Wednesday, April 13, 2016

9 Perempuan Melawan, 1 Tak Peduli

)
Selasa (12/4), pukul 15.53 WIB, saya mendapat pesan terusan dari seorang teman yang aktif dalam pendampingan masyarakat Kendang, Rembang, Jawa Tengah. Teman yang kebetulan gemar melakukan penelusuran goa itu mengabarkan tentang aksi 9 perempuan yang nekad mengecor kaki mereka dengan semen sebagai bentuk protes terhadap pembangunan pabrik semen di wilayah pegunungan Kendeng Utara, Rembang, Jawa Tengah.

9 Perempuan yang mewakili suara masyarakat itu khawatir, jika rencana pembangunan pabrik semen dilanjutkan akan membelenggu nasib petani Kendeng. Selain itu, ratusan mata air yang menjadi sumber penghidupan mereka terancam hilang. Ditambah lagi, ancaman pencemaran udara akibat proses produksi semen. Sebuah neraka nyata yang bakal mereka hadapi.

Selanjutnya pesan terusan yang saya yakin dikirim ke banyak pihak itu berbunyi:
“Hari ini, genap 666 hari ibu-ibu di tenda perjuangan menyuarakan perlawanan. Namun pemerintahan Jokowi tak mempedulikan suara para petani Rembang, Pati, Grobogan, Wonogiri dan Gombong yang terancam pabrik semen. Maka mulai hari ini, 9 perempuan petani akan melakukan aksi di depan istana dengan menyemen kaki mereka sebagai bentuk perlawanan.”

Kesembilan perempuan asal pegunungan Kendeng, Jawa Tengah itu berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta. Aksi nekad itu sontak memunculkan tagar #DipasungSemen di jagad Twitter. Tak hanya itu, sejumlah foto yang menampilkan sembilan perempuan dipasung dengan adonan semen itupun bermunculan. Terlihat, para perempuan pemberani itu, rela disemen kakinya pada sebuah kotak kayu yang disisi luarnya memiliki dua lubang.

Rencananya, selama di Jakarta, kesembilan perempuan yang dikenal dengan sebutan “Kartini Pegunungan Kendeng” itu ditampung di kantor LBH Jakarta. Selanjutnya, semua aktivitas, mulai dari makan, tidur hingga berganti pakaian, akan mereka lakukan dengan kaki terpasung semen.

Bentuk protes ini merupakan aksi pamungkas yang diharapkan mampu merubah kebijakan terkait pendirian pabrik semen di desa mereka. Mereka berharap Presiden Jokowi, yang selama ini dikenal pro rakyat, bersedia meringankan beban itu.

Sementara saya, memandangnya secara sederhana saja. Aksi nekad ini harus dihormati dan tidak bisa dianggap enteng. Kondisi itu membuktikan, jika persoalan mendasar untuk mendapatkan keadilan telah dirampas, maka hanya menyisakan satu kata, yakni “melawan”.

Perlawanan yang sulit tentunya, mengingat jarang sekali ada perjuangan yang dimenangkan oleh rakyat kecil, rakyat jelata yang sangat bergantung dengan alam lingkungan mereka. Pasalnya, begitu alam dirusak, mereka yang pertama sekali akan menanggung akibatnya. 

Tak salah jika, Deni Yuliantini (28), petani asal Grobogan, Jawa Tengah, salah seorang peserta aksi mengecor kaki, khawatir mata air untuk pertanian di wilayahnya habis karena pabrik semen.

“Kami hanya bisa berbuat seperti ini, mengecor kaki kami, karena kami tidak pernah didengar. Kalaupun keadaan berbicara lain, kami hanya bisa pasrah, mungkin yang memiliki keadilan yang akan berbicara, dan alam juga pasti akan berbicara dengan sendirinya.” ujar Yuliatini dengan mata berkaca-kaca, seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Sementara bagi Sukinah, seorang srikandi lainnya, menyebut unjuk rasa dalam bentuk menyemen kedua kaki, sebagai bentuk kemarahan seorang ibu atas pembangunan pabrik semen di kampung mereka.

"Daripada sakitnya besok lebih parah mendingan sakitnya sekarang. Sakit sekarang tidak seberapa, tapi sakit besok menyangkut masa depan anak cucu. Mengerikan sekali," tuturnya, sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia.

Lebih jauh, Sukinah menegaskan rumahnya hanya berjarak 900 meter dari tambang semen dan 3 kilometer dari pabrik semen. Dampak dari proyek pembangunan pabrik semen sudah mulai dirasakan warga, yakni debu tebal yang kerap mengganggu pernapasan. Akibat pembangunan itu, Sukinah yakin, tak lama lagi sumber air di desanya akan hilang. 

Sebelum membangun pabrik di wilayah pegunungan Kendeng Utara, Rembang, PT Semen Indonesia berencana membangun pabrik di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Namun rencana itu urung terlaksana, karena gugatan warga, yang diwakili tokoh masyarakat, menang hingga tingkat Mahkamah Agung.

Namun, upaya warga untuk menolak pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng, kandas di pengadilan. Pada April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, memutuskan tidak menerima gugatan warga Rembang terkait pembangunan pabrik.

1 Tak Peduli
Hari itu, broadcast tentang aksi Kartini pegunungan Kendeng baru saya baca ketika sekeliling telah berubah gelap (baca: sekitar pukul 8 malam). Sejak dikirim sore tadi, saya tidak sempat membaca karena kesibukan. Itu artinya, info yang saya dapat sudah sangat terlambat. Tentu saja, karena aksi itu sudah berlangsung sejak siang dan media-media online telah ramai memberitakannya. Sedangkan untuk media televisi, saya tidak sempat melakukan pengecekan. Yang pasti, di media online, beritanya running dan selalu update.

Begitu tahu adanya info itu, saya lalu menyampaikannya kepada seorang kolega yang sangat saya hormati. Harapan saya, kolega itu bersedia menaikkan berita itu di program yang sedang ia pegang, mengingat nilai beritanya yang tinggi. 

Selain beritanya yang memiliki news value besar, menurut saya suara-suara mereka yang terpinggirkan, seperti aksi mengecor kaki itu, layak diberi ruang, apalagi jika mengaku sebagai media yang berpihak pada masyarakat.

Namun sayangnya, kolega saya itu tidak melakukannya. Dan, disitu saya merasa sedih. Sedih sekali. “Apakah nuraninya sudah hilang?” tanyaku dalam hati.

Menurutku, dengan dalih apapun, keputusan yang dipilih oleh kolega tadi jadi pertanyaan besar. Pasalnya, adalah tugas media berperan sebagai anjing penjaga yang menggonggong ketika negara mangkir dari tugas konstitusionalnya, termasuk ketika ia lalai memberi jaminan hak-hak keadilan sosial. 

Mungkinkah kolega saya itu tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap nilai berita? Apakah menurutnya, hanya berita-berita koorporasi saja yang merupakan berita? Ataukah, hanya berita-berita politik yang sengaja menjual congor para elit, itu yang disebut berita? Ntah lah.

Lalu terbersit, mungkinkah pengalaman ditempat sebelumnya, membuatnya tidak peka terhadap jeritan rakyat kecil? Atau, bisa jadi ia memang tidak memiliki pengatahuan yang memadai terhadap peran media yang sejatinya hanya loyal terhadap warga.

Jika memang demikian, sepertinya ia memang tak pernah tahu tentang 9 elemen jurnalisme yang jadi panduan jurnalisme abad ini. Atau, jangan-jangan, ia tiba-tiba amnesia (lupa) bahwa sebagaimana tercantum dalam Elemen Jurnalistik (2001), loyalitas utama media adalah kepada warga. Kata “warga” di sini tak hanya diartikan sebagai jumlah yang merupakan mayoritas, atau mereka yang dominan, melainkan juga masyarakat yang terpinggirkan.

Dengan demikian, media harus turut bertanggungjawab untuk mengadvokasi, atau setidaknya memberi suara kepada mereka yang bisu (baca: voiceless). Bila ada kendala, ketika mayoritas warga masih tersihir oleh berbagai kepentingan pemiliki modal dan pihak-pihak tertentu, maka tanggung jawab media meredam suara tersebut, dan memberi kesempatan bagi pihak terpinggirkan untuk berbunyi. 

Oleh karena itu, media semestinya menjadi anjing penggonggong yang memperhitungkan berbagai aspek etis dalam kegiatan produksinya, bukan hanya menjadi anjing yang memuluskan moralitas sempit sebagian pihak saja (baca: salah satunya pemilik modal).

Sempat Bentrok
Saat peletakan batu pertama tambang semen di Rembang, Jawa Tengah dilakukan, warga yang protes akhirnya bentrok dengan polisi dan tentara yang menjaga areal pabrik semen. Saat itu (16/6/2014) warga disekitar lokasi melakukan penolakan dan aksi blokade jalan.

Setelah gagal membangun pabrik semen di Sukolilo, Pati Utara, rencana pembangunan pabrik semen dipindah ke Rembang, sebelah barat kabupaten Pati. Pembangunan pabrik semen, tetap akan menjadikan pegunungan Karts Kendeng sebagai sumber produksi, eksplorasi dan eksploitasi.

Tak berbeda dengan rencana pembangunan pabrik di Pati, warga tidak pernah tahu informasi yang jelas mengenai rencana pendirian pabrik semen. Tidak pernah ada sosialisasi yang melibatkan warga desa secara umum, yang ada hanya perangkat desa dan tidak pernah disampaikan ke warga. 

Selain itu, dokumen AMDAL tidak pernah disampaikan kepada warga. Tidak pernah ada penjelasan mengenai dampak-dampak negatif akibat penambangan dan pendirian pabrik semen. Yang terjadi malah intimidasi, seiring munculnya gerakan warga yang ingin memperjuangkan haknya untuk memperoleh informasi dan memperoleh lingkungan hidup yang sehat.

Seperti sikap warga Pati, warga desa di sekitar lokasi penambangan dan tapak pabrik juga menolak tegas seluruh rencana proses penambangan dan pendirian pabrik di Rembang.

Fakta Lapangan
Berbagai temuan di lapangan pun sempat terkuak, diantaranya penggunaan kawasan cekungan air tanah Watuputih sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen telah melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.

Kemudian, penebangan kawasan hutan tidak sesuai dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013, dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diizinkan untuk ditebang adalah kawasan hutan KHP Mantingan yang secara administrasi Pemerintahan terletak pada desa Kajar dan desa Pasucen, kecamatan Gunem, kabupaten Rembang, provinsi Jawa Tengah. 

Namun fakta di lapangan, Semen Indonesia menebang kawasan hutan Kadiwono kecamatan Bulu seluas kurang lebih 21,13 hektar untuk tapak pabrik. Padahal dalam Perda nomor 14 tahun 2011 tentang RTRW, Kabupaten Rembang, Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar.

Ada pula, bukti-bukti lapangan terkini seperti ditemukannya 109 mata air, 49 gua, dan 4 sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding gua, semakin menguatkan keyakinan bahwa kawasan karst Watuputih harus dilindungi. Proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan juga warga Rembang dan Lasem yang menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengambil air dari gunung Watuputih.

Tak hanya itu, kebutuhan lahan yang luas untuk perusahaan semen akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian, sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Selain itu, produktivitas sektor pertanian juga akan menurun, seiring dampak buruk, misalnya, matinya sumber mata air, polusi debu, dan terganggunya keseimbangan ekosistem alamiah. Dikhawatirkan, semua itu akan melemahkan program ketahanan pangan daerah dan nasional.

Sementara itu, ketidaktransparanan dan ketidakadilan juga muncul dalam proses penyusunan AMDAL. Setidaknya telah terjadi kebohongan publik dengan menggeneralisir bahwa seluruh masyarakat setuju dengan pembangunan pabrik semen, dan tidak adanya partisipasi masyarakat yang menolak rencana pembangunan ini. Padahal faktanya tidak demikian.

Oleh karena itu, sesuai dengan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 66 : Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Dan dengan landasan undang-undang itu, sudah selayaknya masyarakat Kendang, Rembang, Jawa Tengah melawan dan menuntut haknya, atas lingkungan yang lebih baik. (Jacko Agun)

No comments:

Post a Comment