(Ilustrasi pojokan. Sumber: www.cringel.com) |
Meretas asa dalam diam
Membisu tak bersuara,
di pojokan relung tanpa dinding
Ada yang terus melaju
Mengejar mimpi diantara debu
Berserakan!
Ada yang terus melaju
Mengejar mimpi diantara debu
Berserakan!
-- Simpang Kiri Jalan
Sudah tak terhitung berapa kali ia duduk terpaku di pojokan itu. Di malam-malam panjang tak bertepi. Sebuah pojokan yang dibelakangnya berdiri tembok kokoh menjulang dan di kanannya terdapat pagar pembatas setinggi dada.
Uniknya, dari dinding itu, kerap terdengar suara-suara aneka rupa, dalam resonansi tak simetris. Yang kadangkala longitudinalnya lebih panjang dari gelombang tranversalnya. Terkadang jadi agak mengganggu. Ehm... Memang mengganggu sih! Apalagi jika si monyet belum beranjak!
Pojokan itu, selintas tempatnya tersembunyi. Agak gelap dan kusam. Sesekali berbau pesing. Tak hanya itu, angin kadang berhembus kencang. Bukan dari samping, namun dari atas. Aneh bukan? Meski demikian, dia tetap setia. Disitu. Diam dan membeku.
Pojokan itu sendiri, bukanlah pilihan yang pas untuk sembunyi, karena tempatnya yang menjorok keujung ruang. Gelap, jadi terkesan angker. Belum lagi, sinar lampu utama tak sanggup menerangi. Karena jarak lampu 2 tombak jauhnya, jadilah sinarnya hidup segan, mati pun enggan.
Di keremangan seperti itu, hanya sorotan lampu kendaraan roda dua dari arah samping yang membuat pojokan jadi sedikit benderang. Itupun hanya speleteran, --mengutip quotenya om Iwan--. Sisanya temaram.
Meski gelap, pojokan bukanlah ruang tanpa batas yang menakutkan. Buktinya, setiap yang melintas masih bisa melihat jika ada orang yang duduk di disitu. Hanya saja, sangat jarang pelintas mau menoleh kearah kiri. Kebanyakan memalingkan wajah ke kanan. Menurutku, karena kanan terkesan lebih baik ketimbang kiri. Padahal di sebelah kiri, pojokan dengan bangku mungilnya setia menanti.
Kurang lebih begitu deskripsi pojokan, yang menurutku jadi tempat menarik kalau mau dibawa asyik. Jadi tempat menyeramkan jika mau terhanyut aura horor. Atau jadi tempat yang menyedihkan, dikala hati sedang gundah. (persis seperti saat ini) *Ups, maaf jadi curhat!!!
Oh ya, sepengamatanku dan berdasarkan info yang didapat dari beberapa informan rahasia, kulihat beberapa kali ia mendatangi pojokan itu. Dalam sepekan, setidaknya sudah 3 kali ia teronggok disitu. Ntah, untuk suatu keperluan atau tuk sekedar membunuh waktu. Aku tak paham. Yang pasti, aku tak berani mengganggu. Pun tak berani mendekat. Sungguh tak berani.
Sejak kejadian yang aku tak tahu ujung pangkalnya ada dimana. Sejak peristiwa yang aku sendiri lupa di hari apa dan topiknya tentang apa. Lalu, sejak hari itu, berlanjut ke hari berikutnya, hingga tak terasa diujung senja yang mulai lingsir, tetiba saja semua berubah. Ada yang berjarak. Lalu ada yang menjaga jarak.
Tapi uniknya, hal itu belum seberapa. Di setiap celah yang tersisa, mereka ternyata saling berjaga. Saling mengawasi satu dengan yang lainnya. Bukan untuk menyakiti atau sekedar membalas luka, namun untuk memenuhi gairah ‘alpa’ yang tak lelah berharap meski sekejab. Karena seperti dendam, rindu memang harus dibayar tuntas, mengutip Eka Kurniawan.
Ya, Rindu yang tak meminta banyak. Rindu yang cukup puas ketika bertemu sebentuk rindu yang lain. Rindu yang mampu menghidupi dirinya, tanpa perlu asupan energi dari sekeliling. Rindu yang mandiri, aku menyebutnya.
Rindu yang tidak manja. Pun tidak cengeng. Rindu yang tidak dibuat-buat. Rindu yang hadir tanpa harus ada yang berlagak sok tahu atau mencoba merayu. Rindu yang tak harus hadir dengan pertanyaan-pertanyaan tolol biar dibilang hebat. Biar dibilang cerdas. Tidak! Rindu yang satu ini beda.
Itu sebabnya, ketika sebentuk rona hadir menyeruak dalam kekonyolan yang makin menjelaskan siapa dirinya. Atau ketika melaju dalam artian ibarat anak kembar siam tak terpisahkan. Yang terlihat hanyalah sebuah keterpaksaan. Kepalsuan. Sebuah tanya yang belum terjawab. "Aneh"? Banyak yang menyebutnya demikian. Sementara aku hanya mengamini. Tak berniat menghakimi.
Lalu, ketika ada yang memilih nge-jogrok dipojokan itu. Sama seperti malam tadi, dalam naungan jaket warna warni, aku pun mengamati. Selintas. Tidak lebih. Kulihat sendiri ia membisu. Sepertinya!
Aku tahu, karena sempat melewatinya. Dari jarak beberapa depa. Apakah ia melihatku? Ntahlah. Bisa ya... Bisa juga tidak. Yang pasti, aku baru kembali dari peradaban medieval, ketika ujung lirikan tak sengaja menyapa. Terkesiap. Bisa!!!
Ternyata ia tidak dalam kondisi merenung. Tidak juga sedang bersemedi. Kupastikan ia sedang memainkan benda kecil kesayangan yang tak bisa lepas dari genggaman. Mungkinkah sedang memesan grab? Atau uber? Ya, kaliii!
Tak ingin menggangu, aku lalu mencari posisi aman. Aku juga tak berani mendekat. Cukup dari sini saja. Dari titik yang tak terlihat, namun masih bisa menatap lepas. Bebas ke delapan penjuru mata angin. Di sebuah lokasi rahasia yang jaraknya tak begitu jauh.
Tak berapa lama, aku larut dalam rutinitas; penggalian tanpa henti. Maklum, malam tadi, aku dipaksa menggali lebih dalam. Menggali lebih keras dari malam-malam sebelumnya. Menggali agar mampu keluar dari jerat yang menghimpit. Mau tidak mau.
Saking sibuk menggali, aku lupa sesuatu. Lupa akan pengintaianku. Lupa dengan seonggok daging bernyawa di pojokan sana. Lupa sama sekali. Padahal dalam pengintaian tanpa binokuler yang kulakukan sejak tadi, aku selalu memperhatikan gerak geriknya.
Agak terkesima juga. Maklum, pengintaian tanpa maksud itu, semata-mata hanya tuk menghibur diri. Di sela-sela beban hidup yang cukup berat, kawan!
Kini, dia yang duduk di pojokan telah menghilang. Begitu saja. Tanpa sepatah kata. Tak ada kata perpisahan. Tidak. Dia raib. Lenyap, dalam diam. Dalam keremangan malam.
Lalu ada yang kehilangan. Yang pasti bukan aku, tapi dia. Dia yang di entah berantah. Menanti dalam senyum. Lalu teringat pada suatu malam, ketika ada masa, mereka pernah bersama. Dipojokan itu. Dulu sekali.
Sementara aku, terus menggali. Lebih dalam lagi, dan lagi. Di gelapnya hari, dengan peluh yang terus mengalir. Tak terkira. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment