(Film #AADC2. Source: http://teraktual.co) |
Jumat malam (29/4) tak ada yang berbeda di kantor. Semua berjalan normal. Seperti biasa. Kami yang kebetulan kebagian melanjutkan shift malam, mulai terjebak akut dalam rutinitas, yang jujur saja memang menjemukan.
Awalnya tak ada yang memperhatikan, ketika seorang teman mulai kasak kusuk di komputer kosong yang segera ditempatinya itu. Komputer itu berada persis di sisi kananku. Di komputer itu, ia langsung browsing ke laman berbagi video, YouTube.
Tak perlu menunggu lama, ia pun mendapatkan apa yang dicari. Full movie “Ada Apa Dengan Cinta” (AADC). Cukup dengan mengetik keyword “Apa Dengan Cinta”, maka serentetan item dengan judul serupa bermunculan. Selanjutnya, tinggal pilih satu diantaranya.
Kawan ini sengaja memilih film Ada Apa dengan Cinta, karena ternyata ia belum pernah menonton film karya Rudi Soedjarwo yang melegenda itu. Belakangan ia mengaku jika pada Minggu (1/5) akan menonton kelanjutan film yang mengambil judul serupa, yakni Ada Apa Dengan Cinta 2. So, biar paham atas kelanjutan sekuel kedua dan memiliki latar belakang yang cukup, ia pun harus menonton seri pertama.
“Biar gue gak kalah malu, kalo ditanya cerita awalnya”, kilahnya mantap.
Seperti biasa, saya tak terlalu peduli dengan sekeliling, meskipun jaraknya cuma se-hasta dari tempatku duduk. Maklum, saya bukan tipikal orang yang kepo. Lalu, tiba-tiba percakapan singkat terjadi, ketika ia menanyakan sesuatu.
“Bang, lo, udah nonton film Ada Apa Dengan Cinta yang pertama?”, tanyanya
“Udah!” ujarku singkat.
“Gue loh... Belum pernah nonton, sampe segede ini. Parah, yee, gue”, ujarnya sambil nyengir kuda.
“ What... Ya gak lah. Biasa itu! Kan, gak semua film harus pernah kita tonton”, jawabku menimpali, meskipun dalam hati muncul tanya, kok bisa? Wong film sekaliber itu, rasanya semua orang se Indonesia sudah tahu jalan ceritanya, karena telah diputar lebih dari sekali, di beberapa stasiun tv swasta.
“Oh gitu”, katanya.
“Ya, emang gitu kan? Beda kalo lo tanyanya ke -xxx- (baca: merujuk kepada seorang teman dekat yang setahuku emang moviefreak sejak muda dan selalu update dengan film terbaru. Pun soal itu gak perlu dibantah. Doi emang jagonya)”, jawabku.
“Bedanya dimana?”
“Abis, kalo lo tanya ke dia, yang ada lo diketawain. Kan, film itu ngetop abis jaman-jaman itu”
“Hehehe... Ya, kuper ya, gue”, pungkasnya sebagai penutup pembicaraan kami malam itu.
Sementara itu, beberapa teman di sebelah kiriku mulai ikutan nimbrung, meski agak terlambat dan tidak sampai merubah posisi duduk. Mereka kaget, mengapa ada mahkluk yang sampai setua ini belum pernah nonton AADC.
“Wah, parah nih si --x(sensor)x--. Beneran lo belum pernah nonton AADC?” tanya kaget seorang kawan berjenis kelamin perempuan.
“Trus, yang udah lo tonton, film apaan?” ujar teman lain yang berjenis kelamin laki-laki.
Mendapat pertanyaan bertubi seperti itu, sang kawan tetap cuek. Kini sepasang earpeice telah melekat erat ditelinganya. Ternyata ia mulai larut menyimak film AADC yang diputar via YouTube.
“Pantes lo cuek ya??? Ternyata lo udah gak dengerin apa yang kita omongin. Okeh, baeklah”, ujar teman yang pertama.
Begitulah akhirnya, ketika selama 1 jam 45 menit, sang teman terlihat khusyuk menikmati film yang dibintangi Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo itu.
Sekuel Terbaru
Sejak 28 April 2016, ada yang berbeda dengan wajah perfilman kita. Dan, sejak hari itu hingga beberapa waktu kedepan, sebuah film akan diputar terus menerus, sekedar tuk memenuhi hasrat penonton. Sebuah keinginan terpendam atas penantian panjang. Penantian selama 14 tahun 2 bulan, lebih tepatnya. Yup, film itu adalah Ada Apa Dengan Cinta 2 (#AADC2).
Tak kurang dari ratusan kali purnama telah berganti rupa, ketika film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) yang sekuel pertamanya dirilis pada 7 Februari 2002, kini hadir dengan babak baru yang menjadi kelanjutan dari sekuel sebelumnya. Uniknya, film tersebut diputar serentak tak hanya di bioskop-bioskop Indonesia, namun juga Malaysia dan Brunei Darussalam pada tanggal yang sama.
Saking membludaknya penonton yang ingin menyaksikan kelanjutan film Ada Apa Dengan Cinta, di hari pertama penayangannya telah di saksikan oleh 200 ribu penonton. Atas langkah awal yang baik itu, rumah produksi Miles Films --yang memproduksi #AADC2-- menyatakan ucapan terima kasihnya. Pasalnya, tak banyak film yang di hari perdana telah ditonton orang sebanyak itu.
“Terima kasih teman-teman #AADC2, bersama kita telah mencetak rekor! Lanjut #NontonRame2AADC2” demikian kicauan @MilesFilms di akun twitter resmi mereka.
Tak hanya itu, trailer film Ada Apa dengan Cinta 2 yang dirilis pada pekan kedua Maret 2016, setidaknya sudah ditonton lebih dari 1 juta kali. Kondisi itu, menunjukkan animo pengguna YouTube cukup tinggi, menanti kelanjutan kisah Cinta dan Rangga setelah berpisah 14 tahun lamanya.
Setelah membaca banyak review tentang #AADC2 yang mempertemukan Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra sebagai Cinta dan Rangga, pembuatnya memang sengaja ingin menuntaskan perjalanan hidup dua sejoli yang sudah menjadi bagian dari pop culture Indonesia selama dua dekade itu.
Dikisahkan, film itu diawali dengan pertemuan “Geng Cinta” dimana Cinta, Karmen, Maura, Milly dan Mamet bertemu di galeri milik Cinta. Mereka lalu merencanakan liburan ke Yogyakarta. Tanpa pasangan. Selanjutnya, jadilah geng Cinta reunian di kota bersejarah itu.
Sementara Rangga masih terjebak di New York, AS dengan kedai kopinya. Pikirannya masih belum bisa beranjak dari Cinta. Diceritakan pula, jalinan asmara Cinta dan Rangga tak mulus. Sempat bertemu di New York, mereka lalu berpisah pada tahun 2006. Rangga memutuskan Cinta hanya lewat secarik surat, tanpa alasan yang jelas. Cinta marah!
Rangga dan Cinta kemudian bertemu di Yogja tanpa direncanakan. Pasalnya, adik tirinya menyampaikan jika Rangga harus bertemu ibunya, ibu yang tak pernah ia temui setelah 25 tahun. Selanjutnya, seperti bisa ditebak, semesta mempertemukan mereka. Menyatukan hati yang terpisah dan sempat dingin, meski Cinta bukan lagi seperti sosok yang dulu.
Oh ya, di scene ketika Rangga memutuskan Cinta, selintas saya teringat kisah “Sha” dan “Tommy”, karya penulis muda berbakat yang sangat dikagumi, setidaknya lebih dari 2 orang. Mengapa? Tentu saja, karena ceritanya yang rada-rada mirip, khususnya terkait penggunaan kertas untuk mengungkapkan sesuatu.
Jika di kasusnya Rangga, ia memutus Cinta lewat secarik kertas, maka di kisahnya Sha agak beda. Tommy, pujaan hatinya terpaksa meninggalkan Sha tanpa pernah bertemu di sebuah restoran mewah, Ebert's Suppenstube di Jerman, karena sesuatu dan lain hal.
Berikut petikan tulisan yang membuat hati ini nelangsa setiap kali membacanya. Bagi saya, tulisan kawan ini layak diapresiasi sebagai sebuah karya sastra, meski kadarnya belumlah bisa menyamai Dee. Berikut penuturannya:
Sebentar lagi pesawat yang kutumpangi take off. Tepat sesuai jadwal keberangkatan pesawat terakhir. Pukul 17.45 waktu Frankfurt.
Sejenak kupejamkan mata. Membayangkan indahnya Frankfurt. Ramahnya Kenan. Lezatnya makanan. Dan..Tommy. Sudahlah Sha. Cukup. Lupakan dia. Seolah ada dua Sha di pikiranku. Yang satu adalah Sha yang tegar dan realistis. Sementara yang satunya lagi Sha yang melankolis.
Sekuat apapun aku tampak dari luar, aku tetap Sha yang merindukan Tommy. Merindukan setiap inci kulitnya. Merindukan tatapan matanya yang memujaku. Merindukan kejutan-kejutannya. Merindukan aromanya. Mungkin aku sudah kecanduan dan salahku sendiri membiarkanku terhanyut.
Kenapa Tommy berjanji bertemu bila akhirnya tidak datang. Oh, dia bukan tidak datang. Dia datang. Dia sudah sempat memesan secangkir cokelat panas dan bahkan meninggalkan tulisan di selembar tissue. Ich vermisse dich (aku merindukanmu). Apa artinya Ich vermisse dich kalau akhirnya dia pergi sebelum aku tiba. Itukah caranya mengungkapkan kerinduannya padaku? Dengan menyakitiku sekali lagi?
Aku menggelengkan kepalaku supaya pikiranku bersih dari Tommy. Tapi tak bisa. Pikiranku kembali melayang ke saat aku menemukan selembar tissue itu. Tissue yang kini ada di tasku.
Saat itu, setelah kubaca tissue itu, pikiranku serasa kosong. Yang kuingat hanya ingin segera meninggalkan restoran Ebert's Suppenstube. Aku ingin berlari sejauh mungkin. Riuh tawa pengunjung menyadarkanku. Aku memandang cangkir berisi cokelat panas di depanku. Hanya kupandangi. Kubiarkan sampai dingin. Pelayan bertanya apa yang ingin kupesan. Aku hanya memesan sparkling water. Kuteguk habis sparkling water. Rasa soda seperti naik ke otakku. Sengaja agar aku bisa menjernihkan pikiranku.
Tidak berapa lama, kutekan nomor telepon Kenan. Aku minta dijemput. Dalam hitungan menit, Kenan tiba dan mengantarkanku kembali ke hotel dan ke bandara.
Sekedar Beromantisme
Setibanya di rumah malam itu, iseng-iseng saya membuka linimasa lewat hp, tempat dimana saya biasa menumpahkan uneg-uneg sembari membaca ide-ide segar dari banyak orang tentang beragam topik.
Dilala-nya, ntah mengapa, sebagian besar topik membahas tentang Ada Apa Dengan Cinta 2, film bergenre drama yang kini disutradarai Riri Reza dan diproduseri Mira Lesmana.
Seakan tak ingin ketinggalan berita, saya lalu merunut satu persatu info yang bersileweran di linimasa. Mulai dari penayangan perdana film yang cukup menghebohkan, kelanjutan cerita Cinta dan Rangga setelah 14 tahun berpisah, ketidakhadiran Alya (Ladya Cherill), seting kota Yogyakarta yang penuh tradisi dan selalu dirindu, hingga kehadiran Melly Goeslaw dan Anto Hoed sebagai penata musik, sekaligus pembuat lagu-lagu yang menjadi soundtrack #AADC2.
Membaca semua itu, cukup membuat akal sehatku menerawang jauh ke tahun-tahun itu, tahun dimana AADC bermula. Kebanyakan pasti tahu, jika Ada Apa dengan Cinta? (AADC) merupakan film drama-romantis karya Rudi Soedjarwo yang diputar perdana pada tahun 2002, dimana lagu temanya dinyanyikan Melly Goeslaw dan Eric. Saat itu, AADC meraih sukses besar, menandai kebangkitan kembali perfilman Indonesia.
Bertemakan cinta pada masa-masa SMA, Ada Apa dengan Cinta edisi pertama menampilkan Cinta (Dian Sastrowardoyo) sebagai seorang pelajar SMA. Ia langganan juara lomba puisi di sekolahnya. Cerita berawal dari Alya (Ladya Cherill) yang tubuhnya memar akibat dipukuli sang ayah yang selalu cek-cok dengan ibunya. Alya merupakan sahabat karib Cinta dengan teman-temannya yang lain, seperti Carmen (Adinia Wirasti), Maura (Titi Kamal), dan Milly (Sissy Priscillia).
Di sekolah, juara lomba puisi tahunan akan diumumkan. Seluruh siswa yakin Cinta akan jadi juara. Anehnya, justru pemenangnya adalah Rangga (Nicholas Saputra). Berhubung Cinta dan teman-temannya pengurus mading (majalah dinding) sekolah, ia berniat mewawancara Rangga. Namun, Rangga adalah tipe laki-laki pendiam dan penyendiri. Saat Cinta berbicara dengan Rangga, ia melihat buku yang dipegang Rangga (buku AKU karya Syumandjaya). Lalu Cinta memberinya surat dan membuat Rangga emosi. Dan tanpa disengaja bukunya terjatuh. Cinta segera memungutnya. Dan membawa pulang buku itu untuk dibaca.
Cinta lalu mengembalikan buku itu kepada Rangga. Rangga pun mengucapkan terima kasih. Sejak itu mereka menjadi dekat. Rangga lalu mengajak Cinta ke Kwitang, tempat ia membeli buku-buku bekas.
Singkat cerita, Rangga bersiap hijrah ke New York, Amerika Serikat. Ia coba menghubungi Cinta untuk pamit. Namun Cinta justru menjauh. Carmen yang saat itu sedang latihan basket tak sengaja melihat Rangga berpamitan kepada Pak Wardiman, sang penjaga sekolah. Carmen lalu memberitahukan teman-temannya.
Cinta yang sadar bahwa Rangga adalah cinta sejatinya, segera menyusul ke bandara. Setelah ada insiden kecil dengan mobil Milly, mereka kemudian meminjam mobil Mamet (Dennis Adhiswara). Di bandara Cinta akhirnya bertemu Rangga. Ia meminta Rangga membatalkan niatnya sekolah di luar negeri. Namun Rangga tak bergeming. Sebelum beranjak, ia memberi buku yang pada halaman terakhirnya terdapat puisi Rangga, berjudul "Ada Apa dengan Cinta?". Rangga pun berjanji akan kembali, tepat ketika purnama bersinar di New York.
Tetaplah Romantisme
Adakah yang salah ketika sepasang muda mudi yang pernah jatuh cinta bertemu kembali setelah berpisah belasan tahun lamanya? Rasanya tidak ada yang salah dengan hal itu.
Yup, itulah yang terjadi dengan Cinta dan Rangga. Setelah 14 tahun berlalu, tokoh Rangga dan Cinta ‘dihidupkan’ kembali. Lewat film berdurasi 125 menit itu, aneka kisah, baik; cinta, luka, bahagia, dan gelak tawa hadir silih berganti. Banyak yang menyebut, menyaksikan #AADC2 seakan membawa banyak perasaan yang tak selesai di masa lalu. Tentu saja karena jalinan cerita dan kekuatan visual yang ditawarkan, tetap sama. Menggoda.
Dikisahkan, anggota Geng Cinta kini menjelma menjadi para perempuan metropolitan yang menganggap menyeruput es teh manis di kota Yogyakarta sebagai eksotisme tersendiri. Sementara di sisi lain, Rangga masih tetap berkutat dengan getirnya hidup dan menjalaninya dalam kegamangan. Jujur, dengan untaian waktu yang begitu panjang, tentu banyak pertanyaan yang mesti dijawab. Misalnya, apa saja yang dilakukan Cinta selama itu, atau, seperti apa kesibukan Rangga di New York?
Kisah Rangga dan Cinta yang legendaris itu memang menghanyutkan. Keduanya saling memendam rasa dan mereka sadar bahwa telah terjebak perasaan, dan perpisahan di bandara jadi cara terbaik melupakan semuanya.
Di dunia nyata, hubungan seperti itu disebut cinta monyet, sebuah cerita indah dari masa lalu yang bisa jadi tak perlu diulang. So, ketika keduanya bertemu belasan tahun kemudian, sepertinya sulit untuk mencari alasan pembenar. Kondisi itu yang jadi pertanyaan Ivan Makhsara, seorang pemerhati film.
“Susah menemukan logika yang pas untuk membenarkan pengulangan klise romantis yang dilakukan film sebelumnya.” ujarnya lewat sebuah tulisan di majalah RollingStone
Oleh karena itu, saya setuju jika ada yang menyebut #AADC2 seharusnya tidak dipandang terlalu serius. Karena #AADC2 tak lebih dari sebuah film drama biasa yang sifatnya romantisme, yang kebetulan berujung happy ending.
“Ini film populer yang tujuannya memang untuk menyenangkan penonton saja”, ujar Ivan kemudian.
Lebih jauh, Ivan menyebut dengan set-up yang lemah, sepertinya film ini berjalan terseok-seok. Banyak cerita yang dipaksakan.
“Cerita tak asyik untuk diikuti dan beberapa bagian terasa dipaksakan. Penulisan dialognya kacangan. Usaha untuk membuat karakternya tetap trendi malah menggelikan, dalam arti yang tidak baik", ujar Ivan.
Kendati demikian, bagi saya, #AADC2 telah hadir untuk memenuhi kerinduan orang-orang yang sempat merasakan gairah cinta yang ditawarkan lewat sekuel pertama, meski mungkin secara teknis ada beberapa kekurangan.
Tetapi, bukankah setiap film tak ada yang sempurna. Sehebat-hebatnya sebuah film, selalu ada celah yang belakangan menjadi diskursus dikalangan pemerhati dan pecinta film. Bukan begitu?
Satu yang pasti, #AADC2 tidak hanya mengantarkan penonton kepada kompleksitas hubungan Cinta dan Rangga dan kekompakan Genk Cinta semata, namun juga berhasil mengajak penonton tuk melihat sisi lain Yogyakarta, kota yang menjadi lokasi sebagian besar seting film ini. Setidaknya informasi itu sama seperti tulisan yang saya baca beberapa waktu lalu.
Atas semua argumentasi itu, #AADC2 sebagai sebuah film yang sangat dinanti para penggemarnya, layak tuk diapresiasi. Pun, karena terpaut waktu yang lama dengan sekuel kedua, bagi saya, film ini tak ubahnya sebagai momen romantisme bagi mereka-mereka yang pernah akrab dengan Cinta dan Rangga di sekuel pertama. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment