Thursday, March 29, 2007

Asumsi Sang Pencatat


...
Saat ku tanya pada banyak teman, apa makna pertemuan kemarin malam? Kebanyakan menjawab: ah... hanya retorika, tanpa makna, cuma basa-basi, sebuah yang normatif, kagak tahu (abis gue tidur, seh!), mirip ceramah jum’at (bedanya tidak diakhiri doa), tak penting, hanya demi kepentingan pemilik modal, de el el.

Tapi, benarkah demikian? Mungkin ada baiknya kita telaah lebih dalam. Pertemuan akbar antara owner (baca: manajemen) dengan kru news, menurut hematku merupakan yang pertama dilakukan, sejak aku menjejakkan kaki dan bergabung di lantai 3 TRANS TV. (untuk ini mohon di koreksi)

Pertemuan yang berdurasi kurang lebih satu jam itu, ternyata hanya berisi beberapa point penting. Apakah itu, akan saya uraikan pada paragraf selanjutnya.

Ketika di tanya pada semua peserta yang hadir, apa alasannya ikut di pertemuan ini. Bisa dipastikan 80 hingga 90%, isi kepala anak-anak news berisi tentang ketidakpastian pencairan bonus tahunan yang jumlahnya cukup besar, selain karena unsur kewajiban. Jika tahun lalu, bonusnya dibagikan di akhir februari, berbeda dengan tahun ini. Bonus tersebut ternyata dibagikan mundur dua bulan berselang, dengan alasan yang simpang siur, karena tak ada kejelasan, baik berupa selebaran maupun dengan surat keputusaan. Padahal pembagian ini merupakan isu yang krusial. Coba bandingkan dengan penggunaan seragam yang pengaturannya begitu rinci dan di teguhkan menjadi sebuah Surat Keputusan perusahaan dengan sanksi yang cukup berat. Peraturan ini juga yang membuat setiap orang menjadi kecut, termasuk saya, jika coba-coba berontak. ”Ujung-ujungnya bisa berpengaruh pada bonus, mas!”, ujar Udin (OB) yang ternyata paham tentang pentingnya sebuah bonus.

Padahal masalah seragam, tidaklah sekrusial kesejahteraan, maupun masalah perlengkapan dan prasarana yang sering menjadi dilema. Jika saja kita jujur mengakui, penggunaan seragam hanyalah demi enak dipandang mata. Tak ada hubungannya sama sekali dengan share/ maupun rating yang akan dihasilkan. Pasalnya, jika bisa menjadi yang pertama, tetangga jauh (baca; RCTI) pasti akan melakukannya beberapa tahun silam, jauh sebelum TRANS TV berdiri. Tetapi faktanya, mereka tetap menjadi yang pertama tanpa embel-embel seragam. (Tak terlihat penggunaan seragam sama sekali, saat saya mengunjungi seorang teman yang jadi karyawan di sana beberapa bulan silam.)

Sepertinya sudah terlalu jauh! Ada baiknya, kita kembali ke Lapt.., maksud saya ke pokok permasalahan. Ya..., pertemuan dengan bapak CT lebih tepatnya. Arahan yang di dominasi suasana kesunyian dan ternyata diteruskan dengan absensi peserta, membuat kegiatan ini menjadi penting.

Jika tak ingin menduga kegiatan ini merupakan agenda settingan. Ada baiknya kita memulai dari iming-iming perusahaan setahun lalu. Entah siapa yang memulai, saat itu, santer berembus kabar, bahwa setiap karyawan yang telah bekerja lebih dari 1 tahun akan mendapatkan bonus sebesar 15 – 35 x gaji, jika target penjualan mencapai 1 T (baca: triliun). Ternyata, Praise the Lord, target tersebut berhasil digapai.

Setahun kemudian, pertanyaan pun muncul; berapa angka riil yang akan diterima karyawan? Sampai detik ini tak ada yang tahu pasti, kecuali pihak manajemen dan Tuhan. Sebersit tercetus angka rata-rata 15 kali gaji dari omongan si empunya tempat ini. Namun, tiap orang dapatnya berapa? Itu semua terpulang pada Performa Appraissal (PA) dan kontribusi programnya terhadap kemajuan station ”milik kita bersama” ini.

Pertemuan yang di rancang pada pukul 18.30 wib, kelihatannya mundur dari waktu yang direncanakan. Pasalnya, tepat jam 19.05 wib kami tiba di kantor sehabis pulang liputan dan langsung menuju auditorium 3A di gedung Bank Mega, ketika acara tersebut baru berlangsung. Terlihat Pak CT -sebutan bagi Chairul Tanjung, pemilik TRANSCorp- begitu bersemangat, saat memulai arahannya. Disela-sela pancaran sinar tungsten pertanda temaram, sosok CT begitu dominan di tengah ruangan dengan nada suara yang tegas, membuat semua mata mengarah padanya. Menurut pengamatanku kurang lebih 90% anak-anak news hadir di pertemuan ini. ”Betul-betul sebuah peristiwa langka”, gumanku lirih sembari membetulkan posisi duduk.

Dari semua arahannya yang bisa aku tangkap, rasanya tak ada yang istimewa. Pasalnya, sedari awal, orang nomor satu di perusahaan ini mencoba terus memotivasi kinerja anak-anak news. ”Sekarang news telah menjadi lokomotif bagi perusahaan ini. Artinya, news memegang peranan yang cukup penting bagi perkembangan perusahaan”, ungkapnya dengan penuh semangat. (Aku gak tahu, apakah dia akan mengatakan hal yang sama terhadap divisi lain, ataukah ini sebagai penggugah semangat!)

Di saat yang sama, dia juga mengingatkan, agar kita jangan terlalu cepat berbangga diri dengan semua yang telah kita capai. Sekarang saatnya tunjukkan prestasi yang lebih baik dan bekerja lebih giat. Jangan sampai kita mengalami hal yang buruk seperti dialami station lain, yang di kesempatan ini dia mencontohkan INDOSIAR. Menurutnya, beberapa tahun silam station tersebut pernah mencapai posisi pertama. Namun hanya dalam kurun waktu yang relatif singkat, beberapa tahun berselang, perusahaan tersebut menuju kemunduran yang sangat signifikan. Di sela-sela biaya produksi/operasiona l yang begitu besar, mutu program yang mereka hasilkan tak menunjukkan perubahan. Mereka kurang jeli melihat dinamika penonton yang memang tak bisa dijadikan acuan. Ini yang membuat angka penjualan mereka menjadi seret. Kini, iklan yang nyata-nyata menjadi jantungnya televisi mulai melirik station yang lebih prospek, TRANS TV salah satunya.

Sampai disini, semua tampak terhenyak! Sebuah penjelasan yang mengagumkan. Diam sejenak, kembali dia melanjutkan presentasinya. Di kesempatan ini, sang pimpinan mengajak semua orang kembali (back to orientation) pada arah yang ingin dicapai oleh perusahaan. Saat ini kita harus lebih giat, karena jika dibandingakan dengan penerimaan pada bulan yang sama tahun lalu. Bulan ini kita mengalami kemunduran. Kalau bulan yang sama tahun lalu bisa mencapai 20 M, bulan ini kita baru mencapai setengahnya. Untuk itu perlu ekstra kerja keras. Belum lagi, jika dihadapkan pada impian masa depan, yang rencananya akan membangun gedung 45 lantai dengan peruntukan gedung sekarang sebagai studio, bisa dipastikan betapa visionernya sang pemimpin ini.

Rencananya, tahun ini kita harus menjadi yang pertama, baik dalam share/ rating maupun penjualan iklan. Dan, semua itu bisa dicapai jika kita (baca: TRANS TV) memperoleh share station 20 % dengan share minimal news sebesar 18%. Yang jika dikaitkan, akan berkorelasi linear dengan target penjualan sebesar 1, 5 triliun tahun ini. Sungguh, sebuah hitung-hitungan yang cukup jeli secara matematis.

Di sela-sela pertemuan tersebut, yang kalau gak salah, ketika belum menyinggung bonus, kejadian unik pun terjadi. Tiba-tiba saja, aliran listrik di ruangan tersebut padam. Suasana langsung berubah gelap. Semua jadi lengang. Sama sekali tak terlihat sosok sang pimpinan apalagi suaranya yang tadi terdengar lantang. Hanya segelintir orang di bagian belakang yang terlihat riuh, diantaranya; anak news dan operator ME (mechanical electrical) yang langsung tanggap dengan situasi yang terjadi. Sesekali terdengar pekikan ”sabotase-sabotase” yang diteriakkan oleh anak-anak news di bangku bagian belakang.

Sampai disini, aku jadi waswas. ”Jangan-jangan memang ada sabotase atau ini memang sebuah pertanda!”, pikirku. Bagi orang awam seperti saya yang tak paham dengan fenomena tertentu, insiden seperti itu tentulah tak banyak artinya. Tapi bagi seorang CT, kejadian itu bisa bermakna lain. ”Abis, dia percaya fengshui, seh! Sampai-sampai di kantor ini gak akan ditemukan angka bernomor 4”, guman seorang teman disebelahku.

Sebelum mengakhiri presentasinya yang cukup terarah. Sang pimpinan mengajak semua orang yang ada di ruangan itu, untuk segera meninggalkan alat hitung (baca; kalkulator). Saatnya menghasilkan karya yang lebih baik dari sebelumnya. Jangan terlalu pusing dengan bonus perusahaan (tahun lalu) sebesar 80 milyar yang rencananya akan di bagi habis untuk semua karyawan. Menurutnya; tenang saja, semua pasti dapat. Hanya saja, pembagiannya tidak merata, karena didasarkan atas PA dan kontribusi program terhadap keuntungan perusahaan. ”Itu sebabnya, mengapa divisi News, Produksi dan Marketing mendapat proporsi pembagian yang lebih besar”, tuturnya.

Akhirnya, untuk membuat dialog antara pemilik modal dan karyawannya lebih hidup. Di sesi terakhir dia (CT) mengijinkan kami (kru news) untuk bertanya apa saja, yang jadi permasalahan karyawan selama ini.

Dari tiga orang penanya, aku pikir semua pertanyaannya sangat normatif! Pasalnya, semua pertanyaan merupakan pertanyaan lama yang saking klasiknya, sering disebut sebagai pertanyaan klise, yang sampai saat ini masih dalam tahap penyesuaian. Menurut CT, sekarang ini, saat keuntungan besar berhasil diraih bukan berarti dana tersebut bisa di hamburkan begitu saja pada hal-hal yang kurang krusial. ”Ada bidang dan tahapan penting yang jadi skala prioritas”, ungkapnya.

Dari beberapa pokok pertanyaan, hanya pertanyaan Rizky (presenter) -yang langsung disambut dengan tepuk tangan-, yang memiliki bobot lebih. Pertanyaan tersebut yang jadi inti semua pertanyaan bagi semua peserta yang hadir. ”Pembagaian Bonus” lebih tepatnya!

Berawal dari Asumsi

Jika boleh kusimpulkan, semua omongan sang pimpinan berawal dari sebuah asumsi. Asumsi yang berasal dari olah pikirnya sendiri. Asumsi yang muncul dari perkiraan dan kemungkinan yang timbul dari gejala ataupun kejadian yang telah terjadi selama ini. Asumsi, yang bisa membuat seseorang merasa melakukan sesuatu yang benar dan berakhir pada pembenaran. Asumsi yang bisa menjadikan empunya asumsi terjebak pada pemahaman sempit. Serta asumsi yang membuat mereka-mereka takkan pernah mau mendengarkan pendapat orang lain. Sungguh, begitu berbahayanya sebuah asumsi?

Ijinkan saya sedikit berfilsafat, walau saya bukanlah seorang filsuf. Saya hanyalah seorang pencatat, yang sering mencatat sebuah peristiwa dan menurut hemat saya layak untuk di catat. Persis sama seperti saat ini, ketika moment penting terjadi.

Bermula dari asumsi, bahwa kita (TRANS TV) akan mengalami hal buruk jika tak bercermin dari kejadian yang ada. Menurutnya (baca; Pak CT), dengan mengambil contoh runtuhnya INDOSIAR, merupakan sebuah penggambaran yang tepat. Tapi, apakah benar station tersebut menuju kehancurannya jika tak berbenah diri. Jawabnya; bisa ia, bisa tidak! Karena tak ada yang tahu pasti, kecuali kita ada di dalamnya. Apalagi, berembus kabar, kalo INDOSIAR pecah akibat tak akurnya para pemilik modal. Jika, tidak adanya investor dan mutu program yang buruk dijadikan kambing hitam, mungkin bisa jadi sebuah pembenaran. Tapi, itu merupakan bagian kecil dari sebuah sistem yang diciptakan oleh pemilik modal. Sebab, permasalahan terbesar terletak pada pemilik modal. Merekalah yang menentukan arah perusahaan. Jika pemilik modal tidak akur dan tak punya satu suara, bisa dipastikan akan berdampak pada performa perusahaan. Itu sebabnya tak boleh ada dua kapten di sebuah kapal.

Selanjutnya, saat Pak CT berasumsi bahwa sekarang saatnya bekerja lebih giat untuk bisa menghasilkan share 20% dan penjualan 1,5 T, serta lupakan semua kalkulator! Secara implisit, arahan tersebut bisa jadi benar! Tapi, apakah beliau sadar bahwa semua itu akan tercapai jika kesejahteraan karyawannya terpenuhi. Karena, kesejahteraan berbanding lurus dengan motivasi kerja. Apa yang terjadi jika setiap karyawan di tuntut lebih, sementara haknya tidak terpenuhi. Jangan salahkan, jika terjadi demoralisasi. Jangan salahkan jika karyawan tidak memiliki self of belonging yang tinggi, atau dalam bahasa sehari-hari disebut ”itung-itungan” . Itu yang terjadi saat ini, ketika hak kita sebagai buruh terkangkangi.

Di kesempatan itu, sang pimpinan kembali berasumsi, bahwa dengan pembagian bonus yang jadi hak kita (baca; buruh) merupakan pecut untuk lebih giat tahun ini. Beliau tak menyadari, bahwa bonus itu merupakah hak kita setahun lalu, bukan tahun ini. Hanya saja pembayarannya kita terima sekarang ini. Saat itu, dengan begitu bersemangat, segenap karyawan menghasilkan karya terbaiknya. Saat penjualan mencapai target, yang terjadi adalah ketidakjelasan besarnya bonus. Apakah, karena nilainya yang begitu besar sehingga bingung untuk membaginya. Mungkin juga! Sehingga wajar jika bonus menjadi pertanyaan seluruh karyawan. Apalagi jadwal pencairannya tak ada yang tahu, sebelum berakhirnya pertemuan kemarin malam. Ketika tahun ini, kita di patok untuk mencapai angka 1,5 T. Tugas kitalah untuk menggapainya. Sebuah petualangan baru yang cukup seru. Tapi harus diingat, bukan berarti jika target sebesar 1,5 T tidak tercapai, maka kinerja kita buruk. Masih banyak faktor yang mempengaruhinya.

Permasalahan Sebenarnya

Ketika pertemuan tersebut dianulir hanya dengan tiga orang penanya! Jujur, saya menjadi pesimis. Sama pesimisnya seperti yang lain, ketika masih banyak hal yang ingin di tanyakan pada forum seperti ini. Maklum, pertemuannya belum tentu bisa terjadi bulan depan apalagi tahun depan.

Saat pernyataan tentang bonus yang dijawab oleh Pak CT sebagai penutup pertemuan. Semua seakan terlena, walau tak ada yang tahu pasti, berapa besaran yang akan diterima oleh masing-masing karyawan. Penegasan tentang pembagian bonus tanpa sisa bagi semua karyawan, telah menjadi angin surga yang memabukkan.

Sepertinya, semua terbius dengan penjelasan ini, yang menurutku masih saja tak jelas. Saat dia (baca: pak CT) mengutarakan tentang pembagian yang adil antara setiap divisi, yang lagi-lagi ternyata tak adil, menurutku hanya akan menimbulkan friksi antar divisi. Bagaimana mungkin, bagian lain, seperti facilities. GA, GS dan sebagainya mendapatkan porsi yang lebih sedikit ketimbang divisi News, Produksi dan Marketing. Padahal, sejak bergabung, benak kita di jejali, bahwa tivi merupakan sebuah kesatuan proses yang saling berhubungan, sehingga tak ada satu unit pun yang merasa lebih penting ketimbang yang lain. Mengapa ketika pembagian bonus harus ada pengkotak-kotakan? Lagi-lagi, perkara adil ternyata tak mudah!

Ketika dengan tergesa-gesa bang Iwan Ahmad Sudirwan (kadiv) mengakhiri pertemuan, tanpa memberi kesempatan bagi penanya lain. Ini jadi pertanda, masih kentalnya aroma orde baru, yang menganut paham ”asal bapak senang”. Bagi sebagian jurnalis, paham tersebut sudah tak jamannya lagi. Tapi, pada praktiknya ternyata masih ada. Bahkan tak usah jauh-jauh, semua tersaji di depan mata kita.

Bukankah hak setiap orang untuk mengutarakan pendapatnya dan itu diatur di dalam undang-undang, apalagi di awal pertemuan dikatakan akan dibuka beberapa termin pada penanya.

Tapi, sudahlah! Semua sudah terjadi!

Walau tak sempat unjuk diri, aku masih memendam tanya, perihal kegelisahanku yang sama seperti kegundahan rekan-rekan di tempat ini. Sepengamatanku, penegasan bonus yang diungkapkan langsung oleh pemilik modal hanya menjadi penentu jawab dari semua ketidakjelasan tanggal pencairannya.

Di satu sisi, hal itu memang penting, karena menjadi haknya karyawan. Sepertinya, pemberian bonus bisa meredam aneka permasalahan yang telah berurat berakar di tempat ini. Saat aku mendiskusikan bahwa ada ”masalah yang lebih besar” dengan seorang senior, pendapatnya cukup logis. ”kalo ternyata gaji rendah belum menjadi masalah bagi semua karyawan, ngapain ribut?” kilahnya.

Ketika ditanya, apakah salary yang mereka terima sudah manusiawi dengan tingkat inflasi yang terjadi sekarang ini, saat semua harga-harga melambung tinggi. Mungkin, dengan lantang sebagian akan teriak: ”tidak cukup”. Bayangkan, jika gaji sebulan, harus habis, hanya untuk menghidupi 2-4 muncung di rumah, bayar kontrakan, bayar kredit/ cicilan, biaya bulanan, ongkos/ bensin, dan lain sebagainya. Bahkan untuk menabung pun sulit! Tentunya, ini yang jadi inti atau masalah yang sebenarnya. Coba bandingkan dengan salary rekan-rekan kita di station lain, yang notabene melakukan hal yang serupa dengan kita. Pasti jauh bedanya!

Ketika bonus di hadapkan dengan realitas rendahnya salary karyawan. Sebagian karyawan malah lebih memilih bonus. Padahal bonus adalah akibat dari angka salary. Saat ini, rendahnya salary (tingkat kesejahteraan) karyawan masih kalah populer dengan penyelesaian masalah bonus tahunan. Mereka tak sadar, bahwa permasalahan yang sesungguhnya adalah perbaikan tingkat kesejahteraan, diantaranya salary. Sungguh, tidak manusiawi jika karyawan digaji rendah dan di paksa hidup di ibukota dimana harga-harga melambung tinggi. Padahal mereka masih punya impian, ya.. minimal untuk nyicil motor atau nyicil rumah sangat sederhana.

Penegasan perihal pembagian bonus menjadi euforia semu dan sementara, yang tak memecahkan persoalan. Di banyak perusahaan, yang menjadi salah satu acuan ataupun motivasi para karyawannya adalah kenaikan gaji yang signifikan, bukan nilai sebuah bonus. Walaupun bonus juga penting.

Siapa yang berani menjamin kita akan mencapai target (baca; bonus) yang telah ditetapkan tahun ini? Tak ada yang bisa menjamin. Yang ada hanyalah berusaha semaksimal mungkin dengan segenap upaya disertai dengan tingkat kesejahteraan yang memadai. Sehingga, ketika bonus yang di dengung-dengungkan sebagai dewa penyelamat berhasil dicapai, merupakan korelasi yang linear dengan tingkat kesejahteraan karyawan. Bisa dipastikan, jika tingkat kesejahteraan terpenuhi, etos kerja dan motivasi akan muncul dengan sendirinya. Bukan dengan iming-iming bonus tanpa perbaikan kesejahteraan karyawannya.

Mustahil rasanya, jika target share 20% dengan pendapatan 1,5 T (baca; kabarnya akan menjadikan TRANS TV menduduki peringkat pertama di Indonesia) berhasil di raih, jika tidak dibarengi dengan tingkat kesejahteraan karyawannya. Jangan-jangan kita hanya bertepuk sebelah tangan.

Mungkin benar apa yang diungkapkan seorang teman ketika makan malam di LG. Dia bilang; presiden aja tahu akan pentingnya sebuah kesejahteraan saat akan melepas 60.000 tenaga penyuluh pertanian ke seluruh Indonesia. Tak ada gunanya kita bekerja keras jika tak sejahtera.

No comments:

Post a Comment