber) harus diberikan. Tapi, apakah dia sadar dengan omongannya tadi. Ataukah, hanya sekedar basa-basi. Aku gak tahu? Semoga saja perkataan tadi tidak menjadi bumerang yang akan balik menyerang dirinya.
Dan, dari semua itu. Jika kuperhatikan keluarga si reporter, aku jadi sedih! Pasalnya keluarga tersebut cukup harmonis dan berkecukupan. Kebetulan aku kenal dengan istrinya yang ramah dan 2 orang anaknya yang juga manis. Menanggapi itu semua, aku hanya berharap, semoga mereka tidak tahu kelakuan sang kepala keluarga dan dari mana datangnya uang yang mereka makan (baca: selain gaji bulanan). Sampai sekarang aku gak habis pikir, bagaimana jika keluarganya tahu kelakuan bejat sang kepala keluarga. Apakah mereka masih bisa menerimanya. Aku gak tahu!
Melihat itu, aku semakin sedih, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebab, lagi-lagi aku tak punya kuasa. Sepertinya, pembodohan-pembodohan seperti ini harus segera dihentikan. Siapa yang menghentikan? Kalau aku, tentu tak bisa! Semoga saja para pengambil kebijakan itu tak buta matanya terhadap penipuan yang dilakukan oleh si reporter handal. Apakah semua itu dilakukan demi dalih keluarga. Sekali lagi aku gak tahu! Yang pasti, aku kesal dengan kelakuannya itu, sampai akhirnya harus kutuliskan diblog ini.
No comments:
Post a Comment