Tuesday, July 05, 2016

Ketika Ramadan dan Mudik Jadi Satu, itulah Indonesia!

(Ilustrasi Mudik. Source: http://bicaramobil.com)

“Tuhan pasti sedang tersenyum ketika Indonesia dilahirkan”
-Simpang Kiri Jalan

Sebulan sudah umat muslim di seluruh dunia menunaikan kewajibannya untuk berpuasa. Selama sebulan penuh harus menahan lapar dan dahaga. Pun, menahan hawa dan nafsu dengan mendahulukan kewajiban.

Bagi saya, menahan hawa nafsu memang bukan perkara mudah. Saya yang tidak berpuasa, masih sulit mengendalikan hawa nafsu, khususnya ketika banyak hal mulai mengganggu kemampuan berpikir. Sementara bagi teman-teman yang berpuasa, beban itu sedikit banyak akan berpengaruh seiring kemampuan tubuh yang tidak maksimal, demikian penilaian subjektif saya. Dan saya yakin, Ramadan menjadi momentum yang pas untuk mengendalikan hawa nafsu.

Menahan hawa nafsu, tidak saja menahan keinginan dari rasa lapar dan haus, namun juga menyikapi hal-hal yang terjadi dikehidupan sehari-hari, mulai dari kemacetan, perselisihan dengan teman, kondisi/kebijakan kantor, sikap tenggang rasa/toleransi hingga hasrat seksual. Semua itu, begitu nyata, begitu menyita perhatian, baik langsung maupun tidak langsung.

Usai membaca beberapa artikel di dunia maya, saya menyimpulkan jika hawa nafsu tak lain dari kecenderungan jiwa terhadap sesuatu, baik itu berupa kebaikan maupun keburukan. Bahkan saya juga sempat mencatat, jika hawa nafsu selalu dalam bentuk pencelaan, disamping mengingatkan agar manusia tidak mengikuti dan cenderung kepadanya. 

Khusus terkait menahan hawa nafsu, saya jadi teringat kisah ulama dan sastrawan besar Mesir, Sayyid Quthb. Kisah itu sempat saya baca beberapa tahun silam di internet. Dikisahkan, penulis tafsir Fi Zhilalil Qur’an itu harus berjuang melawan hawa nafsunya, khususnya terhadap godaan seksual ketika ia melakukan perjalanan menuju Amerika Serikat. Pengalaman Sayyid Quthb itu terangkum dalam buku Amarieeka Minaddaghili, karya Dr. Abdul Sholah Fatah Al Kholidi.

Saya tidak akan menjelaskan secara rinci bagaimana Sayyid Quthb yang baru saja ditolak cinta oleh pujaan hatinya harus mengalami ujian silih berganti di saat Ramadan. Karena pastinya sudah banyak yang mengetahui kisah itu.

Bagi saya, yang menarik adalah ketika seniman semacam Sayyid Quthb yang juga ulama besar, ternyata harus melewati cobaan yang cukup besar. Apa jadinya, jika ia tergelincir pada hal-hal buruk, sementara di sisi lain ia menjadi panutan bagi banyak orang. Pastinya akan berpengaruh terhadap nama baiknya. Lalu, mari bandingkan dengan kita yang hanya masyarakat biasa. Ternyata cobaannya sama. Karena cobaan tidak mengenal latar belakang. Godaan tidak mengenal strata kelas sosial.

“Alhamdulillah, saya merasa bangga dan bahagia, karena saya telah berhasil memerangi hawa nafsu. Dengan demikian nafsu itu berjalan di atas jalan tekad yang saya tentukan”, ucap Sayyid Quthb seperti dikutip dari buku Amarieeka Minaddaghili.

Lalu, ketika Ramadan mulai lingsir, mungkin sekira 2 minggu jelang Idul Fitri, saya memperhatikan pergerakan besar penduduk mulai terjadi, khususnya di kota-kota besar semacam Jakarta. Pergerakan itu banyak yang menyebutnya sebagai “Mudik”.

Dan musim mudik pastinya memberi nuansa tersendiri. Mudik telah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Jika pada awalnya mudik kebanyakan dilakukan oleh masyarakat di Pulau Jawa, namun kini, telah menjadi kegiatan tahunan yang juga dilakukan oleh masyarakat di pulau-pulau lain, mulai dari Sumatera hingga Papua.

Mudik atau kembali ke kampung halaman, bertemu dengan sanak saudara, tak lain sebagai cara tuk rehat sejenak dari rutinitas yang membelenggu. Menikmati kembali masa bersama-sama keluarga tercinta, keluarga besar yang selama setahun mungkin jarang bertemu, karena beragam alasan. Bisa karena pekerjaan, juga lokasi dan jarak yang jauh dari kampung halaman.

Terminologi mudik mungkin bisa diartikan berbeda-beda, sesuai pandangan dari masing-masing orang. Namun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) web menyebutnya sebagai;
1. (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman): dari Palembang -- sampai ke Sakayu; 
2. cak pulang ke kampung halaman: seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang --;-- menyongsong arus, hilir menyongsong pasang, peribahasa tentang usaha yang mendapat rintangan dari kiri dan kanan namun diteruskan juga; belum tentu hilir -- nya, peribahasa belum tentu keputusan atau kesudahan suatu hal atau perkara; kokoh, baik dalam soal yang kecil-kecil maupun dalam soal yang besar-besar; ke -- tentu hulunya, ke hilir tentu muaranya, peribahasa suatu maksud atau niat hendaklah tentu wujud atau tujuannya;

Sementara Wikipedia menjelaskan kata mudik berasal dari kata "udik" yang artinya selatan/hulu. Saat itu di Jakarta ada wilayah yang bernama Meruya Udik, Meruya Ilir, Sukabumi Udik, Sukabumi Ilir, dan sebagainya.

Ketika Jakarta masih bernama Batavia, suplai hasil buminya berasal dari wilayah-wilayah di luar kota, seperti Kebon Jeruk, Kebon Kopi, Kebon Nanas, Kemanggisan, Duren Kalibata, dan sebagainya. Para petani dan pedagang membawa dagangannya melalui sungai. Dari situlah muncul istilah milir-mudik, yang artinya sama dengan bolak-balik. Mudik atau menuju udik saat pulang dari kota kembali ke ladang, begitu terus secara berulang kali. 

Saat ini, secara umum, mudik diidentikkan sebagai bentuk bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya. Sebab meskipun jauh dari orang tua, seseorang anak pasti rindu bertemu keluarganya.

Mudik juga menunjukkan, bahwa hubungan kekerabatan, tali silahturahmi dengan keluarga besar tidak pernah putus. Selalu dijaga hingga kapanpun. Kondisi itu akan mengingatkan, bahwa terpisah sejauh apapun, yang namanya hubungan keluarga selalu ada. Ia tak kan bisa hilang.

Secara tak langsung, mudik juga menjadi momen tuk mengingatkan bahwa seseorang tidak boleh lupa akan asal muasal. Akan budaya dan silsilah di dalam keluarga besar. Tak heran jika masyarakat Indonesia paham betul akan hal ini. Mudik akan mengingatkan banyak orang tentang siapa mereka sesungguhnya.

Selain itu, mudik juga telah menyatukan kebhinekaan sosial, budaya, adat dan perilaku. Setibanya di kampung halaman, para pemudik biasanya berbagi kisah dan pengalamannya ketika diperantauan. Lalu proses berbagi pengetahuan pun terjadi. Ada transfer pengetahuan dan kearifan lokal saat mudik berlangsung.

Mungkin masih banyak hal lain yang bisa dipetik dari kegiatan mudik, selain menahan amarah karena macet selama belasan jam di perjalanan, contohnya. Namun menurut saya, disinilah uniknya mudik. Mudik yang terjadi di Indonesia telah memunculkan budaya baru. Budaya yang kian mengkristal dalam beberapa dekade terakhir.

Selain bagi umat muslim, mudik juga dilaksanakan oleh umat agama lain loh! Buktinya banyak yang memanfaatkan momentum ini untuk kembali ke kampung halaman. Bersilahturahmi dengan sanak famili yang kebetulan muslim serta memanfaatkan hari libur nasional.

Saya jadi teringat seorang sahabat, kebetulan Kristen, yang di momen lebaran seperti sekarang ini selalu menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah. Biasanya ia berkumpul dengan keluarga besar yang diantaranya muslim. 

Kabar terakhir, tepatnya 3 hari lalu, ia menyebut sedang berjuang keluar dari kemacetan parah di Brexit (baca: Tol Brebes Timur).

“Setelah 10 jam perjalanan dari ibukota, kini harus berjuang keluar dari kemacetan parah di Brexit, ” umpatnya di salah satu akun media sosial pribadinya.

Kini, mudik telah menyatukan keberagaman. Menyatukan mereka yang terpisah hingga memupuk rasa persaudaraan yang nilainya jauh melebihi sentimen agama. Bukankah hal ini merupakan sebuah kondisi yang baik? Sebuah budaya yang seharusnya dipertahankan?

Bagi saya, mudik dengan segala problematikanya, telah menjadi salah satu solusi mempererat persatuan bangsa ini. Adakah diantara kita yang saling mendoakan, ketika teman-teman kita, ketika saudara-saudara kita mudik ke kampung halaman? Ya, selayaknya kita melakukan itu. 

Jujur saja, saya selalu terharu dan bersemangat, ketika ada teman-teman yang bisa mudik. Selalu senang, ketika mereka bisa berkumpul bersama keluarga tercinta. Dipenuhi wajah-wajah yang mengembang. Plus senyum sumringah yang tidak tertahan pertanda kebahagiaan.

Pun, selalu sedih, ketika ada yang tidak boleh cuti karena alasan klasik, pekerjaan, sementara ada pihak yang karena posisinya boleh cuti (kapan) saja. Serasa muncul nuansa ketidakadilan. Tapi, ups, saya tidak akan membahas soal itu, karena “sensitip” (bacanya pake logat sunda). Hehehe...

Lalu ketika muncul pertanyaan, seberapa pentingnya mudik? Penting banget, jawabnya! Karena kita tak pernah tahu apa yang terjadi tahun depan, kawan. Kita tak bisa memastikan, apakah tahun depan kita masih bisa berkumpul bersama. Jangan-jangan ada peristiwa buruk yang terjadi, meskipun hal itu tak pernah diharapkan.

Tetiba saya jadi teringat seorang sahabat yang sudah 3 hari ini mendekam di ruang tahanan Polda Metro Jaya akibat kasus tertentu. Kabar itu pun baru saya dapat kemarin malam. Seorang rekan jurnalis yang tulisan-tulisannya sangat saya kagumi, telah membuat ibunya bersedih. Maklum, mereka tinggal berdua (bersama sang ibu), pasca kematian ayahnya beberapa tahun silam. Lebaran tahun ini jadi berbeda. Mereka pasti tak menikmatinya, layaknya orang-orang kebanyakan. Dan yang membuat saya semakin sedih, sang ibu sudah lanjut tua.

Karena itu, ketika waktunya masih ada. Ketika semua belum terlambat. Ketika orangtua kita masih sehat, maka mudik menjadi solusi. Mudik tak hanya sekedar bermacet ria di jalanan, namun telah memunculkan kesadaran baru akan pentingnya sebuah kebersamaan. Pentingnya rasa kepedulian terhadap sesama.

Sementara itu, terkait rasa peduli, lagi-lagi saya jadi teringat diskusi ringan dengan kamerad Ajoe, seorang Gusdurian yang juga pengagum ide-ide kiri. Ntah mengapa dengan kawan yang satu ini, kami kerap satu pemikiran, meskipun pernah juga berbeda pandangan.

Kemarin malam, tak sengaja kami membahas mengapa rasa peduli itu harus diwujudkan dalam aksi nyata. Mengapa beragama itu harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

“Buat apa sholat lo rajin. 5 waktu gak pernah tinggal, tapi lo dzolim terhadap orang lain. Lo gak peduli terhadap yang lain”, ujarnya.

Mendengar itu, saya hanya mengangguk pertanda setuju, bahwa sebagai umat beragama kita memang harus peduli dan butuh toleransi. Dua hal penting yang akhir-akhir ini kerap hilang dan dilupakan. Ketika kaum intoleran merasa semakin digdaya dan kian memaksakan kehendaknya, sementara di sisi lain, aparat negara yang seharusnya memberi rasa aman sepertinya abai. Khusus soal aksi-aksi kaum intoleran, sudah sangat banyak buktinya.

Padahal, ketika ada kelompok/ golongan yang memaksakan kehendaknya, kita seolah tak belajar dari sejarah. Seolah tak ingin bergerak maju. Kita pun telah mundur sangat jauh ke belakang. Jauh sebelum Indonesia merdeka.

“Kalo pertikaian terjadi karena persoalan agama, kita seharusnya malu sama Soekarno. Malu dengan pendahulu-pendahulu yang lain. Bayangin aja, persoalan perbedaan itu telah mereka selesaikan jauh sebelum Indonesia merdeka. Kalo ego-ego itu yang dibawa, Indonesia gak bakal merdeka”, papar Ajoe.

Ya bung, kalau hari ini kita masih mempersoalkan perbedaan, dan masih larut pada pemahaman sempit, maka kita memang sedang kembali ke masa lampau. Masa kekelaman. Masa dimana persatuan belum menemukan bentuknya.

Dilala-nya, apa yang diomongin Ajoe, ya, kok sama dengan komentar Alwi Shihab, dalam sesi dialog di Berita Satu News Channel, kemarin malam, ketika presenter Don Bosco Selamun menanyakan peran agama di kehidupan sehari-hari.

"Agama adalah interaksi positif dengan sesama. Agama itu tidak ditentukan oleh banyaknya shalat dan sedekah yang dilakukan”, ujar Alwi Shihab mantab.

Lagi-lagi saya setuju, bahwa agama harus dipraktikan. Karena kita hidup dalam masyarakat yang plural. Kita tidak hidup di komunitas yang homogen dan kita memang tidak sedang berada di ruang hampa.

Oleh karena itu, keberagaman harusnya menyatukan bukan malah memunculkan perbedaan. Dan cara terbaik menyikapi perbedaan adalah dengan menghargai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Tidak dengan menganggap kita yang paling benar.

“Karena itu, kita harus menghargai perbedaan dan kita tidak boleh menganggap diri kita yang paling benar, karena orang lain pun bisa beranggapan demikian”, ujar Alwi Shibab kemudian.

Yup, pesan-pesan itu yang sejatinya muncul di bulan Ramadan, yang mengingatkan kita akan esensi menjadi manusia yang mengakunya beragama. Bukankah seharusnya kita (baca: kalian dan saya) bercermin, kira-kira sudah seberapa dewasanya kita beragama yang terpancar dari keseharian? Mari kita periksa diri masing-masing. 

Sementara itu, jika ditarik kembali kebelakang terkait fenomena mudik saat ini. Saya memperhatikan, banyak pemudik (baca: saat Lebaran dan Natalan), selain niat ingin berkumpul bersama orang tua dan keluarga, telah menjadikannya ajang pamer kesuksesan. Mungkin secara tak sengaja, atau sebaliknya, banyak yang berlomba-lomba menunjukkan pencapaiannya selama berada diperantauan. Apakah hal ini yang dilakukan oleh teman-teman ketika mudik. Semoga saja tidak. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment