Wajahnya lumayan tampan untuk anak seusianya. Lakunya pun cukup bersahaja. Pola pikir yang cerdas mengingatkanku pada seorang bocah yang umurnya masih dua setengah tahun, jauh di di bawah usianya. Namun sayang, dibalik ketampanan itu, tak banyak yang tahu kalo lelaki berusia sembilan tahun itu memendam kepedihan yang teramat dalam.
Siang itu, saat meliput rumah warga yang dirampok orang tak dikenal, tak sengaja aku bertemu dengannya. Dia hadir mengikuti penjaga rumah yang menemani kami.
Kabarnya, rumah yang di bobol maling sehari sebelumnya, pernah di sewa seorang artis yang mulai nge-top. Kalo gak salah, Dina Olivia namanya. Masih menurut informasi yang kami dapat, diketahui bahwa si artis sempat menempati rumah itu selama 2 tahun saja, yakni tahun 2002 – 2004.
Peliputan korban perampokan di rumah ini harus kami lakukan setelah menerima pantulan (baca: informasi) dari kantor. Berdasarkan sambungan telepon di ujung sana, di kabarkan rumah ini dibobol maling saat pemilik tidak berada di tempat. Masih menurut kantor, kasus ini menarik, karena melibatkan artis.
Padahal, sebelumnya kami mulai menyusuri kasus pembunuhan tukang sate yang di lakukan teman sekamar. Kasus ini seakan berada di titik nol, setelah mendengar keterangan polisi. Tak ada yang bisa dilakukan. Pertama, karena TSK (baca; tersangka) yang masih buron. Diperkirakan dia melarikan diri ke Lampung. Kedua, keluarga korban telah meninggalkan kontrakan (baca; ibukota) setelah kejadian, pulang ke kampung halaman di Brebes. Artinya, tak ada sumber yang bisa dimintai keterangan.
Dari informasi yang di himpun kantor, diketahui rumah yang kemalingan berada di Jalan Pinang 1 No.2, Pondok Kopi, Jakarta Selatan. Sejurus kemudian, mobil batik yang kami tumpangi pun segera melaju ke lokasi tersebut. Tak terbayang sebelumnya, ternyata mencari alamat ini terbilang sulit. Butuh ketabahan dan ekstra hati-hati. Pasalnya lokasinya menjorok di dalam kompleks dengan nomor rumah yang tak beraturan.
Untunglah setelah tanya sana-sini, kami pun menemukannya. Rumah itu berada persis di pojokan (hook) jalan Pinang I. Rumah yang rencananya akan di jual seharga 1,4 milyar ini telah dua bulan kosong, setelah di tinggalkan penyewa terakhir. Sejak itu rumah ini tak berpenghuni lagi.
Dari penuturan Didin (baca; penjaga rumah) yang sempat melihat aksi pelaku, sekitar pukul 21.15 Wib, ada orang yang mondar mandir di lantai II rumah itu. Ini diketahui saat bayangan si maling melintasi jendela di bawah pendaran lampu jalan. Saat itu, hanya barang-barang kecil yang raib. Namun anehnya, semua barang tersebut bukanlah benda mahal, seperti perhiasan ataupun uang. Maklum, rumah ini sudah kosong sejak dua bulan lalu. Mungkin, karena tak ada barang berharga yang bisa diambil, barang-barang kecil, seperti kran, pipa, kabel, sambungan mesin pompa, menjadi alternatif lain yang mau tak mau harus di gondol, ketimbang pulang dengan tangan hampa.
Namun sayang, saat hendak membawa kabur barang curian, salah seorang pelaku berhasil di bekuk warga yang mengetahui aksinya. Ia berhasil ditangkap ketika turun dari genteng menuju pekarangan warga. Dari sana ia berencana keluar sambil membawa hasil rampokannya. Sementara itu, maling yang seorang lagi keburu kabur, begitu mengetahui warga menyergap temannya. Dari cara-caranya, di duga aksi pencurian ini terbilang amatir. Mulai dari cara kerja yang tidak sistematis dan koordinasi yang tidak baik. Belum lagi, saat berada di rumah, maling tersebut terlihat bingung dengan arah keluar yang akan di ambil.
*****
Sewaktu mengambil gambar di dalam kamar yang kata(nya) tempat persembunyian sementara si maling. Tiba-tiba saja kehadiran seorang bocah mengagetkanku. Dengan lagak yang sok tahu, ia langsung menunjukkan arah-arah yang dituju si maling.
“dari sini mas, malingnya mulai masuk, trus ke sana” ujarnya suatu ketika.
Lantaran tak kenal, aku tak ingin bertanya terlalu jauh. Takutnya yang diketahui si bocah hanya rumor/ selentingan orang-orang yang di pahami secara sepihak.
Saat kutanya siapa namanya? Faqi, demikan ia memperkenalkan diri. Bocah ini terlihat sangat bersahabat, bahkan terhadap orang baru.
Setelah ngobrol sekilas tentang siapa dirinya. Akhirnya baru diketahui, kalau dia adalah cucu Pak Hidayat si empunya rumah. “Faqi merupakan cucu ketiga,” ungkap Didin penjaga rumah yang bersedia menemani kami.
Menggunakan kaos bola berlambang klub AC Milan dengan nomor punggung 09, bocah ini tampak lincah memainkan bola plastik yang dibawanya. Sesekali ia menendang bola itu ke arahku, pertanda ingin mengajak main. Namun, jika tugas belum selesai, rasanya tak etis meninggalkan tanggung jawab. Sejurus kemudian aku pun kembali mengambil gambar.
Puas berkeliling di rumah yang sempat dihuni kalangan artis, perjalanan kami lanjutkan ke tempat pemilik rumah (baca; Pak Hidayat) yang letaknya berseberangan. Suasana tampak lengang disana. Hanya ada seorang penjaga lain yang terlihat duduk di depan pintu. Dia adalah pengasuh Faqi.
“Mas, silahkan minum dulu” ungkap penjaga tersebut. Minuman dingin di tengah teriknya mentari tentunya menjadi oase yang menyegarkan. Kami tak pernah menyangka akan dijamu seperti ini. Pasalnya, saat hendak meliput, kami kesulitan bertanya pada masyarakat sekitar, perihal kejadian tersebut. Semua rumah di kelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Untungnya, secara tak sengaja kami bertanya ke rumah Pak Hidayat, yang ternyata pemilik rumah tersebut.
Di beberapa kesempatan, Ujang, demikian pengasuh itu memperkenalkan diri, menceritakan duka yang dialami Faqi. Kami baru tahu, kalo Faqi kini menjadi yatim piatu. Dia gak punya orang tua yang bisa menerima segala keluh kesahnya. Ibunya telah tiada lebih dahulu. Tepatnya, beberapa tahun silam, akibat kanker. Saat kutanya, kanker apa gerangan. Ujang, hanya geleng-geleng kepala. “gak tahu mas!” jawabnya dengan ekspresi lugu.
Sementara sang ayah, baru saja meninggal seminggu lalu, juga karena penyakit. Berhubung harus meladeni omongan Faqi, aku jadi lupa jenis penyakit yang dituturkan Didin --si penjaga rumah--. Yang pasti, ayahnya meninggal karena sebuah penyakit.
Sungguh, ia kini sendiri. Hanya pengasuh yang menemani. Sementara ketiga saudaranya sudah dewasa. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Abangnya yang tertua, kini sudah berumahtangga dan hidup terpisah dengannya. Sedangkan seorang lagi, tinggal di lain kota. Yang tersisa hanyalah seorang kakak perempuan. Itu pun pulangnya selalu larut. Sehingga bisa dipastikan mereka jarang bertemu dan kurang pengawasan.
Ini yang membuat Faqi rada-rada badung. Tak ada yang mengontrol emosinya. Di beberapa kesempatan, omongannya selalu menyerempet ke arah narkoba. "Kalo gak ganja, ya... shabu-shabu". Apakah itu hanya ungkapan rasa ingin tahu? Bisa juga! Namun, siapa yang mengajarinya? Mungkinkah para pembantu itu? Rasanya mustahil, karena mereka terlihat polos, tipikal pemuda desa yang lugu. Bisa jadi, kemajuan teknologi, televisi salah satunyanya. Sudah begitu burukkah televisi kita, sehingga aneka tontonan yang berbau resiko seakan bukan hal tabu lagi? Jika saja salah arah, bukan tak mungkin bocah ini akan terjebak di dunia hitam. Pasalnya, tak ada yang melindungi. “paling-paling cuma ganja, kok om!” katanya padaku di suatu ketika.
Jika saja aku jadi dia, pasti tak punya semangat lagi. Bayangkan saja, seandainya orang-orang terbaik yang kita kasihi pergi tuk slamanya. Bisa-bisa kita jadi orang yang frustasi dan hilang arah. Namun tidak demikian dengan anak ini. Tak sedikit pun ia merasa sedih maupun kehilangan. Ia malah terlihat gembira dan asyik dengan kegiatannya. Mungkinkah, ia sudah melupakan semua duka itu? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Saat ini, obsesinya hanya satu, yakni jadi artis terkenal. Menurutnya jadi artis begitu mengasyikkan. Tak perlu belajar, yang penting menghasilkan duit dan dielu-elukan banyak orang. Ntah siapa yang menulari pikirannya? Bisa jadi, karena ada beberapa kerabatnya yang telah jadi artis. Dian Sastro, salah satunya. Menurut Ujang, Dian masih keluarga jauh dari pihak ibunya.
Dan, satu lagi, kegemarannya terhadap dunia bola tak bisa di anggap enteng. Walau usianya masih belia, daya ingat terhadap nama-nama pemain sepakbola dan asal klub menjadi bagian yang sudah khatam di memorinya. Namun, untuk urusan sekolah, prestasinya aku gak tahu ? Maklum, waktu bertemu terlalu sempit.
Di sebuah kesempatan, aku pun meluangkan diri bermain bola dengannya. Tepat, di halaman depan rumah. Kami pun bermain sekenanya. Ternyata dia masih ragu-ragu menggiring bola dengan orang yang lebih besar. Tapi, dari gayanya membawa dan menggocek bola, terlihat bahwa ia memiliki potensi. Bisa jadi dia punya bakat di bidang ini.
Postur tubuhnya yang relatif tinggi dibanding anak sebayanya, membuatnya terlihat jangkung. Saat bertemu dengan anak lain, tersirat caranya bersosialisasi. Ternyata ia banyak kenal dengan anak lain yang sebaya. Awalnya, ku pikir bocah ini jarang bergaul dengan anak lain. Ternyata pandangan itu luntur, ketika ia bertegur sapa dengan beberapa anak di depan rumahnya.
Puas dengan informasi yang dibutuhkan, kami pun mohon diri. Di akhir perjumpaan, masih sempat ku jabat tanganya yang mungil. “Hati-hati ya!” ujarku. “Ya om, tapi jangan lupa titip salam buat Tora, ya?” jawabnya. Ternyata anak ini nge-fans berat dengan Tora Sudiro, seorang personil komedi Extra Vaganza yang kini mulai naik daun.
Saat menatapnya terakhir kali, aku jadi teringat seorang bocah dengan usia jauh dibawahnya. Saat ini, bocah itu masih berumur dua setengah tahun. Hobinya terhadap bola juga sama. Tendangannya pun mantap. Hanya saja, ia belum terobsesi menjadi artis. Selain itu, ia juga masih punya orang tua yang mengasihinya. Yup, dialah Kelana, anak lelakiku yang ku tinggal di rumah bersama ibunya. Semoga saja kau tidak mengalami kisah sedih itu, nak!
No comments:
Post a Comment