Wednesday, October 18, 2006

"SaTu LagI JuRNaLis mATi"

Beratnya tuntutan yang harus diemban oleh seorang jurnalis profesional, seringkali membuatnya menyerempet bahaya, (yang) kadangkala memaksanya harus pintar-pintar meniti buih. Bahkan, tak berhenti sampai disitu, acapkali para jurnalis harus berkorban nyawa demi sebuah fakta yang harus diberitakan.

Kisah duka baru-baru ini datang dari Moskwa. Seorang wanita, jurnalis cetak yang terkenal gigih dalam melakukan investigative reporting, ditemukan tewas mengenaskan di depan pintu lift apartemennya, pada 7 Oktober 2006 silam. Dia adalah Anna Politkovskaya, ibu dari 2 anak yang menghabiskan separuh hidupnya untuk dunia jurnalistik yang dicintainya. Sosoknya terkenal gigih menentang upaya pendudukan soviet terhadap Checnya di tahun 1994 - 1999. Tak berhenti sampai disitu, Anna juga terkenal aktif untuk menentang pendudukan rusia tahap kedua pada tahun 2002.

Anna Politkovskaya yang lahir pada 30 Agustus 1958, memiliki sikap yang periang, menghabiskan masa remajanya di New York-AS. Dalam kegiatan jurnalistiknya dia hidup di bukit-bukit wilayah Chechnya. Menurut Situs the Guardian (15 oktober 2004), setelah lulus dari dari Fakultas Jurnalism Moscow State University tahun 1980, ia mulanya bekerja sebagai wartawan Obshchaya Gazeta, lalu pindah ke Novaya Gazeta, media harian yang cukup terkenal di Cechnya.

Rencanaya, saat itu ia akan menurunkan berita tentang praktek-praktek penyiksaan yang dilakukan oleh otoritas Chechnya yang loyal kepada PM Ramzan Kadyrov, yang kabarnya pro Moskwa. Sehubungan terjadinya kasus ini, desakan aliansi pers internasional semakin besar, agar polisi segera melakukan penyidikan terhadap kematian Anna yang sampai kini masih menimbulkan tanya. PM Ramzan Kadyrov, yang disebut sebut bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut, tegas membantah tudingan tersebut. “saya tidak tahu menahu, perihal pembunuhan tersebut”, kilahnya dalam sebuah siaran berita.

Saat mayatnya ditemukan, di sisinya tergeletak pistol Makarov dan empat selongsong peluru. Laporan awal kepolisian setempat mengungkapkan, ia dibunuh oleh pembunuh bayaran dengan 2 kali tembakan jarak dekat, salah satu menembus kepalanya. Sungguh mengerikan!
@!@!@!

Kabar duka yang nyaris sama terjadi juga di Indonesia. Bedanya, kalau yang di Moskwa korbannya cewek, sedangkan di Indonesia sasarannya pria, yang sepak terjangnya di dunia jurnalistik tak kalah seru. Dia adalah Herliyanto (40), seorang penulis lepas yang bekerja untuk beberapa media di Jatim, seperti Delta Sidoarjo, Tabloit Visioner dan Tabloit Visual Jakarta. Jasadnya ditemukan membiru di kawasan Hutan Jati Tulupari, Kecamatan Banyuanyar, Probolinggo, Jatim, 29 April lalu.

Hasil Visum dokter menyatakan korban tewas karena mengalami luka bacok pada bagian perut sehingga usus terburai keluar lebih kurang 25 cm. Luka juga ada pada tengkuk belakang selebar 12,5 cm dan kepala bagian atas dengan lebar kurang lebih 8 cm. Polisi menduga ada motif tertentu dari pembunuhan itu, karena barang-barang pribadinya tidak hilang, termasuk sepeda motornya. Hanya kamera digital dan komputer notebook milik kantor yang dilaporkan raib.

Seperti dikutip dari Koran Surya, pembunuhan Herliyanto terjadi karena korban menulis indikasi korupsi melalui mark up pembangunan Jembatan Rejing di Desa Rejing, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo.

Berbeda dengan tragedi Anna tadi, kasus ini berhasil di ungkap oleh aparat Polres Probolinggo dalam kurun waktu 6 bulan. Tiga dari tujuh orang tersangka pembunuh berhasil ditangkap petugas di beberapa tempat terpisah. Kini tinggal menciduk 4 orang lagi, yang kabarnya sudah diketahui keberadaannya.

Peristiwa memilukan yang dialami oleh Herliyanto ini, tidak hanya mendapat perhatian dari masyarakat dalam negeri. Dunia internasional melalui Badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya (UNESCO) pun ikut mengecam keras peristiwa keji itu.

"Saya mengecam pembunuhan keji terhadap Herliyanto. Kejahatan seperti ini seharusnya tidak diampuni," kata Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura dalam pernyataannya yang dipublikasikan UNESCO melalui pusat media PBB New York, Senin (22/5) lalu.

Menurut dia, kekerasan terhadap wartawan sebenarnya bukan hanya suatu kekerasan terhadap seseorang, tetapi juga terhadap masyarakat secara keseluruhan. Kebebasan berekspresi diakui sebagai hak dasar dalam Deklarasi Universal tentang HAM.

@!@!@!

Kisah-kisah tadi mengingatkanku akan sebuah kisah klasik yang sampai saat ini belum tuntas, tak jelas siapa pelakunya. Tepatnya di tahun 1996 silam, sebuah kasus pembunuhan begitu menyita perhatian (baca: masyarakat dan pers Indonesia khususnya), menimpa seorang wartawan surat kabar harian: 'Bernas', Yogyakarta. Fuad Muhammad Syafrudin, alias Udin namanya.

Diduga berkait dengan berita-berita yang dia buat, Udin dianiaya dengan benda tumpul pada 13/8/1996. Dia akhirnya meninggal dunia (16/8/1996) di RS Bethesda-Yogyakarta setelah melewati perawatan intensif selama 3 hari.

Dalam kurun waktu 10 tahun ini, tak ada tanda-tanda atas terungkapnya kasus pencabutan nyawa secara paksa atas diri Udin. Tersangka Dwi Sumiaji, yang diyakini publik sebagai pelaku, ternyata bukanlah otak penganiayaan. Padahal, bukti-bukti awal dan sejumlah saksi sudah berhasil diwawancara oleh Polda DIY. Tapi, ntah mengapa, polisi sepertinya kehilangan spirit untuk mengusut kasus ini hingga tuntas.

Kalau melihat kronologis peristiwa yang terjadi saat itu, semua gejolak ini merupakan dampak dari akumulasi situasi politik yang mulai memanas, sehubungan maraknya musim PILKADA. Kasus Udin identik dengan isu pencalonan kembali Bupati Bantul kala itu; Kol (Art) Sri Roso Sudarmo dan keterlibatan Kepdes. Kemusu, Argomulyo, Bantul yang bernama R. Noto Soewito. Dari penelusuran, diketahui bahwa bapak Noto ini masih ada hubungan kekerabatan dengan keluarga Cendana. Saat itu, muncul selebaran fotokopi perihal kesediaan Bupati (baca: Sri Roso) untuk membayar uang senilai 1 Milyar kepada yayasan Dharmais, yang notabene dipimpin oleh Soeharto. Rencananya, uang itu akan dia bayarkan jika berhasil menduduki jabatan bupati untuk kedua kalinya. Padahal, dalam bakal calon pemilihan bupati yang diajukan DPRD, tak tercantum nama 'sang kolonel'. Selain itu, dalam selebaran itu, tercantum tanda tangan Noto soewito, yang menjadi perantara pembayaran antara Sri Roso dengan pihak cendana.

Inilah hanya contoh kecil perihal beratnya tanggungjawab yang harus dipikul seorang jurnalis sehubungan dengan profesionalismenya sebagai pengungkap fakta/ kebenaran berbanding lurus dengan resiko, (yang) juga tak kalah besar.

No comments:

Post a Comment