Saturday, July 23, 2016

David Doubilet, Pecinta Laut Sejati

(Masyarakat nelayan di Teluk Kimbe, Papua Nugini. Foto: David Doubilet)
Without photography, the world beneath the ocean’s surface would remain an unseen mystery for most of us. Thank goodness for David Doubilet. 
- Becky Harlan, author for National Geographic

Sebagai penggemar fotografi, saya takjub dengan karya-karya fotografer handal, berbakat nan berbahaya. Sebagai bentuk apresiasi, secara tak sengaja, saya menghafal nama-nama mereka, baik fotografer lokal maupun mancanegara. Lewat visual dua dimensi (baca: foto) yang tercipta, saya kerap terkesima. Selanjutnya, menyusuri setiap detil fotonya.

Yup, sebuah foto ternyata mampu membangkitkan rasa berkesenian. Menancap lebih dalam, ketimbang melihat visual bergerak seperti video, meskipun framing yang ditampilkan cukup apik. Sebuah foto mampu memberi nuansa yang berbeda karena ada makna/ pesan yang disampaikan.

Dari beberapa nama fotografer handal, kali ini, pilihan saya jatuh pada David Doubilet, seorang pewarta foto dunia bawah air yang karya-karyanya banyak dipergunakan oleh National Geographic (NG).

Bagi majalah sekelas National Geographic (NG), bisa dipastikan para photojournalists yang di-hire memiliki kemampuan skil dan kepekaan yang tinggi dalam membuat foto. Tak heran jika banyak yang menyebut, fotografer NG merupakan orang-orang pilihan. Biasanya, selain memiliki fisik yang prima, mereka juga memiliki kemampuan teknik foto yang mumpuni.

Saat melihat karya David Doubilet di laman www.nationalgeographic.com, saya pastikan karya-karyanya memang menakjubkan. Contohnya, foto segerombolan (schooling) ikan Barakuda membentuk lingkaran dengan siluet penyelam yang diambil di teluk Milne, Papua Nugini. 

Atau foto Clown fish (ikan badut jantan) dengan anak-anaknya. Diambil di Anilao, Filipina, fotonya bercerita tentang ikan badut jantan yang  bertugas menjaga telur hingga menetas.

Ada juga foto seekor lumba-lumba yang meregang nyawa di perairan Futo, Jepang yang berwarna merah. Lumba-lumba itu tewas akibat pembantaian dan tangisannya telah mengetarkan Doubilet. Baginya momen itu merupakan yang terburuk dalam karir fotografinya.

Doubilet juga memutuskan untuk membuat cerita tentang subyek yang tidak lazim diketahui masyarakat, seperti kepunahan belut air tawar, kerapu goliath hingga pesona Laut Sargasso.

Dan masih banyak, sederet foto-foto luar biasa lainnya yang dilakukannya menggunakan pendekatan yang lebih humanis. Lewat pemaknaan yang dalam. Pun, dengan kejelian dalam membekukan objek. 

Oh ya, berdasarkan pengalaman, untuk mengambil foto di bawah air, dibutuhkan dua kemampuan utama, yakni kemampuan menyelam dan teknis foto yang baik. Itu sebabnya, bagi mereka yang terbiasa mengambil foto di darat, belum tentu mampu melakukannya di dalam air.

Oleh karena itu, bagi yang tertarik dengan foto dunia bawah air, setidaknya telah memiliki sertifikat menyelam dan menguasai teknik daya apung (baca: bouyancy) dengan baik. Pasalnya, tanpa kemampuan daya apung, mustahil bisa menghasilkan foto yang baik. Pada kenyataannya, banyak penyelam pemula yang terlalu bersemangat mengambil foto, yang ternyata turut andil merusak ekosistem terumbu karang. Lewat gerakan fins ataupun alat scuba yang bersentuhan dengan karang.

Sementara bagi Doubilet, memotret dunia bawah air dipenuhi dengan misteri, karena laut adalah wilayah tanpa batas yang ujungnya tidak diketahui. Karena itu, sejak awal ia memang telah membuang jauh-jauh ketakutannya, utamanya terhadap hiu yang kebanyakan membayangi para penyelam pemula. Lalu ia pun memulainya dengan memetret terumbu karang dengan kehidupannya yang kompleks.

Bergabung di National Geographic
(Schooling barakuda membentuk lingkaran di Teluk Milne, Papua Nugini. Foto: David Doubilet)
Dari sederet fotografer yang dimiliki National Geographic Society, satu yang berbeda adalah David Doubilet. Pria kelahiran New York tahun 1946 itu mulai mencatatkan namanya di NG pada tahun 1972 lewat jepretannya tentang kekayaan Laut Merah. Kala itu, Doubilet merupakan salah seorang pioner fotografer bawah air yang dimiliki National Geographic.

Lewat foto-fotonya, masyarakat dibuat tercengang. Mengapa tidak? Karena pada masa itu, foto-foto dunia bawah air terbilang langka. Pun, tak banyak fotografer yang melakoninya. Belakangan, majalah National Geographic telah melambungkan namanya sebagai fotografer bawah air terbaik sepanjang masa. 

Di usia yang tak lagi muda, segudang pengalaman telah dilaluinya. Hampir semua sudut-sudut Bumi telah diselami. Mulai dari khatulistiwa hingga ke kutub. Penyelaman itu dilakukan saat menerima penugasan, mulai dari menyelam di Samudra Pasifik, Selandia Baru, Indonesia, Kanada, Jepang, Papua, hingga Atlantik. 

Aktivitas fotografi bawah air juga membawanya menyelami delta Okavango di Botswana dan sungai St. Lawrence di Kanada. Termasuk ketika harus berjibaku dengan iklim ekstrem ekosistem Tasmania, Selandia Baru, Jepang, California hingga British Columbia. 

Pun, ketika bercerita tentang karang Pacific yang mengarah pada penemuan bangkai pesawat terbang atau kapal karam sebagai bagian dari kisah heroik Perang Dunia II. 

Dari semua itu, David Doubilet sengaja menghadirkan cerita yang kurang populer, namun tetap menarik untuk diberitakan lewat foto. Cerita itu layak diketahui semua warga dunia.

Tak hanya itu, Doubilet juga menaruh minat yang besar terhadap perubahan iklim, khususnya laut dan ekosistemnnya. Lewat foto-fotonya, ia sengaja membawa pesan. Pesan tentang perlunya menjaga kelestarian laut dan ekosistemnya. Tentang laut sebagai penyokong utama kehidupan.

Dan lewat fotografi, Doubilet memperkenalkan bahwa fotografi adalah bahasa universal. Bahasa yang mampu menenangkan jiwa, merubah pola pandang, bahkan mengubah perilaku. 

Terobsesi Cousteau
(Jacques Cousteau memberi arahan kepada Luis Marden sebelum menyelam. Foto: Pierre Goupil)
Ketika masih kecil (10 tahun) David Doubilet terobsesi dengan foto yang terpampang di halaman National Geographic. Foto itu menampilkan Capt. Jacques Cousteau dan Luis Marden yang berdiri di dek Calypso, kapal kayu milik Cousteau. Cousteau sendiri merupakan tokoh penting di dunia penyelaman awal. Namanya melegenda, karena ia merupakan penemu peralatan scuba. Sementara Luis Marden, tak lain adalah fotografer bawah air yang dimiliki National Geographic. Doubilet kecil sangat ingin menjadi seperti Marden yang mampu menyelam dan menghasilkan gambar indah.

Di usia yang belia, Doubilet telah memiliki kemampuan menyelam. Namun untuk urusan motret memotret, ia punya banyak cerita sedih. Pasalnya, memotret dalam air tidak semudah sekarang. Belum lagi, peralatan yang tersedia terbilang langka. Untuk memilikinya dibutuhkan dana yang tidak sedikit dan perlu memesan jauh-jauh hari.

Foto-foto awal Doubilet sangat menyedihkan. Banyak yang under exposure atau kurang cahaya. Akibatnya fotonya gelap. Pada usia 12 tahun, Doubilet mulai mencoba kamera legendaris pra perang dunia kedua, Leica. Untuk memotret di dalam air, Leica dilengkapi housing aluminium dan dibutuhkan tenaga ekstra untuk menghasilkan foto yang baik.

Kegiatan menyelam dilakoni Doublet bersama ayahnya di perairan New Jersey atau Kepulauan Bahama. Pada usia ke-13, Doubilet berhasil meraih juara ketiga lewat foto para penyelam yang mengalami dekompresi di teluk Small Hope. Foto itu sangat sentimentil bagi Doubilet, karena merupakan pencapaian terbaiknya di usia yang sangat muda.

Seiring waktu, Doubilet terus melatih kemampuannya mengambil foto dibawah air. Hasilnya cukup menggembirakan. Secara perlahan instingnya telah terbangun. Ia mampu memilih imaji yang terbaik dari serangkaian gerak yang tercipta, lalu membekukannya ke dalam bingkai foto.

Kendati mengalami kemajuan, Doubilet tetap menganggap Jacques Cousteau sebagi guru terbaik yang layak diteladani. Lewat Cousteau, Doubilet mampu menghasilkan foto yang indah meskipun hanya bermodalkan kamera jadul yang sangat sederhana.

Menurut Doubilet, saat ini lapangan telah terbuka lebar meskipun lapangan itu sebenarnya tidak nyata. Hal itu berkaitan dengan peralatan dan bagaimana berimprovisasi menggunakannya. Kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk mampu menghasilan foto yang baik, khususnya saat berada jauh di bawah air pada hari yang cerah. 

Bagi Doubilet, bekerja di lautan yang dipenuhi beragam jenis makhluk aneh yang indah, dengan cahaya dan waktu yang terbatas, serta teknologi yang juga terbatas, telah memberi frustasi tersendiri. Pasalnya, seringkali ia dapat melihat apa yang hendak difoto, namun tak mampu mengabadikannya, karena terkendala banyak hal.

Pengalaman Berkesan
(Seekor lumba-lumba sekarat di Perairan Futo, Jepang. Foto: David Doubilet)
Selama karir jurnalistiknya, David Doubilet telah mengalami banyak momen magis dan surealis di laut. Mulai dari menyelam dengan singa laut, turun ke bawah gunung es, hinga menikmati perahu terbalik di teluk Kimbe, Papua Nugini, dan disambut anakan penyu sisik yang menemaninya saat menyelam.

Soal anakan penyu, Doubilet mengisahkan, bahwa penyu kecil itu setia menemaninya saat menyelam di teluk Kimbe. Penyu kecil itu selalu berada di dekat bahunya. Bahkan saat mengganti tabung, penyu kecil itu ikut ke permukaan, lalu turun lagi, ketika Doubilet melanjutkan pekerjaannya memotret. 

“Pada penyelaman terakhir, anak penyu itu terlihat lelah. Karenanya dia menggantung dan beristirahat di tangki saya. Saat meninggalkannya di karang, saya mulai dihantui kecemasan, bahwa ia akan tertangkap jala nelayan lalu dibawa ke pasar lokal. Disana ia akan terpanggang mentari sambil menunggu pembeli”, ujar Doubilet ketika diwawancara Becky Harlan untuk National Geographic.

Di kesempatan berbeda, David Doubilet mendapat penugasan meliput di Semenanjung Izu, Jepang. Saat itu, ia menginap di kota Futo. Ketika menuju pelabuhan, ia menemukan fakta bahwa pelabuhan ditutup.

Doubilet bertanya ada apa dan petugas pelabuhan mengatakan, "banyak lumba-lumba disini." Doubilet berpikir akan menemukan pod lumba-lumba di teluk itu, namun kenyataannya ia menemukan laut dipenuhi warna merah,  berasal dari darah lumba-lumba yang sekarat.

Doubilet lalu meraih kameranya dan mengabadikan momen pembantaian itu dari dermaga. Saat itu, lumba-lumba telah digiring ke teluk dan ditarik dengan jaring. Nelayan menarik lumba-lumba itu dan membiarkannya berdarah hingga mati. 

“Jeritan dan teriakan lumba-lumba itu telah bangkit melalui dermaga beton, melalui telapak kaki hingga ke dalam jiwa saya”, ujar Doubilet.

Pembantaian lumba-lumba di teluk Futo telah memberi pengalaman yang membekas bagi Doubilet. Tentang kesadisan manusia yang berawal dari keserakahan. Sejak hari itu, ia bertekad melakukan sesuatu.

Kini, di usia senja, David Doubilet masih menyempatkan diri untuk menghasilkan foto bawah air yang menakjubkan. Semua itu tak lebih dari kepedulian dan penghormatannya terhadap laut. Laut yang akhir-akhir ini mengalami degradasi, seiring pemanasan global. Dan karenanya dibutuhkan tindakan nyata dan segera.

David Doubilet juga menekankan bahwa setiap hari adalah “Hari Laut Sedunia”. Sebuah peringatan untuk melakukan perubahan kecil yang mampu menghasilkan perubahan besar. 

“Mengkonsumsi makanan laut yang berkelanjutan. Melakukan recycle dan meminimalkan penggunaan plastik, hingga penuhi hari-hari anda dengan hal-hal yang bertema laut”, pungkas David Doubilet, ketika ada yang menanyakan tentang tindakan nyata yang bisa dilakukan untuk mencintai laut. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment