Sunday, February 04, 2007

"SePeNgGaL cAtAtAn dari DaAn MoGoT"

“Permisi mas! Km 11 masih jauh, ya?”, tanyaku pada seorang pemuda yang terlihat sibuk memperhatikan banjir yang menggenangi jalanan. “Masih jauh! Kurang lebih 4 km setelah melewati fly over. Disana banjirnya cukup parah, mas” ujarnya bersemangat, sembari menunjuk arah lurus pada jalan yang akan kami lalui. Sedetik kemudian, kamipun mulai menyusuri jalan itu. Yup..., jalan itu adalah Daan Mogot, Jakarta Barat, salah satu tempat terparah akibat banjir yang menggenangi hampir 70% daerah Jakarta, akibat hujan yang turun terus menerus sejak empat hari terakhir.

Rencana hari ini bukan saja ingin melihat daerah yang terkena banjir, tetapi hendak melakukan peliputan, sehubungan adanya kabar yang mengatakan, bahwa orang nomor satu di negeri ini akan mengunjungi para pengungsi di kawasan Daan Mogot, tepatnya di posko pengungsian pada Km 11.

Namun anehnya, saat kami tiba disana, tak banyak orang yang tahu perihal rencana kedatangan presiden ini. “ Belum dengar tuh, mas!” ujar seorang warga. “Wah, kami malah baru tahu kalo SBY bakalan datang”, ungkap warga yang lain.

Mendengar itu, kami harus putar otak, jangan sampai pulang tak membawa berita. Ketidakhadiran Presiden di sebuah lokasi pengungsian tak jadi penghalang bagi jurnalis muda yang kreatif. Pasalnya, masih banyak materi liputan yang menarik untuk diangkat, jika saja kita jeli. Dan itu yang akan kami lakukan! Walau kenyataannya tak segampang membalikkan telapak tangan.

******
Berhubung banjir yang menggenangi Jl. Daan Mogot cukup dalam, kurang lebih 1m, jadilah kami harus berjalan kaki menuju lokasi. Mobil kantor yang kami tumpangi pun hanya bisa menjangkau sampai Km 6, sementara Km 11 masih jauh.

Berbekal petunjuk yang diberikan warga, dengan sangat berhati-hati kami menyusuri jalanan yang sudah tergenang air sejak 2 hari lalu. Selain arus air yang cukup deras, akibat meluapnya kali grogol dan sungai Kedaung, hempasan air akibat laju kendaraan roda empat juga cukup merepotkan. Pasalnya, gelombang yang ditimbulkannya cukup besar.

Setelah berjalan terseok-seok selama 20 menit, sebuah rakit yang biasa digunakan warga untuk evakuasi, tampak melintas di depan kami. Usut punya usut, ternyata mereka sedang menuju arah yang sama, sehabis menyeberangkan penduduk.

Sedetik kemudian, “Abe” (baca: camera person) mencoba meloby mereka agar sudi kiranya menyeberangkan kami, hingga mencapai fly over di depan sana. Pasalnya, waktu sudah sangat mepet untuk on air, sementara kantor tak ingin kecolongan berita hanya karena sebuah penghalang, bernama “banjir”.

Sedikit rayuan, jadilah kami menumpang di rakit tersebut. Dengan di dorong 4 orang warga, rakit yang biasanya digunakan untuk mengangkut orang dan motor ini mulai bergerak secara perlahan menuju lokasi yang dituju. “Lumayan! Bisa menghemat waktu dan tenaga!” gumanku lirih.

Tak sampai 20 menit, kami sudah sampai di Fly over. Dari sini, jaraknya ternyata cukup jauh. Berhubung waktu yang semakin dekat menuju on air, kami pun tak kehilangan akal. Setelah tanya sana-tanya sini, dua buah ojek yang sedari tadi sedang menunggu penumpang telah siap mengantarkan kami ketempat tujuan. “kami hanya bisa mengantar sampai tempat yang mungkin dijangkau. Karena lebih dari itu banjirnya sudah sangat parah, dan motor gak mungkin kesana”, ungkap supir ojek yang menemaniku. “Ya, gak apa-apa, yang penting bisa sampai di Km 11 bagaimanapun caranya” ujarku.

Benar saja, tak sampai 10 menit, kami berhasil tiba di Km 11. Disana ribuan warga sedang sibuk. Ada yang mengangkat perabotan rumah tangga, ada yang menunggu bantuan, dan tak sedikit yang terlihat bengong mmenghadapi situasi akibat banjir.

Disini, dengan cekatan aku menanyakan dimana lokasi posko pengungsi, saat bertemu warga. Dengan cepat pula mereka menunjuk suatu tempat di sisi kanan jalan. Ditempat itu, tepatnya berupa halaman depan sebuah pabrik, disulap menjadi posko oleh warga, sembari menunggu bantuan datang, baik sandang maupun pangan.

Berhubung misi awal meliput kunjungan SBY. Kembali aku menanyakan, benar tidaknya kabar kunjungan sang presiden di tempat ini. Dan, lagi-lagi warga kaget mengetahui berita tersebut. Kebanyakan dari mereka tidak tahu, malah baru mendengar sekarang. Saat kutanyakan apakah masih ada posko di tempat lain selain disini. Mereka merujuk Km 12, yang jaraknya cukup jauh dari sini. “Disana lokasinya lebih parah pak! Hampir semua rumah kelelep air, karena luapan Sungai Kedaung. Pintu air pun gak mampu menahan derasnya luapan air, tutur seorang warga.

“Waduh, kalo gini ceritanya, bisa gawat neh! Rencana meliput SBY bisa terancam bubaar” tuturku membathin. Tapi, lihat ntar aja deh! Moga-moga masih masih ada yang menarik untuk di liput.

Dari perhentian ojek terakhir, kami harus berjalan kaki selama 20 menit lagi untuk tiba disana. Benar saja, kawasan yang dilalui Sungai kedaung tersebut telah menggenangi seluruh rumah warga dan badan jalan kena imbasnya, akibat besarnya debit air.

Saat kutanya dimana lokasi posko, ternyata mereka tidak tahu! Kebanyakan warga mengungsi ke tempat-tempat yang lebih tinggi, seperti rumah ibadah ataupun rumah saudara terdekat. Berhubung banjir baru 2 hari melanda, belum ada inisiatif warga untuk mendirikan posko. Mereka lebih memilih untuk membereskan barang-barang yang masih bisa diselamatkan.

Di sebuah sudut, abe terlihat sibuk mengabadikan beberapa momen, mulai dari aktivitas warga, sungai yang meluap, sampai aktivitas memperbaiki motor yang mogok karena banjir. Sementara, aku giat mengumpulkan sebanyak mungkin data, sebagai pelengkap tulisan.

Melihat situasi yang demikian, aku pikir gak ada yang istimewa. Semua terlihat begitu general, dan mungkin sudah diliput oleh rekan-rekan yang lain, sejak kemarin. Kalau hanya cerita mengenai banjir secara umum, kelihatannya kurang menarik.

******

Saat mengamati sekeliling, iseng-iseng aku menanyakan perihal banyaknya orang yang terlihat sibuk memperbaiki sepeda motor yang rusak. “mereka warga sini pak! Kebetulan bisa sedikit montir. Sejak banjir datang, mereka menawarkan jasa memperbaiki motor yang mogok akibat banjir. Ternyata banyak yang membutuhkan jasa mereka”, ungkap seorang warga sembari menunjuk pada montir-montir dadakan tersebut.

Aha..., ini dia yang aku cari! Cerita ini bisa jadi liputan yang menarik. Apalagi sejak kemarin belum ada tayangan mengenai hal ini.

Sejurus kemudian, aku memberi saran pada “Abe” agar dia lebih berkonsentrasi pada montir-montir dadakan tersebut. Agar lebih fokus, kita mengambil contoh sebuah motor yang sedang diperbaiki oleh 2 orang sahabat ini.

Sejak mogok setelah melewati banjir, Dedi, seorang pengendara motor, merasa kewalahan untuk menghidupkan kembali motornya. Untunglah ada Erwin dan Budi, warga sekitar yang bersedia membantunya, walau dengan bayaran ala kadarnya.

Kemahiran dua orang sahabat ini dalam hal otak-atik mesin ternyata bisa diacungi jempol. Maklum profesi mereka memang montir. Tapi sejak banjir datang, bengkel mereka tutup, mereka pun tak punya pekerjaan lagi.

Berbekal keahlian ini, ternyata mereka jeli melihat peluang. Saat bengkel tutup, mereka pun mencari kerja dijalanan dengan menawarkan jasa memperbaiki motor yang mogok. “Benar-benar lihai menjemput bola”.

Seperti bisa di duga, dengan begitu cekatan, dalam hitungan menit, mereka telah berhasil menghidupkan kembali motor yang mogok. Pengendara yang tadinya cemas, kini bisa tersenyum puas.

Lepas dari pengendara yang satu, kini mereka bersiap membantu pengendara yang lainnya. “Lumayan bisa nambah-nambah!” ujar Budi dengan wajah sumringah.

*****
Puas dengan satu paket liputan, kami berencana untuk kembali ke mobil. Tapi, saat beranjak, tepatnya di sebuah perhentian bus way, kami di hubungi kantor, perihal perkembangan liputan. Dengan singkat kujawab, bahwa kabar keberadaan SBY ternyata tak diketahui warga dan tak ada tanda-tanda kehadirannya. Lalu aku bercerita tentang paket liputan yang berhasil kami buat.

Sejurus kemudian, kantor menanyakan kondisi pengungsi. Berhubung belum sempat mengecek posko pengungsian, aku bilang kalo disini posko pengungsi tak banyak jumlahnya. Tapi, sembari balik, aku akan coba kesana, mana tahu ada story yang menarik untuk diliput.

Benar saja, setelah bertanya kepada penduduk yang kutemui, keberadaan posko pengungsi yang benar-benar aktif, ternyata ada di sebuah perusahaan swasta, tak jauh dari tempat kami berada.

Tak lama berselang, kami telah berada di halaman pabrik swasata penghasil batu battere. Sebelum meliput kami harus ijin dahulu ke pihak perusahaan. Dan, untung pihak perusahaan berbaik hati dengan mengijinkan kami masuk.

Saat menyusuri halaman pabrik, Purwanto, mewakili pihak perusahaan, bercerita tentang kondisi pabrik yang dijadikan posko pengungsi. Dari penuturannya diketahui, bahwa setiap banjir datang, pihak perusahaan menyediakan tempat berlindung bagi warga sekitar. “kalo tahun 2002 lalu, kami bisa menampung 1500 orang pengungsi atau 150 KK, sementara sekarang pengungsi yang masuk baru sekitar 350 orang atau 71 KK”, ungkapnya.

Tak berhenti sampai di situ, perusahaan juga memberikan bantuan ala kadarnya, seperti bantuan makanan mie instan, fasilitas ruangan, sampai fasilitas kesehatan.

******
Kalau aku bercerita tentang lokasi pengungsian secara umum, aku pikir belum cukup. Untuk visual, akan lebih menarik jika memulainya dengan “personalisasi”, mengambil contoh seorang pengungsi (human excample: red).

Setelah berkoordinasi dengan “Abe”, kamipun sepakat untuk mengangkat cerita ibu ini. Yuliani, namanya. Dia salah seorang pengungsi dari kampung sekitar pabrik yang tiba kemarin subuh. Berbeda dengan pengungsi yang lain, dia punya cerita unik yang menarik untuk diangkat.

Saat hendak diwawancara, dia terlihat mengantri di dapur yang disediakan perusahaan, hanya untuk memasak mie instan bagi suaminya, yang belum makan sedari pagi.

Sembari mengantar makanan, perempuan ini bercerita bagaimana bisa tiba di pengungsian. “waktu itu lampu mati, kemudian ada arahan dari masjid, supaya warga segera meninggalkan rumah karena tinggi air sudah hampir 2 m, hanya dalam hitungan jam”, ujarnya. Mendengar itu, bersama seorang anaknya, diapun bergegas ke pengungsian. Sementara itu, sang suami berencana menjaga rumah sambil menyelamatkan harta benda yang tersisa.

Namun sayang, saat memindahkan beberapa kraat botol yang mengganggu pergerakannya, musibah itu pun terjadi. Ntah mengapa, tiba-tiba saja sebuah botol meledak dan melukai tangan kirinya. Akibat kecelakaan itu, serpihan kaca masuk sedalam 3 cm ke dalam tangannya. “kayak daging di sate, nak! Darah pun langsung mengucur” tuturnya.

Untuk menghentikan pendarahan, dia berinisiatif menarik pecahan beling tersebut. Namun apa ayal, darah malah mengucur semakin deras. Ini yang membuatnya kalut. Kondisi yang gelap gulita, sementara warga yang lain sibuk menyelamatkan harta benda masing-masing. Tinggallah dia sendiri, tak tahu harus berbuat apa. Hanya dengan berbalutkan kain ala kadarnya, dia pun berinisiatif menuju poliklinik 24 jam, tak jauh dari tempat tinggalnya.

“saya sudah tak ingat lagi berapa banyak darah yang mengucur sewaktu menuju poliklinik”, ungkapnya kemudian. Untunglah di depan gang ada beberapa tukang ojek yang bersedia membawanya, setelah melihatnya lemas akibat kehabisan darah. Menurut dokter yang memeriksa, minimal 3 liter darah terbuang percuma, sewaktu menuju poliklinik. Akibat kegiatan sepele dalam upaya penghentian pendarahan, dia pun harus kehilangan banyak darah, yang hampir merenggut nyawanya.

Aku pikir, cerita tersebut layak dijadikan liputan. Setelah semua berhasil diabadikan dan wawancara berjalan lancar, kami pun beranjak pergi, setelah terlebih dahulu mohon diri. Masih dengan kesan mendalam akibat banjir yang melanda Jakarta kali ini, aku hanya bisa berdoa semoga aku tidak mengalaminya. Karena, aku belum siap dengan banjir. Aku hanya berharap semoga mereka dikuatkan, sembari menunggu bantuan tiba dan banjir reda dengan sendirinya.

Sejurus kemudian kami pun beranjak, meninggalkan duka para pengungsi, menuju mobil yang jaraknya masih cukup jauh. Dan untuk itu, kami harus berjalan 5 Km lagi, menyusuri banjir setinggi paha... “Ah.., perjalanan belum berakhir rupanya!”

No comments:

Post a Comment