Sunday, September 18, 2016

Vivian Maier, Fotografer Terlupakan

(Self Portrait Vivian Maier. Source: www.vivianmaier.com)
Well, I suppose nothing is meant to last forever. We have to make room for other people. It’s a wheel. You get on, you have to go to the end. And then somebody has the same opportunity to go to the end and so on.” 
– Vivian Maier

Menonton film dokumenter? Rasa-rasanya sudah lama saya tidak melakukannya. Namun, sejak seorang teman mengusulkan agar saya bersedia menonton “Diving into unknown”, sekira sebulan lalu, gairah terhadap film-film dokumenter kembali membuncah.

Oh ya, film Diving into Unknown menurut saya cukup menarik dan layak ditonton, utamanya bagi mereka yang baru tertarik dengan dokumenter, termasuk komunitas diver. Film tentang evakuasi jenazah penyelam dari kedalam 130 meter dibawah air itu akan memberi perspektif baru tentang keindahan dunia bawah air dan bahaya yang mengancam. Dua entitas yang bersatu dan siap mengaduk rasa keingintahuan dan kepekaan penonton.

Usai melahap Diving into Unknown, saya lalu iseng mencari film-film dokumenter lain yang layak tuk ditonton. Dan bisa dipastikan, semua saya dapatkan lewat mesin pencari ‘Google’. Sebuah teknologi informasi yang sangat memanjakan penggunanya. Tinggal ketik apa yang diinginkan, lalu sederet informasi pun muncul. Selanjutnya, klik satu diantaranya.

Dengan pasti, pilihan saya jatuh pada film Finding Vivian Maier yang dibuat pada tahun 2013 lalu. Saya tertarik menonton film itu, karena filmnya sendiri bercerita tentang dunia fotografi, yang tentu saja sangat saya gemari. Sejak jatuh cinta dengan keajaiban fotografi (baca: puluhan tahun silam), maka ketika ada film bertema fotografi, selalu saja saya sempatkan untuk menonton.

Contohnya, War Photographer, film dokumenter yang saya tonton ketika masih duduk di bangku kuliah dulu. Seingat saya, film itu mengakar begitu kuat, meskipun telah ditonton belasan tahun silam. Jujur saja, War Photographer merupakan film dokumenter pertama yang saya nikmati dengan pemaknaan yang begitu kuat.

War Photographer sendiri berkisah tentang kehidupan fotografer nyentrik bernama James Nachtwey. Film itu menjadi menarik, karena ada begitu banyak footage berharga disana. Film itu secara detil bercerita tentang kegigihan Jim, --panggilan akrab James Nachtwey-- saat bekerja di daerah konflik untuk menghasilkan foto terbaik. Foto berkelas yang hingga saat ini, masih diakui para fotografer dunia.

Tak hanya itu, Jim diakui sebagai fotografer perang yang selalu hadir disetiap konflik di seluruh penjuru dunia. Sebut saja, pertempuran di Irlandia Utara, perang Irak hingga perang Balkan, ia pasti berada disana. Selain itu, Jim juga aktif meliput kelaparan di Afrika dan kemiskinan di Indonesia. 

Bagi kalian yang tertarik dengan kedua film yang saya sebutkan tadi, silahkan mencarinya di internet. Mudah-mudahan dengan waktu yang tak terlalu lama, kalian akan menemukannya.

Tanpa ingin berpanjang-panjang di kedua film itu, izinkan saya mengulas lebih jauh tentang film Finding Vivian Maier. Singkatnya, Finding Vivian Maier bercerita tentang Vivian Maier, orang biasa yang kemudian diketahui mampu menghasilkan foto luar biasa.

Bagi saya, Vivian Maier merupakan sebuah paradoks, tepatnya ketika seseorang yang kerap dianggap nothing, ternyata mampu menghasilkan karya yang stunning, meskipun datang belakangan dan cenderung terlambat.

Atas kekuatan cerita dan visualnya yang menarik untuk mengumpulkan serpihan tentang siapa sebenarnya sosok Vivian Maier, membuat film Finding Vivian Maier diganjar sebagai salah satu nominasi dalam Best Documentary Features pada gelaran Academy Award (Oscars) 2015 bersama dengan film Last Days in Vietnam, Citizenfour, The Salt of The Earth, dan Virunga. Sayangnya, film ini ditaklukkan Citizenfour yang bercerita tentang Edward Snowden.

Meski tidak juara di Oscar, Finding Vivian Maier ternyata berhasil menyabet beberapa penghargaan prestisisus, semisal Best Documentary Feature di Portland International Film Festival dan Miami International Film Festival. 

Peran John Maloof
Film Finding Vivian Maier pada menit-menit awal memperkenalkan tokoh John Maloof, seorang agen real estate, pemerhati sejarah yang kebetulan gandrung dengan fotografi. Maloof melakukan penelusuran tentang siapa itu Vivian Maier, setelah ia pulang membawa berkotak-kotak peralatan, dimana salah satunya adalah foto, gulungan film negatif dan positif serta dokumentasi video yang ia beli dari rumah lelang di Chicago Northwest Side pada tahun 2007.

Awalnya Maloof tidak begitu peduli dengan properti yang ia miliki, meskipun belakangan sebanyak 100.000 foto dan klise itu menjadi harta karun terbesarnya. Semua mulai berubah, ketika ia berniat mencetak klise tersebut. Ia sangat terkejut dengan hasilnya.

Bagi Maloof, foto-foto itu sangat luar biasa dan meninggalkan pesan yang kuat, pertanda pembuatnya memahami fotografi dengan baik. Foto-foto itu juga unik, karena belum pernah dipublikasikan dan baru ditemukan setelah 1 dekade kemudian. Kebayang, betapa ingin tahunya Maloof tentang siapa pembuat foto-foto itu.

Maloof lalu mencari tahu siapa pembuat ratusan ribu foto dan klise yang hasilnya bisa disetarakan dengan karya fotografer profesional. Dari beberapa dokumen yang tertinggal di dalam kotak, ia menemukan nama Vivian Maier.

Tanpa menunggu lama, Maloof mencari nama Vivian Maier di internet. Ia berharap mendapatkan sebuah artikel yang menjelaskan siapa itu Vivian Maier. Namun sayang, tak satupun artikel menjawab pertanyaannya. Artinya, Vivian Maier tidak dikenal, apalagi harus menyebutnya sebagai fotografer ternama. Mesin pencari Google tak pernah mencatatnya.

Bersama sahabatnya Charlie Siskel, Maloof tertarik mengangkat kehidupan Vivian yang penuh misteri menjadi bagian utama dari film dokumenter berjudul Finding Vivian Maier. Ketertarikan itu membulat ketika Maloof menyadari bahwa mencari Vivian Maier ternyata tak mudah, ibarat mencari jarum ditumpukan jerami.

Lewat film itu, penonton diajak untuk mencari tahu seperti apa sosok Vivian, khususnya ketika Maloof berhasil menemukan orang-orang yang sempat bersinggungan dan mengenal Vivian dengan baik. Merekalah narasumber utama di film itu.

Vivian kemudian menjelma menjadi sesosok pribadi yang disenangi dan akrab meskipun sangat tertutup untuk urusan privat. Semua itu muncul lewat testimoni  para narasumber, termasuk dari barang-barang pribadi, seperti rekaman suara Vivian.

Kesan pertama yang membuat Maloof terkejut setengah mati, adalah ketika beberapa narasumber menyebut Vivian sebagai pengasuh anak atau nanny yang baik semasa hidupnya. Maloof sungguh tidak menyangka jika foto-foto spektakuler itu dihasilkan oleh seorang nanny.

Semasa hidupnya, Vivian Maier juga dikenal sebagai nanny yang nyentrik, pendiam, rada aneh, dengan tubuh yang tinggi dan kamera Rolleiflex “twinlens” yang selalu menggantung di lehernya.

Bagi Maloof, jepretan Vivian sangat istimewa. Ia lalu memperkenalkan karya-karya Vivian Maier ke masyarakat, setelah sebelumnya menemui beberapa kurator yang akhirnya mendukung pendapat Maloof, bahwa foto-foto Vivian ber-genre street photography itu sangat fantastis. Layak untuk disandingkan dengan karya fotografer ternama.

Kini, setelah dipamerkan disejumlah kota, karya Vivian Maier telah diarsipkan dan terdokumentasi dengan baik, agar publik dan generasi selanjutnya bisa menikmati karya tersebut. Selain itu, sekitar 90% dari arsip yang dimiliki Maloof telah direkonstruksi. Banyak pengamat yang menyebut foto jepretan Vivian menjadi penanda bangkitnya era street photography. Selain itu, buku foto terkait karyanya juga sudah diterbitkan.

Pencarian Vivian Maier
Vivian Maier yang lahir pada 1 Februari 1926 merupakan sebuah fenomena sekaligus kisah misterius tentang bagaimana sebuah karya seni muncul dan kerap diapresiasi belakangan karena datang terlambat. 

Penonton seperti saya, pasti tak menyangka bagaimana Vivian Maier memainkan dua peran berbeda dalam waktu yang cenderung bersamaan. Menjadi seorang pengasuh dan menjadi fotografer jalanan. Sebuah situasi yang tentunya tak mudah.

Penonton juga diajak kembali ke zaman ketika Vivian masih hidup. Lewat foto dan penuturan narasumber, diketahui Vivian menghabiskan waktu untuk memotret dijalanan di kota New York dan Chicago antara tahun 1950 sampai 1970-an.

Vivian Maier merupakan seorang yang fanatik terhadap street photography. Apa saja yang ditemui selama di jalan ia dokumentasikan dengan baik. Uniknya, semua foto yang dihasilkan memiliki impresi yang kuat dengan pencahayaan yang pas. Pun, jarang melakukan re-take untuk sebuah objek yang sama.

Bayangkan, seratus ribu lebih foto berhasil dijepret Vivian dengan sempurna. Penonton pasti takjub saat melihat foto-fotonya yang juga diselipkan di beberapa adegan film itu.

Penelusuran terhadap sosok Vivian Maier tidak mudah. Karena itu, pembuatnya (baca: John Maloof dan Charlie Siskel) harus melakukan riset mendalam dan melakukan verifikasi ke banyak tempat. Salah satunya ke kantor dinas kependudukan setempat. Dari tempat itu, diketahui Vivian Maier lahir dan besar di New York. 

Meski lahir di New York, Vivian bukanlah warga asli Amerika. Ia lahir dari Maria Jaussaud Justin, seorang ibu berdarah Prancis dan ayahnya Charles Maier, seorang Austria. Saat Vivian lahir, mereka tinggal di Bronx borough New York

Lewat catatan kependudukan juga diketahui jika ayahnya Vivian (Charles) meninggalkan mereka dengan alasan yang tidak disebutkan. Saat Vivian berusia 4 tahun, ia akhirnya tinggal bersama ibunya dan teman dekat ibunya bernama Jeanne Bertrand, seorang pemenang penghargaan untuk fotografi jenis potret. Diduga, lewat Bertrand, Vivian mulai menyenangi dunia fotografi.

Catatan harian Vivian juga menunjukkan jika ia sempat mengunjungi tanah leluhurnya di Pegunungan Alpen, tepatnya di Saint Bonnet en Champsaur, Prancis pada tahun 1939. Saat itu ia belum mengabadikan banyak foto.

Beberapa tahun setelah itu, Vivian kembali lagi ke Prancis pada rentang tahun 1949 - 1951. Ia pergi seorang diri tanpa ibunya. Saat itu, ia sudah menenteng “Kodak Brownie”, kamera pertama yang ia beli di tahun 1949.

Kodak Brownie merupakan kamera sederhana yang diperuntukan bagi kalangan amatir. Kamera itu hanya memiliki satu kecepatan rana, tidak ada kontrol fokus, dan tidak memiliki aperture penanda kecepatan. Selain itu, layar penampilnya (viewfinder) kecil, sehingga untuk membuat foto landscape sangat dibutuhkan keahlian dari pemotret.

Di pedesaan Prancis, Vivian menghasilkan banyak foto. Di setiap kesempatan, ia selalu memotret hal-hal yang menurutnya menarik. Belakangan, lewat tangan terampil John Maloof, foto-foto jepretan Vivian dipamerkan di desa itu. Ketika pameran dihelat, masyarakat gempar. Mereka tidak menyangka, jika kegiatan sehari-hari masyarakat pegunungan itu terdokumentasi dengan baik. Dan yang melakukannya, tak lain adalah Vivian Maier.

Usai berkeliling di banyak tempat di Prancis, Vivian kembali ke New York pada tahun 1951. Ia pulang dengan menumpang kapal uap 'De-Grass'. Setibanya di Amerika, Vivian akhirnya memutuskan bekerja sebagai nanny bagi keluarga di kota Southampton.

Di tahun 1952, Vivian membeli kamera lensa ganda, Rolleifex, sebagai tanda kecintaannya pada dunia fotografi. Vivian semakin bersemangat untuk menghasilkan foto yang lebih baik. 

Pada tahun 1956, Vivian pindah ke Chicago. Di kota itu, ia menikmati kemewahan kamar gelap serta kamar mandi pribadi. Hal ini memungkinkannya melakukan serangkaian proses kamar gelap untuk film hitam putih miliknya. 

Ketika anak-anak yang diasuh Vivian memasuki usia dewasa, hal itu menjadi signal berakhirnya masa bekerja baginya di sebuah keluarga di Chicago. Pekerjaan yang sempat membuatnya melupakan gulungan film yang telah ia kumpulkan. Bahkan ketika pindah ke beberapa keluarga setelahnya, gulungan rol filmnya tetap belum tersentuh, tidak diproses, dan belum pernah dicetak.

Pada tahun 1973, Vivian mulai beralih ke film warna, ketika memutuskan memotret menggunakan beberapa kamera 35mm, seperti Kodak Ektachrome, Leica IIIc dan beberapa kamera buatan Jerman. Saat itu, warna yang muncul menjadi temuan terbaru karena mirip dengan aslinya. Sebuah hasil yang tidak pernah terlihat di foto Vivian sebelumnya. Secara perlahan, foto Vivian tidak melulu karya portrait, namun mulai beralih ke beberapa objek lain yang ditemukan, seperti suasana kota, orang membaca koran hingga grafiti di tembok.

Demikian pula, perilakunya menunjukkan sebuah keharusan untuk menyimpan barang-barang unik yang ia temukan di tong sampah atau sekedar berbaring di samping trotoar.

Di tahun 1980-an, Vivian mulai menghadapi beragam tantangan. Salah satunya terkait kondisi finansial dan kesibukan yang membuat gulungan rol film warna dari Ektachromenya mulai menumpuk. Ia tak sempat memprosesnya.

Beberapa waktu kemudian, antara tahun 1990-an dan tahun-tahun pertama milenium baru, Vivian akhirnya meletakkan kamera dan berhenti dari kegiatan memotret. Vivian lalu menitipkan barang-barangnya ke sebuah gudang, sementara ia berusaha bertahan ditengah himpitan ekonomi. Maklum, saat itu ia seorang diri, tanpa suami, apalagi anak. Saudaranya hanyalah teman-teman yang pernah bersinggungan dikehidupannya.

Vivian berusaha bangkit dari kegiatan tunawisma yang dilakoninya, untuk sebuah apartemen studio kecil yang pembiayaannnya dibantu oleh sebuah keluarga dimana ia sempat bekerja pada keluarga itu.

Namun, karena tidak sanggup membayar sewa di tahun-tahun berikutnya, foto-foto dan gulungan rol film yang Vivian simpan di gudang menjadi kenangan terakhir, yang kemudian disita oleh pengembang dan berujung pada balai lelang setempat di tahun 2007.

Barang-barang yang dilelang, termasuk 100.000 gulungan film, dan sejumlah properti lain milik Vivian. Saat itu, barang-barang yang dilelang cukup banyak, dan beberapa diantaranya diambil oleh beberapa pembeli, termasuk John Maloof.

Pada tahun 2008, kepala Vivian terbentur akibat terjatuh di hamparan es di pusat kota Chicago. Meski banyak sahabat mengharapkan Vivian segera pulih, yang terjadi kemudian kesehatannya terus memburuk.

Selain itu, karena tak sanggup membayar sewa, Vivian akhirnya diungsikan ke sebuah panti jompo. Dia meninggal setahun kemudian, tepatnya pada 21 April, 2009. Vivian Maier meninggalkan segudang arsip besar hasil karyanya begitu saja.

Dari penuturan orang-orang yang mengenal Vivian, diketahui ia sempat tinggal di sebuah keluarga kelas atas di New York hingga tahun 1956. Setelah itu, Vivian berpindah ke keluarga lain di kota North Shore of Chicago. Termasuk ketika Vivian harus mengasuh 3 anak laki-laki dan keluarga itu menjadi teman terdekatnya untuk sisa hidupnya.

Selain berprofesi sebagai nanny, Vivian diketahui sempat melakukan perjalanan solo ke banyak tempat di dunia. Misalnya, ke Kanada pada tahun 1951 dan 1955. Lalu ke Amerika Selatan pada tahun 1957 dan tahun 1959 ke Eropa. Kemudian ke Timur Tengah dan Asia pada tahun 1960, lalu pada tahun 1965 ke Kepulauan Karibia.

Dalam perjalanan itu, Vivian Maier diketahui sangat tertarik dengan kehidupan masyarakat miskin yang menurutnya kurang beruntung. Ketertarikannya juga didasari atas pengalaman hidupnya, yang berjuang untuk meraih sesuatu dengan kerja keras. Sebuah dahaga yang menuntunnya melakukan perjalanan ke beberapa tempat menarik di dunia, demi sebuah hasrat, yakni membuktikan keagungan fotografi.

Buku "Vivian Maier: a photographer found"
Vivian Maier dianggap sebagai salah satu fotografer jalanan terbesar abad ke-20. Dia merupakan seniman yang sempat hilang dan belum ditemukan sampai kematiannya, ketika lebih dari 100.000 foto yang sebagian besar menangkap kehidupan di jalan-jalan kota New York dan Chicago.

Sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras Vivian Maier di bidang fotografi, sebuah buku berjujul Vivian Maier: a photographer found akhirnya terbit. Buku itu ditulis dan diedit oleh kurator foto, Marvin Heiferman. Buku itu menampilkan sebanyak 250 foto yang terdiri dari foto hitam putih, foto berwarna dan beberapa material lain yang belum pernah dilihat publik sebelumnya. Selain itu kata pengantar buku itu ditorehkan oleh penulis New York Times terkenal, Laura Lippman.

Cerita rahasia tentang Vivian Maier yang merupakan nanny sekaligus fotografer selama hidupnya menjadi sensasi populer pasca kematiannya. Kehadirannya mulai diketahui publik lewat karya-karyanya yang belum sempat dicetak. 

Di tahun 2007, dua tahun sebelum kematian Vivian Maier, pemerhati sejarah kota Chicago, John Maloof menemukan harta berharga milik Vivian berupa rol film negatif, dan gulungan film yang belum diproses di boks penyimpanan usai membelinya di sebuah sesi lelang. Temuan itu menghadirkan kejutan karena tak menyangka akan memunculkan sejumlah foto menarik yang mencengangkan dunia dan akhirnya menuai banyak pujian.

Vivian Maier berhasil menyajikan koleksi paling komprehensif dan menjadi pilihan kerja terbesar yang dibuat fotografer selama tahun 1950 hingga 1970-an di New York, Chicago, dan pada perjalanannya menjelajahi beberapa tempat menarik di dunia, termasuk menggunakan film berwarna.

Hasil karya Vivian menjadi koleksi pribadi yang juga berperan sebagai artefak, memorabilia, termasuk kaset audio yang dibuatnya secara mandiri. Di sisi lain, wawancara yang dilakukan terhadap orang-orang yang mengetahui sosok Vivian, telah memberi cahaya baru tentang keterampilan Vivian Maier di dunia fotografi sepanjang hidupnya.

Dana Beasiswa Vivian Maier
Sering digambarkan sebagai “Mary-Poppin”, Vivian Maier memiliki eksentrisitas yang sulit dicari padanannya hingga sekarang. Sebagai pengasuh bagi anak -anak yang ia besarkan layaknya seorang ibu, ternyata tak menyurutkan semangatnya untuk terus berbagi.

Saat bekerja sebagai nanny Vivian memiliki rasa peduli yang besar. Dia akan mengambilkan buah stroberi dari ladang lalu menghidangkannya kepada anak-anak. Pernah juga di sebuah kesempatan, Vivian membawa ular mati yang ditemukan di tepi jalan untuk dipamerkan kepada anak laki-laki agar anak-anak itu menuruti yang diperintahkan. Keingintahuan itu juga yang menghantarkan Vivian berkeliling ke banyak tempat yang menurutnya menarik untuk dijadikan objek foto.

Atas kerja-kerja tanpa henti, khususnya bagi kemajuan dunia fotografi yang dilakukannya secara diam-diam, sebuah penghargaan diwujudkan dalam bentuk dana beasiswa bagi fotografer perempuan berbakat. Beasiswa itu awalnya digagas oleh Chicago street Photographer, bertujuan memberikan kesempatan dan sumber daya bagi siswa perempuan yang menggeluti studi fotografi.

Selanjutnya, The School of the Art Institute of Chicago (SAIC), salah satu sekolah seni dan desain terkemuka di kota Chicago bersedia mendanai beasiswa Vivian Maier. Beasiswa berdasarkan kebutuhan juga akan dipenuhi oleh Ravine Pictures, perusahaan tempat John Maloof dan Charlie Siskel bernaung. Selain itu, donasi juga akan diberikan oleh galeri seni Howard Greenberg.

Sejauh ini, karya Vivian Maier telah mengubah hidup John Maloof secara personal dan para penikmat fotografi secara umum yang berhutang budi padanya. Itulah sebabnya, sebagian dari hasil penjualan karya Vivian dan hasil dari pemutaran film Finding Vivian Maier akan disumbangkan untuk membiayai beasiswa penuh di Sekolah Institut Seni Chicago (SAIC), sebuah lembaga yang berperan penting mengadakan beasiswa Vivian Maier. 

Setiap tahun, fotografer muda perempuan akan dipilih untuk menerima bantuan keuangan yang memungkinkan mereka belajar seni sambil mengangkat beban ekonomi keluarga. Semua itu berkat beasiswa Vivian Maier yang merupakan hadiah terbaik dan warisan Vivian kepada dunia.

"Kami sangat gembira dan berterima kasih atas sumbangan yang kami terima dari John Maloof, Charlie Siskel, dan Howard Greenberg untuk mendirikan Dana Beasiswa Vivian Maier," ujar Ellen Sandor, perwakilan School of Art Institute of Chicago, yang juga Ketua Dewan Penasehat Gene Siskel Film Center. 

"Dengan berkembangnya beasiswa ini, hubungan kita dengan Ravine Pictures dan Galeri seni Howard Greenberg akan memunculkan seniman wanita di SAIC yang memiliki peluang signifikan untuk mengejar gairah mereka ditahun-tahun yang akan datang." pungkas Ellen Sandor.

Kini, kontribusi Vivian Maier untuk perkembangan fotografi dianggap lebih penting setelah karyanya ditemukan secara kebetulan pasca-kematiannya. Vivian Maier kemudian dianggap sebagai salah satu fotografer jalanan terbesar abad ke-20 yang semangatnya harus diturunkan dari generasi ke generasi.

"Dengan pembentukan dana beasiswa Vivian Maier, SAIC, John Maloof, Howard Greenberg, dan aku bertujuan menyediakan sumber daya kreatif untuk menangkap dan mengembangkan bakat yang muncul dari seniman perempuan menjadi warisan Vivian yang hidup hingga sekarang", ujar Siskel, co-direktur beasiswa Vivian Maier yang juga keponakan dari almarhum Gene Siskel. 

Selanjutnya, bagi anda yang tertarik berkontribusi pada dana beasiswa Vivian Maier, silahkan menghubungi Katy Solomon, Direktur Asosiasi SAIC untuk sumbangan pribadi yang bisa dihubungi lewat imel atksolomon@saic.edu atau mengkontak nomor 312.499.4193. 

Dengan adanya beasiswa itu, Vivian Maier kini bisa bernafas lega. Dari atas sana ia akan tersenyum, menyadari betapa usaha yang dilakukannya tanpa pamrih itu tidak sia-sia. Kini, banyak anak muda yang akan merasakan manfaatnya. Sebuah hasil yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh Vivian sebelumnya. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment