Sunday, April 10, 2016

Yuk, Peduli Dugong!

(Dugong yang sempat ditangkap nelayan di P. Kokoya akhirnya dilepas. Foto: Delon Lim)

Dugong yang dikenal sebagai duyung atau lembu laut, selama ini kerap diidentikkan dengan legenda putri setengah manusia berperawakan cantik menggoda. Mitos itu tidak sepenuhnya salah, karena dugong memang memiliki kecantikan alami yang mempesona, jika kita mampu mengenalnya dengan baik.

Beberapa waktu lalu, saya dikagetkan dengan visual berdurasi 20 detik tentang seekor dugong (lembu laut) yang diikat nelayan di P. Kokoya, Morotai, Halmahera Utara. Belakangan video yang diunggah Delon Lim, seorang penyelam rekrasional lewat akun path-nya, menjadi viral. Video itu juga bermunculan di media sosial lain, semacam twitter hingga facebook, dalam waktu tak begitu lama.

Mendapat kabar itu, saya segera mencari akal untuk melakukan konfirmasi kebenarannya. Saat melihat video dugong yang mengenaskan itu, muncul rasa iba. Maklum, kerangkengnya tak terlalu luas, membuat pergerakan dugong tak leluasa. Sepertinya ia sangat tersiksa. Tentu saja, karena di bagian ekornya terdapat bekas luka. Luka yang tak akan sembuh, selama talinya tidak dilepas.

Dalam waktu tak begitu lama, saya akhirnya bisa mengkonfirmasi hal itu kepada Delon, orang pertama yang mengunggah video dugong terikat tali. Siang itu, kebetulan Delon sedang dalam perjalanan menuju Jakarta dari Morotai. Dan, karena lokasi yang jauh dengan sinyal yang buruk, hubungan komunikasi kami sempat terganggu.

Tak ingin menyia-nyiakan waktu, saya lalu memperkenalkan diri dan menyiapkan beberapa pertanyaan yang merupakan bagian dari wawancara singkat. Mengetahui keinginan saya, Delon lalu dengan terbuka mengatakan; gak menyangka jika follow up info yang ia share di medsos mendapat banyak tanggapan dalam tempo singkat.

“Kami khawatir, jika dugongnya dibiarkan begitu saja, maka umurnya tak lama lagi. Kami kasihan liat ekornya yang terluka. Sepertinya ia menahan sakit”, ujar Delon lewat komunikasi telepon.

Selanjutnya, Delon menceritakan ikhwal pertemuan mereka dengan dugong yang diikat nelayan itu. Sepengamatan mereka, dugong itu telah berada di tempat itu untuk waktu yang lama. Kemungkinan, lebih dari beberapa bulan.

“Kayaknya udah lama, ya, kalo liat dari bentuk lukanya”, ujar Delon.

Oh ya, sejak awal saya memang tertarik menuliskan kisah dugong terikat tali itu, sebagai bentuk kepedulian saja. Rasa peduli pada sesama mahkluk hidup. Hanya sebatas itu. Tidak punya tendensi apa-apa. Jika pun, tulisan yang saya buat saat itu menjadi referensi awal terkait penanganan dugong, saya pikir, tak lebih dari rasa saling berbagi saja. Toh, saya tidak mendapat keuntungan apapun dari tulisan yang saya buat untuk Eco Diver Journalists itu.

Merasa informasi yang dibutuhkan dari Delon cukup, saya lalu mencoba menghubungi seorang kolega yang bersedia menjadi narasumber. Kebetulan kolega itu berasal dari lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Saya lalu menanyakan apa saja upaya yang telah dilakukan kementerian terkait laporan dugong yang terikat tali itu.

Lewat kolega yang tak lain adalah Agus Dermawan, kini menjabat Dir. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, KKP, saya mengetahui jika info itu sudah menyebar di lingkungan KKP. Siang itu, pihak KKP ternyata telah menyiapkan sejumlah langkah antisipasi.

Info dugong tadi tenyata menjadi keprihatinan tersendiri bagi Susi Pudjiastuti, yang tak lain adalah menteri kelautan dan perikanan. Lewat akun twitternya, Susi terlihat ingin tahu dimanakah letak dugong yang dalam kondisi sangat mengenaskan tersebut. Ia lalu me-mantion salah seorang penyelam yang diketahui memiliki akun @GaluhRiyadi. Galuh sendiri merupakan netizen yang memberitahu adanya dugong terikat tali lewat twitter kepada menteri Susi.

“@GaluhRiyadi pulau itu di wil mana?? Ada kontak yg bisa sy hubungi?” tulis Menteri Susi dalam akun Twitter pribadinya @susipudjiastuti.

Info Dugong yang luka, memaksa Menteri Susi Pudjiastuti menginstruksikan jajarannya segera melakukan upaya penyelamatan.

“Tadi, bu Susi sudah instruksikan langsung untuk penanganannya. Maklum KKP sangat konsern terhadap penyelamatan biota laut yang terancam punah. Tahun 2015 lalu, penyelamatan Dugong kita difokuskan di 4 lokasi, yakni Kab. Morowalo, Kab. Toli-Toli, Kab. Bintan dan di Kalimantan Selatan”, papar Agus Dermawan.

Singkatnya, pada sore itu, Minggu (13/3) sebuah tim kecil akhirnya berangkat ke P. Kokoya yang terletak di barat daya Pulau Morotai, Provinsi Maluku utara. Sebelumnya, upaya penyelamatan sempat terkendala, karena sulitnya berkoordinasi dengan pejabat terkait, mengingat hari itu merupakan hari libur.

“Bupati Morotai, Polair, Satker PSDKP dan Loka SPL Sorong akhirnya berangkat ke P. Kokoya untuk memastikan kondisi kesehatan dugong dan upaya pelepasannya”, pungkas Agus Dermawan.

Hari itu, dalam waktu singkat, tanda pagar atau hashtag #SaveDugongMorotai juga langsung membanjiri sosial media. Hastag itu muncul, sebagai bentuk kepedulian yang menginginkan agar dugong segera dilepaskan.

Akhirnya, dengan respon cepat pihak KKP dibantu aparat pemerintah setempat, dugong yang terjebak jaring nelayan sudah kembali bebas. Para diver yang mengadu pun ikut senang, termasuk komunitas Eco Diver Journalists dimana saya bergabung. Lewat akun resminya, Eco Diver Journalists (EDJ) menyatakan rasa gembira itu.

“2 ekor dugong betina yg terperangkap alat tangkap sero & dipelihara nelayan di P. Kokoya, Morotai telah dilepasliarkan ke alam. “#SaveDugong, demikian kicauan di akun @EcoDJournalists.

Setelah dugong yang merupakan satwa langka itu bebas dari jerat nelayan, maka ia tidak lagi tersiksa dan dapat berenang bebas menuju habitat aslinya di lautan.

Dugong, Apa sih?
Dugong (Dugong dugong) atau biasa dikenal dengan sebutan duyung atau lembu laut merupakan satu dari 35 jenis mamalia laut yang dijumpai tersebar di perairan Indonesia, khususnya di habitat padang lamun. Meskipun bertubuh besar dengan bobot mencapai 600 kg, namun satwa laut menyusui itu memiliki perilaku yang ramah dan hidup berasosiasi secara khusus dengan ekosistem padang lamun sebagai habitat pakannya.

Secara Nasional dugong dilindungi melalui UU No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya serta UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan. Sedangkan secara internasional dugong telah terdaftar didalam ‘Global Red List of IUCN’ sebagai ‘Vulnerable to extinction’ atau rentan terhadap kepunahan dan juga telah masuk kedalam Appendix I CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang artinya bagian tubuh dugong tidak dapat diperdagangkan dalam bentuk apapun.

Secara resmi, besaran populasi dugong yang ada di perairan Indonesia sampai saat ini belum dapat dipastikan, karena terbatasnya penelitian terkait dugong. Informasi keberadaan dugong umumnya bersumber dari laporan masyarakat nelayan. Namun yang pasti, dugong dilaporkan terlihat, mulai dari Sumatra hingga Papua, dan dari Sulawesi Utara hingga Bali Selatan. 

Selain di Indonesia, dugong juga bisa ditemui di Madagaskar, Afrika Timur, India dan Australia. Namun yang mengejutkan, keberadaan dugong dikabarkan menghilang dari observasi di beberapa negara di Samudera Hindia (Mauritius, Taiwan, Sri Lanka bagian barat, Maldives) dan Pasifik (Japan’s Sakishima Shoto di Jepang, muara Pearl River (Hong Kong), dan beberapa pulau di Filipina).

Menurut sejumlah observasi, dugong umumnya berenang sendiri atau dalam kelompok kecil, sekitar 2-10 individu. Secara alami dugong memiliki reproduksi yang lambat, dimana membutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi dewasa dan perlu 14 bulan untuk melahirkan satu individu baru pada interval 2,5 - 5 tahun. Anak dugong itu akan bersama induknya selama 14-18 bulan menyusui. 

Dugong juga hidup hingga 70 tahun. Dugong betina diperkirakan dewasa sekitar 10 tahun dan telah mampu bereproduksi dengan periode hamil sekitar 13-15 bulan serta melahirkan seekor anak.  

Mekipun secara nasional dan internasional dugong telah ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi, namun upaya konservasinya belum berjalan optimal. Minimnya data dan informasi baik terhadap dugong maupun habitatnya, menyebabkan keterbatasan terkait aksi konservasi dugong di Indonesia.

Bergantung Pada Padang Lamun
Padang lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah. Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae). Padang lamun merupakan habitat bagi beberapa organisme laut. 

Hewan yang hidup pada padang lamun ada sebagai penghuni tetap dan ada pula yang bersifat sebagai pengunjung. Hewan yang datang sebagai pengunjung biasanya untuk memijah atau mengasuh anaknya seperti ikan. 

Sedangkan hewan yang selalu mencari makan di padang lamun, salah satunya adalah lembu laut (Dugong dugong). Dugong yang merupakan hewan hindgut fermenter, atau hewan yang pencernaan anaerobik makanannya oleh mikroba terjadi di caecum (bagian belakang usus besar). Makanan itu diproses dalam saluran pencernaan untuk waktu yang lama. Sedikitnya dibutuhkan waktu retensi dari mulut hingga anus selama 146 hingga 166 jam, jauh lebih lama jika dibandingkan dengan mamalia herbivor lainnya.

Selain itu, dugong mengkonsumsi makanan rendah serat dengan kadar nitrogen serta kalori yang tinggi. Itu sebabnya, sebagai herbivora, dugong sangat tergantung pada kehadiran lamun sebagai pakan alami dan kondisi laut yang sehat. 

Penelitian menyebut, dugong mengkonsumsi sekitar 28-40 kg lamun tiap hari sebagai makanan utama secara normal, namun beberapa peneliti memiliki pandangan bahwa dugong secara tidak sengaja memakan invertebrate. Biasanya, daun, rhizoma dan bagian-bagian akar lamun yang dikonsumsi akan meninggalkan jejak makan (grazing track) yang khas.

Analisis inframerah yang dilakukan pada perut dugong juga memperlihatkan bahwa pakan utamanya adalah Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Thalassodendron ciliatum, Halophila ovalis, H. spinulosa, dan Halodule uninervis. Sementara itu, Enhalus, Halodule, Halophila dan Thalassodendron hanya berjumlah tidak lebih dari 5% dari keseluruhan isi perut dugong.

Di alamnya, tidak semua jenis lamun menjadi makanan utama dugong. Dugong ternyata lebih menyukai spesies lamun yang halus dan tidak terlalu rimbun, seperti lamun dari genus Halodule dan Halophila. Oleh sebab itulah hilangnya padang lamun merupakan ancaman utama dugong. Dan akhir-akhir ini, kerusakan padang lamun akibat aktivitas manusia disinyalir menjadi penyebab menurunnya populasi dugong di Indonesia.

Ancaman Dugong
Meski dugong tidak diburu karena stigma yang melekat terkait legenda duyung, namun beberapa kasus perburuan dilaporkan telah terjadi di beberapa wilayah. Ada informasi yang menyebut dugong ditangkap dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Disinyalir, daging, taring serta air mata dugong memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Penangkapan dugong umumnya terjadi karena minimnya sosialisasi dan pembinan yang menyebabkan kegiatan illegal itu terus berlangsung. Laporan WWF terakhir membuktikan, para pelaku penangkapan dugong banyak yang belum mengetahui, bahwa dugong merupakan satwa yang dilindungi. 

Selain karena perburuan, ancaman dugong terjadi akibat penangkapan secara tak sengaja (bycatch). Dugong yang masuk wilayah penangkapan nelayan cukup sulit dihindari. Dalam beberapa kasus, diberitakan dugong terjerat jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Salah satunya adalah kasus yang terjadi di P. Kokoya, Morotai, seperti yang saya uraikan diatas.

Tak hanya itu, dugong juga kerap ditemukan terluka akibat terkena baling-baling kapal, seiring maraknya industri di sepanjang pesisir pantai. Adalah, Stanislav Lotha, peneliti Ceko yang tinggal di Balikpapan membuktikan hal itu. Tingginya tingkat hilir mudik kapal yang keluar masuk pelabuhan menjadi salah satu faktor yang memperburuk habitat dugong. 

“Kesibukan lalu lintas laut membuat mereka takut dan memaksa mereka pergi jauh,” ungkap Stan, seperti dikutip dari Jakarta Post.

Selain itu, buangan metal berat dan polutan lainnya seperti oli dari kapal-kapal besar, juga mengancam keberadaan padang lamun yang merupakan makanan dugong.

Belum lagi fenomena terdampar turut andil dalam kematian dugong, sehingga berpengaruh terhadap populasinya di alam. Kondisi lainnya, adalah degradasi lingkungan yang menyebabkan rusaknya padang lamun, sebagai habitat pakan dugong. Degradasi itu umumnya terjadi oleh aktivitas penambangan pasir, reklamasi pantai, pembuatan bangunan hingga sedimentasi akibat penebangan hutan. Oleh karena itu populasi dugong sangat terancam sehingga membutuhkan upaya perlindungan yang lebih kuat.

Upaya Pelestarian
Pada tahun 1970-an, populasi dugong di Indonesia diperkirakan mencapai 10.000, lalu di tahun 1994 turun drastis menjadi 1.000. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mengurangi ancaman terhadap dugong. Salah satunya lewat pengamatan di lapangan maupun lewat forum-forum diskusi/ lokakarya. 

Lewat penelitian dan lokakarya akhirnya disepakati sejumlah langkah sederhana untuk melindungi dugong dari kepunahan, seperti:

1.Tidak melakukan penangkapan dugong karena merupakan biota laut yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1999). Secara tegas pemerintah melarang segala bentuk apapun dalam pemanfaatan dugong demi keberlangsungan hidup hewan langka ini.

2.Memperhatikan kondisi habitat dugong agar tetap terjaga dengan tidak merusak padang lamun yang merupakan satu-satunya sumber makanan dugong.

3.Tidak menggunakan kapal bermotor di wilayah jelajah dugong, mengingat ia merupakan hewan pemalu dan gampang stress terhadap suara berisik.

4.Melepaskan sesegera mungkin dugong yang tidak sengaja tertangkap, apabila nelayan menemukannya pada jaring yang ditebar.

5.Tidak melakukan penambangan pasir dan mendirikan bangunan di sepanjang pantai yang merupakan habitat dugong, karena menyebabkan degradasi lingkungan. Selain itu, pengambilan pasir menyebabkan sedimentasi padang lamun yang berdampak pada berkurangnya tutupan lamun. 

6.Mendorong peran serta masyarakat menjaga habitat dugong melalui pembentukan forum kelompok nelayan yang secara bersama-sama menjaga habitat dugong.

Dengan cara sederhana itu, menjaga habitat yang sehat diharapkan mampu melindungi dugong dari kepunahan. Kendati demikian, di sisi lain, strategi dan rencana aksi untuk melindungi dugong dengan melibatkan stakeholder yang lebih luas, juga perlu mulai dipikirkan. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment