Sunday, June 26, 2016

*(bukan) Best Friend|

(iluistrasi, source: http://s8.favim.com)

Bersahabat itu, tak gampang.
Perlu saling percaya,
perlu kejujuran.
Bersahabat itu mengalir lepas.
Pun, tak melulu bersikap manis.
Tak harus semua orang tahu.
Bersahabat itu perlu perkelahian.
Juga tak butuh pujian.
Bersahabat itu, 
--jadi diri lo sendiri aja.

Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan seseorang bertema tentang “sahabat terbaik” di salah satu tempat rahasia yang jaraknya delapan puluh kali kecepatan cahaya dari Taman Makam Pahlawan Kalibata. Si penulis menjelaskan tentang makna sahabat, yang ia sebut sebagai “best friend” dengan gaya yang sangat normatif. Jujur, saya gak terlalu paham dengan poin-poin yang dimaksud, karena yang ia tulis terlalu ideal. Persis se-ideal tulisan di buku-buku novel, roman atau text book. Karenanya saya gak tertarik.

Bagi saya, menulis secara jujur itu penting dan tentu lebih baik. Jujur dalam arti yang sebenarnya. Jujur, tanpa perlu harus ngeles, ketika ada yang bertanya tentang apa maksud dibalik tulisan itu. Adakah hal menarik yang mendasarinya?

Pastinya, selalu ada alasan yang masuk akal, dunk! Pastinya selalu ada latar belakang yang membuat seseorang akhirnya menuliskan sesuatu. Tidak ujuk-ujuk. Tidak dengan mengatakan, “tiba-tiba saja saya membuatnya demi banyak sahabat istimewa, sahabat terbaik di luar sana”.

Preet!!! Bagi saya hal itu basi. Sama basinya dengan makanan yang lupa saya panasi karena terlalu asyik browsing di internet, beberapa malam lalu. Gak menarik, blasss...

Lalu, jika pertanyaannya dibalik. “Sahabat yang mana, yang akhirnya membuat seseorang mau dan rela menulis tentang topik best friend?" Jawaban itu yang sejatinya ingin saya dengarkan. Saya berharap dapat perspektif yang berbeda. Karena sekali lagi, menulis, pastinya tidak turun dari langit. Tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak dengan ‘bim salabim’.

Sama seperti saat ini, ketika saya menulis hal-hal yang jadi pertanyaan, maka ada yang mendasarinya. Ada energi yang cukup kuat yang memaksa saya harus menorehkannya. Lewat pertanyaan. Lewat pernyataan-pernyataan yang mungkin menyakitkan bagi banyak pihak.

Atas dasar itu, menurut saya (baca: penulis pemula), setiap hal, atau lebih tepatnya banyak hal, menjadi argumentasi mengapa seseorang harus menulis. Dan, tak perlu malu tuk menjawab.

Bagi saya, sebetulnya sederhana saja, ketika ada yang bertanya mengapa harus menulis. Jawabnya, biar saya gak dilupakan sejarah! Persis seperti ketika ada yang menanyakan, mengapa Alm. Pramudya Ananta Toer mampu menghasilkan roman tetralogi yang melegenda itu.

Selain tak ingin dilupakan sejarah, kerap kali, jawaban-jawaban jujur saya tentang mengapa harus menulis, berpotensi membuat banyak orang ‘tidak enak hati’. Pasalnya, jawaban jujur itu, sangat mungkin melukai atau menyinggung perasaan mereka. Meskipun, sejauh ini, sangat jarang yang menanyakan hal itu. 

Namun yang terpenting, saya menulis biar (gak) lupa, loh! Its so simple. Sesederhana itu sebenarnya. Menulis untuk mengingat atau menulis untuk diingat. Ya, biar gak amnesia, karena sejatinya saya mahkluk pelupa parah. Species langka yang gampang lupa dengan hal-hal kecil dan gampang ingat dengan sesuatu yang menyentuh hati. Karena itu, ketika terbersit, maka saya buru-buru menuliskannya. 

Saya juga termasuk tipe orang yang tak pernah berharap lebih dari tulisan-tulisan yang dibuat. Semuanya free, gratis buat mereka-mereka yang rela membaca hingga akhir. Karena yang terpenting, pesan yang saya sampaikan, kata-kata yang ditorehkan, tiba dengan selamat kepada mereka-mereka yang bersedia membacanya. 

Syukur-syukur tulisan itu bermanfaat. Kalau pun tidak, setidaknya mampu memberi nuansa baru dari cara berpikir. Berbagi ide tentang banyak hal. Namun jika pada akhirnya mampu mempengaruhi banyak orang, itu hanya nilai lebih. Bonus!

Karena itu lah, saya sangat menghargai mereka-mereka yang jujur. Mereka yang dengan apa adanya mau berterus terang. Tidak seperti mereka, yang mampunya hanya ngeles. Pun, pintar bersandiwara.

Mengapa saya mengatakan demikian? Karena saya bisa melihat lebih dalam. Memahami gerakan. Menilai kata-kata yang terucap. Dan menyusurinya lewat mata yang tak mampu berbohong. Termasuk membaca gerak bibir yang acap kali menghasilkan rangkaian kata indah, namun sejatinya pemanis belaka. Karena pembohong, adalah mereka yang pintar merangkai kata. Sementara yang jujur, biasanya lugas dan bercerita sesuai fakta. 

Lalu, jikalau konsep best friend itu betul ada, maka kejujuran diatas segala-galanya. Apakah mereka yang jadi sahabat terbaik sudah saling jujur satu dengan lainnya. Kalau kalian belum saling jujur, itu artinya kalian hanya teman ajah! Teman biasa.

Selain itu, bersahabat atau berkawan enaknya biasa saja. Gak perlu harus melakukan hal-hal yang belakangan terlihat aneh bahkan menjijikkan. Sesuatu yang terasa dipaksakan. Kalo kata temanku; natural dan woles aja, bro!

Sedangkan, konsep best friend itu sesuatu yang berbeda. Konsep yang sangat idealis. Letaknya tinggi diatas sana. Kita, tak kan pernah mampu menggapainya. Ya.., konsep itu sangat jauh dari realita. 

Karena itu, mari kita lupakan konsep sahabat terbaik, karena yang ada cuma sahabat saja, atau paling banter cuma sahabat dekat. Sahabat yang jamaknya akan berlaku, ketika semua baik-baik saja. Tidak sebaliknya.

Cara mengujinya sederhana. Jika betul kalian memiliki sahabat terbaik, apakah kalian telah saling tahu tentang apa yang menjadi kekhawatiran dari masing-masing sahabat? Pada tahap ini, saya meragukannya.

Apakah yang satu mengetahui jika yang lain sedang mengalami kesusahan? Atau, apakah yang lain memahami, jika yang lain sedang mengalami kesusahan? Lalu, apa yang sudah kalian lakukan. Kalau tidak ada. Kalian cuma teman biasa. Frasa “sahabat” rasa-rasanya terlalu ‘wah” untuk dilekatkan pada situasi yang sejatinya tidak peduli satu dengan yang lainnya.

Karena itulah, saya ingin tegaskan, bahwa dasar dari semuanya (baca: sahabat terbaik) tetap kejujuran. Seberapa mampu kita jujur kepada teman kita. Seberapa kuat kita mau mengakui semua kelemahan. Atau seberapa legowonya kita mengakui semua kebodohan-kebodohan yang diperbuat. Jika tahapannya belum sampai pada kritikal poin seperti itu, maka kalian masih menjadi individu-individu yang egois. Individu yang mengandalkan kekuatan sendiri. Dan belum layak menyandang gelar sahabat.

Tak berhenti sampai disitu, konsep sahabat pun akan diuji. Salah satunya oleh waktu. Bagi saya, seperti yang sempat saya utarakan, gak gampang loh, menyebut “sahabat terbaik”. Mengapa? Karena waktu yang akan menjawabnya. Waktu yang akan menentukan, apakah semua yang sudah kalian lakukan dan kalian jalani itu adalah betul-betul sebagai sahabat terbaik, atau bukan? 

Jangan-jangan ada maksud lain di balik semua itu. Maksud yang sebetulnya terlihat jelas, namun kalian enggan mengakuinya. Maksud yang terhalang sebuah kondisi. Sebuah situasi. Terhalang tebing terjal menjulang, barangkali.

Jika sudah demikian, benarlah apa yang dilakukan Socrates, filsuf terkenal yang tidak menuliskan semua ide-ide cemerlangnya tentang kemanusiaan, namun membagikannya kepada yang lain. 

Cerita tentang perilaku Socrates yang hingga kini sulit dipastikan kebenarannya, selain diceritakan secara turun-temurun, lewat budaya oral. Lagi dan lagi. Dan cerita itu yang pernah saya dengar dari seorang kawan. Bukan sahabat terbaik, apalagi sahabat istimewa. Dia cuma kawan biasa saja.

Kawan yang menceritakan betapa Socrates sangat kesulitan mencari teman yang baik. Teman yang benar. Teman yang bisa memahami satu sama lain. Teman dalam arti yang sesungguhnya.

Sampai-sampai di suatu siang yang cerah, Socrates terpaksa membawa obor ke sebuah taman yang ramai pengunjung. Taman tempatnya orang-orang berkumpul. Bersantai menikmati hangatnya mentari di salah satu pojok kota Yunani.

Di taman itu, kebetulan ada yang mengenal Socrates. Ketika Socrates melewatinya sambil membawa obor, orang itu pun bertanya:

“Socrates, ada apa gerangan? Mengapa kamu harus membawa obor di siang hari nan terik ini?”

“Aku sedang mencari teman”, jawab Socrates.

Kondisi itu menjadi pesan kuat yang sengaja diperankan oleh Socrates, bahwa mencari sahabat itu tidak mudah. Tidak segampang membalik telapak tangan. Ada masa, ada waktu yang jadi taruhan, yang harus kita korbankan untuk mencari seorang teman. Seorang sahabat.

Simbolisasi yang ditunjukkan Socrates juga menjelaskan bahwa tidak mudah mencari sahabat yang kadarnya adalah sahabat sejati. Sampai-sampai dibutuhkan obor untuk mencarinya. Ungkapan “aku mengasihimu”, “aku menyayangimu” sepertinya belum cukup kuat untuk menggambarkan arti teman yang sesungguhnya.

Karena pengalaman membuktikan, ada banyak sahabat yang mengitarimu ketika sedang berbahagia. Namun, belum tentu mereka ada ketika kamu di dalam lembah kekelaman.

Oleh karena itu, seperti yang telah saya singgung diatas, sahabat terbaik memang sangat diharapkan. Namun faktanya, hal itu sulit dibuktikan. Dan rasa-rasanya muskyil. Yang tersisa pun hanya sahabat biasa saja.

Kendati demikian, jika merasa telah menemukan “sahabat terbaik”, maka bersyukurlah. Rawat dan peliharalah. Jangan pernah berharap lebih, karena sahabat terbaik sifatnya tanpa pamrih. Pun, bisa jadi kamu bakal dilupakan, dibiarkan begitu saja. Tinggal seperti apa kamu menyikapinya.

Sementara bagi mereka yang belum memiliki sahabat, gak usah muluk-muluk, cari sahabat biasa aja dulu. Tetap bersabar dan jadilah pribadi yang bersahaja. Pribadi yang jujur. Pribadi yang baik. Karena sejatinya, kebaikan akan diikuti oleh kebaikan berikutnya. “Pay it forward”, istilah si mamaw. Kebaikan yang harus diteruskan. Dan sahabat adalah kebaikan terbaik diantara kebaikan. Gak melulu harus jadi sahabat terbaik, tentunya.

Sementara saya, kalian gak perlu repot memikirkannya. Saya gak pernah berharap punya sahabat, apalagi sahabat terbaik. Karena sejatinya, saya telah memilikinya. Jauh sebelum saya lahir, jauh sebelum saya mengenalnya. Dan Dia hanya sejauh doa. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment