Saturday, June 25, 2016

Brexit, hiks!

(ilustrasi Brexit. Source: http://s1.ibtimes.com)

"By working together in Europe we make our economy stronger and we give ourselves more influence in the world and we provide future opportunities for young people”
Stephen Hawking, physicist 

“No man is an island. No country by itself” 
Daniel Craig, Actor 

If one more person tells me voting Remain is for the rich: WHO WILL SUFFER IF THE EXPERTS ARE RIGHT AND 100K JOBS GO AND WELFARE IS SLASHED?
J.K Rowling, The Harry Potter author

***
Beberapa hari terakhir, tiba-tiba saja banyak orang latah dengan istilah baru yang memang tak lazim di telinga masyarakat Indonesia. Istilah itu adalah, Brexit. Brexit merupakan singkatan dari British exit, sebuah keputusan pahit yang diambil oleh Inggris untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa (UE).

Sepengamatan saya, istilah Brexit ramai diperbincangkan orang-orang, mulai dari pasar dekat rumah, di bengkel motor langganan, di grup whatsapp hingga di blog-blog ternama.

Tak hanya itu, belum genap 24 jam Brexit mencuat, meme tentang Brexit ikut bermunculan. Ada yang menyebut Brexit sebagai “Brebes Exit” khusus merujuk pada kota dengan etnis berlogat tertentu. Ehm... 

Bahkan yang lebih edan, ada yang menggunakan Brexit sebagai “Bekasi Exit”, mengacu pada kota Bekasi yang letaknya beda beberapa tahun cahaya dari planet Bumi. Dan, khusus soal Bekasi, mohon maaf ya, memang paling sering dijadiin korban, sebagai joke atau meme-meme lucu.

Namun itu belum seberapa. Kemarin, dengan berwibawanya seseorang --yang namanya gak usah disebutkan--, mengingatkan seorang teman untuk memasukkan item Brexit ke dalam rundown siaran. Padahal sebelumnya, jarang saya mendengarnya melontarkan kata-kata Brexit. Apa karena lagi buming? Ntah juga. 

“Itu ya..., jangan lupa Brexit di masukkan ke rundown”, pintanya dengan suara gagah yang dibuat-buat.

Sementara saya, mulai 'ngeh' dengan isu Brexit setidaknya sejak akhir bulan lalu, usai membaca artikel di CNBC tentang rencana bank sentral AS (The FED) menaikkan suku bunga 2-3 kali di tahun ini. Di tulisan itu disebut, keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) sedikit banyak mempengaruhi keputusan rencana kenaikan Fed Fund Rate. Belum lagi, seminggu atau tepatnya 8 hari sebelum referendum, pertemuan terkait kebijakan Federal Reserve diadakan pada 14-15 Juni lalu, yang akhirnya menyepakati menunda lagi kenaikan suku bunga mereka.

"With the Brexit referendum just eight days [after] the meeting, the bar for the domestic data is pretty high.We think the decision will be closer than markets believe, but ultimately we think Dr. Yellen will prefer to wait until after the vote, and move in September," wrote Pantheon Macroeconomics' chief economist, Ian Shepherdson, in a note. 

Dari komentar -komentar itu, banyak yang menginginkan agar Ketua Federal Reserve, Janet Yellen berhati-hati menerapkan kenaikan suku bunga acuan, karena akan memiliki dampak yang luas, tidak hanya terhadap ekonomi Amerika semata.

Hal senada juga diungkapkan Wijayanto Samirin, beberapa waktu lalu di salah satu progam dialog bersegmentasi ekonomi. Ntah di Market Corner atau Money Report. Saya lupa. Yang pasti, Staf Ahli Wakil Presiden bidang Ekonomi Keuangan itu menyebut, isu Brexit masih menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu oleh para pelaku ekonomi.

Dari keterangan Wijayanto saya mengambil kesimpulan, jika isu Brexit akan menimbulkan banyak dampak, baik secara global maupun lokal khusus bagi Indonesia. Salah satu yang paling ditakuti adalah munculnya fenomena ''super dolar'', dimana dolar AS akan semakin perkasa. Khusus soal itu akan saya bahas belakangan.

Mengapa Brexit?
Referendum pada Kamis (23/6) menjadi hari bersejarah bagi Inggris. Hari yang akan selalu diingat sepanjang sejarah kerajaan Inggris. Hari pemungutan suara bagi seluruh warga negara Inggris, Irlandia dan Selandia Baru yang akan memutuskan apakah tetap berada di Uni Eropa atau keluar. Hari dengan hasil yang tidak begitu mengejutkan, karena telah diperkirakan sebelumnya. Hari dimana sebanyak 52% pemilih setuju meninggalkan Uni Eropa, sedang sisanya 48% memilih tetap bertahan. 

Sebelumnya, isu Brexit memang selalu mencuat, setidaknya sejak tahun 1974, setahun setelah Inggris resmi bergabung dengan UE, yang awalnya bernama Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC).

EEC merupakan organisasi yang bertujuan memperkenalkan integrasi ekonomi dan menyatukan ekonomi negara-negara anggotanya. Setelah menjadi Uni Eropa, organisasi itu mulai berintegrasi dengan aspek-aspek lain, seperti perdagangan, HAM, hingga kebijakan luar negeri.

Saat itu, tidak semua warga setuju bergabungnya Inggris dengan organisasi Uni Eropa. Lalu, pada 1974, referendum digelar untuk memilih apakah Inggris terus bergabung dengan EEC atau tidak, yang saat itu didukung oleh partai oposisi. Hasilnya, berujung dengan berlanjutnya keanggotaan Inggris di EEC, hingga akhirnya organisasi itu berganti nama menjadi Uni Eropa (UE).

Uni Eropa sendiri merupakan blok yang terdiri atas 28 negara dan diklaim lebih dari sekadar zona perdagangan bebas. Dengan total populasi anggota 500 juta jiwa, Uni Eropa merupakan blok perekonomian terbesar di dunia saat ini. Selain fokus pada masalah ekonomi, Uni Eropa juga membentuk lembaga berpengaruh, seperti Komisi Eropa, Parlemen Eropa, hingga European of Justice atau European Council.

Pada tahun 2015, Perdana Menteri David Cameron, berjanji menyelenggarakan referendum terkait apakah Inggris akan keluar atau tetap di Uni Eropa, jika dia terpilih dalam pemilu, Kemudian, Partai Konservatif yang menang di pemilu 2015 mengusung kembali pembahasan referendum di parlemen Inggris. Meski mendukung secara terbuka agar Inggris tetap menjadi anggota UE, Cameron menyetujui referendum diadakan.

Tak hanya itu, ia juga membebaskan siapapun, termasuk para menteri dalam kabinetnya, untuk menyuarakan dukungannya, baik untuk Brexit atau tidak.

Lalu, muncul dua kubu di kalangan warga Inggris, yakni yang mendukung keanggotaan UE (pro UE) dan yang mendukung untuk keluar dari UE (Brexit). Sebagian warga Inggris yang ingin negara keluar dari UE berargumen bahwa UE telah mengancam kedaulatan, regulasi, dan kebijakan imigrasi di Inggris. Sedangkan, yang mendukung keanggotaan UE berargumen UE menjamin kedamaian, perekonomian, dan kesatuan Inggris dengan Eropa.

Saat beridato dihadapan parlemen House of Commons pada Februari 2016, Cameron mengumumkan bahwa referendum akan diselenggarakan pada 23 Juni. Setelah mengetahui hasil referendum dengan kemenangan untuk Brexit, Cameron pun mengundurkan diri. 

Bagi saya, langkah berani Cameron jadi contoh pemimpin yang layak diteladani. Layak untuk dicatat dalam sejarah dan harus diapresiasi, karena ia telah menepati janjinya.

Kebijakan Imigrasi
Usai referendum di tahun 1974, sekelompok golongan masyarakat merasa jika Uni Eropa kian mengontrol kehidupan dan kegiatan sehari-hari mereka. Warga Inggris merasa tidak nyaman dengan kehadiran Uni Eropa.

Selain itu, sebagian masyarakat menilai jika Inggris terbebani oleh Uni Eropa, khususnya dengan berbagai aturan yang dinilai membatasi kegiatan bisnis di Inggris. Belum lagi, setiap tahun, Uni Eropa menarik iuran untuk keanggotaan dalam jumlah besar (baca: miliaran dolar), sementara Inggris merasa hanya mendapat sedikit keuntungan atas hal itu.

Hal-hal yang terkait dengan perdangangan luar negeri, pertumbuhan ekonomi Inggris, iuran keanggotaan yang besar, regulasi terpusat Uni Eropa hingga peran Inggris di dunia internasional tidak akan saya bahas, karena hal itu telah diulas oleh banyak situs berita. Tinggal googling ajah, dengan keyword yang jelas. Pasti ketemu.

Hanya saja, alasan Inggris keluar dari Uni Eropa karena berhubungan dengan kebijakan imigrasi, rasa-rasanya belum banyak yang memberitakan. Alasan itu, pada awalnya bermula pada prinsip free movement yang jadi tagline-nya Uni Eropa. Belakangan prinsip free movement telah membawa banyak imigran datang dan menetap di Inggris. 

Saat bergabung dengan Uni Eropa, masyarakat Inggris menolak campur tangan Uni Eropa yang secara tidak langsung telah mengendalikan perbatasan mereka, mengatur jumlah pendatang, termasuk imigran.

Kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini, membuat Inggris terganggu dengan kehadiran banyaknya imigran yang masuk ke Eropa sejak awal tahun ini. Inggris menilai, beban yang harus mereka tanggung semakin besar.

Padahal, ide awal free movement yang artinya bebas datang ke berbagai negara yang bergabung di EU tanpa visa, kini memunculkan idiom baru, yakni pengungsi bebas masuk ke Eropa. Jumlah imigran yang membanjiri Inggris pun terus meningkat. Kondisi itu, dianggap sebagian masyarakat bertentangan dengan prinsip EU, yakni free movement.

Kendati demikian, prinsip free movement telah memberikan dampak yang berarti bagi Inggris, baik secara positif maupun negatif. 

Secara positif, misalnya, terdapat sekitar 800 ribu masyarakat Polandia yang bekerja dan menetap di Inggris, dan belum termasuk sumber daya manusia dari negara lain dari Uni Eropa. 

Jika Inggris keluar dari Uni Eropa, maka SDM yang berasal dari luar Inggris itu akan menggantung nasibnya. Tidak jelas nasibnya, sebelum ada aturan baru yang mengatur soal itu. Artinya, mereka tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. 

Sementara itu, dampak negatif Brexit, Inggris akan mengalami "kerugian", dimana banyak perusahaan di Inggris akan kerepotan mencari posisi pengganti, jika banyak SDM yang potensial dari (luar) Inggris itu harus dipulangkan. Kondisi itu tentu akan menimbulkan perlambatan ekonomi. 

Bahkan, pada kondisi ekstrem, warga Inggris akan kerepotan untuk mencari banyak tenaga kerja yang mau bekerja kasar, seperti pelayan toko dan restoran, montir dan perawat. Maklum, warga Inggris jarang yang mau melakukan hal itu. Setidaknya demikian informasi yang saya dapatkan dari beberapa teman yang bersekolah disana. Tak heran, jika posisi pekerjaan itu, kebanyakan di handle oleh mereka-mereka yang berasal dari luar Inggris.

Belum lagi jika dikaitkan dengan banyaknya warga Uni Eropa yang telah menetap dan memiliki mata pencaharian di Inggris. Mereka sedang harap-harap cemas saat ini. Harapannya satu, Inggris tidak keluar dari Uni Eropa. Namun, takdir berkata lain.

Tak heran, jika Ketua Confederation of British Industry (CBI) mengatakan Brexit telah menyebabkan Inggris akan kehilangan 500.000 pekerjaan di tahun 2020, dan belum akan pulih sepenuhnya dalam jangka waktu 15 tahun mendatang. Output perekonomian Inggris pun bisa berkurang sekitar 3% sampai 5,3% di tahun 2020, tergantung bagaimana nanti kesepakatan dengan mitra dagang internasional ditata ulang.

Oh ya, sebelum referendum dilaksanakan, pro kontra terkait Brexit terus bermunculan. Masyarakat yang menolak Brexit, mengamini jika meninggalkan Uni Eropa tidak lantas berarti arus imigrasi akan berkurang, karena faktanya memang demikian.

Sementara yang setuju Brexit, beranggapan, jika keluar dari UE, maka Inggris bisa menyingkirkan sistem imigrasi UE yang telah memaksa Inggris membuka pintunya bagi imigran dari sesama negara UE (yang kualitas SDM-nya diragukan), dan akhirnya Inggris dapat menyambut imigran non-UE yang bisa berkontribusi lebih besar.

Dua argumentasi itu terus menguat. Namun, satu yang pasti, jumlah imigran yang berniat masuk ke Inggris tetap banyak. Alasannya, demi menginginkan kehidupan yang lebih layak, dan Inggris dianggap menjadi salah satu negara yang bisa mewujudkan hal itu.

Super Dolar
Sejauh ini, yang secara aktif menyerukan agar Inggris tetap bergabung degnan Uni Eropa (UE) adalah mantan PM Inggris, David Cameron dan beberapa pemimpin partai politik Inggris. Keputusan untuk tetap menjadi anggota UE juga didukung oleh banyak pihak, seperti Presiden AS, Barack Obama, pemimpin-pemimpin UE, termasuk Presiden Joko Widodo.

Obama menyebut, pengaruh Inggris di seluruh dunia akan lebih besar jika tetap berada di dalam Uni Eropa.

“Kemampuan Inggris memerangi terorisme akan 'lebih efektif' jika terus bersama-sama dengan sekutunya di Eropa”, kata Presiden AS Barack Obama sebagaimana dikutip dari Daily Telegraph.

Sementara itu, Indonesia berharap Inggris tetap menjadi anggota Uni Eropa, sebagaimana diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan di Brussels, Belgia, beberapa waktu lalu (21/04).

Dalam lawatan yang bertujuan memperkuat hubungan perdagangan Indonesia-Uni Eropa, Presiden Jokowi ingin agar Uni Eropa memberi manfaat yang nyata bagi Indonesia," 

"Dalam konteks ini, saya berharap Inggris akan tetap menjadi bagian Uni Eropa," pinta Presiden Jokowi.

Dari sisi yang berseberangan, kelompok yang mendukung Brexit kebanyakan datang dari partai kiri yang sejak dulu menentang keanggotaan UE karena menilai banyak kekurangan.

Bagi saya yang tertarik dengan ide-ide kiri, mementingkan kepentingan dalam negeri tentu lebih baik. Namun, khusus terkait Brexit, ada hal penting yang menurut saya harus dicermati dengan bijak. Fenomena itu adalah munculnya “Super Dolar”.

Peristiwa Brexit secara tidak langsung akan berdampak pada rupiah maupun dolar Amerika Serikat (AS). Begitu juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang bisa saja berpotensi menguat atau sebaliknya.

Sebagaimana komentar Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual di salah satu program dialog Berita Satu TV beberapa waktu lalu, ditengarai sentimen eksternal yakni keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit berpotensi menekan rupiah. 

"Kekhawatiran Brexit membuat investor beralih ke aset yang lebih aman. Imbasnya, dollar AS menguat dan menekan mata uang emerging market termasuk rupiah." papar David.

Penguatan mata uang dolar terhadap rupiah terjadi, salah satunya karena kenaikan suku bunga acuan Fed Fund Rate dan pasca Brexit. Dalam persepsi investor, Brexit telah menimbulkan kekacauan pasar finansial.

"Kalau no Brexit reaksinya positif, karena kekacauan pasar finansial di Eropa bisa terelakkan. Kalau ada Brexit, stock market dan mata uang UK dan EU bisa terpukul," ujar Eric Sugandi, Ekonom Kenta Institut seperti dikutip dari detikFinance (23/6/2016).

Bukti jika penguatan dolar telah terjadi, ketika nilai tukar mata uang Inggris, poundsterling terpuruk sekitar 10% menjadi $ 1,37 pada Jumat (24/6). Ini adalah level terendahnya dalam 31 tahun terakhir, atau sejak 1985. Belum lagi, saham London turun 8% dipicu ambruknya harga saham perbankan pada saat referendum.

Bagi Indonesia, Brexit akan memberikan pengaruh nyata, lewat jalur keuangan internasional, yaitu melalui pergerakan dana asing di bursa saham, nilai tukar, dan pasar obligasi.

Atas dasar itu, tak heran jika fenomena super dolar akan betul-betul terjadi. Dolar akan menguat tajam terhadap British Poundsterling (GBP), EUR, dan banyak mata uang lainnya, termasuk rupiah.

Menurut saya, ketika “super dolar” terjadi, cadangan devisa kita akan tergerus untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur yang bahan bakunya harus dibeli menggunakan dolar. Sementara di saat yang bersamaan, negara harus menjamin ketersediaan cadangan devisanya.

Data cadangan devisa kita pada akhir Mei 2016 menyebut sebesar US$103,6 miliar, lebih rendah daripada posisi akhir April 2016 sebesar US$107,7 miliar. Meskipun mengalami penurunan, jumlah cadangan devisa tersebut masih cukup untuk membiayai 7,9 bulan impor atau 7,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta lebih tinggi daripada standar kecukupan cadangan devisa yang berlaku secara internasional sekitar 3 bulan impor. 

Pada situasi seperti sekarang ini, Bank Indonesia menilai jumlah cadangan devisa tersebut tetap mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Namun ketika super dolar terjadi, maka penyediaan valas untuk kebutuhan pembayaran berbagai kebutuhan baik pemerintah maupun swasta akan ikut meningkat. Akibatnya, penempatan valas perbankan di Bank Indonesia menjadi lebih rendah. Belum lagi, cadangan devisa juga dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya.

Tak berhenti sampai disitu, super dolar juga akan menyebabkan ketidakpastian di pasar saham dan valuta asing, setidaknya beberapa beberapa tahun lamanya. Demikian Gubernur BI Agus Martowardojo pernah menungkapkannya. Meskipun Pounds kemarin menunjukkan tanda-tanda akan beranjak setelah penghitungan suara selesai, sepertinya akan sulit untuk melakukan penguatan secara konsisten. 

Lebih jauh, seiring dengan merebaknya spekulasi akan berbagai faktor tak menentu seperti disebutkan diatas, maka aset-aset safe haven seperti dolar AS ataupun emas masih akan dicari hingga bulan-bulan mendatang. 

Di sisi lain, gejolak di pasar modal dan pasar uang lebih digerakkan oleh faktor sentimen ketimbang faktor fundamental, maka Brexit tetap akan memberikan pengaruh terhadap perekonomian Indonesia. 

Lalu apakah dampaknya hanya akan bersifat sementara dan akan reda dalam beberapa waktu ke depan, sebagaimana keyakinan, Gubernur BI Agus Martowardojo, saya pun mengamininya, demi kebaikan ekonomi Indonesia.

Hanya saja, ketika ketidakpastian kian meningkat akibat Brexit, investor biasanya cenderung melepas asetnya dalam rupiah dan mengalihkannya ke bentuk yang lebih aman (baca: safe haven) seperti yang saya singgung diatas. 

Dan Menko Perekonomian, Darmin Nasution berharap, ketidakpastian segera berlalu, sehingga para investor mampu mengalkulasi risiko untuk kemudian kembali berinvestasi di Indonesia. Lalu akankah semudah itu? Rasa-rasanya perlu effort yang lebih keras untuk mewujudkannya. (jacko agun)


No comments:

Post a Comment