Friday, February 02, 2007

"PeTuAH SeNioR""

Untuk kesekian kalinya, aku menyaksikan REPORTASE, (baca: program andalan station tempatku bekerja), tayang sesuai jadwal. Tepatnya pukul 17.00 WIB. Berbeda dari biasanya, tayangan kali ini dilaporkan langsung dari lokasi kejadian. Yup, berita hari ini bertema “Banjir Jakarta”. Berita ini diturunkan, seiring turunnya hujun yang mendera Jakarta tak henti-henti sejak dua hari lalu. Jadilah Jakarta mengalami banjir bandang, yang disebut-sebut sebagai siklus lima tahunan.

Dimulai dengan update terkini, perihal kondisi masyarakat yang terkena banjir di banyak tempat, upaya penyelamatan yang dilakukan oleh tim SAR plus sukarelawan terhadap penduduk yang masih terisolir, sampai munculnya ojek gerobak yang mendulang untung di saat kebanyakan orang dirundung buntung, menjadi ragam menu yang disajikan bagi pemirsanya.

Sedetik kemudian, beberapa kru yang kebetulan hadir di kantor, segera menuju ruang ANN (baca: ruang buat naskah dan edit) untuk menonton berita terkini. Rasa ingin tahu yang begitu besar, membuat semua kru, baik dari program Buletin maupun Magazine, membaur jadi satu, memenuhi ruang menonton yang terdiri dari sekat-sekat dengan banyak tivi. Masing-masing orang terlihat khusuk menyimak setiap berita yang ditayangkan.

Anehnya, saat kita mulai on air, ternyata tivi tetangga yang berada di seberang sana, memajukan jam tayangnya. Sehingga, jadilah kita on air berbarengan. Secara keseluruhan materi yang ditampilkan relatif sama. Hanya beberapa item yang membuat mereka menang dari sisi konten, diantaranya: adanya pohon tumbang di Jalan Gatot Subroto yang sempat memacetkan arus kendaraan, serta pemantauan lokasi banjir melalui helikopter. Sepertinya, mereka tivi pertama yang mendapat visual lewat udara. Lagi-lagi mereka menang satu langkah!

Sayup-sayup di pojok sana, terlihat bang IAS (baca; kepala divisi), yang kemunculannya tak diketahui banyak orang, terlibat adu argumen dengan salah seorang koordinator liputan. Dari penampakan luar, terlihat kepala divisi begitu resah dengan keterlambatan yang dilakukan oleh para kru di lapangan. Sampai-sampai peristiwa di depan mata, seperti macatnya arus kendaraan di jalan tol, tak mendapat perhatian. Untungnya, tak berapa lama kru yang ditugaskan berhasil balik ke kantor. Dan, jadilah liputan itu naik/ tayang di segmen penutup, walau tanpa naskah. Pasalnya, kesempatan untuk menulis bahkan mendubbing naskah sudah tak mungkin. Dan anehnya, lagi-lagi, tayangan kita tampil berbarengan dengan station tetangga.

Akhirnya, lega melihat REPORTASE tampil dengan cukup elegan di setiap segmennya, walau begitu banyak kendala teknis yang mendera. Berkejaran dengan waktu, tentunya menjadi hal yang sangat menyiksa, manakala semua berita harus siap edit dan minta untuk ditayangkan. Rasanya tak ada waktu untuk bergerak, even untuk sekedar tarik nafas. Itu yang pernah kualami ketika bergabung dengan program ini beberapa bulan lalu.

#@#@#@

Awalnya tak ada yang menyangka, kalo rapat akbar terjadi dengan begitu tiba-tiba. Sepuluh menit sejak berlalunya REPORTASE Sore. Bang IAS terlihat kasak kusuk mengumpulkan semua orang di lantai tiga ini. Sampai-sampai beberapa rekan yang sedang asyik ngobrol, harus menghentikan diskusinya, ketika sang kadiv menyuruh mereka untuk berkumpul di ruang rapat besar (baca: ruang computer).

Sejurus kemudian, Bang IAS membuka arahan dengan membeberkan perolehan rating dan share yang diperoleh program news seminggu ini. Berhubung AC Nielson (baca: lebaga riset) telah mengeluarkan rincian share dan rating dalam setiap harinya. Jadilah, kita ekstra deg-deg-an saat mengetahui perkembangan terkini dari perolehan share dan rating sebuah program.

Dia mengambil contoh program REPORTASE. Dari data ditunjukkan, bahwa REPORTASE memperoleh share tertinggi; 27% pada hari selasa lalu, sedangkan hari kemarin menunjukkan penurunan sebesar 17%. Dari sini terdapat slope kelemahan yang cukup signifikan

Dari data itu ditunjukkan pula, bahwa materi berita yang ditayangkan sangat berpengaruh terhadap perolehan share maupun rating. Jika saja, kita tak menjaga kualitas tayangan, tentunya dengan gampang audiens kita berpaling ke program station lain, yang tentunya lebih bernas. Untuk itulah perlu kehati-hatian, agar jangan sampai karena sebuah kesalahan kecil, kita harus memulainya dari nol lagi.

Masih menurut bang IAS; “kita harus waspada dengan para kompetitior. Kalau dulu, kita yang mengejar-ngejar mereka, sekarang kondisinya sudah berbalik. Kita yang dikejar-kejar mereka. Jangan sampai, karena sebuah kelemahan yang sebenarnya bisa diminimalkan, kita harus berjuang lagi selama 6 bulan untuk bisa mengejar ketertingagalan itu”

Aku pikir, point-point itu cukup penting! Sebab, sudah kami alami, bagaimana susahnya membangun dan mengubah image sebuah program yang dulunya dianggap sebelah mata oleh kompetitor. Dan untuk itu kami harus terseok-seok, bahkan terjatuh, hanya untuk sekedar bisa bertahan pada share 2 digit. Namun kini, semua telah berubah.

Pada kesempatan ini, dia pun kembali menggugah keberadaan kami sebagai jurnalis belia. Kata-kata “jurnalis” ternyata tak cukup hanya di dengungkan, tapi perlu aplikasi nyata untuk membuktikan bahwa kita benar- benar jurnalis bermental baja.

Bagi rekan-rekan yang baru bergabung (baca: batch 6), loyalitas terhadap pekerjaan menjadi penekanan pidatonya yang lain. Pasalnya, sewaktu interview dulu, anak baru diminta komitmentnya terhadap profesi mulia ini. Dan, rata-rata dari mereka mengikrarkan janji itu dihadapan para penguji.

Pengarahan yang tak lebih dari 30 menit itu menjadi tonggak penanda yang membangkitkan kembalinya motivasi jurnalis muda yang mulai kendur. Sudah lama rasanya, aku tak mendengar petuah-petuah yang mencerahkan dari para senior di kantor ini, walau tak semua pendapat mereka selalu benar. Tapi apapun itu, semua demi kemajuan perusahaan tempatku bekerja. Hanya saja, semoga perusahaan ini tak melupakan jerih payah karyawannya.

No comments:

Post a Comment