Saturday, September 10, 2016

Gulagalugu, Folk Rasa Indonesia

(Ilustrasi musisi folk. Sumber: www.djarumcoklat.com)
Lihat-lihat nelayan rentang jala pukat 
Tarik-tariklah tambang... 
umpan sudah lekat 
(Ikannya melompat-lompat) 2x 
riang riaaa… 
-Gulagalugu Suara Nelayan, Leo Kristi

Beberapa hari terakhir ini, aura “Sanggar” kembali menggema, pasca terbentuknya grup Whatsapp Anggota Luar Biasa (ALB) Parintal FP USU. Jujur saja, bagi saya, aura sanggar telah lama menghilang, setidaknya sejak meninggalkannya puluhan tahun silam. Padahal, sanggar turut andil membentuk karakter saya, menjadi pribadi yang tangguh, peduli dan lebih dewasa dalam menyikapi persoalan.

Sanggar menurut KBBI daring disebut sebagai tempat untuk kegiatan seni seperti; tari, lukis, dan sebagainya. Namun bagi kami (baca: anggota Mapala Parintal FP USU), sanggar merupakan tempat berkumpul, bersenda gurau, berdialektika dan berkreasi. Sanggar juga menjadi rumah kedua. Tentu saja, karena tak terhitung banyaknya malam-malam panjang tak tentu arah yang kami habiskan disana.

Saat itu, banyak hal berawal dari sanggar. Mulai dari menggagas beragam kegiatan, melakukan musyawarah anggota hingga tidur siang. Tak hanya itu, kami juga melakukan pembibitan mahoni, sebagai upaya untuk menambah pemasukan kas organisasi.

Dari begitu banyak hal yang terlalu indah untuk dikenang, ada satu yang tak bisa saya lupa hingga sekarang. Kenangan itu terkait lagu unik, yang kemudian menjelma menjadi semacam lagu ‘kebangsaan’ kami. Setiap ada acara kumpul-kumpul, seperti MOA (Masa Orientasi Anggota) atau hajatan besar lain yang melibatkan para senioren, selalu saja lagu itu berkumandang.

Kala itu, saya tak begitu aware mengapa lagu tersebut bisa populer dan merasuk begitu dalam. Lalu, sejak kapan lagu itu mulai didendangkan di lingkungan Parintal FP USU, saya juga tak tahu pasti. Hanya saja, saya mendengarnya pertama kali saat MOA di tahun 1996.

Yup, lagu itu berjudul ”Gulagalugu Suara Nelayan” besutan penyanyi senior Leo Kristi yang dibuat pada tahun 1978 dalam album ”Nyanyian Tanah Merdeka”. Teristimewa mereka yang hadir belakangan, mungkin banyak yang tak mengenal lagu ini. Jika pun pernah mendengar, pasti akan merasakan keanehan, karena musiknya sangat tak lazim dan memiliki ketukan yang unik. Pun, ada sentuhan irama tradisi disana.

Bagi yang belum pernah tahu liriknya, berikut saya tampilkan penggalan lagunya. Liriknya begitu sederhana namun sarat makna. Lagu yang berkisah tentang kekayaan laut Indonesia.

“Ber-ayun2 laju... 
perahu Pak Nelayan 
Laju memecah ombak... 
perahu Pak Nelayan 
{Buih-buih memercik di kiri-kanan} 2x... 
peraaahuuu…

Jauh di kaki langit terbentang layarmu 
Kadang naik, kadang turun, 
dimainkan oleh ombak. 
Badai laut biru.

Gulagalugu suara nelayan (2x) 
ber-ayun2 laju... 
ber-ayun2 laju…” 

Ketika lagu itu didendangkan para senioren, saya tak paham arti “Gulagalugu” dan mengapa ada kosa kata seperti itu. Aneh memang, tapi itulah daya tariknya. Makin unik, semakin menarik perhatian dan orang akan mencari tahu arti dibalik lagu itu. Kepo, anak jaman sekarang menyebutnya. Ehm... biasanya begitu.

Saya lalu mencari tahu, apa arti dan maksud “Gulagalugu”. Sebuah artikel lalu menjawab kegelisahan saya. Ternyata “Gulagalugu” berbicara tentang keseimbangan alam raya.

”Tahun 1975, kita sudah pikirkan bagaimana rakyat kita dalam setiap geraknya ada rasa di dalam dan di luar. Mikrokosmos dan makrokosmos harus bergerak seimbang,” papar Leo Kristi, dikutip dari Kompas (9/11/2014).

Dari keseimbangan itu, “Gulagalugu” juga merujuk pada gerakan dayung para nelayan. Leo Kristi lalu menggambarkannya sebagai suasana ”di dalam” dan ”di luar” tersebut.

”Di luar cuaca bagus untuk menangkap ikan. Kita menarik dengan semangat, merujuk pada gerak menarik dayung. Di dalam hati, ada harapan dapat rezeki,” ujar pria kelahiran Surabaya bernama (Leo) Imam Sukarno itu.

Namun bagi nelayan yang terpenting bukanlah sekadar keuntungan materi, melainkan rasa damai di hati. Termasuk, bagaimana mereka memandang laut dengan penuh ucapan syukur. Sebuah harmoni antara manusia dengan alam.

Karena daya pikat yang luar biasa, lagu ”Gulagalugu Suara Nelayan” akhirnya direkam ulang dan dirilis pada Sabtu (1/11/2014) di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Perekaman dilakukan oleh para penggemar Leo Kristi yang terhimpun dalam komunitas LKers yang diberi titel “Hitam Putih Orche”.

Lagu ”Gulagalugu Suara Nelayan” menjadi salah satu dari 12 lagu dalam album Hitam Putih Orche. Kata orche pada album diibaratkan sebagai orkestra versi konser rakyat Leo Kristi. 

Berbeda dengan album sebelumnya, penggarapan Hitam Putih Orche melibatkan orkestra pimpinan Singgih Sanjaya yang juga berperan sebagai penata aransemen musik. Selain itu, beberapa seniman dilibatkan, seperti instrumen gesek, tiup logam (brass), tiup kayu (reed), dan sejumlah perkusi tradisional. Juga penyanyi tamu Trie Utami dan Berlian Hutauruk. Sementara itu, gitaris Dewa Budjana dan Wayan Balawan juga mendukung masing-masing satu lagu. 

Dalam kekinian bermusik, Singgih dan Leo Kristi tidak menghilangkan nuansa versi asli pada ”Gulagalugu Suara Nelayan”. Intro permainan gitar pada versi lama tetap dipertahankan. Rasa musik rakyat Madura masih ditampilkan lewat dokdok, perkusi tradisional Madura.

****
Jika dibandingkan dengan dua sahabatnya, yakni Gombloh dan Franky Sahilatua, Leo Kristi pastinya jauh kalah popular. Saat di Surabaya, mereka bertiga sempat mendirikan grup musik, bernama Lemon Tree’s. Meski begitu, lagu-lagu Leo Kristi jauh lebih jujur, menurut saya.

Ya, lebih jujur, karena musik Leo cenderung independen dan tidak pernah mau didikte para lebel. Kondisinya jauh berbeda dengan Franky dan Gombloh, yang cenderung mengikuti keinginan pasar, meskipun tetap menyampaikan kritik sosial, nasionalisme, dan kecintaan terhadap alam.

Tak hanya itu, gaya bermusik Leo Kristi masuk dalam genre folk, meski sesekali agak menyerempet ke arah country maupun balad. Folk, sebuah genre musik yang tak banyak orang tahu. Folk bagi sebagian orang mungkin terasa janggal, meskipun kehadirannya telah teruji sejak lama.

Beberapa pemerhati musik menyebut, folk di Indonesia mulai terdokumentasi dengan baik pada era Gordon Tobing (1960-an), diteruskan Kwartet Bintang, Noor Bersaudara, Prambors, Trio Bimbo dan Geronimo. Memasuki era 70 dan 80-an muncul Iwan Falls, Ebiet G. Ade, Franky and Jane, Leo Kristi dan banyak lagi. Selanjutnya di tahun 90’an mulai muncul penyanyi atau band yang mengusung folk sebagai genre musiknya, seperti; Guruh Gipsy, Vicky Sianipar, Discus, Navicula, Ubiet dan yang lainnya. Bahkan ada juga yang menyebut Slank agak bernuansa folk, meskipun tidak muncul pada setiap lagunya dan cenderung tidak dominan.

Sejak tahun 2010, musik folk seakan menemukan bentuknya di Indonesia. Banyak majalah musik mengulasnya dengan beragam literatur dan latar belakang. Maklum, pada masa itu, band-band yang mengusung folk mulai marak. Salah satunya band favorit saya; Dialog Dini Hari.

Sesuai literatur, musik folk berarti “musik rakyat yang penuh dengan kesederhanaan” dalam lagunya. Selain itu, ada tradisi dan kebiasaan di dalamnya diperankan oleh orang-orang. Tak heran arti kata folk, jika ditranslate ke bahasa Indonesia, menjadi "orang orang" mengacu pada kata benda. 

Bentuk kata lain yang lebih familiar adalah “folklor”. Folklor sendiri meliputi cerita masyarakat setempat yang sarat mitologi. Namun bisa juga mencakup legenda, musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam satu budaya, subkultur atau kelompok.

Dari penjelasan itu, musik folk bisa dikatakan berkaitan dengan orang, budaya, kebiasaan yang turun temurun. Dengan demikian, musik folk merupakan musik yang kental dengan sentuhan etnik, budaya dari suatu daerah yang sudah ada sejak dulu. 

Sentuhan yang dimaksud adalah instrumen alat musik, ciri khas nada yang dimainkan maupun kata-kata yang dinyanyikan. Bisa dikatakan, musik folk sangat luas cakupannya. Bahkan sering tak menyadari, jika lagu yang kita dengar ternyata bernuansa folk, karena kehadirannya telah sejak lama. Contohnya, “Gulagalugu Suara Nelayan” yang saya paparkan diatas.

Sejatinya, dalam meramu musik terdapat banyak unsur tradisi/ kebudayaan yang akan menyumbang warna-warna tersendiri, meski tak tertutup kemungkinan jika sebagian musisi hanya memberikan penekanan pada nilai kesederhanaan saja. 

Sisi-sisi tradisional dan kontemporer di musik folk dikemas dengan porsi yang beragam, sesuai kebutuhan, sehingga membentuk karakter musik yang diinginkan.

Karena sifat tradisi yang melekat, banyak yang menyebut keroncong sebagai musik folk, karena menggunakan alat musik tradisional yang sederhana. Selain itu, keroncong erat hubungannya dengan masyarakat, baik dari segi lirik dan budaya. 

Kendati demikian, folk ternyata berbeda jauh dengan musik etnik (world music). Pasalnya, musik etnik memiliki aturan (kode etik) tersendiri dan kebanyakan aturannya bersifat sakral. Sementara folk tidak seperti itu. Folk tidak terikat dengan corak musik tertentu, termasuk ketika ada upaya menggabungkan beberapa musik etnik yang berbeda dalam satu lagu. 

Jika disederhanakan, folk tercipta dari corak musik etnik yang dimainkan sehari-hari untuk menghibur diri, membuang rasa jenuh dengan alat musik seadanya.

Seadanya itu sepadan dengan sifat “Analog”. Sebuah kondisi yang cocok untuk menggambarkan karakter folk, dimana penggunaan alat-alat musik digital sangat diminimalisir, dan yang diutamakan adalah alat musik analog. Tak heran jika belakangan, folk sering diidentikkan dengan gitar akustik, ukulele, akordion dan harmonika.

Jika boleh berkata jujur, batasan mendasar untuk musik folk tidak begitu jelas, sama halnya ketika publik mempertanyakan tentang genre musik Iwan Falls dan Ebiet G.Ade. Banyak spekulasi bermunculan terkait hal itu, terlebih karena musik yang mereka mainkan memiliki karakteristik unik yang jarang ditemui. Akhirnya, musik mereka sulit dikategorisasi pada genre musik yang mana.

Begitulah folk bercerita. Sebuah blog menyebut, atmosfernya lebih mirip De Javu, sangat akrab dirasakan namun sulit dikenali. Alasannya, karena folk jauh lebih tua dari penamaan genre musik itu sendiri. Tak heran jika ada yang menyebut, folk adalah orang tua yang baru saja diberi nama. Maklum, karena terlalu lama melanglang buana.

***
Jika di Indonesia, kita bisa mengenali kehadiran musik folk dengan baik, bagaimana dengan diluar sana. Secara literatur, tak diketahui tanggal pasti kelahiran folk di dunia, namun para pemerhati musik menyebut, folk hadir sekitar pertengahan abad ke-19 dan 20, meskipun ada pendapat lain yang menyebut folk telah tercipta jauh sebelum itu. 

Adalah Thomas William, seorang Inggris (1846) merupakan yang pertama kali menggunakan istilah folk untuk menggambarkan tradisi, takhayul, adat-istiadat dan cerita rakyat yang berkembang di suatu daerah. William lalu menggunakan istilah folk song, folk music dan folk dance dalam tulisan-tulisannya.

Istilah itu belum berkembang dan hanya diketahui oleh sekelompok masyarakat saja. Baru di tahun 1960, istilah folk mulai dikenal di Amerika Serikat saat genre itu menyentuh industri musik mereka. Di tahun 1987, penyanyi Bob Dylan memenangkan Grammy Awards kategori Best Contemporary Folk Recording. Saat itu lah, folk resmi menjadi salah satu genre musik di dunia.

Terlepas dari kian populernya folk, ada pernyataan yang menyebut corak musik folk berbeda-beda diantara setiap wilayah. Folk sangat dipengaruhi oleh kreatifitas dan kearifan lokal suatu masyarakat. Termasuk oleh bentang alam dan lingkungan akan mempengaruhi cita rasa folk yang tercipta. 

Contohnya, di Balkan, masyarakat menciptakan alunan folk dari lantunan merdu akordion. Di Spanyol mereka menggelitik gitar mengeringi tarian Flamenco, dan di Turki berkembang Arabian Culture Music. 

Atau, ketika Amerika memiliki Bob Dylan dan Violeta Parra, maka Eropa punya The Beatles, Pentangle, Faiport Convention, Alan Stivell dan Pieter Kennedy  pada era 60-70an. Saat itu folk rock Eropa merupakan perpaduan folk rock dengan folk khas Eropa sendiri seperti Irish Folk, Scott Folk, Cornwall dan Brittany Folk. Begitupun di Afrika, Asia, Rusia dan belahan bumi utara, mereka memiliki folk dengan corak tersendiri.

Balik lagi ke Amerika, pada tahun 70-an, folk rock telah menjelma menjadi media ekspresi pergerakan komunitas Hippie yang saat itu menjadi budaya popular. New York lalu didaulat sebagai markas folk rock yang kemudian mengembangkan sayap dengan cepat ke seluruh wilayah Amerika, mulai dari Denver, San Fransisco, Poenix hingga ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dan bicara tentang folk di Indonesia, seingat saya pergerakan besar terjadi di sepanjang tahun 2013 hingga akhir tahun 2015. Saat itu, musik folk ramai diperbincangkan, seiring dengan kehadiran musisi-musisi lokal yang melakukan produksi musik folk secara independen.

Kini, genre folk di Indonesia lebih berwarna. Beragam corak dan gaya folk bermunculan. Sebut saja; Payung Teduh dan Silampukau dengan warna keroncong folk. Lalu, Autette And The Poldska Seeking Carnivals dengan western folk carnival. Kemudian ada Float, Dialog Dini Hari, Teman Sebangku, Deugalih and Folks, Tiga Pagi, Nada Fiksi, Mr. Sonjaya, Banda Neira, Nosstress dan Afternoon Talk hadir dengan nuansa tropical folk.

Dengan keragaman itu, folk di Indonesia telah memunculkan sebuah entitas baru. Sebuah warna musik folk yang sepertinya seragam, namun faktanya sangat beragam. Saking beragamnya, tetap terbuka ruang untuk mengembangkan folk dengan bermacam musik analog lainnya, seperti gamelan, rebab, saron atau angklung sebagai instrumen pendukung. 

Sehingga tak heran pada suatu hari nanti, musik folk Indonesia akan muncul dengan beragam jenis yang mewakili kekhasan daerah masing-masing. Musik folk yang merupakan cerminkan kreatifitas dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Musik yang jujur saja, telah membuat saya terpikat sejak pertama kali mendengarnya. Ya, folk takkan pernah mati, sobat! (jacko agun)

No comments:

Post a Comment