Sunday, July 03, 2016

Navicula; Jurnalisme Bermusik

(Video Musik "Kartini" Navicula)

Ada nggak ada uang, terkenal nggak terkenal, masuk majalah Rollingstone atau masuk majalah Liberty, rekaman di Hollywood atau rekaman di kandang babi, kami memang akan terus main musik. Ini adalah hobi, ini adalah kegemaran, ini adalah asupan nutrisi untuk jiwa kami… Ya, ini adalah hidup kami. 
-Gede Robi, Vokalis Navicula

Mei 2016 merupakan 20 tahun berkiprahnya Navicula di belantara musik Indonesia. Band Indie asal Bali itu telah memberi warna berbeda yang sulit dicarikan padanannya dengan band-band rock saat ini, demikian penilaian subjektif saya. Lirik-liriknya sarat pesan aktivisme (lingkungan, sosial dan HAM) dan semangat tentang damai, cinta dan kebebasan.

Navicula (bahasa Latin) yang artinya kapal kecil, diambil dari nama sejenis ganggang emas bersel satu, --berbentuk seperti kapal--, kini sedang menghadapi “Samudera” yang terus bergelora. Samudera itu adalah industri musik yang penuh perubahan. Penuh dinamika.

“Apa yang membuat kapal kecil ini bisa bertahan lama mengarungi samudera adalah kecintaan kami terhadap musik”, ujar Robi, vokalis Navicula seperti dikutip dari laman resmi Navicula.

Band yang mengusung ide “grunge” sebagai tema besarnya, ternyata tak ansih terjebak pada pemahaman sempit dalam bermusik. Tak heran jika musik mereka juga banyak dipengaruhi oleh beberapa aliran seperti: folk, psychedelic, punk, alternatif, funk, dan blues. Karena keragamannya itu, Navicula akhirnya mendeklarasikan diri sebagai “Grunge Psychedelic Band”.

Grunge Psychedelic Band mungkin biasa, namun mampu bertahan hingga 20 tahun itu luar biasa. Sebuah pencapaian yang perlu digarisbawahi, digaristebal, karena seusia itu, mereka masih kokoh bertahan, ketika banyak band sudah gonta-ganti personil, pun tak sedikit yang berganti status “almarhum”.

Bagi Navicula, merawat band itu ibarat menikah. Tidak semata-mata memiliki pasangan yang cocok saja, namun juga kemampuan menerima kekurangan dan belajar dari kelebihan masing-masing. Selalu ada suka dan duka. 

“Sekarang adalah bagaimana kita hadir berbagi tawa dan juga tetap setia hadir untuk airmata. Masalah dalam rumah tangga pasti ada, dan kedewasaan adalah tentang bagaimana kita mengatasi masalah tersebut”, kata Robi.

Jika mengacu pada kata “dewasa” maka seharusnya mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah, bukan malah menghindarinya atau membebankannya ke orang lain. Hal itu menjadi esensi menjaga hubungan keakraban, kekompakan dan kedewasaan menurut Navicula. 

“Turning problems into solutions! Turn nothing into something!”, ujar Robi singkat.

Kini, Navicula memiliki formasi tetap, terdiri dari Robi (vokal, gitar), Dankie (gitar), Made (bass), Gembull (drum). Dan... Ehm, Dankie si pohon tua adalah salah satu seniman musik favorit saya, karena vokal dan cara bermusiknya oke banget. Gak percaya, cek saja di youtube. Keyword: Dialog Dini Hari.

Dalam berkreativitas, Navicula tidak semata-mata bermain musik dengan bagus, namun juga menggunakannya sebagai media untuk menyampaikan pesan. Pesan-pesan itu sengaja mereka tebarkan dengan harapan mampu memantik perubahan.

“Namun efektif atau tidaknya musik memicu perubahan sosial ini juga tergantung konteks”, ujar Robi yang memiliki nama lengkap Gede Robi Supriyanto.

Terkait pesan, salah satu karya yang membuat saya takjub, ketika Navicula meluncurkan music video untuk mendukung perjuangan perempuan-perempuan tangguh yang mempertahanan kelestarian lingkungan dan masa depan Pegunungan Kendeng. Video itu mereka rilis tepat di Hari Kartini, 21 April lalu.

Lagu berjudul “Kartini” itu sengaja dibuat sebagai bentuk keprihatinan atas kawasan karst di Pegunungan Kendeng yang rencananya dijadikan pabrik semen. Sayangnya, di kawasan itu banyak gua yang merupakan sumber air bagi penduduk, tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, namun juga untuk pengairan sawah. 

Akibatnya, ketika kegiatan pertambangan tetap dipaksakan, maka tata kelola air karst yang terjadi secara alamiah akan rusak. Bencana ekologi pun terjadi, mulai dari kekeringan, perubahan bentang alam, perubahan musim tanam, kelaparan hingga bahaya banjir akan mengancam.

“Pembangunan tambang semen, bisa menjadi ancaman bagi identitas dan budaya asli penduduk sekitar, yaitu masyarakat petani,” tulis Robi.

Navicula tertarik menyumbang lagu, karena prihatin dengan penderitaan masyarakat Kendeng. Belum lagi, 9 perempuan asal Kendeng sempat melakukan aksi “semen kaki” di depan istana. Saat itu, aksi mereka mencuri perhatian netizen hingga memunculkan tagar #dipasungsemen.

“Kami tergerak ikut berkontribusi dengan menyumbang lagu. Pas ada ide, waktu, tenaga, dan sedikit dana, kenapa tidak?” tutur vokalis Navicula, Gede Robi.

Tak perlu menunggu lama, lagu berjudul “Kartini” pun jadi. Menurut Robi, lagu itu telah ditulis liriknya 3 tahun silam, namun belum pernah direkam. Bahkan intro gitarnya telah disimpan sejak 10 tahun lalu .

Ketika aksi 9 perempuan digelar, Robi berkomunikasi dengan rekan-rekan KontraS lalu menyebut, jika Navicula memiliki materi lagu yang dirasa sesuai mendukung gerakan Ibu-ibu petani Kendeng.

Kontras kemudian mengusulkan beberapa nama kolaborator potensial yang bisa membantu. Ada Watchdoc, Sorge Magz, dan videografer yang fokus di aksi sosial, seperti Ical Dua, video editor Kartini yang banyak menyumbang footage.

Dengan hari yang sempit, maka kerja harus dipercepat. Kegiatan rekaman, mengumpulkan footage hinga pengeditan visual dilakukan tak kurang dari 3 hari.

Kerja cepat itupun dimulai pada 19 april, ketika lirik dan intro lagu “Kartini” diperkenalkan ke anggota band untuk dicarikan cord dan beat (ketukan) yang tepat. 20 April, rekaman dan mixing dilakukan di Antida Studio (Bali). Selanjutnya, 21 April, video selesai edit, mixing mastering juga selesai dan langsung dirilis pada hari itu juga.

Lewat “Kartini” Navicula sengaja berpesan bahwa perjuangan Kartini tidak semata-mata emansipasi, persamaan hak atau lomba-lomba aksi perempuan berkondek itu. Namun perjuangan Kartini saat ini sarat hubungannya dengan kemerdekaan berpikir, gagasan-gagasan cemerlang yang lahir dari tekanan dan kungkungan. 

Semangat kemerdekaan yang sejati, Navicula menyebutnya. Sebuah perjuangan untuk mencerdaskan bangsa. Perjuangan yang tak melulu dengan senjata, tapi juga lewat aksara. 

Navicula juga setuju jika Kartini, tokoh pejuang kesetaraan gender, simbol persamaan hak dan partisipasi perempuan di Indonesia, akan tetap menjadi inspirasi lintas zaman. Sampai kapanpun menjadi panutan yang inspiratif.

Semua ide-de Navicula tentang kritik sosial, lingkungan hidup, hingga ekologi, menjadi pola pandang baru dalam bermusik. Sebuah cara yang disebut “Jurnalisme Bermusik”. Harapannya, seperti yang saya singgung diatas, mampu mempengaruhi masyarakat.

“Saya yakin, kita semua setuju bahwa apa yang ditulis media bisa mempengaruhi opini masyarakat. Sementara konsep Navicula adalah jurnalisme yang menggunakan musik sebagai medianya”, papar Robi, ketika ada yang menanyakan seberapa yakin musik mereka mampu memicu perubahan sosial.

Jurnalisme bermusik, tentu saja itu istilah saya, sebuah cara menterjemahkan ide besar robi tentang musik yang mampu mencerahkan. Mampu memberi dampak terhadap perubahan yang diharapkan.

Lewat musik, Navicula sengaja menyebar pesan-pesan kritis terhadap generasi muda, (bukan) generasi tua, juga terhadap para aktivis yang merasa ide-idenya perlu diperjuangkan lewat lagu.

Tak selesai hanya disitu, Navicula juga berkeyakinan jika hidup layak harus diperjuangkan. Karena hidup layak adalah terlindunginya hak asasi, terpenuhinya kebutuhan primer, kualitas lingkungan yang baik, serta kondisi yang damai dan keadilan sosial bagi seluruh manusia. 

Itu sebabnya, bak jurnalis yang selalu menceritakan dan mengabarkan tidak hanya hal-hal baik semata, namun juga kritikan terhadap sistem, demikian pula Navicula memainkan peran itu.

Lewat fakta, lewat penuturan orang pertama, Navicula merekonstruksi semuanya menjadi lagu. Lewat lirik-lirik yang tidak saja indah, namun penuh makna. Sebuah pencapaian penuh, yang hanya bisa dilakukan oleh band yang memiliki kesadaran dan kepekaan yang tinggi terhadap banyak hal disekitarnya. 

Navicula juga yakin, kritikan dan seruan moral tidak melulu lewat tulisan namun juga bisa merasuk lebih dalam melalui nada. Sudah selayaknya isu-isu soal keadilan, kerusakan lingkungan, hingga korupsi harus didengar luas oleh publik. 

“Karena suka musik, maka saya merasa harus berbicara dengan bahasa yang saya mengerti. Dan kebetulan musik itu sendiri adalah bahasanya anak muda. Jadi terbentuk sebuah konsep bahwa saya adalah seorang jurnalis yg memakai musik sebagai sebuah media” ujar Robi di kesempatan yang berbeda.

Sekali lagi, Robi menekankan jika ia dan Navicula merupakan jurnalis yang menggunakan musik sebagai media. Sebagai perantara untuk menyampaikan pesan ke khalayak ramai. Tentang realitas, tentang kondisi yang mungkin tak banyak orang tahu.

Termasuk ketika zaman menuntut kerja-kerja itu tidak harus dilakukan sendiri, namun bersama-sama. Lewat jaringan. Lewat kerja tim dengan banyak pihak. Karena bekerja bersama, efeknya jauh lebih maksimal ketimbang bekerja sendiri.

Tak heran, jika Navicula selalu bersemangat untuk menjadi bagian dari kolaborasi global demi hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan yang lebih baik. 

Wow... Lagi-lagi, tak banyak band yang berpikir kearah situ, ketika popularitas dan pundi-pundi masih menjadi target utama. Sementara Navicula tetap setia di jalur indie.

Pada tataran ini, lengkap sudah apa yang ditempuh Navicula dalam bermusik. Mereka akan tetap menghormati keberagaman dan setia melanjutkan konsep awal, yakni berkontribusi demi kelestarian alam dan keadilan sosial bagi masyarakat Bali, Indonesia, dan dunia.

“Menurut kami di jaman sekarang ini, apapun profesimu, kita semua harus peduli pada isu lingkungan dan sosial, karena kontribusimu secara lokal akan mempengaruhi global”, pungkas Robi. (jack0 agun)

No comments:

Post a Comment