Kesadaran akan perlunya pendekatan spesifik dalam sebuah peliputan, khususnya yang berbau konflik, agaknya datang terlambat. Begitu banyak contoh peliputan yang keliru dalam mengurai pokok permasalahan, yang kadangkala malah menyulut konflik baru. Cara-cara seperti ini yang banyak dilakukan oleh media massa kita (baca:baik cetak maupun elektronik), selama ini. Untuk itulah, sebuah pendekatan yang terkenal dengan nama “Jurnalisme Damai”, menjadi wacana baru yang perlu mendapat perhatian.
Mungkin masih tergambar jelas dalam memori kita perihal kerusuhan Abepura beberapa waktu lalu. Peristiwa yang terjadi, akibat akumulasi kemarahan penduduk terhadap perlakuan kasar aparat yang sewenang-wenang selama ini, berujung dengan jatuhnya korban dari pihak polisi sebanyak 4 orang plus 1 orang intel AURI. Tapi dalam kejadian itu, kita tak pernah dengar bahwa ada pihak lain yang jadi korban. Ya, merekalah warga sipil, yang terlibat bentrok. Kabarnya ada beberapa korban jiwa dari rakyat biasa. Namun, info ini tak bisa tembus oleh wartawan, karena akses untuk mendapatkan berita di tutup rapat oleh aparat, dengan melakukan blokade di setiap rumah sakit.
Saat itu, dengan begitu bangganya kita menayangkan peristiwa sadistik tersebut, tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkannya. Bahkan, tak berhenti sampai disitu, kita malah melakukan re-ran (baca: penayangan ulang) beberapa hari berselang.
Sayangnya, kita tak pernah sadar, apa efeknya di lapangan. Menurut seorang teman (baca: jurnalis TEMPO), yang kebetulan ada di lokasi. Sejak pemberitaan kita dan tivi-tivi lain kala itu, eskalasi kekerasan yang dilakukan oleh aparat (baca: Brimob) semakin menjadi-jadi. Perasaan sakit hati aparat berujung pada aksi balas dendam terhadap warga sipil, sehubungan dengan jatuhnya korban di pihak mereka. Sehingga, warga sipil yang tak berdosa ikut jadi korban. Tak berhenti sampai disitu, para jurnalis televisi yang baru tiba dari Jakarta pun, harus menanggung bias tersebut. Saat hendak melakukan liputan, tiba-tiba saja anggota Brimob yang sudah terprovokasi, langsung melakukan pemukulan terhadap kru dan pengrusakan terhadap kamera yang sedang digunakan.
Para mahasiswa yang tak tak tahu-menahu ikhwal bentrokan, menjadi imbas berikutnya. Mereka takut dengan sweeping yang dilakukan petugas, sehubungan dengan banyak mahasiswa yang ditengarai ikut memprovokasi kejadian tersebut. Kabarnya para mahasiswa tersebut tinggal di kost-kostan sekitar kampus. Hanya saja, dampak dari kejadian ini, membuat banyak mahasiswa menjadi trauma. Daripada dituduh terlibat dan mendapat perlakuan kasar aparat, lebih baik mengungsi dahulu. Itu yang membuat sebagian besar mahasiswa enggan pulang ke kost-an.
Atau, mungkin masih banyak yang belum tahu cerita dari ujung nusantara, ‘Aceh’. Hanya karena pemberitaan yang tidak berimbang, atau pemberitaan tanpa sumber yang jelas. Beberapa jurnalis (baca: kru beberapa stasiun televisi swasta) harus di pulangkan sedini mungkin ke Jakarta. Bahkan, ada beberapa media tivi yang di black list oleh kawan wartawan setempat, akibat ulah jurnalisnya yang gegabah. Sampai-sampai, seorang teman jurnalis lokal pernah berujar: “hanya karena ulah kalian (baca: wartawan Jakarta), kita yang disini kena getahnya. Kalo ada apa-apa, kalian tinggal lari ke Jakarta, sedangkan kami disini, mau lari kemana. Kami gak punya tempat pelarian.”
Lain lagi penuturan teman yang satu ini. Dia adalah jurnalis wanita (baca: koresponden the Jakarta Post) yang sudah beberapa tahun ini menetap di Aceh. Pasca darurat militer yang berganti dengan darurat sipil, tak terlalu banyak yang berubah. Tingkat kekerasan yang terjadi seakan menjadi menu harian yang menghiasi halaman muka surat kabar disana. Dari pihak GAM selalu keluar rilis tentang jatuhnya korban di pihak TNI. Sedangkan pihak TNI, tak mau ketinggalan dengan mengeluarkan statement yang tak kalah seru. Hanya saja, saat teman tadi melakukan cross check ke lokasi yang disebutkan. Tak terjadi apa-apa disana. Jadi, sumber mana yang bisa dipercaya?
Selain korban yang lebih banyak jatuh di pihak sipil, para jurnalis pun, sering menjadi target dari pihak yang bertikai. Akibat tekanan yang begitu hebat, temanku tadi, sering dihantui ketakutan. Hanya pasca Tsunami, yang bisa menenangkannya. Pasalnya, kekerasan yang terjadi mulai mereda dengan datangnya bencana yang menelan ratusan ribu korban jiwa dan ditandatanganinya perjanjian damai Helsinski. Apalagi, saat itu sudah banyak wartawan yang kehilangan nyawa akibat pemberitaan yang tidak hati-hati. Ini yang membuatnya selalu siap sedia dengan pakaian rapi dengan peralatan lengkap saat malam menjelang. Setiap ada kendaraan yang berhenti di depan rumahnya, dia selalu deg-deg-an. “Jangan-jangan aku jadi korban berikutnya”, pikirnya. Ternyata peliputan daerah konflik yang dilakukannya telah menimbulkan trauma yang begitu mendalam.
Ini hanya sebagian kecil, contoh kerja jurnalistik yang dilakukan oleh rekan-rekan jurnalis perihal ringkihnya potensi sebuah konflik, hanya karena peliputan yang tidak akurat, adil dan tidak menghormati hak orang lain. Hanya karena sebuah ekslusivitas, sering kali kita menerobos semua batasan-batasan tadi. Bukankah seharusnya kita meredam konflik, dengan tidak terlarut dalam pertikaian yang ada?
@!@!@!
Sebuah kesadaran baru, tentang perlunya upaya meredam sebuah konflik, mulai diperkenalkan oleh Johan Galtung pada tahun 1970-an, dengan nama “Jurnalisme Damai”. Pendekatan ini sendiri mulai di perkenalkan di Indonesia pada tahun 2000, seiring pecahnya konflik yang terjadi di tanah air dengan aneka latar belakang.
Untuk bisa memahami jurnalisme damai, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konflik. Konflik adalah situasi dimana dua atau lebih individu atau kelompok berusaha mencapai tujuan atau ambisi yang mereka percayai tidak bisa dibagi. Yang perlu di ingat, tidak semua konflik disertai kekerasan. Sebab, konflik yang berujung pada kekerasan, terjadi karena perselisihan tersebut tidak dikelola dengan baik
Jika ditilik lebih jauh, sebuah konflik bisa diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya: sumber-sumber (SDA) langka yang tidak dibagi secara adil, rumah, pekerjaan, komunikasi antar kelompok yang minim, masing-masing kelompok punya pemikirian dan kepercayaan yang tidak tepat terhadap kelompok lain, kekesalan yang tak terselesaikan, kekuasaan yang tak terdistribusi dengan baik.
Sedangkan jika memperhatikan lebih jauh perihal akar pemahaman terjadinya kekerasan, dapat dikelompokkan dalam 2 bagian besar, yaitu kekerasan kultural dan kekerasan struktural. Kekerasan kultural, diantaranya: pernyataan yang penuh kebencian, xenophobia (salah persepsi), mitos dan legenda, justifikasi religius tentang perang dan deskriminasi gender. Sedangkan kekerasan struktural bermula dari: instusionalisasi rasisme dan sexisme, kolonialisme, eksploitasi secara ekstrem, kemiskinan, korupsi dan nepotisme, serta segeregasi structural.
Saat ini, gagasan untuk menjembatani semua aksi kekerasan dengan jurnalisme damai, tidak hanya dikenal di kalangan jurnalis saja, kalangan aktivis, politisi dan pejabat pemerintahan di berbagai daerah mulai melakukan pendekatan ini. Perkembangannya cukup menggembirakan, walau masih ada keraguan apakah jurnalisme damai telah cukup dipahami dan dipraktekkan oleh media ketika dihadapkan pada situasi konflik.
Proses perdamaian yang terjadi di Aceh sejak DOM sampai pasca Tsunami tampaknya lebih karena faktor politik daripada peran media. Sedangkan di Papua, konflik mendapat perhatian saat terjadinya bentrokan/ kerusuhan, akan tetapi segera dilupakan setelah terjadi peredaan ketegangan.
Alasan mengapa begitu minimnya pemahaman media terhadap pendekatan ini, berakibat pada reportase konflik yang berorientasi pada menang dan kalah. Umumnya pendekatan ini tidak menjadi kurikulum atau topik bahasan wajib dalam kuliah jurnalistik maupun pelatihan internal di masing-masing media. Sebab, seringkali jurnalis baru mendapat penugasan pada detik-detik terakhir sebelum terjun ke medan konflik, tanpa pernah mempelajari sejarah dan karekteristik konflik suatu daerah.
Pendekatan jurnalisme damai tidak hanya relevan digunakan dalam konflik komunal atau konflik yang berkaitan dengan gerakan separatis, tetapi juga dapat digunakan untuk mengangkat persoalan berkaitan dengan konflik sumberdaya alam, tanah, konflik perburuhan, maupun konflik antar kelompok yang terjadi di masyarakat.
Seiring dengan pendekatan ini, Jacqueline Park (Direktur Asia Fasific International Federation of Journalist) menyatakan, bahwa ada tiga prinsip dasar yang harus dipegang jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Pertama, membuat reportase yang adil dan akurat. Kedua, dalam situasi konflik harusnya kita menghormati hak orang lain. Ketiga, konflik akan menimbulkan amarah dan menghambat perdamaian. Bagaimanapun tugasnya wartawan bukanlah menjadi pemandu sorak pada salah satu pihak.
Tugas kita lah melalui pelaporan yang komprehensip, harusnya bisa membangun masyarakat memahami perbedaan satu sama lain, baik perbedaan kultural, etnis, maupun perbedaan lainnya
Sekalipun di beberapa wilayah konflik telah terjadi peredaan ketegangan, tantangan yang dihadapi media tidaklah gampang. Media harus mampu menempatkan diri sebagai forum untuk menjembatani perbedaan dan persoalan yang menjadi akar konflik. Kultur kekerasan yang sudah menjadi bagian dari sistem masyarakat menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi media. Disini kita diuji apakah media akan mendorong terfasilitasinya keragaman yang ada, toleransi dan hormat menghormati atau malah sebaliknya, media akan mendorong segregasi dan penggunaan kekerasan dalam menghadapi perbedaan.
Mungkin masih tergambar jelas dalam memori kita perihal kerusuhan Abepura beberapa waktu lalu. Peristiwa yang terjadi, akibat akumulasi kemarahan penduduk terhadap perlakuan kasar aparat yang sewenang-wenang selama ini, berujung dengan jatuhnya korban dari pihak polisi sebanyak 4 orang plus 1 orang intel AURI. Tapi dalam kejadian itu, kita tak pernah dengar bahwa ada pihak lain yang jadi korban. Ya, merekalah warga sipil, yang terlibat bentrok. Kabarnya ada beberapa korban jiwa dari rakyat biasa. Namun, info ini tak bisa tembus oleh wartawan, karena akses untuk mendapatkan berita di tutup rapat oleh aparat, dengan melakukan blokade di setiap rumah sakit.
Saat itu, dengan begitu bangganya kita menayangkan peristiwa sadistik tersebut, tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkannya. Bahkan, tak berhenti sampai disitu, kita malah melakukan re-ran (baca: penayangan ulang) beberapa hari berselang.
Sayangnya, kita tak pernah sadar, apa efeknya di lapangan. Menurut seorang teman (baca: jurnalis TEMPO), yang kebetulan ada di lokasi. Sejak pemberitaan kita dan tivi-tivi lain kala itu, eskalasi kekerasan yang dilakukan oleh aparat (baca: Brimob) semakin menjadi-jadi. Perasaan sakit hati aparat berujung pada aksi balas dendam terhadap warga sipil, sehubungan dengan jatuhnya korban di pihak mereka. Sehingga, warga sipil yang tak berdosa ikut jadi korban. Tak berhenti sampai disitu, para jurnalis televisi yang baru tiba dari Jakarta pun, harus menanggung bias tersebut. Saat hendak melakukan liputan, tiba-tiba saja anggota Brimob yang sudah terprovokasi, langsung melakukan pemukulan terhadap kru dan pengrusakan terhadap kamera yang sedang digunakan.
Para mahasiswa yang tak tak tahu-menahu ikhwal bentrokan, menjadi imbas berikutnya. Mereka takut dengan sweeping yang dilakukan petugas, sehubungan dengan banyak mahasiswa yang ditengarai ikut memprovokasi kejadian tersebut. Kabarnya para mahasiswa tersebut tinggal di kost-kostan sekitar kampus. Hanya saja, dampak dari kejadian ini, membuat banyak mahasiswa menjadi trauma. Daripada dituduh terlibat dan mendapat perlakuan kasar aparat, lebih baik mengungsi dahulu. Itu yang membuat sebagian besar mahasiswa enggan pulang ke kost-an.
Atau, mungkin masih banyak yang belum tahu cerita dari ujung nusantara, ‘Aceh’. Hanya karena pemberitaan yang tidak berimbang, atau pemberitaan tanpa sumber yang jelas. Beberapa jurnalis (baca: kru beberapa stasiun televisi swasta) harus di pulangkan sedini mungkin ke Jakarta. Bahkan, ada beberapa media tivi yang di black list oleh kawan wartawan setempat, akibat ulah jurnalisnya yang gegabah. Sampai-sampai, seorang teman jurnalis lokal pernah berujar: “hanya karena ulah kalian (baca: wartawan Jakarta), kita yang disini kena getahnya. Kalo ada apa-apa, kalian tinggal lari ke Jakarta, sedangkan kami disini, mau lari kemana. Kami gak punya tempat pelarian.”
Lain lagi penuturan teman yang satu ini. Dia adalah jurnalis wanita (baca: koresponden the Jakarta Post) yang sudah beberapa tahun ini menetap di Aceh. Pasca darurat militer yang berganti dengan darurat sipil, tak terlalu banyak yang berubah. Tingkat kekerasan yang terjadi seakan menjadi menu harian yang menghiasi halaman muka surat kabar disana. Dari pihak GAM selalu keluar rilis tentang jatuhnya korban di pihak TNI. Sedangkan pihak TNI, tak mau ketinggalan dengan mengeluarkan statement yang tak kalah seru. Hanya saja, saat teman tadi melakukan cross check ke lokasi yang disebutkan. Tak terjadi apa-apa disana. Jadi, sumber mana yang bisa dipercaya?
Selain korban yang lebih banyak jatuh di pihak sipil, para jurnalis pun, sering menjadi target dari pihak yang bertikai. Akibat tekanan yang begitu hebat, temanku tadi, sering dihantui ketakutan. Hanya pasca Tsunami, yang bisa menenangkannya. Pasalnya, kekerasan yang terjadi mulai mereda dengan datangnya bencana yang menelan ratusan ribu korban jiwa dan ditandatanganinya perjanjian damai Helsinski. Apalagi, saat itu sudah banyak wartawan yang kehilangan nyawa akibat pemberitaan yang tidak hati-hati. Ini yang membuatnya selalu siap sedia dengan pakaian rapi dengan peralatan lengkap saat malam menjelang. Setiap ada kendaraan yang berhenti di depan rumahnya, dia selalu deg-deg-an. “Jangan-jangan aku jadi korban berikutnya”, pikirnya. Ternyata peliputan daerah konflik yang dilakukannya telah menimbulkan trauma yang begitu mendalam.
Ini hanya sebagian kecil, contoh kerja jurnalistik yang dilakukan oleh rekan-rekan jurnalis perihal ringkihnya potensi sebuah konflik, hanya karena peliputan yang tidak akurat, adil dan tidak menghormati hak orang lain. Hanya karena sebuah ekslusivitas, sering kali kita menerobos semua batasan-batasan tadi. Bukankah seharusnya kita meredam konflik, dengan tidak terlarut dalam pertikaian yang ada?
@!@!@!
Sebuah kesadaran baru, tentang perlunya upaya meredam sebuah konflik, mulai diperkenalkan oleh Johan Galtung pada tahun 1970-an, dengan nama “Jurnalisme Damai”. Pendekatan ini sendiri mulai di perkenalkan di Indonesia pada tahun 2000, seiring pecahnya konflik yang terjadi di tanah air dengan aneka latar belakang.
Untuk bisa memahami jurnalisme damai, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konflik. Konflik adalah situasi dimana dua atau lebih individu atau kelompok berusaha mencapai tujuan atau ambisi yang mereka percayai tidak bisa dibagi. Yang perlu di ingat, tidak semua konflik disertai kekerasan. Sebab, konflik yang berujung pada kekerasan, terjadi karena perselisihan tersebut tidak dikelola dengan baik
Jika ditilik lebih jauh, sebuah konflik bisa diakibatkan oleh banyak faktor, diantaranya: sumber-sumber (SDA) langka yang tidak dibagi secara adil, rumah, pekerjaan, komunikasi antar kelompok yang minim, masing-masing kelompok punya pemikirian dan kepercayaan yang tidak tepat terhadap kelompok lain, kekesalan yang tak terselesaikan, kekuasaan yang tak terdistribusi dengan baik.
Sedangkan jika memperhatikan lebih jauh perihal akar pemahaman terjadinya kekerasan, dapat dikelompokkan dalam 2 bagian besar, yaitu kekerasan kultural dan kekerasan struktural. Kekerasan kultural, diantaranya: pernyataan yang penuh kebencian, xenophobia (salah persepsi), mitos dan legenda, justifikasi religius tentang perang dan deskriminasi gender. Sedangkan kekerasan struktural bermula dari: instusionalisasi rasisme dan sexisme, kolonialisme, eksploitasi secara ekstrem, kemiskinan, korupsi dan nepotisme, serta segeregasi structural.
Saat ini, gagasan untuk menjembatani semua aksi kekerasan dengan jurnalisme damai, tidak hanya dikenal di kalangan jurnalis saja, kalangan aktivis, politisi dan pejabat pemerintahan di berbagai daerah mulai melakukan pendekatan ini. Perkembangannya cukup menggembirakan, walau masih ada keraguan apakah jurnalisme damai telah cukup dipahami dan dipraktekkan oleh media ketika dihadapkan pada situasi konflik.
Proses perdamaian yang terjadi di Aceh sejak DOM sampai pasca Tsunami tampaknya lebih karena faktor politik daripada peran media. Sedangkan di Papua, konflik mendapat perhatian saat terjadinya bentrokan/ kerusuhan, akan tetapi segera dilupakan setelah terjadi peredaan ketegangan.
Alasan mengapa begitu minimnya pemahaman media terhadap pendekatan ini, berakibat pada reportase konflik yang berorientasi pada menang dan kalah. Umumnya pendekatan ini tidak menjadi kurikulum atau topik bahasan wajib dalam kuliah jurnalistik maupun pelatihan internal di masing-masing media. Sebab, seringkali jurnalis baru mendapat penugasan pada detik-detik terakhir sebelum terjun ke medan konflik, tanpa pernah mempelajari sejarah dan karekteristik konflik suatu daerah.
Pendekatan jurnalisme damai tidak hanya relevan digunakan dalam konflik komunal atau konflik yang berkaitan dengan gerakan separatis, tetapi juga dapat digunakan untuk mengangkat persoalan berkaitan dengan konflik sumberdaya alam, tanah, konflik perburuhan, maupun konflik antar kelompok yang terjadi di masyarakat.
Seiring dengan pendekatan ini, Jacqueline Park (Direktur Asia Fasific International Federation of Journalist) menyatakan, bahwa ada tiga prinsip dasar yang harus dipegang jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Pertama, membuat reportase yang adil dan akurat. Kedua, dalam situasi konflik harusnya kita menghormati hak orang lain. Ketiga, konflik akan menimbulkan amarah dan menghambat perdamaian. Bagaimanapun tugasnya wartawan bukanlah menjadi pemandu sorak pada salah satu pihak.
Tugas kita lah melalui pelaporan yang komprehensip, harusnya bisa membangun masyarakat memahami perbedaan satu sama lain, baik perbedaan kultural, etnis, maupun perbedaan lainnya
Sekalipun di beberapa wilayah konflik telah terjadi peredaan ketegangan, tantangan yang dihadapi media tidaklah gampang. Media harus mampu menempatkan diri sebagai forum untuk menjembatani perbedaan dan persoalan yang menjadi akar konflik. Kultur kekerasan yang sudah menjadi bagian dari sistem masyarakat menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi media. Disini kita diuji apakah media akan mendorong terfasilitasinya keragaman yang ada, toleransi dan hormat menghormati atau malah sebaliknya, media akan mendorong segregasi dan penggunaan kekerasan dalam menghadapi perbedaan.
No comments:
Post a Comment