Monday, December 25, 2006

"CeRiTa DaRi ShELtEr II"

Untuk sesaat, aku masih terpaku. Diam, tak melakukan aktivitas apapun. Mencoba mengamati sekeliling, sambil menatap dunia yang mulai luruh berubah pekat. Biasanya, disaat seperti ini, kami saling bercengkerama tentang banyak hal. Tapi, kini ku tinggal sendiri ditengah dinginnya kabut Sibayak.

Berbekal ponco* yang kubawa, semua barang segera kuselimuti, ketika hujan turun mendera. Tiga puluh menit sudah hujan yang mulanya kecil berubah lebat, saat kakiku berhasil menapak di Shelter II ini.

Saat sebuah rona tanpa arti sentuh dirimu. Kau harus waspada!
Saat sebuah pikiran sempit coba hilangkan arahmu. Kau pun harus waspada!
Inilah waktu, dimana setiap pribadi menjadi sedikit dewasa, sikapi jalan yang slalu tak sama.

Bukan tanpa arti, aku melakukan pendakian solo kali ini. Hanya dalam hitungan menit, semua peralatan telah ku-packing rapi ke dalam ransel. Tujuan selanjutnya adalah -terminal Sinabung jaya-, tempat bus yang akan mengantarkanku menuju pintu rimba pendakian.

Masih menggigil menunggu redanya hujan, kembali ku teringat kejadian kemarin malam. Saat semua jadi titik akhirku, setelah menjalani peristiwa indah dalam dua tahun ini.

……., Kau, yang selama ini jadi sesuatu buatku, ternyata telah berubah. Tanpa pikir panjang, kau tinggalkanku, demi sebuah status. Sedangkan aku, masih tetap, “jadi pendaki gunung” dengan kuliah yang belum kelar……….

Segudang pergulatan terus berkecamuk. Mulai dari penyesalan akibat skripsi jahanam, friksi dengan keluarganya, sampai terberainya kembali kenangan-kenangan indah yang tlah kami rajut bersama.

Apa yang salah dengan semua ini?
Bukankah cinta menjadi sebuah ikatan murni.
Atau,… apakah kemapanan melebihi kekuatan cinta itu sendiri?
…..aku sedih, aku kecewa!

Sejurus kemudian, hujan mulai reda, berganti riuh rendah orkestra jangkrik disela-sela kabut tipis yang mulai beranjak turun. Mau tidak mau, Bivak* harus segera didirikan, berlanjut dengan acara memasak. “Sungguh!” ini suasana yang selalu membuatku tak bisa lupakan gunung, tempatku bisa kenali diri dan menikmati ciptaan kebesaran Tuhan.

Kembali aku sedih!
Ingat, saat-saat dimana kami pernah melakukan pendakian ke gunung ini enam bulan lalu. Tempat perhentiannya juga masih sama. “Shelter II”.
Bedanya, kini aku sendiri.



********

Berbekal persiapan matang, sebuah tim kecil dari mapala tempatku bergabung, berencana melakukan pendakian ke Gn. Sibayak (2025mdpl). Gunung ini cukup popular bagi masyarakat Sumatera Utara, karena rutenya yang tidak begitu terjal dan relatif aman bagi mereka yang baru pertama mendaki gunung.

Awalnya aku tak menduga, kalo dia memaksa ikut di tim ini. Karena setahuku, dia punya rencana lain, untuk mengisi waktu luang sehabis wisuda minggu lalu.

Aku, yang tak ingin merepotkan tim dengan kehadiran seorang wanita mencoba membatalkannya. Tapi, dasar keras kepala! Keinginannya yang cukup keukeuh, akhirnya membuat tim bisa menerima, apalagi dia juga terdaftar sebagai anggota.
----------
“Ngapain sih, kamu maksain ikut di tim ini?”
“Aku, ingin nikmati pendakian ini bersamamu”
“Apa gak boleh?”
“Boleh sih”
“Tapi,…”
“Tapi, apaan?
“Kamu, gak suka dengan keberadaanku, ya?
“Bukan!”
“ …. Aku hanya gak ingin, suasana di tim ini berubah nantinya.”
“ehm, ……………….!”
“Ya udah, kalo gitu! Aku, gak akan ikut!”
“Jangan gitu dong, masa gitu aja ngambek!”
“Katanya punya mental baja.”
“tapi……….., kalo gak di bolehin,………..”
“Dah, gini aja, kamu boleh ikut, and pliz jangan buat jarak dengan yang lain, ya!”

Sudah dua tahun ini, aku dan dia meniti hari-hari penuh warna. Layaknya percintaan anak muda, begitu banyak suka dan duka yang tlah dilalui.

Sudah jadi kegiatan ritualku, menjemput dia di depan gangnya, dengan kongo tua yang slalu setia menemani, menuju kampus tempat kami menuntut ilmu.

Dia yang berasal dari keluarga berpendidikan, selalu terbiasa dengan disiplin. Ini yang membuatnya berhasil di bidang akademis dan lulus tepat waktu dengan indeks prestasi yang lumayan. Sedangkan aku, masih tersangkut masalah skripsi, mencoba melupakan semua dengan nyambi sebagai fotografer freelence di berbagai media cetak di Medan. Lumayan untuk melepas semua penat sesaat.

@@@@
Saat itu, hari yang dinantipun tiba.
Berenam, kami menuju kaki Gn. Sibayak, tepatnya di kilometer 54 dari Medan ke Berastagi. Rute ini menjadi rute favorit anak-anak pencinta alam, karena keeksotisannya yang masih terjaga, berbeda dengan rute-rute yang lain.

Untuk 1 jam pertama, energi kami langsung terkuras, pasalnya kami harus beradaptasi dengan jalan menanjak, berliku sambil memanggul ransel berbobot mati 20 kg. Sebuah perjuangan yang jelas tak gampang.

“Gile, dahsyat! Jalurnya semakin licin aja!” seru salah seorang anggota tim.
“Maklum, yang daki gunung ini, kan, bukan kita aja!” sahutku.
“Tapi, aku suka dengan jalur yang begini!” ucapnya
“Kenapa …?” jawabku, sambil mengusap keringat yang mengguyur deras di dahi.
“Karena ada kamu yang slalu siap membantuku!”
“Ah, dasar!”


…………., tiba-tiba di sebuah persimpangan jalan;

“Eh…., tolongin aku, dong sayang!”
“Apaan lagi sih?”
“Ranselku nyangkut di duri, neh!”
“Ya udah, jangan gerak dulu!”
“Nah…., sekarang sudah aman, kok!’
“Makasih, ya sayang!”
“Ya…., hayo jalan lagi, perjalanan masih jauh” ucapku memberi semangat.

Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya dia menyanyikan lagu-lagu top fourty yang dia hafal, walau dengan suara yang terbata-bata karena kecapaian. Sepertinya musik sudah jadi bagian hidupnya. Sementara itu, bagiku dan teman-teman, suara kicau burung dan ongko* yang saling bersahutan terasa lebih indah.

Akhirnya, jam 4 sore, kami berhasil mencapai shelter II. Sejurus kemudian masing-masing orang terlihat sibuk. Ada yang memasang tenda, ada yang masak dan ada yang turun ke lembah untuk ngambil air.

Tak lama berselang, sang surya pun beranjak turun ke peraduannya.
Saatnya makan malam!
Ntah kenapa, suasana makan di tengah hutan seperti ini, terasa lebih nikmat dibanding makan di resto termahal sekalipun. Walau dengan menu seadanya, semua terlihat makan dengan lahap. Maklum udara dingin, membuat kami cepat lapar.

Selepas acara makan, semua kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang beresin piring, ada yang langsung sibuk dengan alat tidur, dan ada yang ngobrol di depan tenda.

Awalnya, kita berempat ngobrol tentang banyak hal, tepatnya di depan api unggun yang mulai menyala. Setengah jam kemudian, kedua rekan mulai mengantuk. Mereka pun segera beranjak ke dalam tenda. Kini, tinggal lah kami berdua.

Untuk sesaat, kami masih terpaku mengamati nyala api unggun. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Takkala angin datang berhembus, nyala api bertambah besar, perasaan pun jadi nyaman. Sedang jika nyalanya mulai redup, dengan cekatan aku meniup baranya, agar api segera muncul. Konon kabarnya, setiap binatang hutan, rada takut dengan nyala api. Itulah sebabnya, sejak dulu, api unggun selalu akrab dengan para pengembara. Selain sebagai teman untuk mengusir rasa sepi, nyala api juga terbukti efektif untuk menambah keberanian ditengah lebatnya belantara.

Untuk lima menit pertama, kami masih sibuk mengikuti lidah api yang asyik meliukkan tubuhnya kesana kemari. Ada rasa yang sulit tuk diucapkan, saat nyala api memancarkan kharismanya. Setuju atau tidak, suasana temaram yang ditimbulkannya, memberi kesan yang berbeda. Salah satu kesan itu, yang jika diidentikkan, bisa disebut “romantis!”.

Sedetik kemudian, dia pun memulai percakapan:
“Lagi mikirin apa, sih? Serius amat mandangi apinya.”
“Gak.., gak mikirin apa-apa, kok!”
“Aku,… aku hanya senang, kalo berhasil buat api di tengah-tengah dinginnya udara hutan”
“Lagian, lumayan kan! Bisa mengusir dingin.”
“Iya sih!”
“Tapi……,kamu gak nyesel ikut di perjalanan ini, kan?”
“Iya, gak lah. Kan, ada kamu, yang jagain aku!”

Sesaat kemudian kami mulai terdiam lagi.
(sayup-sayup dikejauhan suara angin bergerak kencang, sementara sang rembulan mulai disapu awan!)

“Sayang, tau gak alasanku ikut kesini!”
“Gak tau, tuh! Paling-paling, biar kita bisa naik gunung bareng lagi, kan?”
“Iya sih!”
“Tapi ada hal yang lebih penting!”

Aku hanya diam terpaku, berusaha tak menyimak omongannya. Bukan karena aku gak ingin tahu alasannya kali ini. Tapi, sepertinya ada sesuatu yang bisa membuat semua bakalan berubah. Rasa deg-deg-an dengan obrolan seriusnya mulai mengusik pikiranku. Sejurus kemudian aku pun, kembali mengutak-atik api unggun yang mulai mengecil.

“Hei, dengarin dulu dong, kalo orang ngomong!”
“Oh, ya! “
“Emangnya ada hal penting apa lagi?”
“Ada! Ini justru sangat penting untuk kelangsungan hubungan kita!”
“Omongannya kok serius banget!”
“Ya........! Kemarin itu, aku disuruh keluarga untuk berangkat ke Jakarta!”
“Secepat itu, kah?”
“Nah, itu dia yang jadi masalahnya!”
“Katanya, nyari kerja disana peluangnya lebih besar dibanding disini!”
“Tiga hari lagi aku harus berangkat. Tiketku sudah dibelikan”
“Oh……………!!!” kataku, dengan jantung yang bergedup kencang

Kembali aku diam dalam seribu bahasa.

Meretas batas, itulah impianku. Tapi tanpamu, semua kan sia-sia. Tau kah kau, saat hadirmu tiba, senyummu jadikan duniaku lebih indah. Nyalakan lentera cintaku, yang telah lama padam.

Awalnya, aku tak terlalu kenal dia, maklum kami berbeda angkatan dan berbeda jurusan. Tapi, parasnya yang cantik, membuat semua orang di kampus pasti mengenalnya. Ketertarikan pada dunia lingkungan hidup membuatnya bergabung dengan mapala tempatku berada. Aku masih ingat waktu itu, saat aku ditunjuk menjadi koordinator lapangan, yang bertanggungjawab membawa angkatannya mengikuti pendidikan dasar, sebagai suatu syarat mutlak untuk bisa diterima menjadi anggota muda. Penggemblengan selama 10 hari, mulai dari titik nol sampe titik tertinggi di gunung, merupakan perjalanan berat dan mengharukan. Bagaimana tidak, selama itu mereka harus berjalan beriringan dalam kelompok-kelompok kecil, menyusuri jalan-jalan kota yang berdebu, meniti jalur rel yang sudah mati, menyusuri jalanan kampung ditingkahi senyuman ramah penduduknya, sampai merambah lebatnya belantara, yang di dalamnya terdapat sungai deras yang harus diseberangi, serta tak ketinggalan, pada suatu ketika, tebing yang tinggi menjulang, sering menyurutkan langkah. Tapi itu bukan penghalang, Karena mereka harus “tabah sampai akhir”. Untuk itulah pengetahuan yang telah diajarkan dalam materi ruang, kini tinggal di aktualisasikan.

Persamaan cara pandang, anti birokrasi, dan punya hobi yang sama “mendaki gunung”, membuat kami cepat akrab. Saling mengenal ini terjadi ketika diskusi-diskusi kecil tanpa sengaja tentang banyak hal sering kami lakukan di sekret. Ternyata kejadian-kejadian itu yang membawa kami pada sebuah pemahaman yang sama.

Gayanya yang bersahaja, pekerja keras dan pantang menyerah, mengisyaratkan sebuah pribadi yang selama ini aku impikan. Tapi, yang tak pernah ketinggalan adalah sisi feminisme sebagai seorang perempuan. Seorang perempuan yang masih menyenangi fesyen, jalan-jalan di mal dan dunia kecantikan. Sungguh, aku mengasihimu dalam segala lakumu!

Bagiku, dia perempuan pertama yang berhasil meruntuhkan cara pandangku. Dalam urusan wanita, dulunya aku termasuk orang yang antipati dengan mereka. Untukku, seorang wanita tidak lebih dari seorang pengganggu. Pengganggu perhatian, yang akan menjauhkan dari hobi yang telah lama kugeluti. Sebab bagiku sulit untuk bisa membagi waktu antara duniaku dan dunianya. Belum lagi, untuk urusan ini, aku harus punya bajet lebih. Sesuatu yang aneh! Kalo di pikir-pikir lebih baik sendiri!

Tapi, setelah dijalani!
Fenomena unik pun, terjadi. Sebuah pengalaman, yang hanya bisa dirasakan saat kita dan pasangan saling mencinta. Karena ternyata uang bukan segalanya, tapi penting!

Ketika lidah api mulai melahap beberapa sisi kayu bakar, air yang dikandungnya mulai keluar dan menimbulkan suara desisan,

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh isak tangisnya.
Isak tangis yang sudah lama tak kudengar dalam dua bulan terakhir ini.
“Aku…, aku…!” ucapnya sambil sesegukan, seiring derai air mata yang mulai membasahi pipi.
“Aku gak bisa pisah darimu, sayang!”
“Aku juga gak pingin pisah denganmu!”, jawabku.
“Aku mau hanya kita berdua. Meniti hidup denganmu. Membesarkan anak-anak kita.”
“Tapi……….., kenapa kau harus pergi?”
“Apakah disini gak ada masa depan? Atau kau sudah bosan denganku!”

Kembali dia menangis, dan beringsut dengan irama yang makin meninggi.
Melihat itu, hatiku pun seakan tersayat-sayat. Tak kuasa aku menahan sedih.
Sedetik kemudian kupeluk dia erat, seakan tak kulepas lagi.

“Sayang, mau kah kau jadi istriku kelak? Mau kah kau, jadi ibu tuk anak-anak kecil kita?”
………Masih sesegukan, dia mengangguk!
“Mau…., aku mau…..,, sayang!”
“Aku mau jadi pendamping hidupmu! Aku mau punya anak darimu!”
“Aku mau, kau yang jadi bapak dari anak-anak kita.”
“Benarkah ucapanmu itu? Atau……?”
“Benar, aku berjanji dihadapan api unggun ini, bahwa kau seorang yang kuingini.”
“Tak seorang pun!”

Mendengar itu, aku langsung memeluknya lebih erat dari sebelumnya. Memegang tanganya yang mulai dingin diterpa udara malam. Dan, sebuah kecupan manis, segera jatuh di kening dan pipinya, tanda betapa aku mengasihinya. Sedetik kemudian, kecupan itu mulai turun ke bibir merah yang tampak merona. Bibir, yang selalu jadi tempat pertautan kami, kala rasa cinta harus segera di ekspresikan. Bibir menjadi tempat mengisyaratkan birahi tersembunyi kami. Tempat dimana kami tak pernah tahu pasti, apa batasan antara cinta dan nafsu. Bibir itu yang selalu jadi permulaan segalanya!

“Sayang, kita masuk ke tenda, yuk! Angin malam semakin tak bersahabat. lho!”
Dia mengangguk, tanpa menjawab, sambil mengusap air mata yang tertinggal.
Kamipun menuju tenda untuk melepas lelah.
Dan, sepanjang malam, tak henti-hentinya aku memeluknya, menciumnya dan memeluknya.

**********

Kemarin malam, setibanya di rumah, sehabis ketemu dosen untuk berdiskusi tentang kemajuan skripsiku. Aku dikagetkan dengan bunyi dering hpku. Dari nomor yang tertera dapat diketahui, bahwa nomor itu berasal dari Jakarta.

Awalnya aku tak menduga, kalo yang menghubungi adalah dia. Untuk urusan komunikasi, biasanya aku yang lebih sering menelpon ketimbang dia. Sementara kalo keuangan lagi seret, komunikasi lebih sering menggunakan imel ataupun sms.

Sudah enam bulan sejak keberangkatannya ke Jakarta waktu itu, hubungan kami agak renggang. Bukan karena kami sudah tak saling cinta, tapi lebih karena kesibukan masing masing. Aku sibuk dengan ujian skripsi, sementara dia sibuk dengan usaha mencari kerja.

Dari imel terakhir yang kuterima, dia bercerita panjang lebar tentang perjuangannya mencari kerja. Semua usaha telah dicurahkan untuk urusan masa depan itu. Sampai-sampai sudah tak terhitung banyaknya lamaran yang didikirim. Ada beberapa perusahaan yang melakukan walking interview dan berhasil menerimanya, tapi karena pekerjaan yang ditawarkan hanya sebatas sales dengan target yang cukup berat, akhirnya dia menolak. Background pendidikannya yang hanya Sarjana Sastra Inggeris, membuatnya cukup sulit untuk mencari pekerjaan yang sesuai bidangstudi.

Dikesempatan lain, dia juga bertutur tentang susahnya hidup menumpang dirumah saudara. Rasanya, selalu saja ada yang salah dengan tindak tanduknya. Kalo bangun agak telat, atau pulang yang kemalaman, sang empunya rumah selalu menggerutu, membuat suasana semakin tak nyaman. Padahal mereka masih saudara dekat dari pihak bapaknya. Dan karena itu, akhirnya dia memutuskan untuk ngekost bareng teman-teman.

Tapi itu bukan apa-apa dibanding dengan kabar terakhir yang aku terima darinya kemarin malam. Untuk beberapa menit pertama, kami masih saling tertegur sapa, perihal kondisi masing-masing. Dia senang dengan progressku dan aku senang mendengar kalo dia telah mendapat pekerjaan.Ternyata tempatnya bekerja adalah sebuah perusahaan kargo yang cukup terkenal di Jakarta.

Sejurus kemudian, dia mengutarakan rencana besar yang ternyata jadi musibah terbesarku. Dengan sedikit tersedu-sedu ia mengatakan, kalo dia, dia… akan segera menikah 2 minggu lagi dengan seseorang, yang tak lain adalah atasannya sendiri.

Mendengar itu, aku gak bisa berkata-kata lagi. Aku hanya diam seribu bahasa. Semua yang mulanya terasa terang, tiba-tiba menjadi gelap, ambruk menimpaku. Luruh bersama deru guntur di luar sana. Aku, gak tau harus berbuat apa. Rasanya semua yang kuperjuangkan selama ini, pupuslah sudah.

Aku juga masih ingat, saat hujan turun dengan lebatnya seperti sekarang ini, kita duduk berdua di pelataran perpustakaan. Saat itu, dia berjanji akan menungguku di Jakarta, jika semua telah kelar. Jakarta bagi kami merupakan tempat impian untuk menggapai apa yang kami cita-citakan. Tapi kini, semuanya hancur, seiring jatuhnya butiran hujan menapak bumi.

Untuk beberapa saat, aku masih membisu, sampai akhirnya dia mengucapkan kata perpisahan. Setelah itu dia pun memutus sambungan, tanda semua harus berakhir disini. Sejurus kemudian, aku balik menghubungi. Merasa belum puas dengan semua penjelasannya, kucoba mengulur waktu dengan menanyakan ikhwal kejadiannya. Akhirnya dia pun mengisahkan semuanya.

Dari semua penjelasan itu, aku bisa menangkap sebuah makna. Alasannya memilih dia, karena kekasihku berhutang budi kepadanya (baca: atasannya) dan sang penjahat itu telah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama. Aku mengatakan penjahat, karena dia memang penjahat yang telah merampas kekasih tambatan hatiku.

Yang membuatku gak habis pikir, mengapa semua bisa secepat itu? Apakah selama dua tahun ini, tak berarti apa-apa baginya? Atau……, terlalu sempurnakah dia yang telah merampas kekasihku itu? Kembali aku diam membathin!

Saat rebahkan diri di pembaringan, kucoba menutup mata coba tuk lupakan semua. Tiba-tiba, secara perlahan gambaran kebersamaan itu, mulai menyeruak keluar lagi. Bak menonton film, helai demi helai scene yang kami mainkan, terpapar jelas. Mulai dari awal kedekatan, semua kejahatan-kejahatan yang coba kami lakukan, sampai janji-janji setia, meluncur laksana babak drama yang menghiasi layar kaca. Tapi, semua bohong belaka!

Sampai akhirnya, aku tiba pada keputusan; “Pergi sejauh-jauhnya”. Coba tuk lupakan semua masa indah di masa lalu itu. Dan gunung, merupakan tempat yang tepat buatku. Tempat dimana aku bisa me-refresh sambil merenung pengalaman hidupku. Tempat dimana aku harus menentukan kembali tonggak perjalanan hidupku selanjutnya.

Sepertinya, besok adalah waktunya. Waktu untuk menjauh dari semua luka dan liku hidup ini.


***********

Disini, dibelantara dilingkar garis bumi.
Kudatangkan tubuhmu.
Lewat bara api unggun.

Kini, aku masih sendiri di shelter II.
Berharap semoga sebentar lagi, ada tim pendaki lain yang lewat dan singgah disini. Lumayan untuk teman ngobrol, melupakan sejenak beban itu. Tapi, sejam, dua jam, bahkan sampai malam larut, tak seorangpun yang lewat.
Aku benar-benar sendiri.

Saat bivak berdiri, segera aku memasak untuk makan malam sambil ngobrol dengan saudara jauhku. Mulailah aku bertanya, tentang betapa bodohnya aku yang sedih hanya karena seorang perempuan.

Disaat yang sama dia berkata:
“ hei, ngapain mesti mikirin dia, masih banyak wanita lain.”
“Tapi, dia berbeda dengan perempuan lain”, sahutku!
“Ya, tapi tetap aja dia wanita, yang bisa berubah karena sesuatu”
“Tapi, dia berbeda dengan yang lain!”
“Dulu, dia memang berbeda, tapi kini, kondisi telah membutakan matanya! Masihkah kau mencintai orang yang tak mencintaimu.”
“Tapi…….., sekarang aku yang mengalaminya pedihnya, bukan kau!”
“Kalo itu, aku gak bisa berkomentar apa-apa!”

Bunyi desisan nesting* tanda beras sudah berubah menjadi nasi, membuyarkan percakapan kami. Acara makan malam pun kugelar dengan lahap, berlanjut dengan ritual tidur. Lagi-lagi, saat coba pejamkan mata, saudaraku kembali mengganggu.

“Hei…., sudah sampai mana pembicaraan kita tadi!” ucapnya
“Sudah sampe mana, ya? Aku lupa.” Kataku menimpali.
“Gini aja, karena kau bagian dariku, kamu jangan bersedih terus dong! Banyak hal di dunia ini yang bisa dijadikan pelajaran!”
“Enak aja! Sakitnya tak semudah omongan, tau!”
“Iya, aku tau!”
“Tapi, pernahkah kau sadari, bahwa dia masih orang lain buatmu!”
“Dia bukan siapa-siapamu kini. Dia bukan istrimu ataupun saudaramu!”
“Dia tetap jadi orang lain, yang pernah singgah dikehidupanmu.”
“Sebenarnya masih ada orang yang sangat mengasihimu! Mendoakanmu kemanapun kau pergi”

………….Aku masih terpaku dengan semua penjelasannya itu……..

“Siapakah dia? Aku pingin tahu.”
“Ada, tenang sebentar! Gak usah terburu nafsu!”
“Ehm,…..mereka………, mereka yang mengasihimu dari sejak dalam kandungan. Mereka yang mengajarimu bagaimana caranya berjalan dan berlari. Mereka juga yang mengajarimu bagaimana caranya berkata-kata dan bernyanyi.”
“Mereka yang selalu merawatmu dikala kau sakit dan terluka. Memberimu makan saat kau lapar dan memberi mimum saat kau haus!”
“Mereka adalah keluargamu, merekalah papa dan mamamu.”
“Mereka yang selalu menunggu kepulanganmu, kapanpun kau mau!”
“……………………………..”
“Pernahkah kau berpikir, mereka sangat cemas, saat kau tinggalkan rumah dan tak pulang dalam beberapa hari. Dan itu yang telah kau lakukan dalam beberapa tahun ini”
“Apalagi, disaat seperti ini. Kau pergi seorang diri, tanpa tinggalkan pesan. Kau hanya bilang gak pulang, karena mengerjakan skripsi bareng teman!”
“Dan………, seandainya terjadi apa-apa! Siapa yang bakalan paling menderita?”
“……..,pasti mereka! Keluargamu! Bukan yang lain. Bukan dia yang jauh disana dan telah meninggalkanmu!

…………Aku masih terdiam, coba tuk renungi semua perkataannya……..

Rasanya tak ada yang perlu kubantah dari semua diskusi ini. Aku yang selama ini terlalu sibuk dengan diri sendiri, telah lupa, bahwa dunia ini tak seremeh yang kuduga. Dan dunia masih akan terus berjalan, bahkan ketika hidup kita hancur berkeping-keping.

Diluar sana, suasana gelap semakin pekat, ditingkahi gemuruh angin yang saling beradu.
Dingin, senyap, sepi!
Di saat-saat seperti ini, aku merindukan mereka! Rindu dengan sapaan mamaku yang selalu menanyakan perihal perkembangan skripsiku. Rindu dengan obrolan papa tentang perkembangan politik sekarang ini.
Kini, bayangan itu pun bergerak semakin jauh, seiring mata yang semakin berat tuk diajak kompromi, walau sudah dua gelas kopi kuminum tuk temani sepi. Tapi ngantuk emang gak bisa dibohongi.

Sayup-sayup antara sadar dan tidak, aku masih bisa mendengar dia berucap; “mereka mengasihimu! merekalah keluargamu.”
Itu kata-kata terakhir yang terus terngiang, sampai akhirnya aku gak ingat apa-apa lagi.
Akupun tertidur!
Terlelap ditengah-tengah sahabat sejatiku. Sahabat yang tak akan pernah marah ketika aku berbuat jahat kepadanya. Sahabat, tempatku membuang hajat, mengotorinya dengan sampah, merusaknya, menambah luka-luka tubuhnya dengan jalur rintisan baru. Itulah gunung tempatku berdiam kini.

**********

Keesokan harinya.
Saat silau sang surya menembus ruang bivakku, akupun beranjak bangkit.
Mulai berbenah, tuk lanjutkan sisa perjalanan ini.
Sekonyong konyong, kulihat kanan dan kiri!
Lagi-lagi kutemukan, aku masih sendiri.
Sejurus kemudian, selepas sarapan dan bongkar bivak, aku berdoa. Mengucap syukur buat semuanya. Dia boleh ciptakan ku ada, sebagaimana aku ada saat ini, itu pun karena anugrahNya. Dia tlah sadarkanku, bahwa hidup harus terus berjalan.

Sedetik kemudian akupun beranjak pergi, menuju puncak!

Jakarta, 19 Juni 2006.
Kantor, 02.31 WIB!
“Saat semua terasa lengang”


Keterangan:
*Ponco: mantel hujan.
*Bivak: tempat berlindung sederhana.
*Ongko: sejenis lutung.
*Nesting: alat memasak praktis/ panci susun untuk memasak.

No comments:

Post a Comment