Thursday, March 22, 2007

Menjelajahi Negeri Ex Tapol

(Seorang warga sedang menyuling minyak kayu putih.  foto : jacko agun)

Tak banyak yang tahu tentang keberadaan pulau dengan luas wilayah 12.655 km2. Pulau yang terletak di Barat Ambon ini lebih terkenal dengan eks tapol ketimbang potensi kekayaan hasil bumi yang jadi primadonanya.

Buru, demikian nama pulau yang lebih dikenal sebagai sebuah noktah di atas peta kawasan Maluku. Walaupun noktah ini terlahir lebih besar ketimbang Pulau Ambon, "ibu kota Tanah Maluku" keberadaannya tak banyak digubris orang.

P. Buru, sebelum Perang Dunia II, merupakan pulau penghasil minyak kayu putih, selain penghasil sagu, yang terkenal di pasar-pasar P. Jawa dengan sebutan "Sagu Ambon". Sagu dari tempat para tapol berada, dikatakan orang sebagai sagu yang terbaik. Tapi karena tandusnya tanah serta teriknya sengatan matahari, membuat pencetakan lahan pertanian menjadi sulit. Belum lagi, jarangnya penduduk, keterbelakangan budaya, jauhnya jarak dari pulau-pulau terdekat, menjadikan P. Buru semakin terisolir. Karena itulah, pemerintah Orba menjadikannya sebagai "penjara" bagi orang-orang tahanan. Buru menjadi sama seperti "Sélong" di jaman VOC (dari kata Ceylon, Srilangka sekarang), atau "nDigul" di jaman Hindia Belanda. Tiga kata itu mempunyai arti setali tiga uang: “buangan”.

Tiga tahun sejak Orba berkuasa, Buru dikatakan sebagai "Pulau Tutupan" (tutupan=tahanan), dan karenanya identik sebagai pulau tahanan. Di sana, sepanjang tahun 1969 - 1976 telah dibuang sebanyak 11.948 orang tahanan politik terlibat G30S-PKI.

Berhubung tempatnya para tahanan, pulau itu dibayangkan dikelilingi kawat berduri. Ben Anderson, seorang Indonesianis asal AS, pernah menggambarkan Pulau Buru sebagai Gulag Tropis. Memang, pulau yang luasnya 12.655 kilometer persegi—lebih luas dari Pulau Bali—itu menyimpan sejarah kelam di zaman Orde Baru. Tetapi, hari ini, Pulau Buru tak seperti 30-an tahun silam.

Cara Mencapainya

Sore itu, laut di teluk Ambon terlihat tenang. Ditingkahi semilir angin, cuaca pun tampak bersahabat. Dalam kondisi demikian, rencana menjelajahi Pulau Buru yang terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya semakin kuat. Maklum sudah beberapa hari ini kami berkutat dengan berbagai urusan di pulau yang mulai berbenah pasca kerususuhan rasial beberapa tahun silam. Akhirnya, dengan persiapan yang matang, kami pun meninggalkan pelabuhan Gelala di Ambon menuju P. Buru dengan menumpang kapal ferry setelah membayar Rp. 65 ribu/orang. Perjalanan menuju lautan lepas pun dimulai.

Mencoba alat transportasi kapal ferry bukanlah pilihan yang tepat. Pasalnya, kapal ini diperuntukkan untuk mengangkut mobil, motor, bis dan truk yang hendak menyeberang serta membawa barang-barang dagangan penduduk. Itu sebabnya, penumpang dengan barang bawaan yang banyak lebih memilih transportasi ini. Hal ini juga yang membuat kapasitas tempat tidur di kapal sangat terbatas. Sehingga jangan heran, demi mendapatkan sebuah tempat tidur, para penumpang rela antri dan tiba lebih pagi di pelabuhan sambil merogoh kocek tambahan sebesar Rp. 10.000/tempat tidur.

Bagi mereka yang ingin cepat-cepat sampai di P. Buru bisa menggunakan alternatif lain, yakni dengan kapal cepat ataupun pesawat terbang. Untuk kapal cepat, waktu tempuh lebih ringkas. Hanya 3-4 jam perjalanan, kita bisa sampai dengan membayar Rp. 160.000/orang. Kapal cepat ini beroperasi 2 kali sehari, yaitu pagi dan siang hari. Sedangkan dengan pesawat terbang, waktu tempuh hanya 45 menit dengan membayar Rp. 150.000 saja. Namun perlu diingat, jadwal pesawat ke pulau ini hanya 1 kali dalam seminggu, yakni tiap hari Jumat.

Dalam perjalanan panjang seperti ini, tempat tidur ataupun lokasi yang sedikit lapang untuk merebahkan diri menjadi penting. Sebab, dua belas hingga lima belas jam ke depan kita akan bergelut dengan ombak laut yang terus bergelora. Bagi penumpang yang tak terbiasa, mabuk laut pasti kerap mendera. Hanya tidur yang membuat suasana menjadi lebih baik, walau gelombang sedang tinggi-tingginya.

Berhubung kami datang terlambat, keberadaan tempat tidur telah terisi penuh oleh penumpang yang lebih dahulu tiba. Jadilah kami hanya menempati beberapa buah bangku kosong. Itupun setelah bergerilya ke seantero penjuru kapal. Tepat pukul 17.05 WIT, terompet tanda keberangkatan segera dibunyikan. Para pedagang yang sedari tadi berlalu lalang di lambung kapal mulai meninggalkan jejak. Dari anjungan secara perlahan teluk ambon beserta beberapa kapal nelayan mulai terlihat menjauh seiring laju kapal menuju perairan laut Banda yang terkenal ganas.

Saat seperti ini tak banyak yang bisa kami perbuat, selain ngobrol ngalar ngidul dengan sesama penumpang, sembari mencari tempat kosong yang mungkin bisa kami gunakan untuk berbaring saat malam menjelang. Mencoba duduk selama puluhan jam pastilah sangat menyiksa. Selain badan yang mulai lemah, rasa mual akibat ombak laut, membuat kami harus menemukan tempat yang aman untuk berselonjor. Tapi, sampai lewat tengah malam, lokasi aman belum juga ditemukan.

Untungnya, saat arlojiku merujuk angka 01.15 WIT, beberapa buah bangku mulai ditinggalkan penunggunya. Mungkin mereka telah mendapatkan tempat yang aman untuk berbaring. Melihat saya yang mulai pusing akibat ombak laut, bapak tua yang ada di depanku segera menawarkan tempat itu. Tanpa pikir panjang segera kuhampiri bangku tersebut. Sejurus kemudian kurebahkan diri sembari membetulkan posisi tidur. Sementara temanku, segera menghambur menuju pojokan lorong yang sudah ditinggalkan penghuninya. “Semoga saja, kapal ini masih ada ketika fajar menjelang”, gumanku lirih seraya menutup mata.

Keesokan harinya, sejak pukul 05.00 WIT, kesibukan mulai terasa dikapal ini. Para penumpang yang tadinya tidur, kini mulai berbenah. Toilet yang cuma ada dua pun mulai dipenuhi penumpang untuk aneka kegiatan, seperti mandi, mencuci dan keperluan sholat. Sejak itulah keruwetan mulai menjelma, makin lama makin riuh, seiring pelabuhan Namlea, ibukota Kabupaten Buru mulai tampak diujung sana.

Tepat pukul 09.10 WIT, kapal Ferry yang kami tumpangi merapat di pelabuhan setelah bertarung puluhan jam dengan ganasnya laut. Dari sini, tujuan selanjutnya adalah tempat penginapan, yang terletak di Pasar Namlea. Dengan menumpang ojek dan membayar Rp. 5.000 kita akan diantar menuju hotel yang sesuai dengan keinginan kita. Namun, pengunjung tak perlu khawatir, sebab sewa kamar di pulau ini cukup terjangkau, bervariasi dari kisaran Rp.50.000 – Rp.250.000/ kamar

Potret Kelam Pulau Buru

Pulau Buru di masa Orde Baru terkenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik yang terlibat PKI. Pramoedya Ananta Toer salah satunya. Sastrawan terkenal yang pernah mendekam di pulau ini pun sempat menghasilkan empat buah novel yang dikenal sebagai karya masterpiecenya. Selain itu, luka mendalam masih meliputi pulau ini, akibat konflik horizontal bernuansa SARA beberapa tahun lalu yang menjalar dari pulau tetangga, Ambon.

Kedua masa itu meninggalkan luka tak tersembuhkan. Bedanya, jika yang pertama pelaku dan korbannya jelas, sementara yang kedua, tidak jelas siapa pelakunya, sedangkan korbannya jelas, yakni masyarakat sekitar. Kejadian ini terus menjadi kenangan pahit dan trauma mendalam bagi yang mengalaminya.

Banyaknya bangunan yang hancur atau terbakar adalah bukti atas luapan emosi para perusuh. Meski yang menerima akibatnya bukan hanya fisik bangunan, tapi wilayah secara keseluruhan, bisa dipastikan sektor infrastruktur di kabupaten ini mati. Pembangunan tak berjalan.

Walaupun bukan sektor andalan, daerah yang populer sebagai penghasil minyak kayu putih ini merasakan kehilangan dari lapangan usaha konstruksi. Pada awal berdiri sebagai daerah otonom tahun 1999, perputaran uang dari lapangan usaha ini sekitar 14 persen.

Pada tahun berikutnya, saat kerusuhan terjadi, nilainya anjlok sampai 2,3 persen. Berikutnya, nilainya terus menyusut hingga terakhir tahun 2002 yang diraih sektor ini hanya dua persen. Sepertinya tak ada yang berniat membangun atau sekadar merenovasi rumah atau bangunan yang rusak. Mengungsi menjadi prioritas utama.
Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang ditinggal pemiliknya menjadi sektor lain yang terpinggirkan. Padahal, kedua sektor itu andalan kabupaten ini. Apalagi, hampir 60 persen penduduk pulau ini bermata pencarian petani, sedang sisanya melaut.

Lumbung pangan

Cuaca begitu terik sewaktu kami menjejakkan diri di pulau yang terlihat gersang ini. Tapi, ketika kita melongok ke salah satu unit, tempatnya kaum transmigran berada, bentangan sawah yang terhampar hijau segera menyapa. Batang-batang padi dan pondok peristirahatan para petani menjadi pertanda kehidupan pulau ini. Sawah-sawah itu ibarat oase di tengah padang yang dipenuhi pohon kayu putih.

Buru juga dikenal sebagai sentra produksi beras di Provinsi Maluku. Meski areal yang terpakai untuk sawah tak seluas perkebunan, sumbangsih yang dihasilkannya cukup besar, berada di peringkat kedua setelah perkebunan. Itu yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi daerah ini setahun silam untuk melakukan panen raya disana.

Kalau mau melihat Buru yang berbeda, datanglah ke Kec. Waeapo! Saat memasukinya, pemandangan pertama yang menyergap mata adalah bentangan petak-petak sawah. Saluran irigasi dengan air yang melimpah membelah di tengah persawahan. Demikian pula rumah-rumah penduduk dan pertokoan yang tertata rapi di sepanjang jalan utama.

Berkeliling di kawasan itu, barangkali serasa di Pulau Jawa. Bukan saja dari sisi kontur tanah dengan hamparan lahan pertanian, tetapi sebagian besar penduduknya adalah orang- orang Jawa, yakni transmigran yang datang sekitar tahun 1980 maupun eks tapol yang justru lebih dulu membuka daerah itu pada tahun 1970.

Pusat keramaian Waeapo berada di Mako (berasal dari kata Markas Komando). Dari Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, jaraknya sekitar 38 kilometer yang ditempuh sekitar satu jam. Infrastruktur jalan darat Namlea-Mako boleh dibilang yang terbaik dibanding ruas jalan lain di pulau itu. Bahkan, di sejumlah kecamatan, sarana jalan masih berupa tanah dan penuh lubang. Beberapa sungai belum ada jembatan, sehingga kendaraan yang ingin ke seberang harus melewatinya, itu pun harus menunggu air surut.

Di daerah Mako, sejumlah petani tampak asyik membajak sawah menggunakan kerbau atau traktor. Saat itu, petani sedang memasuki masa tanam pertama untuk periode tanam 2007-2008 pasca panen raya.

Mako tumbuh menjadi sentra pertanian bagi Provinsi Maluku. Pulau Buru yang dulu dikenal menjadi pulau buangan, kini menjadi lumbung padi bagi propinsi itu. Sawah-sawah begitu subur terlebih didukung sistem pengairan yang baik. Sebuah waduk kini tengah dibangun di sana.

Dalam satu kali musim panen, sawah-sawah di Waeapo mampu menghasilkan 29.000 ton gabah kering, setara dengan sekitar 16.000 ton beras. Menurut para petani, dalam setahun ada tiga kali panen. Rata-rata setiap hektar menghasilkan beras sekitar 3-4 ton.

Ternyata produk pertanian Buru yang diperdagangkan tidak mengalami pengolahan. Seusai panen, pedagang pengumpul datang membeli, selanjutnya dijual kembali ke pedagang besar. Setelah itu, distribusi produk pertanian dan perkebunan disalurkan secara massal, melalui Namlea, pelabuhan utama barang dan penumpang.

Peran Eks Tapol

Bentangan sawah luas yang tercipta ternyata tidak terjadi dengan sendirinya. Ada tangan-tangan perkasa yang mengubahkan semua itu. Ya, itulah tangan-tangan para tapol yang dipaksa bekerja keras siang dan malam. Menurut Gatot (55), mantan tapol asal Kediri yang menetap di Unit VI; para eks tapol-lah yang pertama membuka kawasan sawah disana.

Menurut Gatot, saat ditempatkan di Pulau Buru tahun 1971, kondisi Mako masih berupa hutan belantara dan rawa. Pohon sagu, kayu putih, dan rumput menjadi tanaman yang paling banyak tumbuh. Ada pula pohon-pohon besar yang berdiameter 4-6 m.

Dengan menggunakan peralatan seadanya, para tapol itu mulai membuka lahan. Pohon-pohon besar ditebangi. Sisa-sisa akar pohon yang ukurannya sangat besar juga dibersihkan. Dari jerih payah ini kemudian dilanjutkan oleh para transmigran. Kini areal persawahan di Unit VI mencapai 1.255 ha dari 10.822 ha potensi keseluruhan lahan sawah di Pulau Buru Dari luasan tersebut, 6.000 hektar sawah sudah digarap oleh warga transmigran maupun penduduk asli.

Setelah para tapol dibebaskan dan sebagian besar pulang ke Jawa tahun 1980, lahan yang mereka buka dijadikan areal program transmigrasi. Para transmigran pun didatangkan, baik yang berasal dari Jawa maupun transmigran lokal yang merupakan warga asli P. Buru.

Ada sekitar 300-an tapol yang tak mau pulang ke Jawa. Mereka malah mendaftar menjadi transmigran. Pasalnya, merasa betah tinggal di Pulau Buru atau merasa tak punya harapan lagi di Jawa; karena keluarga sudah tercerai-berai, meninggal, atau istri-istri mereka telah menikah dengan orang lain.

Sebagai transmigran, para eks tapol mendapatkan lahan seluas 2 hektar: 1 hektar lahan sawah, ¾ hektar lahan kering, dan ¼ hektar halaman yang kemudian dijadikan areal rumah. Upaya yang dirintis para tapol tersebut kini telah membuahkan hasil.

Minyak Kayu Putih

Pengunjung yang meninggalkan Buru biasanya tak pernah lupa membawa oleh-oleh berupa minyak kayu putih. Sebagai salah satu penghasil minyak kayu putih dengan kualitas terbaik di Maluku, pohon kayu putih bisa ditemui cukup banyak di hutan-hutan Pulau Buru, khususnya di Kecamatan Namlea, Waplau, dan Waeapo.

Tidak pernah diketahui pasti sejak kapan tanaman kayu putih mulai disuling menjadi minyak di Pulau Buru, yang sampai saat ini terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Buru Utara Timur dan Buru Utara Barat. Menurut penduduk setempat, penyulingan sudah beroperasi sejak penjajahan Jepang.

Hingga saat ini tanaman kayu putih tidak dibudidayakan secara khusus. Tumbuhan ini hidup alami di hutan atau lahan milik penduduk. Total lahan pohon kayu putih diperkirakan 120.000 hektar dengan kisaran kerapatan 100-160 pohon per hektar. Pada lokasi-lokasi yang daun kayu putihnya dipanen intensif, tinggi pohon sekitar 1-2 meter. Adapun pada lokasi yang kurang terjamah, pohon bisa mencapai ketinggian 10-20 meter. Pengolahan daun kayu putih menjadi minyak oleh penduduk menggunakan teknik penyulingan sederhana dan biasanya dilakukan langsung di lokasi tempat pohon berada.
Saat kami berkunjung ke salah satu sentra produksi minyak kayu putih, tepatnya di Desa Ubung, kecamatan Namlea. Kami bertemu dengan Lamua (30), pria paruh baya yang sudah 15 tahun bergelut dengan kayu putih. Saat itu dia terlihat sibuk menyuling minyak kayu putih yang dialirkan dalam 2 buah wadah besar.

Menurutnya, menyuling minyak kayu putih tidaklah sulit, hanya waktu yang relatif panjang menjadi kendalanya. Pasalnya untuk menghasilkan 2,5 liter minyak kayu putih murni, kita harus menunggu hingga 6 jam. Sehingga dalam sehari dia hanya bisa melakukan penyulingan sebanyak dua kali.

Sebelumnya, untuk perlakuan awal, wadah yang biasa disebut ketel dibersihkan dari sisa penyulingan terdahulu. Kemudian api pembakaran disiapkan, diiringi dengan pemberian air pada wadah yang berfungsi sebagai pendingin. Lalu tunggu beberapa saat!
Ketika tungku telah siap, daun pohon kayu putih yang telah dikumpulkan beberapa hari sebelumnya dimasukkan ke dalam ketel yang mampu menampung puluhan kilo daun. kemudian ketel tersebut di tutup rapat. Namun, di sebuah sisi ketel, akan disambungkan dengan selang yang berfungsi untuk mengalirkan hasil penyulingan tersebut. Dan Selanjutnya di bagian akhir pada wadah kedua, sebuah selang kembali dialirkan pada jerigen kecil untuk menampung hasil murni penyulingan minyak kayu putih.

Di kabupaten buru, sepanjang jalan ke Namlea kita akan menemukan ribuan pohon kayu putih. Sayangnya, pohon kayu putih itu tidak terawat, sehingga jumlah minyak yang dihasilkan tidak menentu. Layaknya tanaman liar, tidak ada yang mencegah pohon kayu putih terjangkit hama atau memberantasnya. Jarang sekali dilakukan pemangkasan gulma yang mengganggu tanaman induk. Bahkan di saat-saat tertentu akibat cuaca panas, tak sedikit pohon kayu putih yang habis dilalap si jago merah.

Pulau Buru memang sangat dikenal sebagai produsen minyak kayu putih terbaik. Selain karena luasan lahan tanaman kayu putih, topografi pegunungan dengan dominasi iklim kering menjadikan minyak kayu putih P. Buru diakui berkualitas baik. Oleh karena itu, kalau singgah ke Pulau Buru, jangan lupa membawa cendera mata minyak kayu putih yang katanya masih tetap nomor satu. “Ini ‘tanda mata’ yang sah saat menginjak Pulau Buru, mas!”, ujar seorang tukang ojek yang jadi pemandu kami.

Ah..., puas rasanya bisa menjelajahi negeri para eks tapol yang ternyata memiliki potensi sebagai lumbung pangan bagi Propinsi Maluku. Keindahannya masih tetap sama, bahkan sejak 30 tahun silam. Tak salah jika seorang penyair menyebutkan pulau ini sebagai pulau buangan yang penuh harapan.

No comments:

Post a Comment