Thursday, July 21, 2016

Lagi, DPR Kecewakan Rakyat!

(Hasil voting pemilihan komisioner KPI di DPR. Source: medsos)
“Kalau saya tdk terpilih jd anggota KPI itu berarti orang seperti saya tidak cocok dg iklim dan struktur ind penyiaran serta lingk politiknya”
-@ignharyanto

Kemarin malam grup whatsapp yang saya ikuti ramai dengan kabar mengejutkan tentang uji kepatutan dan kelayakan komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilakukan oleh Komisi I DPR di ruang Komisi I DPR, pada Selasa (19/7) malam.

Dari total 27 kandidat, hasilnya didapati 9 nama komisioner KPI yang dipilih melalui proses voting dan dilaksanakan secara tertutup. Kesembilan komisioner itu akan bekerja untuk periode 2016-2019.

Mereka yang terpilih menjadi komisioner KPI adalah Nuning Rodiyah (54 suara), Sudjarwanto Rahmat Muh Arifin (52 suara), Yuliandre Darwis (51 suara), Ubaidillah (46 suara), Dewi Setyarini (45 suara), H Obsatar Sinaga (45 suara), Mayong Suryo Laksono (45 suara), Hardly Stefano Penelon Pariela (34 suara), dan Agung Suprio (24 suara).

Sementara 3 nama yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yakni Ignatius Haryanto (peneliti media), Maulana Arief (Ketua KPID Jatim) dan Redemptus Kristiawan (aktivis NGO) mengalami kekalahan telak. Masing masing hanya mendapat nilai nol saat final uji kelayakan dilakukan. Menyedihkan! 

“yang buat miris, mas Kum Kum nilainya nol. *hiks”, tulis saya di grup tersebut.

Dari tiga nama yang didukung oleh AJI, hanya satu yang benar-benar saya kenal. Dia adalah Ignatius Haryanto, kerap disapa Kum Kum, seorang senior AJI yang juga pendiri Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan kini berprofesi sebagai dosen.

Di beberapa kesempatan kami kerap berinteraksi, saat membahas peran pers yang cenderung pragmatis. Salah satunya, ketika AJI Jakarta melakukan penelitian tentang keberpihakan pers di pilkada beberapa tahun silam. Pun di topik-topik lain yang berhubungan dengan peran pers.

Saat membahas isu pers, Kum Kum juga sempat diundang sebagai salah satu narasumber dialog beberapa tahun silam. Menurut saya, komentar-komentarnya tentang konglomerasi media, utamanya televisi telah menimbulkan persoalan baru. Pers dipertanyakan perannya, ketika digunakan lebih banyak untuk mengamankan kepentingan pemilik modal. Padahal sejatinya, pers berperan sebagai anjing penjaga, yang menyadarkan publik dan seharusnya tidak memihak.

Keprihatinannya terhadap industri televisi ternyata masih sama. Belum berubah. Seperti dikutip dari Kompas, Kum Kum menyebut industri penyiaran Indonesia saat ini sudah tidak sehat.

Oleh karenanya, reformasi di tubuh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus dilakukan. Sudah saatnya, KPI tidak hanya berkutat pada isi siaran, namun juga harus berani menegakkan aturan soal pemilikan media (baca: televisi dan radio) yang terkonsentrasi pada beberapa pengusaha. Padahal UU Penyiaran mensyaratkan adanya pembatasan kepemilikan.

Secara rinci undang-undang telah mengatur tentang pemilik atau badan usaha hanya boleh memiliki 2 lembaga penyiaran di 2 provinsi yang berbeda. Namun pada praktiknya, banyak pengusaha yang memiliki lebih dari satu stasiun televisi di satu provinsi.

Terpusatnya kepemilikan akan berdampak buruk bagi masyarakat. Masyarakat tidak akan mendapatkan asupan informasi yang berimbang. Kita tentu masih ingat, betapa stasiun televisi kita terpecah pada pemilu 2014. Saat itu, banyak stasiun tv tidak lagi independen dan terjebak pada pemenangan pasangan calon presiden.

Pengalaman itu menjadi pelajaran berharga yang seharusnya tidak terulang lagi. Televisi kita telah memberikan pendidikan politik dan pembelajaran tentang demokrasi yang buruk. Padahal secara tegas disebutkan jika frekuensi penyiaran merupakan milik publik.

Oleh karena itu, pembenahan harus segera dilakukan. Caranya dengan memilih kandidat yang berkualitas dan kompeten sebagai komisioner KPI. Pasalnya, hanya KPI yang independen yang mampu mengeluarkan sanksi tegas dan akan menjadi tolak ukur kemandirian KPI

Maklum, selama ini, KPI dianggap tidak bergigi, ketika menerapkan sanksi hanya berupa peringatan. Padahal, UU telah mengatur mekanisme sanksi dalam bentuk denda. Sayangnya, hal itu tidak pernah diterapkan. Itu sebabnya, Kum Kum ingin berkreasi jika terpilih sebagai komisioner. Namun malang, keberuntungan belum berpihak padanya.

Tak hanya soal konglomerasi media, Kum Kum juga menyoroti soal evaluasi perpanjangan izin penyiaran yang sekarang sedang berlangsung. Jika KPI-nya kuat, momen itu seharusnya bisa dimanfaatkan menjadikan posisi tawar KPI lebih tinggi. Dengan begitu, KPI selaku regulator penyiaran akan ditaati oleh lembaga penyiaran swasta. Bukan sebaliknya.

"Perlu mekanisme sanksi yang lebih efektif, supaya stasiun TV jera. Kadang-kadang sanksi hanya berupa teguran. Ini bisa dielaborasi lebih jauh, bukan untuk membunuh TV, tetapi melindungi kepentingan publik," pungkasnya seperti dikutip dari Kompas.

Dengan ide-idenya itu, Kum Kum mendapat resistensi yang besar dari kalangan DPR. Tentu saja, karena alasan politis lebih dominan dan parpol memang memiliki kepentingan dengan media, khususnya televisi.

Belum lagi, masa kepengurusan KPI terpilih yakni 2016 - 2019 menjadi masa-masa dimana suhu politik begitu bergairah dan menemukan wujudnya. Masa, dimana tahun-tahun politik kembali bergejolak dan peran televisi sangat sentral. 

Akhirnya, DPR memilih nama-nama yang ‘dalam tanda petik’ didukung partai politik ataupun mereka yang memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu. DPR tidak ingin kecolongan dengan memilih kandidat idealis, karena hal itu akan membuat blunder dan berpotensi merugikan partai politik, baik langsung maupun tak langsung menjelang pemilu legislatif dan pilpres 2019.

Berhenti pada pertimbangan itu, kandidat seperti Kum Kum memang tidak akan pernah diloloskan oleh Komisi I DPR untuk melenggang menjadi komisioner KPI.

“Saya tidak kecewa karena minimal saya telah tunjukkan apa yg saya ketahui dan apa yg bisa saya sumbangkan pada negeri ini”, ujar Kum Kum lewat akun twitternya @ignharyanto

Sarat Kepentingan
Begitu nama-nama terpilih diumumkan sebagai komisioner KPI, sontak rekan-rekan di grup whatsapp responsif. Mereka menyangkan kinerja DPR yang memilih berdasarkan kepentingan politik.

Secara umum teman-teman telah membaca, bahwa sekali lagi, DPR mempertontonkan kebobrokannya ketika mengenyampingkan aspek yang lebih luas, yakni kepentingan publik. Padahal saat ini, ada persoalan penting, dimana revisi RUU Penyiaran telah mengalami perubahan draf, dan ditengarai ada banyak pihak yang bermain disana.

“Yang kepilih, yang gak paham penyiaran dan tidak berpihak kepada publik. Gawat! Harus lebih kencang melawan”, ujar seorang kawan.

“Di DPR yang mustahil bisa jadi sebaliknya. Lobi politik + kepentingan industrinya. Markotop”, ujar teman yang lain.

“Semua sudah disiapkan oleh partai. Sekencang apapun kita melobi tetap susah karena semua calon terpilih sudah disiapkan partai sejak awal”, tutur yang lain.

Sejak awal, saya memperkirakan setidaknya ada beberapa nama yang bakal masuk menjadi komisioner KPI, jika melihat kiprahnya selama ini. Mereka adalah Ignatius Haryanto (Kum Kum), Agus Sudibyo, dan Redemptus Kristiawan. 

Soal Kum Kum tak perlu saya jelaskan lagi, karena sudah dipaparkan diatas. Sementara Agus Sudibyo, saya mengenalnya sudah lama, setidaknya saat menjabat sebagai anggota Dewan Pers di masa kepemimpinan Bagir Manan. Saya beberapa kali mewawancarainya, juga mengoleksi satu bukunya terkait media.

Di beberapa kesempatan, Agus Sudibyo banyak mengomentari tentang perlunya klinik etika penyiaran untuk artis, presenter, dan pengisi acara lainnya yang sering muncul di layar kaca. 

Menurut Agus, literasi media sebaiknya tak hanya diajarkan kepada masyarakat umum, namun juga terhadap pengisi acara dan pengiklan. Keprihatinannya terjadi ketika melihat maraknya program televisi yang tidak mendidik namun justru mendapat rating tinggi.

Lalu, Redemptus Kristiawan. Namanya sudah tak asing di kalangan aktivis NGO. Jabatan terakhirnya, manajer program media dan informasi Yayasan Tifa. Selama ini, Kristiawan banyak berkutat dalam gerakan masyarakat sipil di bidang penyiaran. 

Kristiawan aktif dalam kelompok advokasi yang bertujuan mengawal demokratisasi penyiaran. Bersama AJI dan beberapa lembaga lainnya, Kristiawan menggagas berdirinya Koalisi Independen dan Demokratiasai Penyiaran (KPID). Tak hanya itu, ia juga aktif di Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran. Komitmennya memperjuangkan kebebasan informasi juga terlihat dari tulisan-tulisannya di media. Sayang, pengetahuannya yang luas dan komitemen pada kepentingan publik membuatnya diganjar nilai nol saat uji kelayakan dan kepatutan, kemarin.

Gugurnya para kandidat yang idealis sungguh sangat disayangkan, karena yang terpilih hanyalah makhluk yang tidak memiliki track record tentang industri penyiaran, namun karena kedekatan dengan parpol.

Perspektif yang sama, ternyata diamini oleh pakar komunikasi UI, Ade Armando yang menilai pemilihan komisioner KPI bukanlah pada kualitas dan integritas, namun karena faktor politik dan uang.

"Sisanya tidak punya rekam jejak yang cukup meyakinkan. Yang paling lucu adalah tiga orang bagus itu pulang semua tidak terpakai. Itu mengherankan. Dari uji kelayakan saja kelihatan mereka menguasai masalah," ujar Ade dikutip dari Kompas.com.

Sembilan komisioner terpilih Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menunjukkan bahwa pertimbangan politis lebih menentukan dan kondisi itu telah membuat masyarakat sipil kecewa terhadap DPR.

Revisi UU Penyiaran 
Ketika DPR berhasil memilih sembilan komisioner yang bisa mereka kendalikan, maka selanjutnya tinggal mengamankan revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang bergulir. Diduga ada praktik kongkalikong di dalam penyusunannya, sehingga mengalami perubahan draf yang sangat drastis.

Perumusan UU Penyiaran yang telah dimulai sejak tahun 2013 itu, sedikit banyak mengalami perubahan sebelum diundangkan. Saat itu produk hukumnya terbilang baik, ketika DPR mau mendengarkan masukan masyarakat.

Namun, ketika revisi mulai diusulkan pada Februari 2016 lalu, terlihat ada perubahan. Saat itu, pemerintah berdalih revisi diperlukan seiring perpindahan mode penyiaran dari analog ke digital bagi seluruh lembaga penyiaran swasta.  Harapannya RUU tersebut mencakup aturan perpindahan tersebut.

Belakangan, revisi Undang-Undang Penyiaran tidak disertai perbaikan, bahkan mengalami kemunduran. Saya kutip dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), terlihat ada beberapa kejanggalan.

Pertama, hilangnya pelarangan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. Sebelumnya, ada batasan yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 itu, tepatnya di pasal 18 ayat 1.

Sebelumnya, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) mengajukan gugatan permohonan uji materi atas tafsir Pasal 18 Ayat 1 UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Uji materi dilakukan karena hal itu telah menguntungkan sekelompok pemodal dan orang tertentu, seiring terjadinya monopoli kepemilikan stasiun televisi dan radio. Padahal penyiaran adalah suatu usaha mempergunakan frekuensi yang merupakan ranah publik dan merupakan sumber daya alam terbatas yang seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 

Kedua, minimnya peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Peran dominan penyiaran akan dipegang oleh pemerintah. Padahal kehadiran KPI sejak awal didisain sebagai regulator, namun kini menjadi sekedar lembaga pengawas isi siaran dan pemerintah menjadi regulator utama dunia penyiaran.

Ketiga, ada kewajiban sensor seluruh isi siaran yang tertuang dalam pasal 140 ayat 1. Diduga, kewajiban sensor terkandung bagi seluruh isi siaran, termasuk produk jurnalistik.

Keempat, pasal 150 menerangkan jumlah iklan yang bisa ditayangkan dalam sebuah program mencapai 40 persen dari durasi sebuah program siaran. Sebelumnya, porsi iklan hanya 20 persen. Kondisi itu tidak rasional, karena iklan akan memenuhi sebagian besar program siaran dan durasi isi siaran menjadi lebih sedikit. 

Kelima, revisi UU Penyiaran juga mengizinkan penayangan iklan rokok. Hal itu menjadi kontradiksi, ketika ada aturan lain yang menyatakan larangan iklan zat adiktif. Secara tidak langsung, orang akan tertarik dengan iklan rokok tersebut lalu mencobanya.

Dengan perubahan itu, saya menyebut revisi Undang-Undang Penyiaran, --yang dikebut pengerjaannya hingga akhir tahun ini--, tidak berpihak pada kepentingan publik. Oleh karenanya, tak ada cara lain, selain keterlibatan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap revisi UU Penyiaran. Tak hanya itu, masyarakat juga harus berpartisipasi aktif memberi masukan demi terjaminnya hak-hak sipil untuk mendapatkan program siaran yang berkualitas. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment