(source: http://www.7stonesboracay.com) |
“Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
― Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
***
Tetiba bayangan hujan di bulan Juni kembali menjelma, menyeruak dari tidur panjang. Hadir dalam wujud baru yang disebut rindu. Rindu akan suasana. Rindu akan irama. Irama sunyi yang memang kami suka.
Sebelumnya, kami tak pernah menyadari, alam jadi tempat mengadu. Alam tempat kami berpadu. Bersekutu dengan angin, hujan, hutan dan juga laut. Dari tempat itu, kami menyerap banyak hal, utamanya tentang bagaimana menikmati keindahannya. Keindahan karya agung sang maestro alam.
Jika dihitung-hitung, puluhan purnama telah berlalu, ketika kami tak melakukan aktivitas bersama di tempat sunyi. Setidaknya, sejak ia memilih beranjak untuk urusan genting di masa depan. Sementara aku, masih disini. Di kota kecil yang berbatasan langsung dengan laut. Di kota yang memiliki banyak tempat tinggi dan tak banyak orang yang pernah menggapainya.
Kamu pasti ingat tempat ini, kan, Rhei? Tempat dimana kita kerap bersama. Tempat kita membunuh waktu dengan beragam aktivitas. Di tempat rahasia kita yang merupakan rumah kayu. Rumah mungil diatas bukit, tak jauh dari bibir pantai. Rumah kayu yang lebih mirip gubuk dan telah lama ditinggalkan pemiliknya.
Rhei... kamu tahu, akhir pekan lalu aku sempatkan bertandang ke gubuk itu, loh! Sengaja aku datang untuk mengingatmu. Mengenang masa-masa bersama kita. Masa-masa indah (yang) hanya kita yang tahu, selain Tuhan pastinya.
Di gubuk itu, tak banyak yang berubah. Angin masih leluasa membelai jiwa-jiwa yang lelah dan ombak tak henti-hentinya berkejaran menuju pantai. Sekeliling mulai berubah saat senja menjelang. Hujan turun perlahan, Rhei. Situasi itu mengingatkanku padamu.
“Rhei, boleh tau, keinginan kamu, tuh, sebenarnya apa, sih? Sesuatu yang sangat kamu harapkan seperti apa?”, tanyaku di suatu hari yang basah, persis seperti sore kemarin.
Aku ingat, kamu mulai berpikir sambil memejamkan mata. Tak terlalu lama, sebelum akhirnya berkata:
“Aku selalu bermimpi memiliki rumah munggil diatas bukit, yang halaman depannya menghadap laut, persis seperti tempat ini”, ujarmu dalam keadaan menggigil di depan api unggun.
Menurutmu, di tempat itu, kamu bisa menghabiskan waktu tanpa terbebani kebisingan kota. Menjelajahi tempat yang sekelilingnya ramai ditumbuhi rerumputan liar. Menikmati matahari yang terbit dari laut di seberang sana.
Lalu sorenya, kamu turun dan duduk di tepi pantai. Menikmati senja yang menjadi ‘antara’ waktu. Menikmati semburat kemerahan di batas mega dari bangku malas, yang memang sengaja kupasang di pinggir pantai. Bangku itu terbuat dari kayu.
Mendengar impianmu, aku lalu berbisik, “Indah ya!”, tegasku, sambari menggenggam tangan kirimu dan tangan kananku mengusap lembut punggungmu.
“Disitu, kamu tinggal dengan siapa, Rhei?” tanyaku lagi.
Kulihat Rhei menatapku dengan tatapan teduh dan sesungging senyum merekah dari bibir tipisnya. Aku lalu membalasnya dengan senyuman juga. Senyuman terbaik yang kupunya.
"Jika tidak denganmu, ya..., aku tinggal sendiri, aja!" jawabmu berlagak berani, meski aku tahu kamu seperti apa.
"Sendiri? Yakin? Kamu kan penakut, Rhei?" Godaku sambil mendekapnya lebih erat. Lalu tawa kami pecah, begitu renyah, mirip deburan ombak sore yang beradu di tepi pantai.
Mendengar itu, kamu langsung mengelak. Kamu gak ingin disebut penakut. “Agak kurang berani saja”, kilahmu. Sejatinya, kamu ingin dianggap pemberani, hanya saja hal itu tak terlihat ketika bersamaku.
Mendapat jawaban itu, aku tak heran. Maklum, untuk urusan ‘ngeles’, kamu emang jagonya, Rhei. Setiap ide/ gagasan tak pernah kau telan bulat-bulat. Selalu ada argumentasi untuk menyatakan setuju bahkan menolaknya.
"Baiklah! Jika kamu ternyata gak mau bersamaku, maka aku akan memelihara Golden Retriever ajah. Ntar, biar dia yang setia menemani kemana pun aku pergi”, jawabmu dengan mimik serius.
“Kok harus Golden Retriever?” tanyaku penuh selidik.
Dengan bersemangat, kamu menyebut, Golden Retriever merupakan anjing pemburu yang pemberani dan rajin membantu majikannya. Anjing itu setia menemani, kemanapun tuannya pergi. Belum lagi, dengan kemampuannya, orang jahat takkan berani mendekat. Karena itu, Rhei menyukainya.
Sejak dulu, Golden Retriever memang terkenal rajin mengambil hasil buruan yang sudah ditembak. Anjing itu termasuk jenis Retriever (pengambil) yang menemukan atau mengambilkan hasil buruan, seperti burung dan unggas.
Rhei lalu berkata: “Tahu mengapa disebut Golden?”
Disebut golden, karena bulu mereka berwarna keemasan jika terlihat di bawah sinar matahari. Akhirnya anjing itu disebut Golden Retriever.
“Tak hanya itu, kecerdasan dan kepintarannya menjadikan Golden Retriever sebagai anjing multiguna. Saat ini, mereka kerap diperuntukkan sebagai anjing pelacak narkoba, anjing pemburu, anjing penyelamat hingga sebagai anjing penuntun”, paparmu bersemangat.
Karena itulah, dengan kepribadian yang sabar, bersahabat dan selalu ingin menyenangkan hati setiap pemiliknya, menjadikan Golden Retriever sebagai anjing pilihan Rhei. Anjing yang menjadi pilihan keluarga paling populer di dunia saat ini.
Puas mendengar pemaparannya yang menakjubkan, aku hanya tersenyum. Aku bertepuk tangan lalu mendekapnya lebih erat. "Hebat kamu, Rei!", pujiku. Sungguh gak menyangka jika ia punya pengetahuan seluas itu, khususnya tentang Golden Retriever.
Malam itu, kami menghabiskan waktu bersama. Di depan api unggun, dihadapan perapian yang kubuat untuk mengusir dingin. Sementara diluar sana, hujan tak jua berhenti.
Sejak bercerita kehebatan Golden Retriever, sambil mendengarkan, aku menyiapkan beberapa hal kecil, seperti membuat minuman hangat dan menyiapkan makan malam.
“Ini Rhei, minum dulu”, pintaku sembari menyodorkan coklat hangat yang memang sangat ia suka.
“Makasih sayang”, jawabnya sambil membetulkan posisi duduk di depan api unggun.
Malam itu, di teras rumah gubuk diatas bukit, kami hanya berdua. Suasana sangat syahdu ditemani rintik hujan, berbalut pekatnya malam yang sejati. Usai menyeruput minuman hangatnya, Rhei bertanya:
“Kalo kamu, mimpinya apa, Jack”
Aku gak langsung menjawab. Aku hanya menyimak dalam diam. Pasalnya, ia bukan tipikal orang yang biasa memanggil nama. Ia lebih sering menyebutku dengan sebutan, "sayang". Karena itu, ada rasa yang sulit diungkapkan ketika namaku disebut. Jujur, aku senang.
Api mulai mengecil saat ia mengulangi pertanyaan yang sama. Namun aku belum menjawab. Aku masih larut dengan penyebutan namaku. Ejaannya cukup jelas. Tegas.
“Aku ingin menjadi Golden Retriever”, jawabku singkat, sambil menambahkan beberapa ranting kayu ke dalam api, agar nyalanya kembali bersinar.
“Kok bisa begitu, Jack”
“Ya, aku ingin menjadi anjing penjagamu. Teman setia yang menemani kemana pun kamu pergi. Teman yang selalu ada didekatmu, di kala suka maupun duka, Rhei”
Matanya yang teduh tak henti-hentinya menatapku. Bibirnya yang merah tipis mulai luruh. Mungkin ia heran tentang keinginanku. Mungkin ia bingung mengapa aku mengatakan itu. Mungkin!
“Tapi, kalo boleh berharap. Aku ingin seperti sekarang ini, Rhei. Bersamamu!”
Kita boleh bercerita lepas, tertawa bebas. Tak ada yang melarang. Tak ada yang mengekang. Pun, kita bisa saling melepas rindu ketika kita memang butuh.
“Tapi, jika nanti atau beberapa waktu kedepan, kita tak bisa bertemu. Aku tetap ingin bersamamu, Rhei”
“Bagaimana bisa?”
“Ya, aku ingin menjadi Golden Retriever di kehidupan berikutnya, Rhei. Aku berharap bisa mewujudkan semua mimpimu itu, ketika saat ini, hal itu mungkin tak terwujud”, ujarku lirih tanpa berani memandang wajahnya.
“Ya, aku ingin ada disampingmu dalam wujud Golden Retriever”, jawabku kemudian.
Bisikan terakhirku ternyata membuatnya terisak. Meleleh. Kini, bulir air memenuhi sudut matanya. Ia pun tersedu.
“Ya, masih banyak waktu dimana kehidupan terus berganti, Rhei. Semoga takdir yang mempertemukan kita di kehidupan berikutnya, persis seperti saat ini, Ia masih mempertemukan kita”
“Semoga kita dipertemukan di waktu dan tempat yang memang tepat, Jack”, pintanya sambil memelukku erat.
“Semoga”, pungkasku.
Selanjutnya makan malam telah menunggu. Saatnya bersulang persis ketika hujan belum selesai bercerita. Hujan yang turun di bulan Juni. (end)
No comments:
Post a Comment