DKI Jakarta boleh saja kehilangan 80 nyawa dengan jumlah pengungsi 316.825 orang saat banjir menggenangi 70% kawasannnya. Saat banyak orang yang jadi korban, akibat sanitasi yang buruk, kurang makanan bergizi, diserang penyakit dan tidak punya tempat tinggal, banjir duit malah mengalir ke rumah wakil rakyat. Pasalnya, Peraturan Pemerintah (PP) 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD hanya direvisi!
Walau protes berdatangan dari banyak pihak (baca: masyarakat, mahasiswa dan LSM) perihal pembatalan PP no.37/2006, ternyata pemerintah hanya melakukan revisi, dengan menghapuskan Pasal 14 (d) tentang Dana Rapelan yang memuat Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Dana Operasional (DO) berlaku surut sejak Januari 2006, namun tetap mempertahankan TKI dan DO dengan cara lain.
Tercatat hanya tiga orang wakil rakyat yang sadar diri dan mengembalikannya, lebih dari 500-an anggota DPR lainnya dengan senang hati menerimanya. Praktik semacam ini sudah berulang kali terjadi dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Bisa dipastikan kerugian tetaplah di tangan rakyat.
Saat bencana alam melanda negeri ini, ternyata masih ada pihak yang ingin mengambil kesempatan. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan penghasilan pimpinan dan anggota DPRD melalui PP tersebut.
Selain besarnya pendapatan anggota dewan, tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional yang diberlakukan mulai 1 Januari 2006 dalam PP No 37/2006, secara nyata-nyata telah bertentangan dengan peraturan-peraturan diatasnya.
Tidak Rasional
Ada baiknya aksi penolakan terhadap PP No 37/2006 tidak hanya dilakukan dalam bentuk judicial review (baca: melakukan uji materi) ke Mahkamag Agung. Aksi turun ke jalan pun pantas dilakukan jika tekanan kepada pemerintah untuk membatalkan PP tersebut masih terkesan malu-malu.
Jika ditelaah, PP ini memang mengandung kontroversi dan sangat tidak logis. Pertama, PP tersebut tidak bisa berlaku surut. Artinya, PP 37 bertentangan dengan undang-undang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terlebih PP ini bertentangan dengan asas kepatutan, karena akan memperkaya anggota dewan.
Contohnya, dalam UU No 10/2004 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, pasal 5 menyebutkan PP harus punya kejelasan tujuan. Jika dikaitkan dengan PP 37/2006, tak jelas apa tujuan PP ini? Bicara keberhasilan, rasanya masih jauh dari harapan. Apa dengan dana tunjangan itu kinerja DPR menjadi baik? Tida ada jaminan!
PP No.37/2006 juga bertentangan dengan UU No.17/2000 tentang Pajak Penghasilan, karena ternyata wakil rakyat tidak membayar pajak! Apa anggota DPRD punya hak istimewa tak bayar pajak?
Seharusnya, setiap orang adalah obyek pajak, tanpa kecuali. Kalau dibebankan kepada APBD, relatif besar juga dana APBD yang terkuras, sehingga mengurangi anggaran pembangunan untuk masyarakat. Ini tidak adil, presiden saja bayar pajak, masak anggota dewan tidak bayar pajak?
Dari aspek politik, PP itu akan memberi fasilitas yang berlebihan kepada anggota Dewan dalam kurun dua tahun. Seperti diketahui PP itu merupakan perubahan kedua dari PP No 24 Tahun 2004, yang sebelumnya diubah menjadi PP No 37 Tahun 2005. Ini dapat dilihat dari kenaikan penghasilan anggota DPRD yang cukup tajam, dari 8 item menjadi 12 item sumber pendapatan.
Pengalokasikan tunjangan komunikasi dan operasional untuk anggota DPRD berdasar PP itu juga menyinggung rasa keadilan dalam penganggaran. Distribusi anggaran yang seharusnya dimasukkan dalam 15 item urusan wajib daerah, malah masuk ke kantong anggota DPRD.
Sudah rahasia umum, biaya belanja komunikasi dan operasional sengaja dilambungkan sedemikian rupa, padahal sebetulnya tak semahal itu. Pemberlakuannya sejak 1 Januari 2006, ternyata melanggar jadwal kalender anggaran daerah, karena tidak mungkin dimasukkan dalam anggaran perubahan. Dan kemampuan keuangan daerah yang ada sebenarnya tidak riil karena tidak didasarkan pada pendapatan asli daerah.
Agar masyarakat tidak terjatuh dalam kemiskinan yang semakin dalam, sudah saatnya pemerintah daerah tidak mencairkan dana itu dan tidak membuat perdanya. Bagi daerah atau anggota DPRD yang sudah menerima dana tersebut sesuai PP No 37 Tahun 2006 perlu dilakukan uji materi.
Revisi atau Cabut Sama Saja
Berita revisi PP No 37/2006 mengundang banyak pertanyaan dari berbagai pihak. Kabarnya keputusan itu muncul berkaitan dengan wacana di Forum Expert Meeting di Jogjakarta (Minggu, 28/01/07). Pertemuan itu memunculkan argumen, bahwa presiden bisa di-impeachment bila tetap mempertahan PP tersebut. Pasalnya, PP tersebut dinilai rentan tindak korupsi.
Keputusan pemerintah mencabut PP 37/2006 diduga berkaitan erat dengan munculnya kritik-kritik pedas dari berbagai elemen masyarakat. Apakah adil, ketika rakyat dilanda bencana, anggota DPRD malah menikmati uang rapel?
Apa pun alasan dan latar belakangnya, pada Selasa (30/1) pemerintah telah mencabut PP No 37/2006 dan menginstruksikan Menteri Dalam Negeri. Moh Ma’ruf untuk menyiapkan revisi PP tersebut dengan menerbitkan PP pengganti.
Dalam konteks ini, masyarakat dibuat semakin bingung? Sebab, manakala sebuah PP dicabut, tentulah PP tersebut tidak berlaku lagi, diganti dengan PP baru yang tentunya tidak bertentangan dengan peraturan atau perundang-undang diatasnya. Sedangkan jika dilakukan revisi, berarti hanya beberapa point saja yang di ganti dan secara keseluruhan peraturan tersebut masih relevan dengan situasi saat ini, tentunya dengan nomor peraturan yang baru.
Dari sini kelihatan bahwa pemerintah tidak tegas. Kalau memang PP tesebut dianggap bertentangan dengan rasa keadilan, tak ada cara lain selain di cabut lalu di ganti. Bukan dengan mengganti judul, tapi isinya tetap sama. Terlalu mubajir rasanya, presiden telah menetapkan tiga kali PP tentang Protokoler dan keuangan DPRD dalam waktu dua tahun, padahal masih banyak agenda lain yang lebih penting berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Perhatikan revisinya, untuk Tunjangan komunikasi Intensif (TKI) dan dana Operasional (DO) bukannya dihapuskan tetapi dibuatkan pengertian baru. Sebelum revisi, TKI dan DO diperlakukan sebagai belanja pegawai, sekarang TKI pimpinan dan anggota DPRD diperlakukan sebagai belanja pegawai, sedangkan DO untuk pimpinan DPRD menjadi Belanja Penunjang Operasi Pimpinan (BPOP), bukankah uang rakyat yang sama tetap mengalir apa pun definisi baru yang ditetapkan melalui revisi.
Adapun TKI dan BPOP yang sebelumnya diserahkan kepada daerah, sekarang diubah dengan pembagian kelompok berdasarkan kemampuan keuangan daerah (tinggi, sedang, dan rendah). Untuk daerah dengan kemampuan keuangan tinggi, maka BPOP untuk ketua DPRD maksimal 6 kali dana representasi, sedangkan TKI maksimal 3 kali dana representasi.
Sedangkan pemberlakuannya satu bulan setelah PP yang baru diundangkan, tidak lagi berlaku surut dari Januari 2006. Adakah yang menjamin uang rakyat yang mengalir ke rumah wakil rakyat lebih rendah ketimbang sebelum revisi? Tak ada jaminan apapun, karena pimpinan daerah umumnya juga terbiasa berkongkalingkong dengan lembaga legislatif, apalagi bila posisi politiknya sangat rentan seperti Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang hanya didukung sepenuh hati oleh partai gurem miliknya, Partai Demokrat.
Umumnya pendapatan anggota DPRD kabupaten/kota per bulan rata-rata Rp 10-15 juta, sedangkan di tingkat provinsi sekira Rp 25-30 juta/bulan, lalu di DPR-RI sekira Rp 50-75 juta/bulan. Bandingkan dengan Garis Kemiskinan (GK) yang ditetapkan Survei Sosial Nasional (Susenas, 2006) pada Februari 2005 yaitu Rp 129.108/kapita/bulan, lalu pada Maret 2006 dinaikkan menjadi Rp 152.847/kapita/bulan. Dari angka GK inilah, kita menemukan jumlah penduduk miskin di Indonesia sekarang naik dari 35,10 juta jiwa (15,97%) menjadi 39,05 juta jiwa (17,75%).
Bandingkan juga angka GK ini dengan pendapatan per bulan anggota DPRD kabupaten/kota sekitar 100 kali lipat, dengan anggota DPRD Provinsi sekira 200 kali lipat, dan dibandingkan pendapatan anggota DPR-RI sekira 500 kali lipat. Sungguh tak bermoral jika para wakil rakyat masih berniat menambah pendapatannya melalui PP 37/2006.
Harus Dikembalikan
Para anggota DPRD yang sudah terlanjur mengambil uang itu, sebaiknya segera mengembalikannya. Jika tidak dikembalikan, maka ia melanggar berbagai peraturan perundang-undangan dan karenanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, Pemerintah Pusat harus segera mencabut PP No 37 Tahun 2006 dan segera menyiapkan aturan sistem penggajian yang menyeluruh perihal masalah protokoler dan keuangan anggota dewan, sehingga jauh dari sifat korupsi.
Rasanya sudah cukup semua fasilitas bagi anggota dewan, apalagi itu berasal dari keringat rakyat. Selalu saja mereka yang diuntungkan. Tetapi, saat ditanya dimana kepekaan dan solidaritas mereka? Kita pasti tahu jawabnya! Bukankah mereka dipilih untuk menyuarakan inspirasi dan memperhatikan kepentingan rakyat, bukan sekadar menikmati fasilitas rakyat?
Mestinya mereka memiliki kepedulian pada rakyat yang semakin miskin ini. Tindakan wakil rakyat seharusnya tidak sekadar berdasar legalitas hukum, tetapi juga dilandasi kepekaan nurani untuk memperjuangkan keadilan, khususnya mereka yang lemah, tertindas, dan menderita, bukan dengan merampok uang rakyat. Sehingga jangan heran, rakyat semakin apatis dengan segala fungsi; eksekutif, yudikatif, apalagi legislatif sekarang ini.
No comments:
Post a Comment