Tuesday, May 03, 2016

2016: 39 Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis

(Acara World Press Freedom Day di Amsterdam, Belanda, dihadiri 4 jurnalis sebagai pembicara utama, 2010. Foto : Iman D. Nugroho)
3 Mei menjadi hari paling bersejarah bagi insan pers di seluruh dunia. Pasalnya, setiap 3 Mei diperingati sebagai World Press Freedom Day (Hari Kemerdekaan Pers Internasional) yang menjadi momentum untuk mengingatkan pemerintah dan semua pihak agar menghormati pers bebas. 

AJI Indonesia dalam peringatan World Press Freedom Day 2016 kembali mengingatkan masih terjadinya kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Sepanjang tahun ini, mulai Mei 2015-April 2016, AJI Indonesia mencatat ada 39 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk, mulai dari pengusiran, pengrusakan alat, hingga kekerasan fisik.

Dari 39 kasus itu, kekerasan terhadap jurnalis terbanyak dilakukan oleh warga dengan 17 kasus. Maraknya kekerasan oleh warga, merupakan efek buruk dari pembiaran yang dilakukan oleh kepolisian. Selanjutnya, 11 kasus dilakukan oleh polisi dan oleh pejabat pemerintah 8 kasus. Pelaku lainnya masing-masing satu kasus dilakukan oleh TNI, satpol PP dan pelaku tidak dikenal.  

Maraknya tindakan represi beberapa kelompok masyarakat atas ungkapan ekspresi kelompok yang dianggap “berbeda”, merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusi warga negara. Hal itu didasari oleh buruknya pemahaman akan toleransi. Hal itu disampaikan Ketua AJI Indonesia, Suwarjono di sela-sela peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional atau World Press Freedom Day 2016, Selasa (3/5/2016). 

“Karena itulah, dalam peringatan World Press Freedom Day 2016 kali ini, AJI mengusung tema Berbeda itu Hak!, sebagai langkah awal untuk membangun kembali pemahaman publik akan toleransi dan kebhinekaan Indonesia,” ujar Suwarjono.

Jaminan hak asasi manusia, jelas Suwarjono, diatur dalam Pasal 19 DUHAM dan Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945. Di dalamnya, mencakup dua hal mendasar, yaitu hak memperoleh informasi dan hak menyebarluaskan informasi atau berekspresi. 

“Pemenuhan hak itu menjadi jalan untuk memastikan dan menuntut negara memenuhi hak asasi manusia lainnya,” papar Suwarjono.

Sementara tahun lalu (2015), pelaku kekerasan terbanyak dilakukan oleh polisi dengan 14 kasus, diikuti warga 9 kasus dan pejabat pemerintah 8 kasus.  

“Ini ironis, karena polisi yang seharusnya melindungi kerja jurnalistik yang dilindungi UU Pers, justru menempati urutan kedua pelaku kekerasan,” kata Ketua Bidang Advokasi, Iman D. Nugroho.  

Polisi Musuh Kebebasan Pers
Sejak tahun lalu, Aliansi Jurnalis Independen telah menyematkan polisi sebagai musuh kebebasan pers. Jika mengacu pada kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, sepertinya tidak ada perubahan. Polisi gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Jika dihitung-hitung, ini merupakan kali kelima bagi polisi didaulat sebagai musuh kebebasan pers sejak pertama kali dihelat di tahun 2007.

Desakan AJI agar kepolisian mengusut tuntas kasus pembunuhan 8 jurnalis yang hingga kini tak diketahui pelakunya, ternyata tak membuahkan hasil. Delapan jurnalis yang tewas karena pemberitaan adalah Muhammad Fuad Syahfrudin alias Udin (jurnalis Harian bernas Yogyakarta tewas tahun 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).

Sepanjang tahun 2015-2016, kepolisian juga dianggap gagal melindungi hak warga negara dalam menyampaikan pendapat. Pasalnya, sejumlah kasus pembubaran diskusi, pemutaran film, dan penyampaian eskpresi oleh kelompok intoleran terkesan dibiarkan. 

“Polisi seharusnya melindungi hak warga negara yang mempunyai pendapat berbeda atau keyakinan dengan kelompok lain. Bukan dibiarkan,” kata Iman.

Kondisi yang mengkhawatirkan juga terjadi di ranah kebebasan bereskpresi, pasca lebih dari 170 kasus kriminalisasi yang dilaporkan melanggar Undang- undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE). Warga yang menjadi korban akibat mengeluarkan pendapat secara online terus bertambah.

“Peran polisi menegakkan hukum terkait kasus-kasus kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat telah gagal. Maka AJI Indonesia menetapkan polisi musuh kebebasan pers 2016,” kata Iman. 

Akibat kondisi itu, tidak mengherankan jika kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia berada pada taraf mengkhawatirkan, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Tahun ini Indonesia dalam indeks kebebasan pers dan berekpresi seperti data yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis) menyebutkan berada di zona merah, yakni di posisi 130 dari 180 negara. Level ini bahkan berada di bawah Timor Leste, Taiwan dan India.

Selain itu, organisasi yang memonitor kebebasan pers dunia, Freedom House menilai, kehadiran undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat dan pers, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Intelijen dan RUU Kerahasiaan Negara, membuat Indonesia masuk dalam kelompok partly free atau tidak sepenuhnya bebas.

“Akses jurnalis asing untuk meliput di Papua menjadi salah satu penyebab penilaian bahwa kebebasan pers di Indonesia belum sepenuhnya berjalan. Hal ini harus terus diingatkan dan dipahami, salah satunya, dalam momentum peringatan World Press Freedom Day 2016 ini,” pungkas Iman.

Arti Kebebasan Pers
Selain memperingatkan semua pihak untuk mendukung kemerdekaan pers, World Press Freedom Day juga penting bagi para pekerja pers untuk merefleksikan kebebasan pers dan profesionalisme sesuai etika jurnalistik yang berlaku. Oleh karena itu, semua pekerja pers harus patuh terhadap kode etik.

Sementara bagi UNESCO, organisasi resmi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang setiap tahun menghelat peringatan Hari Kemerdekaan Pers Internasional mengusung 3 pesan penting, yakni; peran media dalam pembangunan; keselamatan dan perlindungan hukum bagi jurnalis; dan keberlanjutan serta integritas jurnalisme. 

Sejatinya, semua itu bermula di tahun 1993, ketika Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 3 Mei sebagai hari memeringati prinsip dasar kemerdekaan pers, demi mengukur kebebasan pers di seluruh dunia. Sejak hari itu, 3 Mei lalu dirayakan untuk mempertahankan kebebasan pers atas serangan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, sekaligus memberi penghormatan kepada para jurnalis yang meninggal akibat kerja-kerja jurnalistik yang ia lakukan. Selain itu, World Press Freedom Day diharapkan mampu mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut memperjuangkan pers bebas.

Seiring bergulirnya waktu, media juga diharapkan berada di posisi terdepan dalam memerjuangkan tata kelola pemerintahan yang baik, pemberdayaan masyarakat, dan pengentasan kemiskinan. 

Selain itu, pembenahan sistem hukum juga perlu disuarakan, mengingat hukum merupakan satu-satunya cara untuk memastikan keselamatan jurnalis dapat terwujud. Tak hanya itu, lewat proses hukum, semua mata rantai impunitas (kekebalan) bagi para pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diakhiri. 

Di Indonesia, meski pemerintah telah mengesahkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) pada 23 September 1999, yang menegaskan tentang pencabutan wewenang pemerintah untuk menyensor dan membredel pers, namun fakta menunjukkan, profesi jurnalis masih menjadi salah satu profesi yang paling terancam di Indonesia.

Kenangan di Belanda
Adalah suatu kehormatan besar bagi saya, boleh mengikuti perhelatan besar semacam World Press Freedom Day (Hari Kemerdekaan Pers Internasional) di Amsterdam, Belanda pada 3 Mei 2010. 

Peristiwa itu sendiri sudah agak lama berlalu, namun momen-momen yang tercipta masih melekat kuat, seakan baru saja terjadi. Dan jujur saja, perayaan model seperti itu, jarang saya ikuti sebelumnya. 

Jika di Indonesia, World Press Freedom Day --yang dilakukan AJI-- lebih banyak dilakukan di jalan melalui aksi massa, maka di Amsterdam, Belanda, perayaannya dilakukan lewat konperensi yang sifatnya seremoni, bahkan mirip seminar-seminar di PBB. Tentu saja, pendekatan itu jauh berbeda. Itu yang membuat saya rada shock.

Oh ya, peringatan seperti itu, jujur saja, merupakan yang pertama bagi saya. Peringatan itu sendiri dihadiri oleh banyak kalangan, termasuk jurnalis yang berasal dari beberapa negara. Pun, acaranya diliput oleh hampir semua media besar di Belanda.

Undangan mengikuti World Press Freedom Day, kami terima sehari sebelumnya, ketika perwakilan organisasi jurnalis Belanda, Dutch Association of Journalists (Nederlandse Vereniging van Journalisten, NVJ) mendatangi kami di Radio Netherland Training Centre (RNTC). Di akhir kunjungannya, mereka menawarkan kami untuk bergabung di hari bersejarah bagi pers itu.

(Nederlandse Vereniging van Journalisten, NVJ) merupakan salah satu organisasi jurnalis yang berperan penting bagi jurnalisme di Belanda. NVJ juga menjadi salah satu organiasasi terbesar yang sangat berpengaruh. Struktur organisasi NVJ sendiri merupakan gabungan dari serikat buruh dan organisasi profesional wartawan. Itu yang membuat organisasi ini cukup kuat.

Saat ini, NVJ yang berbasis di Amsterdam telah memiliki sekitar 9.000 anggota. Dalam kegiatannya NVJ terkenal getol memperjuangkan isu-isu kebebasan pers sebagai bagian dari kesepakatan serikat pekerja dan menekankan perlunya fee yang manusiawi bagi jurnalis freelance ketika melaksanakan tugas-tugas jurnalistik.

Sore itu, seingat saya, peringatan World Press Freedom Day digagas oleh NVJ yang acara puncak adalah mendengarkan pengalaman empat jurnalis yang melarikan diri dari negara asalnya. Empat jurnalis itu berasal dari Zimbabwe, Eritria, Bosnia dan Turki. 

Namun sebelum acara puncak, di beberapa ruangan besar yang bangunannya mirip Galeri Foto Jurnalistik Antara, telah diadakan beberapa diskusi kecil dengan tema yang berbeda.

Di salah satu ruangan itu, delegasi dari Indonesia, yang diwakili oleh Ara (Jakarta Globe) dan bli Komang (Tempo) didaulat memaparkan kondisi pers di Indonesia. Selain itu, mereka juga bercerita banyak tentang peran media, khususnya media konvergensi dalam mewujudkan kebebasan pers yang memang belum sepenuhnya terwujud di Indonesia.

Oh ya, salah satu yang saya ingat, World Press Freedom Day digelar di gedung Compagnietheater Kloveniersburgwal, Amsterdam, berjarak sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil dari Bussun, tempat kami menginap.

Saat itu, saya merupakan satu dari 18 jurnalis Indonesia (baca: anggota Aliansi Jurnalis Independen, AJI) yang berkesempatan mendalami kontribusi jurnalisme multimedia terhadap independensi media di Radio Netherland Training Centre (RNTC) Hilversum, Belanda.

Independensi media masih menjadi masalah besar di Indonesia, meski pers Indonesia sudah menikmati era kebebasan selama 12 tahun. Harapannya, lewat pelatihan itu akan membuka jalan memahami jurnalisme multimedia sehingga mampu menjadi solusi untuk memperkuat independensi media.

Sementara itu, RNTC merupakan institusi yang bergerak di sektor media, pembangunan, serta pendidikan. Lembaga itu secara reguler menyelenggarakan pelatihan di bidang media yang diikuti peserta dari berbagai negara berkembang. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment