*0*32***
Malam itu, sehabis pulang kerja, iseng-iseng aku baca sebuah koran nasional. Tiba-tiba saja mataku langsung tertuju pada sebuah artikel yang tertera disitu. Artikel yang membuatku teringat pada sebuah nama. Nama yang sudah sangat lama, terendap dalam memori otakku. Nama seorang pengarang wanita India, yang bukunya aku beli 2 tahun lalu. Kalo boleh di sejajarkan, nama ini setara dengan pengarang wanita mesir –“Nawal El Saadawi”-, yang sangat terkenal dengan bukunya “ Perempuan di Titik Nol”. Setelah menatap foto yang terpampang di koran tersebut dengan teliti, aku jadi sadar, bahwa inilah wajah sang pengarang itu. Pengarang wanita dengan karakter wajah yang sangat kuat ini, telah meraih penghargaan Booker Prize di London, tahun 1999 dan bukunya telah diterjemahkan di 21 negara, termasuk Indonesia.
Sejurus kemudian, aku mulai membaca artikel tersebut. Di situ disebutkan, kalo Arundhati Roi –sang novelis tersebut-, memilih fiksi sebagai jalur menulisnya untuk memahami hidup sebaik yang dia tahu. Disamping itu, ia pun masih aktif menulis artikel untuk beberapa media cetak internasional, disamping merawat anjing, yang merupakan binatang kesukaannya.
Aku juga masih ingat, saat membeli bukunya yang berjudul “The God of Small Things”, rasanya tak banyak orang yang mengenalnya. Karena kegemaranku terhadap sebuah karya sastra, apalagi penulis-penulis luar, dengan tema yang sangat beragam. Aku jadi tertarik untuk membelinya. Selain itu, embel-embel best seller yang tertulis di situ, menjadi pertanda buatku, kalo karyanya bukan sesuatu yang biasa-biasa. Pasti ada yang luar biasa di dalamnya. Dan, itu ternyata benar.
Walau, aku gak baca bukunya sampai tuntas, karena keterbatasan waktu dan rasa malas yang sering datang menggoda. Buku yang bercerita tentang si kembar Estha dan Rahel ini, cukup menarik untuk di baca. Di situ digambarkan tentang kekejaman dan penindasan jiwa masyarakat yang hidup dalam sistem kasta di India. Untuk para penikmat buku, spirit dan pesan yang dihasilkannya, bisa memberi wacana dan warna baru tentang sebuah tatanan sosial di sebuah negara berkembang yang punya penduduk besar (baca: India).
Dari informasi tersebut, diberitakan Suzana Arundhati Roy lahir dan tumbuh di Shillong, Meghlaya, India, pada 24 November 1961. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Aymanam, Kerala, India. Ibunya seorang aktivis pergerakan pembebasan sosial yang mendirikan sekolah bernama “Corpus Christi”, dan Roy –begitu nama panggilannya- menjadi salah satu murid sekolah itu.
Roy, mulai dikenal orang lewat karyanya –The God of Small Things-, yang di rilis pada 4 April 1977, dan versi terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia di tahun 2002. Roy yang mengaku, semua karyanya bukanlah sekedar catatan sejarah dan angka-angka, tapi sebagai karya yang mencoba melakukan perlawanan terhadap prinsip-prinsip moral, religius dan politik kaku yang menobatkan suatu kebenaran mutlak. Selain itu, cerita di buku tersebut adalah penggalan kisah nyata yang dialaminya beberapa waktu lalu. Sehingga tak terlalu sulilt baginya untuk menghasilkan sebuah karya yang di bangun dengan hati.
Kabarnya setelah menulis dan meraih penghargaan atas buku tersebut, Roy kerap melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Disaat itulah ide-ide untuk tulisannya muncul. Tapi, ketika ia merasa malas, tak satu helai pun tulisan yang bisa di hasilkan. Itulah sebabnya Roy, hanya akan menulis, ketika dia ingin menulis.
Saat ini, menurut artikel tersebut, Roy, lebih banyak menulis tentang perlakuan jahat penguasa terhadap manusia dan kondisi manusia tanpa penguasa. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Jerman, “Der Spiegel”, 28 Maret 2003, ia menjawab alasannya untuk tak banyak lagi menulis fiksi. “sebab saya mempunyai perasaan yang sangat kuat, bahwa saat ini adalah saat dimana para penulis harus punya posisi yang jelas dan tegas. Saya mendapat perasaan yang luar biasa kuat untuk menanggapi segala sesuatu yang terjadi,” katanya.
Sejurus kemudian, aku mulai membaca artikel tersebut. Di situ disebutkan, kalo Arundhati Roi –sang novelis tersebut-, memilih fiksi sebagai jalur menulisnya untuk memahami hidup sebaik yang dia tahu. Disamping itu, ia pun masih aktif menulis artikel untuk beberapa media cetak internasional, disamping merawat anjing, yang merupakan binatang kesukaannya.
Aku juga masih ingat, saat membeli bukunya yang berjudul “The God of Small Things”, rasanya tak banyak orang yang mengenalnya. Karena kegemaranku terhadap sebuah karya sastra, apalagi penulis-penulis luar, dengan tema yang sangat beragam. Aku jadi tertarik untuk membelinya. Selain itu, embel-embel best seller yang tertulis di situ, menjadi pertanda buatku, kalo karyanya bukan sesuatu yang biasa-biasa. Pasti ada yang luar biasa di dalamnya. Dan, itu ternyata benar.
Walau, aku gak baca bukunya sampai tuntas, karena keterbatasan waktu dan rasa malas yang sering datang menggoda. Buku yang bercerita tentang si kembar Estha dan Rahel ini, cukup menarik untuk di baca. Di situ digambarkan tentang kekejaman dan penindasan jiwa masyarakat yang hidup dalam sistem kasta di India. Untuk para penikmat buku, spirit dan pesan yang dihasilkannya, bisa memberi wacana dan warna baru tentang sebuah tatanan sosial di sebuah negara berkembang yang punya penduduk besar (baca: India).
Dari informasi tersebut, diberitakan Suzana Arundhati Roy lahir dan tumbuh di Shillong, Meghlaya, India, pada 24 November 1961. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Aymanam, Kerala, India. Ibunya seorang aktivis pergerakan pembebasan sosial yang mendirikan sekolah bernama “Corpus Christi”, dan Roy –begitu nama panggilannya- menjadi salah satu murid sekolah itu.
Roy, mulai dikenal orang lewat karyanya –The God of Small Things-, yang di rilis pada 4 April 1977, dan versi terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia di tahun 2002. Roy yang mengaku, semua karyanya bukanlah sekedar catatan sejarah dan angka-angka, tapi sebagai karya yang mencoba melakukan perlawanan terhadap prinsip-prinsip moral, religius dan politik kaku yang menobatkan suatu kebenaran mutlak. Selain itu, cerita di buku tersebut adalah penggalan kisah nyata yang dialaminya beberapa waktu lalu. Sehingga tak terlalu sulilt baginya untuk menghasilkan sebuah karya yang di bangun dengan hati.
Kabarnya setelah menulis dan meraih penghargaan atas buku tersebut, Roy kerap melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Disaat itulah ide-ide untuk tulisannya muncul. Tapi, ketika ia merasa malas, tak satu helai pun tulisan yang bisa di hasilkan. Itulah sebabnya Roy, hanya akan menulis, ketika dia ingin menulis.
Saat ini, menurut artikel tersebut, Roy, lebih banyak menulis tentang perlakuan jahat penguasa terhadap manusia dan kondisi manusia tanpa penguasa. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Jerman, “Der Spiegel”, 28 Maret 2003, ia menjawab alasannya untuk tak banyak lagi menulis fiksi. “sebab saya mempunyai perasaan yang sangat kuat, bahwa saat ini adalah saat dimana para penulis harus punya posisi yang jelas dan tegas. Saya mendapat perasaan yang luar biasa kuat untuk menanggapi segala sesuatu yang terjadi,” katanya.
No comments:
Post a Comment