Thursday, January 21, 2016

Pohon Tua Bersandar


(Pohon tua. Source: https://upload.wikimedia.org)
"bebatuan akar belukar,
dan debu yang terbang liar,
badan pohon tua bersandar,
tandus bukit tak bernama,
isak tangis cakrawala,
tanganmu enggan menyentuhnya"

...
Beberapa hari terakhir, keinginan untuk menulis sepertinya terus membuncah. Tapi nulis apa ya? Hingga detik-detik terakhir, tetap gak ada ide. Kebayang dunk? Mau nulis, tapi gak tahu harus menulis tentang apa? Namun uniknya, energi potensial yang tersimpan betul-betul sudah memuncak. Bak menunggu waktu. Tinggal meledak, jadilah ia energi kinetik. Energi yang siap menggerakkan dan digerakkan untuk tujuan tertentu.

Kondisi seperti itu betul-betul menyiksa, kawan. Sebuah keadaan kontradiktif. Bertentangan satu dengan lainnya. Gak jelas. Kondisi yang sejatinya jarang terjadi. Satu sisi ingin menulis, namun di sisi lainnya, bingung mau memulai dari mana? Bingung idenya tentang apa? Bingung harus membahas topik apa? Padahal sebelumnya, jika terbersit ide, maka dengan gampang saya menuliskannya. Mengalir begitu saja. Namun kali ini, tidak. Serasa sulit. Bukan serasa lagi, tapi benar-benar sulit. Hiks!

Selama ini, ide menulis kerap muncul lewat beragam cara. Bisa lewat pengalaman. Lewat sentuhan-sentuhan tak kasat mata. Lewat persinggungan dengan kondisi yang secara nyata mempengaruhi jiwa. Atau lewat cara unik, yakni "mendengarkan". Mendengarkan ketika ada orang berbicara; tentang diri mereka, tentang keluhan mereka, tentang kesedihan mereka. Pun, mimpi-mimpi mereka.

Bagi saya, kemampuan mendengar jadi karunia terindah. Terindah, karena saya dipercaya tuk mendengarkan mereka. Ibarat wadah penampungan bagi yang ingin berkeluh kesah. Tempat menyampaikan hal-hal yang mungkin tak gampang diungkapkan kepada yang lain. Dan, tentunya, tak banyak orang mau mengambil peran itu, karena kecenderungannya lebih mudah berceloteh, ketimbang bersabar hanya tuk mendengarkan ketika ada yang bercerita.

Selanjutnya, tinggal bagaimana menjaga kepercayaan itu. Tentu saja, menjaga kepercayaan bukan perkara gampang. Sulit guys! Sama beratnya, ketika dipaksa bersaksi, sementara sebelumnya kita bersumpah tidak akan membocorkannya. Ya, kondisinya mirip-mirip seperti itu.

Lalu, otomatis kita dipaksa bijak saat menuliskannya. Tentu, tak semua bisa diutarakan secara gamblang. Ada hal-hal yang sifatnya privasi. Dan, hanya hal penting saja yang kita tulis. Hal-hal tertentu yang ingin ditonjolkan, sebagai kerangka penguat dari keseluruhan tulisan.

Hal-hal penting itu, bisa jadi, berisi tentang perjuangan dan impian mereka. Semua yang kita anggap layak dibagikan, secara cuma-cuma. Gak perlu bayar. Pasalnya, sesederhana apapun kisah mereka, ia tetaplah kisah yang menarik dan berdiri sendiri. Kisah yang memiliki pesonanya. Memiliki gravitasi yang siap menarik orang banyak tuk mendekat. Tercengang, hingga tak sedikit yang meleleh usai membacanya.

Dan saya, termasuk diantara sedikit orang yang percaya, bahwa, sekalipun yang dikisahkan sudah jamak terjadi. Sudah menjadi rutinitas yang diketahui banyak orang. Namun jika disampaikan dengan cara yang menarik, indah dan memikat, maka banyak orang, kan, tersadar. Ya, setidaknya mereka akan belajar dari situ. 

Di sisi lain, menulis juga merupakan ajang tuk mengapresiasi karya orang lain. Ketika selesai membaca sebuah buku, atau tulisan seseorang, misalnya. Beberapa poin penting yang menarik perhatian, akan saya highlight, ditulis ulang, hingga menjadi semacam penanda, bahwa ide penulisnya layak diapresiasi. Syukur-syukur bisa dijadikan pelajaran bagi diri sendiri.

Dari sekian banyak buku, salah satu yang menarik perhatian saya adalah "Manuscript Celestine", karya James Redfield. Buku itu fenomenal menurut saya. Agak aneh, bagi mereka yang tak terbiasa, namun penuh kejutan dan pelajaran berharga. Pelajaran tentang nilai kehidupan. Membacanya, berasa agak-agak filosofi dan sesekali membingungkan. Namun kalo dirunut dengan benar, kita bisa pahami maknanya.

Buku itu sendiri berbicara tentang kondisi di pedalaman Peru, dimana ditemukan sebuah manuskrip kuno berisi 9 wawasan rahasia yang dapat menuntun manusia ke arah kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Manuskrip itu dipercaya mampu menciptakan transformasi besar saat manusia telah mencapai tingkatan tersebut.

Sejauh ini, baru 8 wawasan yang ditemukan. Pemerintah Peru berniat memusnahkan manuskrip tersebut dengan dukungan pihak gereja katholik, dengan alasan menyesatkan umat. Namun salah seroang pastor berhasil menyebarkan salinan manuskrip itu, di antaranya kepada Charlene, seorang peneliti Amerika.

Ketika kembali ke negerinya, Charlene menceritakan pengalamannya kepada seorang teman lama. Pria ini lalu tertarik dan berangkat ke Peru. Di sana ia terlihat dalam petualangan menyelamatkan 8 wawasan yang sudah ditemukan, sekaligus mencari yang kesembilan, bahkan yang kesepuluh.

Sepanjang perjalanan itulah ia mempelajari satu demi satu wawasan, sampai akhirnya ia tertangkap dan dijebloskan ke penjara. Dalam tahanan, seorang pastor memberitahukan bahwa pemerintah Peru berhasil menghancurkan manuskrip itu. Itu berarti setiap orang yang pernah mempelajarinya harus mengingat isinya baik-baik dan menyampaikan pesannya pada orang-orang yang mau mendengar. Ketika ia dibebaskan dan dideportasi ke Amerika, sang pastor mengingatkan mungkin tugasnyalah mencari wawasan yang kesepuluh itu.

Yup, cukup sampai disitu. Bagi yang ingin tahu kelanjutan kisahnya, tak ada salahnya mencari buku yang oleh banyak kalangan disebut sebagai "new wave". Sayangnya, buku itu belakangan ini agak langka loh. Hehehe. Maklum banyak juga yang memburunya. Namun tak perlu khawatir, buku Manuscript Celestine itu ternyata dibahas secara detil oleh blog ini. Keren kan?

Tak hanya lewat tulisan, ide-ide menulis juga kerap muncul dari mendengarkan alunan musik. Alunan yang menenangkan. Alunan yang menumbuhkan gairah kreatifitas. Dan bagi saya, musik merupakan pancaran kehidupan. Berbahagialah mereka yang masih senang mendengarkan musik, itu artinya mereka masih hidup. Tidak mati.

Dan dari begitu banyak musisi, salah satu yang mencuri perhatian saya adalah "Passenger". Saya tertarik dengan Passenger, karena musik dan lirik-liriknya yang kaya makna. Untuk tahu lebih banyak, sila searching di laman berbagi video, youtube.

Passenger sendiri awalnya merupakan grup band, yang akhirnya bubar di tahun 2009, sehingga menyisakan penyanyi saja, bernama Michael David Rosenberg. Uniknya, dalam berkarya, Rosenberg yang lahir pada 17 Mei 1984 itu tetap setia mengenakan nama Passenger, hingga sekarang. Michael David Rosenberg kemudian dikenal sebagai penyanyi dan pencipta lagu berbakat asal Inggris yang mengusung genre folk.

Dan menyoal folk, saya memang penggemar berat genre yang satu itu. Bisa jadi, karena faktor usia juga. Makin kesini, pinginnya mendengar musik yang adem, yang liriknya kaya makna. Plus alunan akustiknya kental berasa.

Bagi saya, "folk" itu ibarat teman dalam perjalanan panjang. Sebuah irama yang mengikuti setiap jengkal langkah hidup kita. Tak heran jika syair-syairnya, kebanyakan berasal dari pergulatan hidup sehari-hari. Ia kaya pesan. Sederhana dan tidak muluk-muluk. Dan uniknya, kebanyakan petualang gemar dengan genre musik ini. Kok bisa? Saya juga bingung jawabnya.

Oh ya, Salah satu single paling sukses dari Michael David Rosenberg adalah lagu "Let Her Go". Pastinya banyak yang tahu lagu ini kan? Yup, lagu itu berhasil meraih puncak chart di berbagai negara. Pada tahun 2014, lagu tersebut mendapat nominasi di Brit Award dalam kategori British Single of the Year, dan juga meraih penghargaan British Academy's Ivor Novello Award sebagai karya yang paling sering ditampilkan. Tak hanya itu, setahun sebelumnya, 2013, Let Her Go juga menyabet penghargaan di ajang Independent Music Award untuk kategori Best Folk/Singer Songwriter Song.

Btw, kok jadi ngomongin musik terlalu jauh ya? Maaf, jadi melebar. Tapi, kira-kira seperti itulah pengalaman saya selama ini. Pengalaman ketika ingin menuliskan sesuatu. Idenya selalu muncul tak disangka-sangka. Tak perlu menunggu lama. Ia hadir begitu aja. "Mengalir indah", saya menyebutnya.

Namun ide itu tak perlu dikekap terlalu lama, karena takutnya kan mencair, lalu mulai kehilangan jiwa. Jika sudah begitu, akan sulit tuk memulainya lagi. Bingung harus menulis dari mana. Karena itu, menulislah selagi bisa, selagi ingat, dan berhentilah ketika mulai kehilangan kata-kata.

Selain itu, menulis tak bisa dipisahkan dari kemampuan akal. Kemampuan untuk mengolah kata sehingga terbaca indah. Menulis juga "penting" agar tak dilupakan sejarah. Karena menulis bicara tentang keabadian. Ia akan tetap ada, tak lekang oleh waktu.

Uniknya, hingga menyelesaikan tulisan ini, saya belum kepikiran untuk menulis sesuatu yang original. Sesuatu yang bermakna. Sepertinya saya harus menggali ide lebih banyak lewat beberapa cara, seperti yang saya sebutkan diatas. Dan, kemampuan membaca gelagat serta pertanda alam sepertinya harus saya tingkatkan.

Hanya saja, dari semuanya itu, tetiba saya teringat dengan kata-kata bertuah yang mengalir begitu kuat akhir-akhir ini. Kata-kata itu adalah "Pohon Tua Bersandar". Ya..., sama sepertinya pohon tua, yang mulai rapuh, sepertinya saya memang harus sedikit bersandar.

Doakan semoga tidak terlalu lama, sobat.
-end-



No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN